Anda di halaman 1dari 6

Profesi 

Guru

Guru adalah profesi yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong
pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Guru dengan segala kemampuannya
dan daya upayanya mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya. Sehingga tidak
salah jika kita menempatkan guru sebagai salah satu kunci pembangunan bangsa menjadi
bangsa yang maju dimasa yang akan datang. Dapat dibayangkan jika guru tidak
menempatkan fungsi sebagaimana mestinya, bangsa dan negara ini akan tertinggal dalam
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian waktu tidak terbendung lagi
perkembangannya.

Dokter adalah profesi yang memberikan pelayanan kesehatan kepada sumber daya
manusia yang merupakan tenaga penggerak dalam menjalankan pembangunan. Tidak
bisa dibayangkan akibatnya jika dokter tidak memberikan pelayanan sebagaimana
mestinya.

Namun sungguh disayangkan, dalam faktanya, guru dan dokter dalam berbagai aspek
sangat berbeda sekali bagaikan langit dan bumi *halaah sampe segitunya*. Guru yang
dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa memang benar2 jasanya kurang dihargai.

Sementara dokter secara ekonomi sudah tidak bisa kita karakan lagi perbedaannya
dengan guru. Kita sudah melihat dokter mendapat beberapa fasilitas, tunjangan, intensif
dll yang menempatkan profesi dokter sebagai profesi yang layak utnuk dihargai dalam
masyarakat.

Banyak guru di sekolah tanpa memiliki ijasah kependidikan. Jika hal itu terjadi didalam
profesi dokter, setiap sarjana bisa melaksanakan praktek, berapa juta manusia yang akan
menjadi korban malpraktek??. Sama halnya jika semua sarjana dapat menjadi guru
*terlebih lagi yang tidak memiliki ijasah akta mengajar*, akan berapa banyak lagi
generasi kita yang akan menjadi korban miseducation??
Kita sebagai insan pendidikan sangat mendukung program sertifikasi yang dilakukan
pemerintah. Kebijakan itu diharapkan dapat menstratakan guru menjadi lebih baik. Amin.
Kita tidak akan melihat lagi tayangan televisi “Eagle Award” yang menayangkan seorang
kepala sekolah merangkap sebagai pemulung. Ini adalah kenyataan akibat dari kurangnya
penghargaan terhadap guru. Bagaimana tujuan pendidikan akan berhasil dicapai jika guru
masih mempunyai tujuan yang beraneka ragam.

Nah sekarang bagaimana sikap guru terhadap profesinya sebagai guru agar proses
fasilitasinya semakin bermutu? Untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas proses
pembelajaran, ada dua hal yang sebaiknya dilakukan seorang guru.

Pertama, penciptaan dan menataan suatu kondisi edukatif yang nyaman, aman, tenang
dan tentram. Hal ini menyangkut relasi antara gur dan murid terutama dalam proses
pembelajaran di kelas. Adanya suasana yang menyenangkan, akrab, penuh pengertian
dan mau memahami sehingga murid merasakan bahwa dirinya telah dididik dengan
penuh cinta dan tanggung jawab.

Kedua, guru sebaiknya memiliki, memahami, menghayati dan mengimplementasikan


perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total.
Guru harus memiliki spirit sukses, roh keberhasilan dan motivasi murni untuk meraih dan
menikmati keberhasilan.

Hal tersebut bisa tercapai jika guru menghayati profesi keguruannya. Berikut catatan
singkatnya.

Ketika guru sungguh dihayati sebagai rahmat, maka seorang guru bekerja tulus penuh
syukur. Bekerja senantiasa berbuat baik dan menunjukkan kemurahan hati bertekad
menjadi guru yang lebih baik lagi.
Sebagai penerima amanah, guru terikat secara moral untuk mendidik muridnya hingga
mencapai kedewasaan biologis-psikologis-spiritual sehingga guru bekerja benar dengan
penuh tanggung jawab.

Panggilan hidup sebagai guru dipenuhi untuk menjawab suara Sang Pemanggil. Seorang
(guru) yang secara natural menghayati panggilan jiwanya akan sukses dalam
melaksanakan tugas panggilannya.

Aktualisasi diri akan terlaksana melalui pekerjaan, karena bekerja (sebagai guru) adalah
pengerahan energi biologis, psikologis, spiritual yang selain membentuk karakter dan
kompetensi kita membuat sehat lahir batin sehingga dapat berkembang secara maksimal.

Menghayati guru sebagai ibadah membuat guru bekerja serius penuh kecintaan. Karena
hakikat ibadah adalah persembahan diri, penyerahan diri yang dilandasi kesadaran
mendalam dan serius bahwa kita berutang cinta kepada Dia yang kita puja. Sehingga kita
patut mengabdi dengan sepenuh cinta pula.

Penghayatan bahwa guru adalah seni akan mendatangkan suka cita dan kegembiraan hati
dalam bekerja memicu gagasan cerdas seorang guru untuk bekerja kreatif.

Menghayati guru sebagai kehormatan akan membuat guru bekerja sebaik2nya,


mengedepankan mutu setinggi2nya dan menampilkan prestasi sebagus2nya.

Melayani adalah pekerjaan yang mulia. Kerja yang berorientasikan pada hal2 yang mulia
membuat hidup kita menjadi lebih bermakna. Jadi sebagai guru, bekerjalah denga penuh
jiwa melayani penuh kerendahan hati.

Kesimpulan dari tulisan campur aduk di atas adalah perbaiki kualitas pendidikan dengan
meningkatkan kualitas guru.

Wallahu’alam.
Gagap Beradaptasi Kualitas guru-guru di Indonesia - khususnya yang berstatus PNS dan
guru sekolah swasta yang ”hidup segan mati tak mau” - juga saat ini berada dalam titik
”rendah”. Para guru tidak hanya gagap dalam beradaptasi dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan fenomena sosial kemasyarakatan, mereka juga terjebak dalam kebiasaan
menjadi ”robot” kurikulum pendidikan. Prakarsa dan inisiatif para guru untuk belajar
menggali metode, bahan ajar dan pola relasi belajar-mengajar yang baru sangat
minimalis.

Tidak mengherankan ketika Depdiknas merekonsepsikan dan mengimplementasikan


kerangka kurikulum pembaruan, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), banyak guru
yang sangat sulit memahami. Banyak yang menggerutu dan beranggapan KBK hanya
sebagai wujud kurikulum yang ”ngayawara” (tidak realistik).
Rendahnya mutu atau kapabilitas guru di Indonesia, selama ini disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, faktor struktural. Para guru selama tiga dekade Orde Baru dijadikan
”bemper” politik bagi kekuatan Partai Golkar. Guru dijadikan agen politik
pembangunanisme dan juga agen pemenangan program politik Golkar. Melalui
organisasi Korpri dan PGRI, mereka dijadikan proyek korporatisme negara.
Akibatnya para guru tidak memiliki jiwa pembaruan dan inisiatif dalam menggali
khazanah ilmu pengetahuan serta keberanian mengembangkan inovasi pembelajaran yang
terlepas dari politik pendidikan.

Kedua, kuatnya politik pendidikan, yang mengontrol arah dan sistem pendidikan selama
tiga dekade membuat para guru seperti ”robot” yang dipenjara melalui tugas-tugas
kedinasan yang stagnan. Ketiga, rendahnya tingkat kesejahteraan guru Indonesia
membuat mereka tidak bisa optimal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai
pendidik dan pengajar karena selalu mengurusi persoalan ekonomi keluarga. Keempat,
kuatnya kultur feodalistik dalam dunia pendidikan, sehingga tidak terjadi proses ”social
clustering” dan regenerasi ekslusif komunitas guru muda.
Pola regenerasi bukan atas dasar kemampuan akademik dan kemampuan mengajar guru,
namun level kepangkatan. Pemerintah selama ini tidak memiliki kerangka acuan untuk
meningkatkan kualitas sosial dan intelektual para guru. Berbagai upaya internal di
birokrasi pendidikan yang konon untuk meningkatkan kapabilitas profesi guru, justru
lebih banyak pada kegiatan pembinaan dan pendisiplinan guru dalam optik pemahaman
kekuasaan. Para guru dibina dan didisiplinkan pengetahuan, dan sikapnya selaras dengan
kehendak penguasa, agar tidak mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan doktrin negara.

20 Persen APBN Mem-”profesi”-kan guru sebenarnya memiliki konsekuensi sosial,


yakni: pertama, guru harus mematuhi kode etik dan melaksanakan mandat publik secara
bijaksana dan bertanggung gugat. Tentang pengaturan kode etik guru saat ini tengah
menjadi wacana di masyarakat dan RUU Guru yang memuat pasal-pasal kode etik guru
tengah diperdebatkan oleh berbagai kalangan pegiat dunia pendidikan.

Kedua, para guru dituntut untuk memiliki keahlian profesi yang terukur dan teruji sesuai
fungsi dan perannya. Keahlian profesi guru dalam hal penguasaan materi pengetahuan,
penguasaan kemampuan ajar dan pengembangan bahan ajar, berinteraksi dengan anak
didik-guru-masyarakat sesuai kapasitas yang dimiliki. Ketiga, para guru dituntut untuk
memiliki kompetensi profesi. Yakni dalam hal skill atau kemampuan sebagai pengajar
dan pendidik yang cakap membimbing siswa dalam menyerap dan mengaplikasikan ilmu
pengetahuan dalam dinamika kehidupan nyata.

Untuk mewujudkan guru sebagai profesi, pemerintah - khususnya pembuat kebijakan dan
otoritas pendidikan – memiliki tanggung jawab yang berat, yakni berkewajiban
memfasilitasi proses dan aktivitas pengembangan keahlian profesi guru melalui kegiatan
pelatihan (workhsop), penyebaran informasi, penyuluhan dan pembimbingan akademik
dan karier. Andaikata kelak UU Sisdiknas menyatakan 20% pengeluaran APBN
diperuntukkan bagi bidang pendidikan, maka pengalokasiannya lebih untuk kegiatan
pengembangan keahlian profesi guru ketimbang untuk peningkatan tunjangan gaji.
Bagi kalangan guru sendiri mereka memiliki beban untuk menghilangkan kultur
feodalistik, pragmatisme dalam relasi dan proses pembelajaran. Para guru harus pula
memiliki semangat untuk berubah dan mengubah kondisi dunia pendidikan nasional yang
memprihatinkan dalam segala hal. Jika tidak, maka idiom ”guru sebagai profesi” hanya
akan terus di awang-awang. Penulis adalah pegiat Perhimpunan Citra Kasih
dan alumni program Akta Mengajar IV di Solo.

Anda mungkin juga menyukai