Penanganan
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang
pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang
sebenarnya beracun dan menekan pertumbuhan protozoa dalam
jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman
berhasil menemukan Atabrine ( quinacrine hydrocloride ) yang
pada saat itu lebih efektif daripada quinine dan kadar racunnya
lebih rendah. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin
dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam
rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis
malaria dibandingkan dengan Atabrine atau quinine. Obat
tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah daripada
obat-obatan lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu
digunakan secara terus menerus.
Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, organisme
yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya
daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik
lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Vietnam, dan juga di
semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga
semakin kurang efektif terhadap strain plasmodium falciparum.
Seiring dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap
obat-obatan tersebut, fakta bahwa beberapa jenis nyamuk
pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap
insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan
jumlah kasus penyakit malaria di beberapa negara tropis.
Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria juga mengalami
peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang
datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga diantara
pengungsi-pengungsi dari daerah tersebut. Para turis yang
datang ke tempat yang dijangkiti oleh penyakit malaria yang
tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria seperti
profilaksis (obat pencegah).
Obat-obat pencegah malaria seringkali tetap digunakan hingga
beberapa minggu setelah kembali dari bepergian. Mefloquine
telah dibuktikan efektif terhadap strain malaria yang kebal
terhadap klorokuin, baik sebagai pengobatan ataupun sebagai
pencegahan. Namun obat tersebut saat ini tengah diselidiki
apakah dapat menimbulkan efek samping yang merugikan.
Suatu kombinasi dari sulfadoxine dan pyrimethamine digunakan
untuk pencegahan di daerah-daerah yang terjangkit malaria yang
telah kebal terhadap klorokuin. Sementara Proguanil digunakan
hanya sebagai pencegahan.
Saat ini para ahli masih tengah berusaha untuk menemukan
vaksin untuk malaria. Beberapa vaksin yang dinilai memenuhi
syarat kini tengah diuji coba klinis guna keamanan dan
keefektifan dengan menggunakan sukarelawan, sementara ahli
lainnya tengah berupaya untuk menemukan vaksin untuk
penggunaan umum. Penyelidikan tengah dilakukan untuk
menemukan sejumlah obat dengan bahan dasar artemisin, yang
digunakan oleh ahli obat-obatan Cina untuk menyembuhkan
demam. Bahan tersebut terbukti efektif terhadap Plasmodium
falciparum namun masih sangat sulit untuk diperbanyak
jumlahnya.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium : parasitologi, darah tepi lengkap, uji
fungsi hati, uji fungsi ginjal dan lain-lain untuk
mendukung/menyingkirkan diagnosis/komplikasi lain, misal ::
punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.
B. Pengobatan simptomatik :
Catatan :
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat
menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat
toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui
infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada
paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis pada setiap paha
(jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk
pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk
mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam
kina parenteral, maka dosis maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2
nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik
harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB
Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina
untuk menghindari hipotensi postural berat.
Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya :
lanjutkan penatalaksanaan sesuai protap umum Rumah Sakit
(seperti telah diuraikan diatas), yaitu :
Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.
Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan umum
dan pengobatan simptomatik)
Ditambah pengobatan terhadap komplikasi.
PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI
1. Malaria cerebral
Didefinisikan sebagai unrousable coma pada malaria falsiparum,
suatu perubahan sensorium yaitu manifestasi abnormal
behaviour/kelakuan abnormal pada seorang penderita dari mulai
yang paling ringan sampai koma yang dalam. Terbanyak bentuk
yang berat.
Diantaranya berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa
delirium, mengantuk, stupor, dan ketidak sadaran dengan respon
motorik terhadap rangsang sakit yang dapat diobservasi/dinilai.
Onset koma dapat bertahap setelah stadium inisial konfusi atau
mendadak setelah serangan pertama. Tetapi ketidak sadaran post
iktal jarang menetap setelah lebih dari 30-60 menit. Bila
penyebab ketidaksadaran masih ragu-ragu, maka penyebab
ensefalopahty lain yang lazim ditempat itu, seperti
meningoensefalitis viral atau bakterial harus disingkirkan.
Prinsip penatalaksanaan :
Penatalaksanaan malaria serebral pada umumnya sama seperti
pada malaria berat. Disamping pemberian obat anti malaria
spesifik, beberapa hal penting perlu diperhatikan :
Perawatan pasien tidak sadar.
Pengobatan simptomatik : pengobatan hiperpireksia dan
pengobatan yang cepat bila ada kejang. Cara pemberian anti
piretik dan antikonvulsan seperti sudah dijelaskan diatas.
Deteksi dini & pengobatan komplikasi berat lainnya.
Hati-hati terhadap terjadinya infeksi bakteri terutama pada
pasien-pasien dengan pemasangan IV-line, intubasi endotracheal
atau kateter saluran kemih. Hati-hati terhadap kemungkinan
terjadinya aspirasi pneumonia.
Tindakan :
Koreksi hipovolemia dengan pemberian cairan yang tepat
(NaCL 0,9 %, ringer laktat, dextrose 5 % in saline), plasma
expander (darah segar, plasma, haemacell atau bila tidak tersedia
dengan dextran 70) dalam waktu 1/2 - 1 jam pertama 500 ml,
bila tidak ada perbaikan tensi dan tidak ada overhidrasi, beri
1000 ml, tetes diperlambat dan diulang bila dianggap perlu.
Bila memungkinkan, monitor dengan CVP ( tekanan dipelihara
antara 0 s/d +5 cm)
Bila terjadi hipovolemia menetap, diberikan Dopamin dengan
dosis inisial 2 ug/Kg/menit yang dilarutkan dalam dextrose 5 %.
[pada hipovolemia kontra indikasi untuk pemberian inotropik
karena tidak akan menaikkan TD malah menimbulkan takikardi
yang justru akan merugikan. Bila hipovolemia sudah teratasi
tapi TD belum naik, kemungkinan kontraktilitas miokard yang
jelek ? diperbaiki dengan pemberian Dobutamin, bukan
Dopamin, dengan dosis sampai 20 µg/kg BB/m] dosis dinaikkan
secara hati-hati sampai tekanan sistolik mencapai 80-90 mm Hg.
Periksa kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan
hipoglokemia.
Buat kultur darah dan resistensi test. Mulai segera pemberian
antibiotik broad spektrum, misal : generasi ketiga sefalosporin
bila tersedia, yang dapat dikombinasi dengan aminoglikosida
bila fungsi renal sudah dipastikan baik (periksa juga ureum &
kreatinin darah)
Apabila CVP tidak mungkin dilakukan, monitoring dan
pencatatan balas cairan secara akurat sangat membantu agar
tidak terjadi overhidrasi.
Pada Anak-anak :
Lakukan Rehidrasi (Pemberian cairan infus), larutan dektrosa 5
% atau 10 % atau NaCL 0,9 %, Dosis 1 jam pertama, 30
ml/kgBB atau 10 x kgBB per tetes/menit. Misalnya : anak
dengan BB 10 kg = 10 x 10 tetes/menit, dilanjutkan 20 ml/kgBB
(23Jam sisa), atau 7 tetes x kgBB/menit, dilanjutkan pemberian
maintenace 10 ml/kgBB/hari atau 3 tetes/kgBB/menit
Awasi nadi, tensi dan pernafasan setiap 30 menit.
5. Gagal ginjal akut (acute renal failure / ARF )
Terjadi sebagai akibat hipovolemia atau ischemik sehingga
terjadi gangguan mikrosirkulasi ginjal yang menurunkan filtrasi
glomerulus. Paling sering terjadi gagal ginjal pre-renal akibat
dehidrasi diatas (>50 %), sedangkan gagal ginjal renal akibat
tubuler nekrosis akut hanya terjadi pada 5-10 % penderita.
Namun ARF sering terdeteksi terlambat setelah pasien sudah
mengalami overload (dekompensasi kordis) akibat rehidrasi
yang berlebihan (overhidrasi) pada penderita dengan
oliguria/anuria, dan karena tidak tercatatnya balans cairan secara
akurat.
Pada pasien severe falciparum malaria, bila memungkinkan
sebaiknya kadar serum kreatinin diperiksa 2-3 x/minggu.
Bila terjadi oliguria (volume urin < 400 ml/24 jam atau < 20
ml/jam pada dewasa atau < 0,5 ml/Kg BB/jam pada anak-anak
setelah diobservasi/diukur selama 4-6 jam) disertai tanda klinik
dehidrasi maka berikan cairan untuk rehidrasi dengan terus
berhati-hati/ mengawasi apakah ada tanda-tanda overload.
Untuk itu awasi semua tanda-tanda vital, monitoring balans
cairan, pemeriksaan auskultasi paru, jugular venous pressure
(JVP) dan central venous pressure (CVP) bila tersedia dan
observasi volume urin.
Bila terjadi anuria. Berikan diuretik : Furosemid inisial 40 mg
IV, observasi urin output. Bila tidak ada respon, dosis furosemid
ditingkatkan progresif sampai maksimum 200 mg [dosis
furosemid: 10-30 mg/jam] dengan interval 30 menit. Bila masih
tidak respon (urin output ( - ) atau < 120 ml/2jam) periksa kadar
ureum & kreatinin serum karena mungkin telah terjadi ARF.
Persiapkan penderita untuk dialisis atau rujuk ke RS dengan
fasilitas dialisis bila terjadi ARF. ARF biasanya reversibel
apabila ditanggulangi secara cepat dan tepat.
ARF yang disertai tanda-tanda overload (dekompensasi jantung)
sangat berbahaya bila tidak ditanggulangi secara cepat.
Tanda-tanda overload dari ringan sampai berat berupa : batuk-
batuk, tensi meningkat/sedikit meningkat, nadi cepat, auskultasi
paru ada ronki basah di basal bilateral paru, auskultasi jantung
mungkin terdengar bunyi jantung tambahan (bunyi ke 3) dan
JVP meningkat, serta pasien terlihat agak sesak sampai sesak
nafas berat.
Bila ada tanda-tanda overload, segera hentikan pemberian
cairan.
Rencanakan dialisis dengan ultrafiltrasi atau peritoneal dialisis,
atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis.
Periksa juga kadar elektrolit darah dan EKG bila tersedia untuk
mencari terjadinya hiperkalemia, asidosis metabolik serta
gangguan keseimbangan asam-basa.
Catatan :
Normal kadar ureum darah : 20 - 40 mg/dl, kreatinin N : 0,8 ?
1,1 mg/dl.
Indikasi dialisis :
Klinik :
Tanda-tanda uremik
Tanda-tanda volume overload
Pericardial friction rub
Pernafasan asidosis setelah rehidrasi
Indikasi laboratorium :
Hiperkalemia (K > 6,5 mEq/L, hiperkalemia dapat juga
didiagnosis melalui EKG)
Peningkatan ureum dengan uremic syndrome.
7. Edema paru
Edem paru sering timbul belakangan dibanding komplikasi akut
lainnya.
Edema paru terjadi akibat :
ARDS (Adult respiratory distress syndrome) [tanda-tanda
ARDS: timbul akut, ada gambaran bercak putih pada foto toraks
di kedua paru, rasio PaO2:FiO2 < 200, tidak ada gejala gagal
jantung kiri]
Over hidrasi akibat pemberian cairan.
ARDS terjadi secara tidak langsung karena peningkatan
permeabilitas kapiler di paru.
ARDS dan overload cairan, keduanya dapat terjadi sendiri-
sendiri atau bersamaan.
Bentuk klinik ARDS : - Takipnoe (nafas cepat) pada fase awal
- Pernafasan dalam
- Sputum : ada darah dan berbusa.
- X-ray : ada bayangan pada kedua sisi paru dan hipoksaemia.
Perbedaan ARDS dengan fluid overload :
ARDS Fluid overload
Balans cairan Normal Input > output
CVP Normal Meninggi
Tekanan A. Pulmonal Normal Meninggi
JVP Normal Meninggi
Tindakan :
Bila ada tanda udema paru akut penderita segera dirujuk, dan
sebelumnya dilakukan tindakan sebagai berikut :
1. Akibat ARDS
a. Pemberian oksigen
b. PEEP (positive end-respiratory pressure) bila tersedia.
2. Akibat over hidrasi :
- Pembatasan pemberian cairan
- Pemberian furosemid 40 mg i.v bila perlu diulang 1 jam
kemudian atau dosis ditingkatkan sampai 200 mg (maksimum)
sambil memonitor urin output dan tanda-tanda vital.
- Rujuk segera bila overload tidak dapat diatasi.
- Untuk kondisi mendesak (pasien kritis) dimana pernafasan
sangat sesak, dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien,
lakukan :
? Posisi pasien ½ duduk.
? Venaseksi, keluarkan darah pasien kedalam kantong
transfusi/donor sebanyak 250-500 ml akan sangat membantu
mengurangi sesaknya. Apabila kondisi pasien sudah normal,
darah tersebut dapat dikembalikan ketubuh pasien.
9. Asidosis metabolik
Asidosis dalam malaria dihasilkan dari banyak proses yang
berbeda, termasuk diantaranya : obstruksi mikrosirkulasi,
disfungsi renal, peningkatan glikolisis, anemia, hipoksia, dan
lain-lain. Oleh karena itu asidosis metabolik sering ditemukan
bersamaan dengan komplikasi lain seperti : anemia berat, ARF,
hipovolemia, udem paru dan hiperparasitemia yang ditandai
dengan peningkatan respirasi (cepat dan dalam), penurunan PH
dan bikarbonat darah. Penyebabnya karena hipoksia jaringan
dan glikolisis anaerobik. Diagnosis dan manajemen yang
terlambat akan mengakibatkan kematian.
Tindakan :
a. Lakukan pemeriksaan kadar Hb. Bila penyebabnya karena
anemia berat (Hb < 5 g%), maka beri transfusi darah segar atau
PRC.
b. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah, bila pH < 7,15
lakukan koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat
[hati-hati koreksi dengan bicarbonat dapat meningkatkan
PaCO2] melalui IV-line (walau sebenarnya pemberian natrium
bikarbonat masih kontroversial). Koreksi pH arterial harus
dilakukan perlahan 1-2 jam
c. Bila sesak nafas, beri O2.
d. Bila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita
segera di rujuk
11. Hiperparasitemia.
Umumnya pada penderita yang non-imun, densitas parasit > 5 %
dan adanya skizontaemia sering berhubungan dengan malaria
berat. Tetapi di daerah endemik tinggi, sebagian anak-anak imun
dapat mentoleransi densitas parasit tinggi (20-30 %) sering tanpa
gejala.
Penderita dengan parasitemia tinggi akan meningkatkan resiko
terjadinya komplikasi berat.
Tindakan :
1. Segera berikan kemoterapi anti malaria inisial.
2. Awasi respon pengobatan dengan memeriksa ulang
parasitemianya.
3. Indikasi transfusi tukar (Exchange Blood Transfusion/EBT)
adalah :
? Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat
? Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat lainnya seperti :
serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice dan anemia berat.
? Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24
jam pemberian kemoterapi anti malaria yang optimal.
? Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (misal : lanjut
usia, adanya late stage parasites/skizon pada darah perifer)
4. Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV,
Hepatitis)
Pencegahan perorangan
Dipakai oleh masing-masing individu yang memerlukan
pencegahan terhadap penyakit malaria. Obat yang dipakai :
Klorokuin.
Cara pengobatannya :
- Bagi pendatang sementara :
Klorokuin diminum 1 minggu sebelum tiba di daerah malaria,
selama berada di daerah malaria dan dilanjutkan selama 4
minggu setelah meninggalkan daerah malaria.
- Bagi penduduk setempat dan pendatang yang akan menetap :
Pemakaian klorokuin seminggu sekali sampai lebih dari 6 tahun
dapat dilakukan tanpa efek samping. Bila transmisi di daerah
tersebut hebat sekali atau selama musim penularan, obat
diminum 2 kali seminggu. Penggunaan 2 kali seminggu
dianjurkan hanya untuk 3 ? 6 bulan saja.
Pencegahan kelompok
Ditujukan pada sekelompok penduduk, khususnya pendatang
non-imun yang sedang berada di daerah endemis malaria.
Pencegahan kelompok memerlukan pengawasan yang lebih
baik. Obat diberikan melalui unit pelayanan kesehatan, pos-pos
pengobatan malaria yang dibentuk sendiri oleh penduduk di
wilayah tersebut, atau melalui pos obat desa (POD) yang di
dalmnya menyediakan obat-obatan lain selain obat anti malaria.
Dosis dan cara pengobatan sama seperti pengobatan pencegahan
perorangan.
VI. PROGNOSIS
1. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan
ketepatan & kecepatan pengobatan.
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas
yang dilaporkan pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan pada
kehamilan meningkat sampai 50 %.
3. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ
lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ
? Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %
? Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah
> 75 %
? Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria
berat yaitu:
? Kepadatan parasit < 100.000, maka mortalitas < 1 %
? Kepadatan parasit > 100.000, maka mortalitas > 1 %
? Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50 %