(1908-1998)
*Oleh: Jefrianto
Periode selanjutnya yaitu periode Aksi Tritura 1966, yang dilatar belakangi oleh
kondisi politik dan ekonomi yang carut-marut pada masa Demokrasi Terpimpin di
paruh kedua tahun 1965 yang menyebabkan gerakan pemuda untuk beroposisi
menentang rezim Soekarno. Berbeda dengan orientasi pemikiran pemuda di masa
sebelumnya, para pemuda angkatan 1966 lebih memilih lepas dari orientasi
pemerintah saat itu dan menyuarakan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Namun, aksi
ini nampaknya tidak akan berhasil tanpa dukungan dari pihak militer. Ada kesan
seolah-olah pemuda berada dalam kendali pihak luar (militer) yang merupakan
kekuatan utama rezim Orde Baru. Provokasi militer dan rezim Orde Baru kepada
pemuda tentang PKI pasca G/30 S, bisa dikatakan berhasil. Dikatakan berhasil
karena dalam tiga point isi dari tritura disebutkan bahwa:
Dalam periode ini, muncul sosok pemuda idealis (Soe Hok Gie) yang sampai
saat ini belum kita temukan penggantinya. Dia secara cermat mengamati
pergerakan militer bersama rezim orde baru yang pada saat itu dianggap sebagai
penolong. Sayang, dia meninggal di usia muda (27 tahun) akibat menghirup gas
beracun sewaktu mendaki gunung Semeru. Sebuah kalimat dari Soe Hok Gie yang
dikutip dari buku Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, “Orang
yang mati muda, tidak kehilangan idealismenya” dan Soe Hok Gie pun
mengalaminya.
Dalam periode akhir yang dikaji dalam tulisan ini yaitu periode Orde Baru
(1967-1998), peran pemuda sebagai agen perubahan ditekan dengan tindakan
represif dari militer yang merupakan kekuatan utama dari rezim Orde Baru.
Banyak peristiwa berdarah yang melibatkan pemuda terjadi di periode ini antar
lain, Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Peristiwa Tanjung
Priuk, Peristiwa Talang Sari tahun 1989, serta yang tidak terlupakan aksi
mahasiswa tahun 1998 untuk menegakkan reformasi dan menumbangkan rezim
Orde Baru.
Pada masa rezim Orde Baru berkuasa, istilah pemuda mengalami perubahan
menjadi remaja atau anak muda yang disebabkan oleh peralihan kegiatan dan
minat mereka yang bernuansa politik menjadi hiburan semata. Hal ini didukung
oleh temuan bahwa di tahun 1980-an, peredaran VCD, gambar, maupun majalah
porno beredar bebas di pasaran. Hal ini diduga merupakan salah satu kebijakan
pemerintah untuk menekan angka demonstrasi dan kritik terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah Orde Baru, sehingga tercipta stabilitas keamanan.
Pada tahun 1970-an juga terjadi pemberangusan hak asasi manusia dengan
melarang anak muda berambut gondrong. Alasan yang dikemukakan pemerintah
saat itu adalah pemuda berambut gondrong dianggap berandalan yang tidak
mengisi alam kemerdekaan dan era pembangunan Orde baru dengan hal-hal
positif. Selanjutnya dikatakan bahwa pemuda gondrong dianggap bertingkah-laku
kebarat-baratan yang negatif dan melupakan budaya dan kepribadian nasional.
Dari kenyataan ini, dapat kita simpulkan bahwa kekuasaan Orde Baru pada masa
awal rupanya tergantung pada selera pejabatnya. Mereka tidak bisa memisahkan
antara persoalan pribadi dan masalah publik, semata-mata itu dilakukan demi
menunjang stabilitas “nasional” dan melancarkan roda pembangunan dan
“investasi asing” di Indonesia.
Melalui peringatan hari Sumpah Pemuda tahun ini, sudah saatnya kaum
muda Indonesia kembali menggali pemikiran-pemikiran brilian dalam dirinya
demi masa depan yang lebih baik. Banyak hal positif yang bisa dikaji dan
ditumbuh kembangkan agar pemuda lebih kreatif, idealis, intelektual, mandiri,
dan profesional. Jangan sampai tergerus oleh zaman dan sejarahnya sendiri,
karena tidak mampu melawan arus zaman.
Akhirnya, marilah kita sambut peringatan hari Sumpah Pemuda ini dengan
kembali menelusuri jejak-jejak semangat dan perubahan pemikiran pemuda-
pemuda pada perjuangan sebelumnya dan berjanji dalam hati bahwa kita akan
melakukan perubahan demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Agar pepatah
“masa depan bangsa ada di tangan pemuda” bukan hanya isapan jempol belaka.
Semangat persatuan tahun 1928 wajib direnungkan kembali agar kita mampu
belajar dari sejarah.