Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Uveitis adalah suatu inflamasi pada traktus uvea. Uveitis banyak penyebabnya dan
dapat terjadi pada satu atau semua bagian jaringan uvea. Pada kebanyakan kasus,
penyebabnya tidak diketahui.
Penyakit peradangan pada traktus uvealis umumnya unilateral. Di dunia, rata-rata
insiden penyakit ini sekitar 15 dari 100.000 jiwa. Biasanya terjadi pada dewasa muda
dan usia pertengahan (20-50 tahun). Uveitis jarang terjadi pada anak dibawah umur
16 tahun, hanya sekitar 5% sampai 8% dari jumlah total. Kira-kira setengah dari
jumlah anak yang mendreita uveitis umumnya uveitis posterior dan panuveitis. Tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita dalam angka kesakitan.
Bentuk uveitis paling sering adalah uveitis anterior akut atau iritis yang umumnya
unilateral dan ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia dan penglihatan kabur. Serta
mata merah (merah sirkumkorneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil atau
irreguler. Bentuk uveitis lainnya adalah uveitis posterior, intermediet, dan panuveitis.
Penatalaksanaan uveitis tergantung pada penyebabnya. Biasanya disertakan
kortikosteroid topikal atau sistemik dengan obat-obatan sikloplegik-midriatik dan/atau
imunosupresan non kortikosteroid. Jika penyebabnya adalah infeksi diperlukan terapi
antibiotik.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan clinical scientific session (CSS) ini bertujuan untuk memahami serta
menambah pengetahuan tentang uveitis.
1.3 Batasan Masalah
Dalam CSS ini akan dibahas tentang uveitis.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan CSS ini menggunakan berbagai literatur sebagai sumber kepustakaan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Uveitis adalah suatu inflamasi pada traktus uvea. Uveitis dapat diklasifikasikan
menurut:
a. Anatomi:
Uveitis anterior dibagi dalam dua kelompok:
Iritis: dimana inflamasi umumnya mengenai iris.
Iridocyclitis: dimana mengenai dari iris dan bagian anterior dari korpus ciliaris.
Uveitis Intermediet adalah inflamasi dari uvea yang mengenai korpus ciliaris bagian
posterior (Pars Plana), retina perifer dan sedikit koroid.
Uveitis Posterior adalah inflamasi yang mengenai koroid dan retina posterior sampai
ke dasar dari vitreus.

Panuveitis adalah inflamasi yang mengenai selurh bagian dari badan uvea
b. Gambaran klinik:
Uveitis akut; gejala klinik yang terjadi secara mendadak dan menetap sampai tiga
bulan .
Uveitis kronik; Uveitis yang menetap hingga lebih dari tiga bulan dan biasanya
asimtomatik, walaupun akut atau subakut dapat terjadi.
c. Etiologi:
Uveitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sarkoidosis.
Infeksi; bakteri, jamur, virus.
Parasit: protozoa dan nematoda.
Uveitis spesifik idiopatik; merupakan bagian dari penyakit yang tidak berhubungan
dengan kelainan sistemik.
Uveitis non spesifik non idiopatik.
d. Histopatologi
Granulomatosa.
Non-granuomatosa

2.2 Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu
trauma tembus okuli, walaupun kadang – kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi
terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh
diluar mata.
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam
(antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang
infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses
infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga
terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-
partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk
presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel
kornea. Apabila prespitat keratik ini besar disebut mutton fat.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang
di dalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke
dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada
perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca
nodules.
Sel-sel radang, fibrin dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan
kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan
endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada
bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel
radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan
tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari
bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik
mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe.
Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi
glaukoma sekunder.
Pada kasus yang berlangsung kronis dapat terjadi gangguan produksi akuos humor
yang menyebabkan penurunan tekanan bola mata sebagai akibat hipofungsi badan
siliar.

2.3 Gambaran Klinik


1.Uveitis Anterior
a. Gejala subyektif
1) Nyeri :
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf
siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul. Lokalisasi nyeri bola
mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas
nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada
penderita, sehingga sulit menentukan derajat nyeri.
2) Fotofobia dan lakrimasi
Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif
terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi
berhubungan erat dengan fotofobia.
3) Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat atau hilang timbul,
tergantung penyebab, seperti: pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos
dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin dan bisa juga disebabkan
oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kalsifikasi kornea.
b. Gejala obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila
diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.
1) Hiperemi
Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna
ungu
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas
sampai pembuluh darah konjungtiva.

Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis.
Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar
depan dengan refleks aksonal dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar.
2) Perubahan kornea
· Keratik presipitat
Terjadi karena pengendapan sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea
akibat aliran konveksi akuoshumor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel
kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
Baru dan lama : baru bundar dan berwarna putih. lama mengkerut, berpigmen, lebih
jernih.
Jenis sel : lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan.
Limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas tegas,
putih. Makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis
membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat.
Ukuran dan jumlah sel : halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut,
retinitis/koroiditis, uveitis intermedia.
3) Kelainan kornea :
· Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis,
lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan
kornea.
· Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan
neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea berupa lipatan Descemet dan
vesikel pada epitel kornea.
4) Kekeruhan dalam bilik depan mata dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar
protein, sel, dan fibrin.
5) Iris
5.1. Hiperemi iris
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat
karena ditutupi oleh eksudasi sel. Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari
rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal.
5.2. Pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat
peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat
disertai nyeri.
5.3. Nodul Koeppe :
Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih
keabuan. Proses lama nodul Koeppe mengalami pigmcntasi baik pada permukaan atau
lebih dalam merupakan hiasan dari iris.
5.4. Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris, terlihat scbagai benjolan putih
pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah
mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis
anterior granulomatosa.
5.5. Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris merupakan
kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-
lain. Ukuran lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal
padat, menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi dan menetap. Bila
granuloma hilang akan meninggalkan parut karena proses hialinisasi dan atrofi
jaringan.
5.6. Sinekia iris
5.7. Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir
pupil.
5.8. Atrofi iris
Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitel pigmen belakang. Atrofi iris dapat
difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut
disebabkan olch virus, terutama hcrpetik.
5.9. Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah mata dan
insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada
epitel kornea.
6). Perubahan pada lensa
6.1. Pengendapan sel radang
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan pada kapsul
lensa. Pada pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat,
menimbul, tersendiri atau berkelompok pada permukaan lensa.
6.2. Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan lensa
menunjukkan bekas sinekia posterior yang telah lepas. Sinekia posterior yang
menyerupai lubang pupil disebut cincin dari Vossius.
6.3. Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan uvea dan proses
degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan
tergantung pada tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit.
7). Perubahan dalam badan kaca
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan sisa
kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau
bergerak. Agregasi terutama oleh set limfosit, plasma dan makrofag.
8). Perubahan tekanan bola mata
Tekanan bola mata pada uveitis hipotoni, normal atau hiperton. Hipotoni timbul
karena sekresi badan siliar berkurang akibat peradangan. Normotensi menunjukkan
berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik depan mata. Hipertoni dini ditemui
pada uveitis hipertensif akibat blok pupil dan sudut iridokornea oleh sel radang dan
fibrin yang menyumbat saluran Schlemm dan trabekula.

2. Uveitis intermediet
a. Gejala subjektif
Keluhan yang dirasakan pasien pada uveitis media berupa penglihatan yang kabur dan
floaters. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan maupun fotofobia.
b. Gejala Objektif
Secara umum, segmen anterior tenang dan kadang-kadang terdapat flare di kamera
okuli anterior. Dapat ditemukan pula sel dan eksudat pada korpus vitreus.

3. Uveitis Posterior
a. Gejala subjektif
Dua keluhan utama uveitis posterior yaitu penglihatan kabur dan melihat “lalat
berterbangan” atau floaters. Penurunan visus dapat mulai dari ringan sampai berat
yaitu apabila koroiditis mengenai daerah macula. Pada umumnya segmen anterior
bola mata tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan sehingga sering kali proses
uveitis posterior tidak disadari oleh penderita.
b. Gejala obyektif
Lesi pada fundus biasanya dimuai dari retinitis atau koroiditis tanpa kompikasi.
Apabila proses peradangan berlanjut akan didapatkan retinokoroiditis, hal yang sama
terjadi pada koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang
baru didapatkan tepi lesi yang kabur, terlihat tiga dimensional dan dapat disertai
perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheathing pembuluh darah.
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan
disertai hilang atau mengkerutnya jaringan retina dan atau koroid. Pada lesi yang
lebih lama didapatkan parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana
yang lebih dahulu terkena.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Flouresence Angiografi
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit korioretinal dan
komplikasi ntraocula dari uveitis posterior. FA sangat berguna baik untuk ntraocula
maupun untuk pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat dinilai
adalah edema ntrao, vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid atau
retina, N. optikus dan radang pada koroid.
2. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan pelepasan
retina
3. Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala dan
pemeriksaan laboratorium lainnya.
2.5 Diagnosis
Diagnosis uveitis ditegakkan berdasarkan anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang menyokong.
2.6 Diagnosis Banding
Konjungtivitis
Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, terdapat sekret dan
umumnya tidak disertai rasa sakit, fotofobia atau injeksi silier
Keratitis/ keratokonjungtivitis
Penglihatan dapat kabur pada keratitis, ada rasa sakit serta fotofobia.
Glaukoma akut
Terdapat pupil yang melebar, tidak ada sinekia posterior dan korneanya beruap/
keruh.
Neoplasma
Large-cell lymphoma, retinoblastoma, leukemia dan melanoma maligna bisa
terdiagnosa sebagai uveitis.

2.7 Pengobatan
Pengobatan uveitis pada umumnya digunakan obat-obatan ntraoc. Seperti sikloplegik,
OAINS atau kortikosteroid. Pada OAINS dan kortikosteroid, dapat juga digunakan
obat-obatan secara sistemik. Selain itu, pada pengobatan yang tidak beresponsif
terhadap kortikosteroid, dapat digunakan imunomodulator.
a. Mydriatik dan Sikloplegik
Midriatik dan sikloplegik berfungsi dalam pencegahan terjadinya sinekia posterior
dan menghilangkan efek fotofobia sekunder yang yang diakibatkan oleh spasme dari
otot siliaris. Semakin berat reaksi inflamasi yang terjadi, maka dosis sikloplegik yang
dibutuhkan semakin tinggi
b. OAINS
Dapat berguna sebagai terapi pada inflamasi post operatif, tapi kegunaan OAINS
dalam mengobati uveitis anterior endogen masih belum dapat dibuktikan. Pemakaian
OAINS yang lama dapat mengakibatkan komplikasi seperti ulkus peptikum,
perdarahan traktus digestivus, nefrotoksik dan hepatotoksik.
c. Kortikosteroid
Merupakan terapi utama pada uveitis. Digunakan pada inflamasi yang berat. Namun,
karena efek sampingnya yang potensial, pemakaian kortikosteroid harus dengan
indikasi yang spesifik, seperti:
· Pengobatan inflamasi aktif di mata
· Mengurangi ntraocula inflamasi di retina, koroid dan N. Optik
d. Imunomodulator
Terapi imunomodulator digunakan pada pasien uveitis berat yang mengancam
penglihatan yang sudah tidak beresponsif terhadap kortikosteroid. Imunomodulator
bekerja dengan cara membunuh sel limfoid yang membelah dengan cepat akibat
reaksi inflamasi. Indikasi digunakannya imunomodulator adalah
1. Inflamasi ntraocular yang mengancam penglihatan pasien
2. Gagal dengan terapi kortikosteroid
3. Kontra indikasi terhadap kortikosteroid
Sebelum diberikan imunomodulator, harus benar-benar dipastikan bahwa uveitis
pasien tidak disebabkan infeksi, atau infeksi di tempat lain, atau kelainan hepar atau
kelainan darah. Dan, sebelum dilakukan informed concent.

2.8 Komplikasi
Apabila uveitis tidak mendapatkan pengobatan maka dapat terjadi komplikasi berupa:
Glaukoma, peninggian tekanan bola mata.
Katarak.
Neovaskularisasi.
Ablatio retina.
Kerusakan nervus optikus.
Atropi bola mata.
Namun terkadang peninggian tekanan bola mata dan katarak dapat muncul pada
sebagian pasien yang telah mendapatkan pengobatan, tetapi hal ini dapat diatasi
dengan terapi obat-obatan ataupun operasi. Komplikasi yang lain dapat muncul
namun tidak selalu ada pada pasien dengan uveitis, komplikasi ini dapat dicegah
dengan pemberian terapi yang sesuai untuk penderita uveitis.

2.9 Prognosis
Pada uveitis anterior gejala klinis dapat hilang selama beberapa hari hingga beberapa
minggudengan pengobatan, tetapi sering terjadi kekambuhan. Pada uveitis posterior,
reaksi inflamasi dapat berlangsung selama beberapa bulan hingga tahunan dan juga
dapat menyebabkan kelainan penglihatan walaupun telah diberikan pengobatan.

Daftar Pustaka

1. Ilyas Sidarta, 2002. Radang Uvea. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum Dan
Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-2. Sagung Seto. Jakarta.
2. Ilyas Sidarta, 2006. Uveitis. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
3. Vaughan Daniel, 2000. Traktus Uvealis dan Sklera. Oftalmologi Umum. Wydia
Medika. Jakarta
4. Gordon, Kilbourn. Iritis and Uveitis. EMedicine [Online] Available from :
http://www.emedicine.com/emerg/byname/Iritis and Uveitis.htm. Accessed:
26/08/2008
5. Skuta Gregory, Cantor Luis, Weiss Jayne. 2008. Clinical Approach to Uveitis.
Intraocular Inflammation and Uveitis. American Academy Ophtalmology. Singapura.
6. Suharjo, Gunawan. 2005. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27
positif. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2008

Anda mungkin juga menyukai