Anda di halaman 1dari 3

Pemuda dalam Lintasan Sejarah: Potret Pemikiran Pemuda Indonesia

(1908-1998)

*Oleh: Jefrianto

“Masa depan bangsa ada di tangan pemuda” demikian pepatah lama


mengatakan. Ungkapan ini bukan kata belaka melainkan memiliki semangat
konstruktif bagi pembangunan dan perubahan. Pemuda tidak selalu identik
dengan kekerasan dan anarkisme tetapi daya pikir revolusionernya yang menjadi
kekuatan utama. Sebab, dalam mengubah tatanan lama budaya bangsa
dibutuhkan pola pikir terbaru, muda dan segar.

Perkembangan pemikiran pemuda Indonesia mulai terekam jejaknya sejak


tahun 1908 dan berlangsung hingga sekarang. Periodisasinya dibagi menjadi 6
(enam) periode mulai dari periode Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda
1928, Proklamasi 1945, Aksi Tritura 1966, periode 1967-1998 (Orde Baru).

Periode awal yaitu periode Kebangkitan Nasional tahun 1908, ditandai


dengan berdirinya Budi Utomo yang merupakan organisasi priyayi Jawa pada 20
mei 1908. Pada periode ini, pemuda Indonesia mulai mengadopsi pemikiran-
pemikiran Barat yang sedang booming pada saat itu. Pemikiran-pemikiran tersebut
antara lain adalah Sosialisme, Marxisme, Liberalisme, dll. Pengaruh pemikiran ini
terhadap pemikiran pemuda saat itu tergambar jelas pada ideologi dari sebagian
besar organisasi pergerakan yang mengadopsi pemikiran Barat serta model
gerakan yang mereka pakai. Dari beberapa gerakan yang terekam dalam sejarah
Indonesia, salah satu yang paling diminati adalah model gerakan radikal. Salah
satu gerakan radikal yang terbesar pada saat itu adalah Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926. Pemberontakan ini merupakan percobaan
revolusi pertama di Hindia antara 1925-1926. Selain mengadopsi pemikiran Barat,
para pemuda di masa itu juga menerapkan esensi dari kebudayaan Jawa, Islam,
dan konsep kedaerahan lainnya sebagai pegangan (ideologi).

Periode berikutnya yaitu, Periode Sumpah Pemuda 1928, ditandai dengan


Kongres Pemuda yang dilangsungkan pada bulan Oktober 1928. Peristiwa ini
merupakan pernyataan pengakuan atas 3 hal yaitu, satu tanah air; Indonesia,
satu bangsa; Indonesia, dan satu bahasa; Indonesia. Dari peristiwa ini dapat kita
gambarkan bahwa pemikiran pemuda Indonesia pada masa ini mencerminkan
keyakinan di dalam diri mereka bahwa mereka adalah orang Indonesia dan
semangat perjuangan mereka dilandasi oleh semangat persatuan.

Selanjutnya, pada periode Proklamasi 1945, umumnya para pemuda


bertindak sebagai pejuang di medan perang. Namun, tetap ada yang berjuang di
spektrum intelektualitas yang terdiri dari para mahasiswa, wartawan muda, aktivis
pergerakan, antara lain Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Adam Malik, Syarief
Thayeb dan lainnya. Mereka yang disebut di atas yang menculik Soekarno-Hatta
ke Rengasdengklok demi segera diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia.

Periode selanjutnya yaitu periode Aksi Tritura 1966, yang dilatar belakangi oleh
kondisi politik dan ekonomi yang carut-marut pada masa Demokrasi Terpimpin di
paruh kedua tahun 1965 yang menyebabkan gerakan pemuda untuk beroposisi
menentang rezim Soekarno. Berbeda dengan orientasi pemikiran pemuda di masa
sebelumnya, para pemuda angkatan 1966 lebih memilih lepas dari orientasi
pemerintah saat itu dan menyuarakan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Namun, aksi
ini nampaknya tidak akan berhasil tanpa dukungan dari pihak militer. Ada kesan
seolah-olah pemuda berada dalam kendali pihak luar (militer) yang merupakan
kekuatan utama rezim Orde Baru. Provokasi militer dan rezim Orde Baru kepada
pemuda tentang PKI pasca G/30 S, bisa dikatakan berhasil. Dikatakan berhasil
karena dalam tiga point isi dari tritura disebutkan bahwa:

a. Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya


b. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan
c. Turunkan harga

Dalam periode ini, muncul sosok pemuda idealis (Soe Hok Gie) yang sampai
saat ini belum kita temukan penggantinya. Dia secara cermat mengamati
pergerakan militer bersama rezim orde baru yang pada saat itu dianggap sebagai
penolong. Sayang, dia meninggal di usia muda (27 tahun) akibat menghirup gas
beracun sewaktu mendaki gunung Semeru. Sebuah kalimat dari Soe Hok Gie yang
dikutip dari buku Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, “Orang
yang mati muda, tidak kehilangan idealismenya” dan Soe Hok Gie pun
mengalaminya.

Dalam periode akhir yang dikaji dalam tulisan ini yaitu periode Orde Baru
(1967-1998), peran pemuda sebagai agen perubahan ditekan dengan tindakan
represif dari militer yang merupakan kekuatan utama dari rezim Orde Baru.
Banyak peristiwa berdarah yang melibatkan pemuda terjadi di periode ini antar
lain, Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Peristiwa Tanjung
Priuk, Peristiwa Talang Sari tahun 1989, serta yang tidak terlupakan aksi
mahasiswa tahun 1998 untuk menegakkan reformasi dan menumbangkan rezim
Orde Baru.

Pada masa rezim Orde Baru berkuasa, istilah pemuda mengalami perubahan
menjadi remaja atau anak muda yang disebabkan oleh peralihan kegiatan dan
minat mereka yang bernuansa politik menjadi hiburan semata. Hal ini didukung
oleh temuan bahwa di tahun 1980-an, peredaran VCD, gambar, maupun majalah
porno beredar bebas di pasaran. Hal ini diduga merupakan salah satu kebijakan
pemerintah untuk menekan angka demonstrasi dan kritik terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah Orde Baru, sehingga tercipta stabilitas keamanan.

Pada tahun 1970-an juga terjadi pemberangusan hak asasi manusia dengan
melarang anak muda berambut gondrong. Alasan yang dikemukakan pemerintah
saat itu adalah pemuda berambut gondrong dianggap berandalan yang tidak
mengisi alam kemerdekaan dan era pembangunan Orde baru dengan hal-hal
positif. Selanjutnya dikatakan bahwa pemuda gondrong dianggap bertingkah-laku
kebarat-baratan yang negatif dan melupakan budaya dan kepribadian nasional.
Dari kenyataan ini, dapat kita simpulkan bahwa kekuasaan Orde Baru pada masa
awal rupanya tergantung pada selera pejabatnya. Mereka tidak bisa memisahkan
antara persoalan pribadi dan masalah publik, semata-mata itu dilakukan demi
menunjang stabilitas “nasional” dan melancarkan roda pembangunan dan
“investasi asing” di Indonesia.

Menengok perkembangan pemikiran pemuda Indonesia di masa sekarang, kita


dapat melihat bahwa pemuda kita mengalami stagnasi pemikiran yang
menyebabkan bangsa kita kekurangan pemikir-pemikir baru yang ide dan
gagasannya masih baru, muda dan segar. Stagnasi berpikir ini dipengaruhi oleh
budaya hedonistik yang masih melekat dalam diri sebagian besar pemuda
Indonesia. Mereka masih menempatkan hiburan dan hura-hura pada prioritas
teratas dalam hidup mereka. Selain itu, stagnasi pemikiran pemuda Indonesia juga
dipengaruhi oleh mulai terkikisnya budaya membaca di kalangan pemuda
Indonesia. Padahal, dengan membiasakan diri membaca, khasanah pemikiran kita
khususnya pemuda akan terasah sehingga lahir pemikiran-pemikiran baru yang
orisinil, segar dan bermutu.

Dengan melihat perkembangan pemikiran pemuda dari tahun 1908-1998,


kita dapat merefleksi sekaligus bercermin dari semangat perubahan yang mereka
lakukan. Semangat pembaruan yang lahir dari pemikiran mereka merupakan
buah dari kerja keras dan disiplin. Sebagai penerus tongkat estafet perjuangan
yang menjadi simbol kemajuan suatu bangsa, kita wajib meneladani semangat dan
idealisme mereka agar kelak lahir Soekarno-Soekarno baru, Soe Hok Gie-Soe Hok
Gie baru, serta pemikir-pemikir baru yang memiliki pola pikir baru, kreatif dan
segar.

Melalui peringatan hari Sumpah Pemuda tahun ini, sudah saatnya kaum
muda Indonesia kembali menggali pemikiran-pemikiran brilian dalam dirinya
demi masa depan yang lebih baik. Banyak hal positif yang bisa dikaji dan
ditumbuh kembangkan agar pemuda lebih kreatif, idealis, intelektual, mandiri,
dan profesional. Jangan sampai tergerus oleh zaman dan sejarahnya sendiri,
karena tidak mampu melawan arus zaman.

Akhirnya, marilah kita sambut peringatan hari Sumpah Pemuda ini dengan
kembali menelusuri jejak-jejak semangat dan perubahan pemikiran pemuda-
pemuda pada perjuangan sebelumnya dan berjanji dalam hati bahwa kita akan
melakukan perubahan demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Agar pepatah
“masa depan bangsa ada di tangan pemuda” bukan hanya isapan jempol belaka.
Semangat persatuan tahun 1928 wajib direnungkan kembali agar kita mampu
belajar dari sejarah.

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2008


FKIP Universitas Tadulako.
Terdaftar sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sejarah (HIMSA) UNTAD.

Anda mungkin juga menyukai