Anda di halaman 1dari 2

Panggung

Jujur saja, saya sempat merasa curiga bahkan mendekati paranoid dengan keberadaan
panggung. Kecurigaan saya ini bukanya tanpa alasan, ketika saya berada di atas
panggung, saya merasa tidak bisa membedakan antara diri saya dengan seorang
Narcissus. Ya, tokoh dari mitologi yunani yang terus menerus memuja kerupawananya
lewat pantulan air danau itu seakan mirip dengan diri kita sewaktu diatas sebuah
panggung: diri kita seakan-akan terpantul dari binar mata, tepuk tangan serta sorak sorai
para penonton. Namun kisah Narcissus adalah kisah tentang cinta-diri. Saya tidak ingin
berlagak jadi seorang moralis yang mengatakan bahwa cinta-diri itu sesuatu yang harus
dijauhi, saya hanya merasa takut akan jatuh ke dalam danau, seperti akhir tragis sang
tokoh mitologis tersebut.
Dalam hal ini panggung memang bisa jadi begitu membius. Bisa saja kita menjadi
ketagihan untuk selalu berada di atasnya, biarpun untuk kebanyakan orang panggung juga
berarti sebuah kegugupan. Kegugupan ini muncul ketika sebuah interaksi terjadi, ketika
kita tahu bahwa kita diperhatikan oleh penonton. Dari sini secara otomatis kita akan
mulai mengatasi kegugupan tersebut. Setidaknya ada dua hal yang akan dilakukan,
pertama adalah dengan menghindari panggung, menolak untuk dilihat, dan yang kedua
adalah dengan menjadikan diri kita seperti dengan yang diinginkan oleh penonton,
dengan kata lain membunuh diri kita. Hal ini mungkin sudah sering kita dengar dalam
istilah the author is dead, atau dalam hal panggung ini: the performer is dead. Namun
kematian itu bukanlah sesuatu yang perlu kita sesali, seakan-akan itu adalah hal yang
lumrah terjadi ketika di atas sebuah panggung. Ketika kita kehilangan kuasa atas tafsir
diri kita, dan sisanya hanya dapat diserahkan kepada sang penonton. Hal ini juga yang
sebenarnya terjadi kepada sang Narcissus ketika bercermin di pantulan air danau. Tak ada
lagi Narcissus, tak ada lagi air danau, yang tinggal hanya pantulan wajah.
Sebegitu menakutkankah panggung? Mungkin tidak. Bagaimanapun panggung adalah
sebuah ruang, dan dalam ruang itu mengandaikan orang yang dilihat dan orang yang
melihat. Dari sini mungkin bisa saja kita membedah masalah melihat-dilihat ini dalam-
dalam menggunakan konsep panaktikon yang dikemukakan Michel Foucault. Namun kita
tidak perlu sejauh itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa di atas panggung, antara yang
dilihat dan yang melihat terdapat sebuah proses memberi dan menerima. Sebuah proses
pertukaran. Proses pertukaran ini bisa saja adalah hanya pertukaran informasi seperti
dalam panggung-panggung akademis, pertukaran perngaruh dalam panggung-panggung
kekusasaan atau politik, atau bahkan perukaran nilai-nilai religius dalam panggung
agama. Tentu saja tidak semua proses pertukaran saklek seperti itu. Bisa saja satu sama
lain saling tumpang tindih bahkan sampai tak bisa dikategorisasikan secara tepat lagi,
jenis panggung apa itu.
Namun yang akan kita bicarakan di sini adalah sebuah panggung estetis, sebuah
panggung dimana yang dipertukarkan adalah nilai estetika atau nilai keindahan itu
sendiri. Seberapa pentingkah sebuah keindahan, di tengah zaman yang menuntut
efektifitas dan efisiensi ini? Di tengah masyarakat yang lebih mementingkan fungsi dan
kepraktisan ini? Memang keindahan dapat begitu mengaburkan dan begitu memabukan,
namun sebenarnya tidak ada yang salah dari hal tersebut. Dalam sebuah panggung estetis
sebenarnya lebih dari pertukaran nilai estetis semata, di balik itu adalah pertukaran rasa.
Konon manusia hidup dengan cipta, rasa, karsa. Ya, panggung estetis ada untuk
memenuhi salah satu unsur kehidupan tersebut.
Rasa yang ada di tiap manusia itu hendaknya memang harus selalu dilatih,
dikembangkan, karena bagaimanapun ketika kita menegasi rasa itu maka kita tak lebih
dari mereka yang memandang hidup dari hamparan fungsi dan tujuan, langkah taktis dan
strategis, materi dan kekuasaan. Dengan kata lain, mereka yang tidak merayakan
kehidupan, baik itu tangis dan kesengsaraanya, tawa dan kegembiraanya, ketakutan dan
penyesalan, lalu lupa, hanya lupa.
Untuk itu memang penting untuk dibentuk panggung-panggung estetis, ruang-ruang
ekspresi, apresiasi serta komunikasi dalam sebuah komunitas yang beragam individunya.
Kita ambil contoh saja adalah sebuah komunitas kampus, yang dalam banyak hal
merepresentasikan sebuah panggung akademis, tempat intelektual-intelektual berbagi
pengetahuan. Akan jadi sangat tidak manusiawi sekali jika dalam panggung akademis itu
yang terjadi sebatas pertukaran teks saja. Bisa jadi yang terbentuk hanya tubuh-tubuh tak
bernyawa yang menyerupai sebuah robot yang penuh dijejali segala ilmu pengetahuan.
Maka dari itu juga perlu ditambah pertukaran yang nilai dalam panggung tersebut, salah
satunya adalah nilai estetis tadi. Dalam hal ini juga panggung estetis bukan berarti sebuah
panggung mewah yang disinari benderang lighting dan dentum sound system yang
dasyat. Yang dibutuhkan hanyalah panggung yang sederhana, tempat manusia di
dalamnya bisa benar-benar merasa nyaman untuk berinteraksi, berkomunikasi dan saling
menghargai satu sama lainya.
Bagaimanapun kebutuhan kita terhadap panggung-panggung estetis ini bukan sesuatu hal
yang terlalu muluk untuk sebuah komunitas yang begitu beragam ini. Bahkan, mendekati
sebuah keharusan dalam pembentukanya karena kita sedang berada di tengah masyarakat
yang berbicara dengan bahasa kekerasan, di tengah masyarakat yang terlalu sibuk
mengakumulasi modal, di tengah kita yang semakin tidak peduli. Meskipun sebenarnya
ketika kita berada di atas panggung tak ada lagi diri kita, tak ada lagi para penonton, tak
ada lagi panggung, tak ada lagi.

Anda mungkin juga menyukai