Anda di halaman 1dari 84

Teks

9 Januari 2008

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG

KESEJAHTERAAN SOSIAL

DEPARTEMEN SOSIAL RI
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Di Indonesia, pembangunan ekonomi seringkali mengalami distorsi yang cukup serius,


sehingga pertumbuhan yang dicapai tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat
secara luas dan merata. Pembangunan yang terdistorsi telah menyebabkan timbulnya
masalah sosial yang demikian serius, seperti kemiskinan, pengangguran, kerawanan sosial
ekonomi, kriminalitas, disharmoni keluarga, tindak kekerasan, ketidakadilan terhadap
perempuan, perlakuan salah terhadap anak, penelantaran orang lanjut usia, perdagangan
manusia dan seterusnya. Masalah-masalah sosial tersebut telah melahirkan dehumanisasi
dan melemahkan nilai-nilai serta hubungan antar manusia. Lebih lanjut, semua masalah
sosial tersebut menjadi hambatan utama bagi pembangunan manusia Indonesia yang dicita-
citakan dan diamanatkan oleh undang-undang.

Perubahan tatanan dunia dan perkembangan komitmen global dalam berbagai konvensi
internasional memberi pesan yang sangat jelas bahwa pembangunan ekonomi sangat perlu
bagi peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Namun, pembangunan ekonomi hendaknya
dilakukan secara berkeadilan. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan dapat dicapai dan
dirasakan secara merata dan berkelanjutan oleh seluruh lapisan masyarakat dan segenap
anak bangsa.

Oleh karena itu, visi pembangunan nasional dewasa ini semakin dituntut untuk untuk
menempatkan manusia sebagai pusat perhatian. Pembangunan ekonomi harus dilaksanakan
sejalan dengan pembangunan kesejahteraan sosial. Sehingga pertumbuhan ekonomi dapat
menyumbang langsung terhadap peningkatan kualitas hidup manusia; dan sebaliknya,
pembangunan manusia dapat mendorong laju pembangunan ekonomi. Pembangunan
nasional yang terpadu ini dijalankan tanpa memarjinalkan penduduk miskin, rentan dan
telantar. Melainkan mampu meningkatkan keterpaduan sosial dan ekonomi yang didasari
oleh prinsip hak asasi manusia dan perlindungan sosial terutama bagi mereka yang kurang
beruntung.

Undang–undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kesejahteraan Sosial selama


ini telah menjadi landasan yuridis formal dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan
sosial. Seiring dengan perkembangan sistem ketatanegaraan dalam era otonomi daerah dan
memperhatikan perkembangan masalah sosial serta perkembangan komitmen global,
keberadaan undang-undang tersebut dipandang sudah kurang sesuai dengan keadaan dan
arah kecenderungan perubahan sosial. UU tersebut dirasa tidak lagi memadai untuk
menjawab permasalahan sosial yang ada saat ini maupun di masa depan. Selain itu, UU
tersebut juga semakin kurang sejalan dengan produk hukum lainnya yang sesuai dengan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


2

perkembangan paradigma pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan adanya Undang-


Undang tentang Kesejahteraan Sosial yang secara jelas merinci kewajiban negara (state
obligation) dan tanggung jawab sosial masyarakat (social responsibility) dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. UU ini akan dapat memberikan kepastian hukum
dalam menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial, termasuk di dalamnya
penyelenggaraan perlindungan sosial dan pelayanan sosial bagi warga negara yang
mengalami masalah sosial.

B. TUJUAN

Pembuatan Naskah Akademik (NA) ini ditujukan untuk memberikan justifikasi logis bagi
Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial yang dilandasi oleh argumen dan
landasan berpikir baik yang bersifat kontekstual-konseptual, maupun yuridis-formal.

C. METODA PENDEKATAN

Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah
pendekatan sosio yuridis, dengan melakukan pengkajian teoritis dan empiris, dengar
pendapat, konsultasi publik dan observasi lapangan yang berkaitan dengan masalah dan
kebutuhan pelayanan kesejahteraan sosial.

Langkah-langkah strategis yang dilakukan meliputi:

1. Menganalisa dan mengkaji sistem dan mekanisme pembangunan kesejahteraan


sosial yang dilaksanakan oleh daerah;
2. Analisis sandingan dari berbagai peraturan perundang-undangan (tinjauan legislasi)
yang berkaitan dengan pembangunan kesejahteraan sosial;
3. Analisis informasi dan aspirasi yang berkembang dari berbagai instansi/lembaga
terkait dan tokoh-tokoh masyarakat (tinjauan tehnis), yang meliputi Pemerintah
Daerah dan instansi/dinas terkait, Lembaga Legislatif (Komisi E DPRD Propinsi
dan Kabupaten/Kota), sejumlah LSM, Orsos, tokoh-tokoh masyarakat dan para
penerima pelayanan kesejahteraan sosial
4. Melakukan tinjauan akademis melalui diskusi dengan anggota Tim, Tim Pakar dan
melaksanakan pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan masukan.
5. Merumuskan dan menyusun dalam bentuk deskriptif analisis serta menuangkannya
dalam Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial.
6. Melakukan sosialisasi dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang perlunya pengaturan mengenai usaha Kesejahteraan Sosial bagi masyarakat.
7. Melakukan pembahasan interdepartemen untuk menyempurnakan isi RUU sesuai
dengan tugas dan wewenang lintas sektor.
8. Melakukan wokshop nasional dengan berbagai elemen masyarakat sebagai bagian
dari fasilitasi partisipasi publik dalam penyusunan naskah akademis dan RUU
Kesejahteraan Sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


3

9. Mengajukan NA dan RUU Kesejahteraan Sosial agar menjadi prioritas dalam


Program Legislasi Nasional di DPR.
10. Mengajukan kepada DPR agar menjadi inisiatif DPR dan untuk selanjutnya
dilakukan pembahasan bersama pemerintah.

D. PENGORGANISASIAN PENYUSUNAN

Penyusunan Naskah Akademis dan RUU Kesejahteraan Sosial dilaksanakan oleh :


1. Tim adhoc yang terdiri dari unsur Biro Kepegawaian dan Hukum, pegawai
direktorat atau biro lain yang terkait di lingkungan Departemen Sosial RI.
2. Nara sumber yang berasal dari Departemen Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan
Sosial dan perguruan tinggi lainnya
3. Forum Komunikasi Staf Ahli Menteri sebagai Nara Sumber
4. Pembahas dari berbagai Direktorat Jenderal dan Badan Pelatihan dan
Pengembangan Sosial di lingkungan Departemen Sosial
5. Pembahas dari beberapa instansi terkait seperti Departemen Kehakiman dan HAM,
BPHN, Depnakertrans, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan,
dan kementrian lainnya yang terkait
6. Pembahas pakar dari perguruan tinggi dan asosiasi profesi.
7. Pembahas dari LSM/ Orsos
8. Pembahas dari Lembaga-lembaga perwakilan PBB dan NGO’s International

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


4

BAB II
ANALISIS SITUASI DAN LANDASAN KONSEPTUAL-
YURIDIS FORMAL

A. SITUASI PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global maupun nasional.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, telah lama mengatur masalah ini sebagai salah
satu bidang kegiatan masyarakat intemasional (Suharto, 2006b). PBB memberi batasan
kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk
membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhankebutuhan dasarnya dan
meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Definisi
ini menekankan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang
melibatkan aktivitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga
pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan
kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas hidup individu,
kelompok dan masyarakat.

Dalam konteks pembangunan nasional, maka pembangunan kesejahteraan sosial dapat


didefinisikan sebagai segenap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah,
dunia usaha, dan civil society untuk menanggulangi masalah sosial dan memenuhi
kebutuhan manusia melalui pendekatan pekerjaan sosial. Tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial, yang pertama dan utama, adalah penanggulangan kemiskinan dalam
segala bentuk manifestasinya. Dalam konteks pembangunan daerah, maka pembangunan
kesejahteraan sosial diarahkan untuk menanggulangi masalah sosial sesuai dengan
karakteristik sosial ekonomi dan budaya lokal. Dalam hal ini telah diatur dalam UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 14 yang mengamanatkan bahwa
kewajiban pemerintah daerah di bidang kesejahteraan sosial adalah penanggulangan
masalah sosial.

Meskipun pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi kebutuhan publik


yang luas, target utamanya adalah para penyandang masalah sosial, yaitu mereka yang
mengalami hambatan dalam menjalankan fungsi sosialnya sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar dan karenanya memerlukan
pelayanan kesejahteraan sosial. Orang miskin, anak-anak telantar, anak jalanan, anak atau
wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, lanjut usia telantar, orang dengan
HIV/AIDS (ODHA), pekerja sektor informal, pekerja industri yang tidak mendapatkan
jaminan sosial, adalah beberapa contoh penyandang masalah sosial.

Situasi pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia dapat dilihat dari diterapkannya


berbagai kebijakan dan program peningkatan kualtas hidup dan aksesibilitas Penyandang

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


5

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melalui pemberian pelayanan sosial dasar baik yang
diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat yang terutama ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat sangat miskin (fakir
miskin dan komunitas adat terpencil), anak telantar, penyandang cacat, korban bencana
(pengungsi), dan kelompok rentan lainnya. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat
miskin diwujudkan dengan peningkatan penyediaan sarana prasarana pelayanan dan
rehabilitasi sosial, bantuan sosial, pemberdayaan sosial ekonomi, pemberian jaminan sosial
dan peningkatan kualitas manajemen kelembagaan sosial masyarakat.

Secara umum pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial telah dapat


menangani berbagai masalah kemiskinan dan permasalahan kesejahteraan sosial dengan
hasil yang dapat dicapai selama tahun 2005 dan 2006 sebanyak 762.985 keluarga miskin
dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (fakir miskin, keluarga rawan sosial
ekonomi, komunitas adat terpencil, dan keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak
huni). Selain itu telah dapat diakses sebanyak 372.563 jiwa PMKS (anak telantar termasuk
anak jalanan, korban napza, tuna sosial, penyandang cacat ganda, lanjut usia telantar,
korban bencana alam/sosial).

Jumlah sasaran yang diberikan pelayanan kesejahteraan sosial mengalami peningkatan.


Keluarga fakir miskin yang dibantu usahanya tahun 2005 sebanyak 175.000 KK meningkat
menjadi 200.000 KK pada tahun 2006. Adapun Komunitas Adat Terpencil yang diberikan
bantuan sosial tahun 2005 sebanyak 12.743 KK meningkat menjadi 13.327 KK pada tahun
2006. Anak telantar yang diberikan pelayanan kesejahteraan sosial baik melalui panti sosial
maupun pelayanan berbasis keluarga dan komunitas tahun 2005 sebanyak 64.894 anak
meningkat menjadi 65.394 anak tahun 2006. Lanjut usia telantar yang diberikan pelayanan
kesejahteraan sosial melalui panti sosial tahun 2005 sebanyak 15.920 orang meningkat
menjadi 15.930 orang pada tahun 2006. penyandang cacat telantar yang diberikan
pelayanan rehabilitasi sosial tahun 2005 sebanyak 6.065 orang meningkat menjadi
sebanyak 28.670 orang pada tahun 2006.

Program bantuan sosial, rehabilitasi sosial, dan pemberdayaan fakir miskin, KAT dan
PMKS lainnya telah dirasakan manfaatnya oleh sebagian kelompok fakir miskin, KAT dan
PMKS lainnya yang mendapatkan bantuan sarana ekonomi, modal usaha, pelatihan
keterampilan dan pendampingan sosial, serta pelayanan konseling keluarga. Hal ini
nampak dari adanya perubahan sikap dan perilaku mereka dalam meningkatkan
produktivitas usaha ekonomis, mengatasi masalah sosial psikologis, memajukan pendidikan
dasar anak-anaknya, menata rumah yang sehat lingkungan dan memelihara kesehatan dan
gizi keluarga dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan diwilayahnya.

Pada saat diputuskan kebijakan Pengurangan Subsidi BBM, untuk melindungi masyarakat
miskin agar tidak terkena dampak negatif, maka pemerintah melaksanakan program Subsidi
Langsung Tunai kepada 19,1 Juta RTM dengan total nilai bantuan tunai sebesar Rp. 23
Trilyun. Dampak yang dapat dipantau adalah dapat dipertahankan daya beli masyarakat

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


6

miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu, pemerintah akhirnya berhasil
memiliki data tentang Rumah Tangga Miskin by name by adress termasuk karakteristik
sosial ekonomi RTM sebagai dasar perencanaan penanggulangan kemiskinan.

Upaya pemberdayaan keluarga sangat miskin tidak hanya dilakukan oleh pemerintah,
namun didorong peran aktif masyarakat melalui pelibatan Tenaga Kesejahteraan Sosial
Masyarakat (TKSM), atau relawan sosial sebanyak 17.896 orang, fasilitasi kegiatan bagi
4.077 Orsos/ LSM, pemberdayaan 5.786 Karang Taruna dan 564 Wahana Kesejahteraan
Sosial Berbasis Masyarakat, pengembangan 96 unit LKM BMT KUBE Sejahtera, serta
kerjasama dengan 234 perusahaan swasta dan BUMN dalam kerangka tanggungjawab
sosial dunia usaha (corporate sosial responsibility) dalam penanggulangan kemiskinan.

Selain itu, bagi masyarakat yang rentan miskin seperti pekerja mandiri dan sektor informal
diikutsertakan dalam Program Jaminan Kesejahteraan Ssoial melalui Asuransi
Kesejahteraan Sosial bagi 35.600 orang dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen
(BKSP) bagi 2.640 orang yang dikelola oleh 3.760 orsos. Bagi penyandang cacat ganda dan
lanjut usia telantar yang hidupnya sangat tergantung pada orang lain diberikan jaminan
kesejahteraan sosial bagi 3.750 orang penyandang cacat ganda dan sebanyak 2.500 orang
lanjut usia telantar.

Dalam hal penanggulangan bencana alam alam yang terjadi pada berbagai wilayah,
termasuk bagi korban bencana Tsunami dan Gempoa Bumi di Nangroe Aceh Daroslam dan
Nias telah diberikan bantuan bahan bangunan rumah untuk rehabilitasi rumah penduduk
sebanyak 26.567 KK. Sementara itu untuk penanganan pengungsi akibat konflik sosial
telah diberikan bantuan tanggap darurat sebanyak 2.667.531 jiwa dan bantuan
pemulangan/terminasi sebanyak 88.426 KK atau 371.535 jiwa, serta bantuan sosial bagi
Pekerja Migran telantar sebanyak 8.363 jiwa.
Adapun untuk menangani warga yang mengalami masalah sosial psikologis dilakukan
rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi penyandang cacat sebanyak 486.448 orang dan
12.538 anak cacat; anak nakal sebanyak 13.410 anak, pelayanan kesejahteraan sosial bagi
lanjut usia telantar sebanyak 75.557 orang. dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
NAPZA sebanyak 12.438 orang; tuna sosial (wanita tuna susila, gelandangan, pengemis
dan bekas narapidana) sebanyak 13.990 orang.

Pemerintah menyadari bahwa tantangan untuk menangani kemiskinan dan masalah-


masalah sosial cenderung semakin meningkat disebabkan semakin lemahnya nilai-nilai
kesetiakawanan sosial, nilai-nilai kejuangan, nasionalisme dan kearifan budaya lokal
sebagai modal sosial bangsa yang paling mendasar. Untuk itu pemerintah berupaya
melembagakan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial, kejuangan dan nasionalisme
bangsa melalui pencanangan Gerakan Nasional Kesetiakawanan Sosial, rehabilitasi 60 unit
Taman Makam Pahlawan memberikan perhatian dan bantuan kepada 435 orang perintis
kemerdekaan dan 70 keluarga pahlawan nasional, serta jaminan kesehatan bagi janda
perintis kemerdekaan sebanyak 1.384 orang.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


7

Akses masyarakat miskin, rentan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial terhadap
pelayanan sosial dasar semakin meningkat dan telah memberikan manfaat dalam
pemenuhan kebutuhan dasar serta dapat mencegah terjadinya kondisi sosial ekonomi yang
lebih buruk.

B. TANTANGAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Meskipun pembangunan kesejahteraan sosial telah dilaksanakan di Indonesia, dilihat dari


gelagat dan perkembangannya, pembangunan kesejahteraan sosial masih menghadapi
berbagai tantangan yang terlihat dari potret di bawah ini (Suharto, 2007b).

Indonesia saat ini memiliki pendapatan per kapita per tahun sebesar US$3,609 dan tingkat
melek hurup sebesar 90,4%; serta tingkat harapan hidup 67,2 tahun dari total penduduk
negeri ini. Dengan utang luar negeri sebesar US$ 176,5 milyar atau US$ 821 per capita
menunjukkan bahwa setiap orang punya utang sekitar Rp.8 juta. Jumlah orang miskin di
Indonesia pada tahun 2006 adalah sangat mencemaskan, yakni sekitar 39,05 juta jiwa atau
sekitar 18% dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini melampaui keseluruhan jumlah
penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (14 juta). Meski kadang
tumpang tindih, potret buram pembangunan ini akan lebih kelam lagi jika dimasukkan para
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) atau yang oleh Depsos diberi label
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang di dalamnya berbaris jutaan
gelandangan, pengemis, Wanita Tuna Susila, Orang Dengan Kecacatan, Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA), Komunitas Adat Terpencil (KAT), anak jalanan, pekerja anak, jompo
telantar dan seterusnya.

Buramnya potret ini juga dipertegas oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di kawasan ASEAN. Peringkat
Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2006 berada di urutan 108 dari 177
negara menunjukkan bahwa standar hidup orang Indonesia masih berada di atas Vietnam
(peringkat 109), Kamboja (129), Myanmar (130), dan Laos (133). Namun, semakin jauh
tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand
(74), dan Filipina (84) (UNDP, 2006). Rendahnya IPM ini selain memperlihatkan
kegagalan pembangunan, juga mengindikasikan rendahnya kualitas sumber daya manusia
(SDM). Data tahun 2002 memperlihatkan bahwa ternyata dari 94 juta angkatan kerja,
sebagian besar pendidikannya hanya tamat SD (36,2%), tidak tamat SD (17%), tidak
sekolah (7,4%). Tenaga kerja yang tamat SLTP (14,9%), tamat SLTA (19,1), tamat
Diploma ke atas (14,9). Selain itu, pengangguran sarjana (DIII/S1) di Indonesia juga sangat
tinggi yang mencapai 600.738 jiwa pada tahun 2005 (Suharto, 2007a; 2007b).

Melihat kusamnya wajah pembangunan seperti ini, pertanyaannya adalah: apakah ini
berarti bahwa sejak kemerdekaannya lebih dari 60 tahun lalu pembangunan Indonesia tidak

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


8

mengalami kemajuan? Jawaban yang tepat adalah: Tidak. Karena ada beberapa indikator
sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang menunjukkan kemajuan. Hanya masalahnya,
negara lain maju lebih cepat.

Dalam satu dekade terakhir ini, liberalisasi ekonomi dan demokratisasi politik di Indonesia
mencatat kemajuan yang mengesankan (lihat Husodo, 2006:1-2). Dalam sistem ekonomi,
kini tengah terjadi pergeseran dari ekonomi serba pengaturan (overregulated) ke ekonomi
pasar; sistem politik juga tengah berubah dari sentralistik ke desentralistik. Bank Indonesia
yang semakin independen, perijinan usaha yang semakin transparan, penerapan sistem
Bikameral, pemilihan Presiden langsung oleh rakyat, DPR/DPRD yang semakin kuat,
pengelolaan pemerintahan yang semakin akuntabel, otonomi daerah yang semakin
meningkat (sampai ada daerah yang memiliki sistem berbeda dari sistem nasional) adalah
beberapa contoh adanya kemajuan ini.

Namun demikian, di tengah capaian kemajuan yang sedang berlangsung, tingkat kemajuan
negara lain ternyata lebih pesat daripada Indonesia (Husodo, 2006; Suharto, 2007b).
Ekonom AS penasihat Sekjen PBB Koffi Anan, Professor Jeffry Sach memberikan
perbandingan indikator ekonomi yang menarik. Pada tahun 1984, angka ekspor Indonesia
adalah 4 miliar dollar AS, sementara ekspor China baru mencapai 3 miliar dollar AS.
Tetapi, 20 tahun kemudian di tahun 2004, ekspor China telah mencapai 700 miliar dollar
AS, sedangkan ekspor Indonesia baru mencapai sekitar 70 miliar dollar AS. World
Investment Report 2006 memperlihatkan bahwa Foreign Direct Investment ke China tahun
2004 mencapai 60,6 miliar dollar AS. Sedangkan yang masuk Indonesia menunjukkan
angka negatif 597 juta dollar AS. Artinya, investasi asing lebih banyak yang ditarik keluar
daripada yang masuk ke Indonesia. Beberapa investor pindah ke beberapa negara yang
dipandang lebih menarik. Bahkan investor Indonesia sendiri sepanjang tahun 2004
menanamkan dananya di luar negeri sebesar 107 juta dollar AS. Ketidakpastian hukum,
rawannya keamanan, kebijakan fiskal yang tidak kondusif membuat Indonesia dipandang
tidak menarik untuk investasi.

Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam luar biasa dan keunggulan komparatif
lainnya yang begitu potensial, ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara-
negara lain di kawasan ASEAN seharusnya menyadarkan kita bahwa pastilah ada sesuatu
yang salah dalam pendekatan pembangunan dan pengelolaan negara ini. Buku
Globalization and its Disontents karya pemenang Nobel Ekonomi, Joseph E. Stiglitz (2003)
dan Confessions of an Economic Hit Man tulisan John Perkins (2004) sangat jelas memberi
bukti tentang gagalnya pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, utang
luar negeri dan ideologi neoliberalisme. Setelah dipraktikkan selama 30 tahun lebih di
Tanah Air, pendekatan ini tidak mampu mengatasi kemiskinan. Cara ini ternyata hanya
efektif menggelembungkan “ekonomi balon permen karet” (bubble gum economic) sambil

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


9

menyuburkan konglomerasi rapuh, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), ketimpangan


dan ketidakadilan sosial maha hebat yang menghasilkan sekitar 25 persen orang kaya
Indonesia yang melebihi rata-rata orang kaya Malaysia, bahkan diantaranya melahirkan
orang-orang kaya kaliber jetset dunia dengan kekayaan triliunan rupiah (Husodo, 2006;
Suharto, 2007b).

Melihat wajah Indonesia seperti digambarkan di atas, sudah semestinya jika para
pemimpin, pembuat kebijakan, dan siapa saja yang tergerak membangun Indonesia untuk
menengok kembali dan memperkuat konsepsi manajemen pemerintahan berdasarkan tujuan
bernegara yang digagas oleh para pendiri bangsa, yaitu sistem pembangunan kesejahteraan
sosial yang berporos pada model negara kesejahteraan atau welfare state (Suharto, 2006a;
Husodo, 2006). Meskipun model negara kesejahteraan lahir dalam tradisi pemikiran dan
masyarakat Barat, seperti Jeremy Bentham (1748-1832), Otto von Bismarck (1850), Sir
William beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963), ide dasar sistem ini sesungguhnya
telah bersemi dan dikembangkan oleh para pejuang dan pendiri yang sudah sejak muda
berjuang melawan penjajahan dan penderitaan bangsa Indonesia. Dalam sidang-sidang
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), mereka memilih bentuk negara
kesejahteraan sebagai jawaban terhadap kondisi bangsa di masa itu yang dililit kemiskinan,
keterbelakangan, dan kebodohan yang sangat mengenaskan (Husodo, 2006; Suharto,
2007a).

Menurut Husodo (2006:3), Pembukaan UUD 1945 menunjukkan niat dan tujuan
membentuk negara kesejahteraan yang berbunyi “… Pemerintah melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.” Juga tercermin dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pasal 31
yang menjamin hak tiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 33 dengan
tegas mengamanatkan pengelolaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 34
menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan negara wajib
mengembangkan sistem jaminan sosial yang bersifat nasional.

Secara sosiopolitik, Indonesia sudah memiliki syarat-syarat minimal untuk membangun


negara kesejahteraan. Yang masih perlu diperbaiki adalah kemauan dan komitmen politik
yang lebih tegas untuk mewujudkannya; perbaikan tata pemerintahan yang transparan dan
akuntabel (good governance); serta penetapan standar-standar kebijakan perlindungan
sosial dan model kelembagaannya. Sambil terus menyusun dan mengembangkan sistem
yang lebih kuat untuk menghadirkan negara kesejahteraan itu, fokus utama kita saat ini bisa
diletakan pada pembangunan kesejahteraan sosial dan kebijakan perlindungan sosial yang
kuat dan melembaga yang terintegrasi dengan kebijakan makro ekonomi yang berkembang,
berkemerataan dan berkelanjutan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


10

C. LANDASAN FILOSOFI

Secara filosofis, pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya


mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam UUD 45. Didalam sila ke-5 Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas dinyatakan bahwa keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofi bangsa, karenanya
setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh keadilan sosial yang sebaik-
baiknya.

Untuk menciptakan situasi dan kondisi yang berkeadilan sosial maka urusan
kepemerintahan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 45 dalam alinea IV
Pembukaaan UUD 45 yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial

Agar keadilan dan kesejahteraan umum ini dapat dicapai, maka setiap warga Negara
Indonesia memiliki hak dan tanggung jawab sesuai kemampuannya masing-masing untuk
sebanyak mungkin ikut serta dalam memajukan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu
diperlukan adanya kepastian hukum dalam bentuk Undang-Undang.

Gagasan tentang kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam UUD 1945 merupakan salah
satu alasan paling penting bagi kelahiran sebuah negara. Negara-bangsa Indonesia didirikan
dengan perjuangan para pahlawan yang sangat berat, penuh darah dan air mata. Tujuan
utama pendirian negara ini adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik,
lebih manusiawi dan bermartabat. Maka penciptaan kesejahteraan sosial merupakan alasan
paling mendasar bagi kelahiran bangsa ini. Itulah sebabnya, gagasan kesejahteraan sosial
tersebut sudah disebut pada bagian pembukaan UUD 1945.

Tetapi gagasan yang tertuang dalam UUD 1945 tersebut tidak lahir di dalam konteks
sendiri. Ia lahir sejalan dengan perkembangan umum masyarakat dunia, terutama para
pemenang Perang Dunia II (PD II) yang mulai berefleksi tentang masalah perbenturan
ideologi yang menjadi penyebab pertikaian. Beberapa negara Eropa, khususnya Inggris,
dan Amerika Serikat memandang penting melakukan ”kompromi ideologis” antara
“sosialis” (kiri) dan ”kapitalis” (liberal, kanan): sosial demokratik. Kompromi ideologis
memperkuat model ”Welfare State” (pajak tinggi, pelayanan sosial diperbaiki, asuransi
sosial dan pensiun dipenuhi, pendidikan dijamin pemerintah, layanan kesehatan tersedia).
Sebelumnya sudah ada asuransi sosial (von Bismarck, 1880-an); sosial security act untuk
mengurangi pengangguran (New Deal dari Roosevelt, 1935); Beveridge (the Beveridge
Report tahun 1942) yang menjadi cikal-bakal ”sosial administration” yang menyediakan
layanan kesehatan, jaminan sosial, pendidikan mencakup seluruh masyarakat).

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


11

Di awal tahun 1950-an PBB mensponsori penyebaran sistem kesejahteraan sosial di negara-
negara baru merdeka. Model yang diperkenalkan sangat sempit, yakni yang bersifat
remedial (koreksional dan rehabilitatif). Fokus: anak-anak, keluarga, remaja, lansia.
Indonesia tentu saja tidak luput dari pengaruh ini. Kelahiran Departemen Sosial dan
pendirian lembaga pendidikan kesejahteraan sosial pertama di Bandung (yang menjadi
cikal-bakal Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial/STKS) merupakan dampak dari program
PBB di tahun 1950-an tersebut. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial di Indonesia
diterjemahkan dalam kerangka pendekatan administrasi sosial (sosial administration) yang
lebih diarahkan pada penyediaan layanan bagi kelompok-kelompok paling rentan di
masyarakat seperti orang-orang cacat, lanjut usia, anak telantar, dan lain-lain. Tetapi di
akhir tahun 1960-an PBB mulai mengoreksi kebijakannya dan mulai mensosialisasikan ide-
ide pembangunan sosial yang lebih luas.

UU No. 6 tahun 1974 tampaknya mencerminkan semangat gerakan kesejahteraan sosial


PBB tahun 1950-an. Ia merupakan usaha mengadopsi sebagian dari konsep negara
kesejahteraan yang bentuknya sudah mulai mapan di negara-negara Eropa dan Amerika.
Tetapi gagasan dasarnya masih mencerminkan model ”remedial”, ”koreksional” melalui
mekanisme administrasi sosial. Tetapi untuk indikator kesejahteraan makronya pemerintah
sudah mulai mengadopsi pendekatan ”basic needs” sejak awal tahun 1980-an. Sistem
kesejahteraan sosial Indonesia kurang appresiatif terhadap sistem dan praktik kesejahteraan
sosial lokal Indonesia (misalnya yang berbasis agama, berbasis adat-kelompok suku dan
kearifan budaya lokal). Sistem kesejahteraan dan pelayanan sosial yang ada masih bias
perkotaan, remedial dan terarah pada kelompok-kelompok yang terbatas.

Itulah sebabnya, diperlukan sebuah dasar hukum atau undang-undang yang memungkinkan
negara berbagi peran dengan komponen-komponen sosial lain, seperti dunia usaha dan
lembaga-lembaga sosial masyarakat, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial
universal di Indonesia. Keberadaan dasar baru tersebut memiliki beberapa nilai strategis
yang sangat penting dan tetap sejalan dengan semangat dan prinsip-prinsip kesejahteraan
sosial yang terkandung di dalam sila kelima Pancasila, yakni mewujudkan ”keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” dan UUD 1945 .

Pertama, dasar hukum tersebut akan memberi landasan hukum, perlindungan dan jaminan
bagi kerjasama produktif antara negara dan pemerintah dengan pihak swasta dan lembaga-
lembaga kemasyarakatan dalam pengembangan, penyediaan layanan kesejahteraan sosial
dan pemberdayaan kapabilitas kalangan penyandang masalah sosial agar mampu
mengembangkan dirinya.

Kedua, Dasar hukum tersebut akan menjamin interkoneksi dan integrasi pelbagai
komponen perundang-undangan bidang kesejahteraan sosial yang lebih spesifik
mengangkut beberapa masalah khusus. Integrasi ini akan memastikan bahwa pelaksanaan
pelbagai undang-undang khusus, seperti perlindungan anak, kekerasan terhadap perempuan
dan lain-lain, terarah pada satu tujuan dan muara yang sama.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


12

Ketiga, dasar hukum baru tersebut akan memberi orientasi baru program pembangunan
kesejahteraan sosial yang sejalan dengan perkembangan global saat ini dan sekaligus
mengantisipasi kecenderungan masalah-masalah sosial yang akan ditimbulkannya.

Keempat, dasar hukum baru ini akan memberi kerangka baru pembangunan sosial yang
tidak semata-mata memberikan pelayanan yang bersifat pasif kepada orang-orang, keluarga
dan kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial; melainkan sekaligus bersifat aktif
dan bernuansa investasi sosial. Undang-undang ini memastikan bahwa pembangunan sosial
merupakan sebuah investasi produktif dalam rangka pengembangan potensi dan kapabilitas
manusia sehingga pada gilirannya mereka dapat berkontribusi terhadap kemajuan
masyarakatnya.

Secara garis besar, landasan hukum bidang kesejahteraan sosial, diarahkan untuk menjamin
terselenggaranya pelayanan kesejahteraan dan investasi sosial yang berkualita dan
produktif sehingga dapat meningkatkan kapabilitas, harkat, martabat dan kualitas hidup
manusia, mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat, mencegah dan menangani
masalah kesejahteraan sosial, mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan
kesejahteraan sosial, serta memperkuat ketahanan sosial bagi setiap warga negara

D. LANDASAN SOSIOPOLITIS

Ketidaksesuaian produk hukum yang ada dengan pelaksanaan peran negara yang
selayaknya dilakukan bagi PMKS akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum
dalam pemenuhan hak atas peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial. Secara
sosiologis, hal ini akan menimbulkan kemiskinan struktural, ketelantaran, perilaku anti
sosial, kondisi disharmoni, kerawanan sosial dan tindak kejahatan yang akan menjadi
pemicu terjadinya disintegrasi sosial. Pada akhirnya akan menjadi beban sosial masyarakat
dan pemerintah yang membutuhkan biaya pembangunan yang lebih besar. Hal ini, secara
potensial akan mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Dampak psikologis yang ditimbulkan karena belum adanya undang-undang yang mengatur
tentang Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, yaitu
terganggunya rasa keadlian (sense of equity), munculnya kecemburuan sosial,
ketidakberdayaan, sikap fatalistik dan agresivitas, serta perilaku menyimpang lainnya.

Untuk menjamin terpenuhinya hak sosial, dan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan sosial pada tingkat lokal, nasional, dan global, maka perlu dilakukan
pembaruan Kesejahteraan Sosial secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dengan
adanya pengaturan tentang pembangunan kesejahteraan sosial dalam bentuk undang-
undang berarti negara telah memberikan perlindungan sosial dan layanan yang berpihak
kepada rakyat miskin, sehingga keadilan sosial dirasakan oleh semua warga tanpa
terkecuali sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Perubahan paradigma pembangunan kesejahteraan sosial antara lain ditandai dengan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


13

adanya menguatnya penanganan sosial berdasarkan pendekatan hak (right-based approach)


menggantikan pendekatan berbasis masalah (problem-based approach) yang seringkali
bersifat represif. Evaluasi kebijakan dan kelembagaan penanggulangan masalah sosial
selama ini menunjukkan bahwa pendekatan penaganan masalah sosial seringkali masih
mengedepankan tindakan represif keamanan dan ketertiban, bersifat sektoral dan proyek,
serta cenderung menyalahkan kaum miskin, rentan dan PMKS lainnya dan memposisikan
masyarakat itu sebagai obyek yang tidak berdaya.

Sementara iru, pendekatan yang berbasis hak lebih mengedepankan prinsip partisipatif dan
pemberdayaan yang tetap menjamin pelaksanaan kewajiban pemerintah dalam
penanggulangan masalah sosial yang dapat dipertanggungjawabkan berdasar hukum, serta
mampu memfasilitasi peningkatan kapasitas tindakan penanggulangan masalah sosial yang
secara langsung berkontribusi pada penghapusan atau pengendalian PMKS.

Sebagai sebuah piranti kebijakan publik, UU Kesejahteraan Sosial sejatinya menekankan


pada peran negara yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan kinerjanya
sehingga mampu menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk menjamin
ketersediaan pelayanan kesejahteraan ssoial dalam tingkat tertentu bagi warganya. Namun
demikian, dalam pelaksanaannya UU Kesejahteraan Sosial juga menggarisbawahi
pentingnya kerjasama antara pelbagai pilar usaha kesejahteraan sosial, yang mencakup
negara (pemerintah daerah), masyarakat madani (civil society), sektor swasta, dan lembaga-
lembaga kemanusiaan internasional (Hall dan Midgley, 2004). Perspektif ini sejalan dengan
ide tentang “negara kesejahteraan” (welfare state) model pluralisme yang meniscayakan
pembagian peran proporsional antara sektor negara-bangsa dan pihak masyarakat madani.

1. Negara

Negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, memiliki peran sentral dalam usaha
kesejahteraan sosial terutama karena selain negara memiliki kewajiban memenuhi hak-hak
dasar publik sebagai konstituennya, negara juga memiliki peran utama dalam sebagai
regulator (pembuat kebijakan publik) dan fasilitator (penyediaan dan pengelolaan anggaran
publik) bagi usaha kesejahteraan sosial. Sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman dan
praktik kenegaraan di seluruh dunia, peran negara dalam menjalankan pembangunan
kesejahteraan sosial tidak boleh direduksi dan apalagi diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat dan sektor swasta. Selain melanggar konstitusi, mereduksi peran negara dalam
usaha kesejahteraan sosial sama artinya dengan pengingkaran kewajiban negara dalam
memenuhi kebutuhan dasan warganya. Warga negara pada hakekatnya adalah konstituen
yang menyerahkan mandatnya kepada pemerintah dan karenanya merupakan faktor
penentu eksistensi negara itu sendiri. Dalam menjalankan misinya, Pemerintah pusat perlu
bekerjasama dengan PEMDA sehingga pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial
tidak tumpang tindih yang dapat mengakibatkan inefisiensi dan tidak akan mencapai
tujuannya secara maksimal.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


14

2. Masyarakat madani (civil society)

Masyarakat madani yang mencakup organisasi non-pemerintah (orsos dan LSM),


organisasi profesi dan warga sipil memiliki peran penting terutama dalam pengembangan
dan evaluasi kebijakan publik, serta dalam menerapkan kebijakan publik tersebut dalam
berbagai program kesejahteraan sosial. Masyarakat madani juga bisa berperan sebagai
mitra pelaksana (eksekutor) pelayanan publik, fasilitator dan penggerak masyarakat.

3. Sektor swasta

Perusahaan-perusahaan bisnis kini semakin menyadari bahwa peranan mereka bukan


sekadar pencari keuntungan finansial semata, melainkan pula harus memiliki kepekaan dan
kepedulian terhadap publik, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan
(Suharto, 2007a). Semangat ini dikenal dengan istilah “tanggungjawab sosial perusahaan"
atau corporate sosial responsibility (CSR). Meskipun perusahaan telah membayar pajak
kepada negara tidak berarti telah menghilangkan tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan
publik. Di negara yang tidak menerapkan kebijakan sosial (sosial policy) atau kebijakan
kesejahteraan (welfare policy) yang menjamin warganya dengan berbagai pelayanan dan
skema jaminan sosial yang merata, manfaat pajak seringkali tidak sampai kepada
masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan yang tidak memiliki posisi tawar yang
kuat. Selain perusahaan harus memperoleh laba, taat hukum dan berperilaku etis,
perusahaan dituntut agar dapat memberi kontribusi yang dapat dirasakan secara langsung
oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan semua.

4. Lembaga kemanusiaan internasional

Lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan merupakan


komponen penting dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Apalagi dalam era globalisasi
dewasa ini, tidak ada sudut dunia di belahan bumi manapun yang tidak tersentuh oleh
masyarakat internasional, terutama mereka yang berkomitmen dan menghimpun kekuatan
bersama untuk memberikan kontribusi pada usaha kesejahteraan sosial di negara dan
wilayah tertentu. Lembaga-lembaga seperti ini ada yang bemaung di bawah Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB), lembaga keagamaan, maupun lembaga naungan independen.
Mereka merupakan partner kerjasama dalam usaha kesejahteraan sosial dan karenanya
perlu juga diatur oleh Undang-Undang.

E. LANDASAN YURIDIS

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada
sebagian warga negara yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri karena
kondisinya yang mengalami hambatan fungsi sosial, dan akibatnya mereka mengalami
kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dasar serta tidak dapat menikmati
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


15

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan


Negara memelihara fakir miskin dan anak-anak yang telantar, mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, serta bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesejahteraan sosial yang layak yang diatur dengan undang-undang

Bagi fakir miskin dan anak telantar seperti yang dimaksud dalam UUD 45 diperlukan
langkah-langkah perlindungan sosial (protection measures) sebagai perwujudan
pelaksanaan kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin terpenuhinya hak dasar
dasar warganya yang tidak mampu, miskin atau marginal. Dalam UUD 1945 Pasal 28 H
ayat 2 dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakukan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, khususnya yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) yang menyatakan “setiap orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenan dengan kekhususannya”.

Sementara itu, komitmen dunia tentang pembangunan sosial/kesejahteraan sosial, telah


disepakati oleh berbagai negara termasuk Indonesia, membawa konsekuensi bahwa
permasalahan sosial dan penanganannya di setiap negara dipantau sekaligus didukung oleh
masyarakat internasional. Sebagai perwujudan dari komitmen dimaksud, setiap negara
diharapkan melaporkan hasil yang telah dicapai.

Komitmen global dan regional dalam pembangunan kesejahteraan sosial harus diupayakan
pencapaiannya meliputi antara lain konvensi-konvensi tentang HAM, hak anak, hak wanita,
hak penyadang cacat/ orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, pelayanan sosial
bagi korban NAPZA, dan berbagai protokol tambahan yang terkait, antara lain : Single
Convention on Drugs Tahun 1961 beserta Protokol 1972 (Dasar Hukum Narkotika
Internasional); Convention on Psychotropic Substances 1971; Deklarasi Menlu ASEAN
tentang Narkotika di Manila tahun 1976; Resolusi PBB No. 44/1982 tanggal 20 Desember
1989, Penetapan Tahun 1994 sebagai Tahun Keluarga Internasional; UN-World
Programme of Action Concerning Disabled Persons, 1980; Convention on the Right of the
Child (Konvensi Hak Anak), 1990; Resolusi PBB No. 047/237 tanggal 8 Desember 1993,
Penetapan tanggal 15 Mei 1993 sebagai Hari Keluarga Internasional; Konferensi Dunia
tentang Hak Azasi Manusia (HAM), Wina 1993, (Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
Adalah Pelanggaran HAM); KTT Dunia Pembangunan Sosial (WSSD) 1995; Konferensi
Dunia ke IV tentang Perempuan, di Beijing 1995; Sidang Khusus ke 24 Majelis Umum
PBB mengenai hasil KTT Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Copenhagen + 5 di Jeneva)
Tahun 2000; Asia Pacific Decade of Disabled Persons : 1993-2002; Deklarasi Majelis
Umum PBB tentang Hari Internasional Penyandang Cacat; Konvensi PBB tentang Hak
Asasi Penyandang Cacat (Piagam Millenium III).

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


16

Berdasarkan landasan yuridis formal dan konvensi-konvensi international yang telah


menjadi komitment nasional, maka dalam pelaksanan Pembangunan Kesejahteraan
Sosial harus didukung oleh peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai:
(1) landasan/dasar hukum bagi pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial;
(2) pemberi arah kepada pemerintah dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan tugas
umum pemerintahan dan tugas pembangunan di bidang kesejahteraan sosial;
(3) alat kontrol/kendali pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial.

Didalam sila ke-5 Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas
dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah
satu filosofis pembangunan bangsa, karenanya setiap warga Negara Indonesia berhak
atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya. Agar keadilan dan kesejahteraan sosial
ini dapat dicapai, maka setiap warga Negara Indonesia berhak dan wajib sesuai
kemampuannya masing-masing untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha
kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan Sosial merupakan amanat dan perintah UUD 1945, yang dicantumkan
dalam judul Bab XIV yaitu ” Kesejahteraan Sosial”. Dalam Amandemen UUD 1945
kini judul Bab XIV UUD 1945 itu adalah ” Per-ekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial”.

Didalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 huruf H
ayat (3), Pasal 34 ayat (1) dan (2) mengatur mengenai hak-hak warga Negara dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial, yaitu :

a. Pasal 27 ayat (2) menyatakan : “ Tiap-tiap warga Negara Indonesia berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “.
b. Pasal 28 huruf C ayat (1) menyatakan :” Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”
c. Pasal 28 huruf H ayat (2) menyatakan : ”Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”
d. Pasal 28 huruf H ayat (3) menyatakan : “ Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat “.
e. Pasal 34 ayat (1) menyatakan : “ Fakir miskin dan anak-anak yang telantar
dipelihara oleh negara “.
f. Pasal 34 ayat (2) menyatakan : “ Negara mengembangkan sistem jaminan Sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan “.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


17

Pasal-pasal dalam amanat konstitusi tersebut memberi penegasan bahwa setiap warga
Negara berhak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan pemerintah wajib
melindungi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia dan berusaha untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi setiap warga Negara Indonesia. Dengan
demikian Kesejahteraan Sosial berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial selama ini diperkuat dengan Undang-


Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3039). Sejak tahun 1974 sampai sekarang telah diundangkan sejumlah undang-undang
yang seharusnya cukup diatur dalam peraturan pemerintah. Ada kecenderungan
undang-undang yang ada tidak lagi mengindahkan lagi UU 6/ 1974, sebagai akibat
lemahnya undang-undang tersebut.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang dimaksud yang telah melandasi berbagai


kegiatan di bidang kesejahteraan sosial, yaitu : UU 9/1961 tentang Undian, UU 5/ 1964
tentang Penetapan Penghargaan / Tunjangan kepada Perintis Pergerakan Kebangsaan/
Kemerdekaan, UU 33/1964 tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan Terhadap
Pahlawan, UU 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU 7/1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU
8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, UU 4/1972 tentang Perumahan dan
Pemukiman, UU 10/1972 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera, UU 4/1997 tentang Penyandang Cacat, UU 13/97 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia, UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak, UU 5/1997 tentang
Psikotropika, UU 22/97 tentang Narkotika, UU 23/1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU39/1999 tentang HAM, UU 1/2000 tentang Pengesahan
Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, UU23 /2002 tentang Perlindungan
Anak.

Walaupun berbagai produk undang-undang tersebut telah digunakan, namun materi


yang diatur dalam undang-undang tersebut secara substansial akan merupakan bagian
dari pelaksanaan Undang-Undang Kesejahteraan Sosial. Selain Undang-Undang di
bidang Kesejahteraan Sosial, maka dalam perkembangnya sistem peraturan perundang-
undangan nasional telah diundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, khususnya yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 8,
Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan :

Pasal 5 ayat (3) : Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perbandingan lebih berkenan dengan
kekhususannya.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


18

Pasal 8 : Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak azasi manusia


merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat.

Pasal 41 ayat (1) : Setiap warga Negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan
untuk hidup layak, serta perkembangan pribadinya secara utuh.

Penjelasannya : Yang dimaksud dengan “Berhak atas Jaminan Sosial” adalah bahwa
setiap warga Negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kemampuan Negara.

Selain itu bagi masyarakat yang tergolong tidak mampu berhak memperoleh perhatian
yang lebih, dan ini merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan
masyarakat yang akan diatur dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 dibuat pada era sentralisasi dan peran pemerintah
pusat sangat besar dan dominan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999
yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, maka sistem pemerintahan telah berubah ke arah desentralisasi, sehingga
semua kebijakan perlu disesuaikan.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 substansinya sangat sumir, hanya terdiri dari 5
(lima) Bab dan 12 Pasal, dan hanya memuat ketetentuan-ketentuan pokok saja,
sehingga untuk saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang terutama penanganan permasalahan sosial yang semakin meningkat dan
kompleks. Demikian halnya dalam hal tugas-tugas pemerintah belum mengakomodir
tugas pemerintah dalam pencegahan terjadinya masalah sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemeliharaan kearifan sosial, serta perlindungan bagi penyandang masalah
kesejahteraan sosial. Sasaran, jenis-jenis pelayanan kesejahteraan sosial dan potensi dan
sumber dana kesejahteraan sosial sedemikian rupa belum diuraikan dalam Undang-
Undang tersebut, sehingga skema kebijakan nasional di bidang kesejahteraan sosial
menjadi belum terarah. Selain itu belum ada pengaturan tentang tugas dan wewenang
pemerintah daerah dalam menanggulangi masalah sosial sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 13 dan Pasal 14.

Undang-undang tersebut dibuat pada tahun 1974 sehingga telah berumur 33 tahun,
tentunya banyak pasal-pasal yang perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan
keadaan saat ini, termasuk banyaknya konvensi international yang telah diratifikasi
yang membuat Undang-undang tersebut menjadi kurang relevan lagi dengan paradigma
pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Konvensi international tersebut berbasiskan
pada perhatian, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Dari segi teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, tentunya harus menyesuaikan dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


19

Pembangunan bidang kesejahteraan sosial merupakan komponen dalam hak-hak asasi


manusia yang berlaku universal bagi seluruh warga Negara, dan diarahkan untuk
memberikan perlindungan sosial terhadap upaya pemenuhan hak atas kebutuhan dasar.
Kaidah ini menekankan bahwa, pelayanan kesejahteraan sosial mengandung muatan
normatif yang mengatur hak dari setiap warga Negara untuk memperoleh taraf
kesejahteraan sosial yang layak bagi kemanusiaan. Hal terbut secara substantif belum
dimuat pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974. Oleh karena itu, dalam perubahan
atau pembaharuan Undang-Undang tersebut, pelayanan kesejahteraan sosial dapat
diformulasikan secara kontekstual dalam pembangunan kesejahteraan sosial sebagai
refleksi dari pelaksanaan kewajiban Negara terhadap warganya yang mengalami resiko
sosial (sosial hazards).

Eksistensi pelayanan kesejahteraan sosial semakin relevan karena dalam kehidupan


masyarakat, baik perorangan, kelompok, keluarga maupun komunitas tertentu,
seringkali terjadi ketidak pastian yang mengganggu atau menghambat pelaksanaan
fungsi sosialnya. Dalam kondisi seperti ini, pelayanan kesejahteraan sosial menjadi
sangat penting karena merupakan mekanisme yang dapat diakses oleh masyarakat,
khususnya penyandang masalah kesejahteraan sosial ketika mengalami disfungsi sosial
atau dalam keadaan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka (kehilangan
penghasilan ketika tidak bekerja, resiko kerja, pendidikan dasar untuk anak, pelayanan
kesehatan dasar, dan kebutuhan dasar lainnya). Untuk itulah, Pemerintah berkewajiban
menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi penyandang masalah
kesejahteraan sosial, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang mempertegas
komitmen Negara terhadap pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial (Pasal 34).

Mengingat pelayanan kesejahteraan sosial merupakan salah satu faktor yang berfungsi
sebagai sistem perlindungan sosial dasar bagi warga masyarakat beserta keluarganya,
maka jaminan kesejahteraan sosial pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan
makro pembangunan kesejahteraan sosial dan dilaksanakan berlandaskan komponen
hak asasi manusia yang berdimensi luas bagi hak dan martabat manusia. Dengan
demikian, pelayanan kesejahteraan sosial erat kaitannya dengan kewajiban Negara
untuk melindungi warga negaranya sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Universal
HAM PBB tanggal 10 Desember 1948. Sampai saat ini deklarasi tersebut masih
dijadikan sebagai referensi bagi setiap Negara anggota PBB untuk menaruh
komitmennya dalam pelaksanaan HAM melalui jaminan sosial. Negara yang tidak
menyelenggarakan jaminan sosial, dapat dipandang sebagai Negara yang melanggar
pelaksanaan HAM.

Berdasarkan landasan yuridis yang ada, maka pelayanan kesejahteraan sosial


merupakan hak normatif warga masyarakat yang mengalami resiko sosial sehingga
tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar yang dititik beratkan pada
prinsip keadilan, pemerataan dan standar minimum, yang mengemban misi sosial.
Pelayanan kesejahteraan sosial juga merupakan bentuk perlindungan dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial bagi warga yang miskin, tidak mampu atau mengalami

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


20

hambatan fungsi sosial seperti PMKS. Usaha kesejahteraan sosial yang khusus
diberikan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial selanjutnya disebut Pelayanan
Kesejahteraan Sosial.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974


tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sudah tidak tidak sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat sehingga perlu ditinjau
kembali.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Undang-undang


Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial tidak
memadai lagi dan perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


21

BAB III
RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIS

A. KESEJAHTERAAN SOSIAL

Telah banyak dipahami bahwa istilah Kesejahteraan Sosial dapat diartikan secara
luas dan secara sempit. Pengertian Kesejahteraan Sosial serta unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya menurut Romanyshyn (1971:3), kesejahteraan sosial
mencakup semua bentuk intervensi yang memiliki tujuan utama mendorong
peningkatan kesejahteraan individu dan masyarkat secara keseluruhan. Dia
menyamakan kesejahteraan sosial sebagai aktivitas pelayanan yang mencakup
penyembuhan dan pencegahan masalah-masalah sosial. Dengan kata lain,
kesejahteraan sosial sebagai sistem pelayanan sosial untuk mengatasi dan mencegah
gejala masalah sosial.

Adapun Compton (1980:34) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai


representasi tugas kelembagaan negara yang bertanggungjawab untuk membantu
individu dan lembaga-lembaga sosial lain untuk mendorong tingkat kesejahteraan
baik individu maupun keluarga. Lembaga-lembaga pelayanan sosial diciptakan
untuk memelihara tingkat keberfungsian sosial individu dan keluarga sehingga
mereka memiliki kapasitas untuk mengatasi masalahnya sendiri. Definisi ini secara
khusus, menekankan aspek ”institusional” (kelembagaan) negara sebagai pemain
utama kesejahteraan sosial. Definisi seperti ini pada umumnya digunakan oleh
penganut sistem negara kesejahteraan di Eropa.

Kedua definisi tersebut sesungguhnya sejalan dengan definisi kesejahteraan sosial


yang dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial pasal 2 ayat (1). Menurut UU ini,
kesejahteraan sosial adaloah "Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material
maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman
lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan
usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rokhaniah dan sosial yang
sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-
hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Di Indonesia, pengertian yang luas dinyatakan juga dalam penjelasan umum


Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974, yang berbunyi : "Lapangan kesejahteraan
sosial adalah sangat luas dan kompleks, mencakup antara lain aspek-aspek
pendidikan, kesehatan, agama, tenaga kerja, kesejahteraan sosial (dalam arti
sempit), dan lain-lain". Untuk Indonesia, agama - suatu unsur penting dalam

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


22

kehidupan manusia - ditangani oleh pemerintah, dan menjadi salah satu komponen
atau subsystem kesejahteraan sosial.

Jika diteliti dengan seksama, istilah kesejahteraan sosial dalam Undang-undang


Nomor 6 Tahun 1974 mengandung tiga macam pengertian, yaitu selain
kesejahteraan sosial secara luas dan sempit, kesejahteraan sosial juga diartikan
sebagai suatu kondisi. Hal ini terlihat dari pasal 1 yang berbunyi: "setiap
warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya... ". Jika
diartikan sebagai tata kehidupan dan penghidupan sosial seperti dimaksud dalam
pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974, kesejahteraan sosial
merupakan barang kolektif, sehingga tidak mungkin seseorang akan mempunyai
atau mengalami taraf kesejahteraan sosial yang berbeda dari orang lain, setidak-
tidaknya dalam lingkungan suatu wilayah tertentu. Jadi dalam pengertian yang
ketiga ini, lebih tepat kalau hanya digunakan istilah "kesejahteraan" saja, dalam arti
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan.

Rumusan-rumusan tersebut mengandung makna yang luas, tetapi yang kurang


difahami atau setidak-tidaknya jarang atau tidak pernah ditegaskan, adalah
komponen atau subsistem apa saja yang terkandung di dalam pengertian
Kesejahteraan Sosial secara luas tersebut. Kamerman & Kahn (1979) menjelaskan
enam komponen atau subsistem dari Kesejahteraan Sosial, yaitu : (1) pendidikan,
(2) kesehatan, (3) pemeliharaan penghasilan (income maintenance), (4) pelayanan
kerja, (5) perumahan dan (6) pelayanan sosial personal (personal sosial services).
Berikut penjelasan tentang masing-masing subsistem tersebut dalam konteks di
Indonesia :

• Pendidikan dan kesehatan, masing-masing merupakan sistem yang jelas dan


telah terlembagakan dengan baik, sehingga seolah-olah terpisah dari sistem
Kesejahteraan Sosial. Di Indonesia, kesehatan dan pendidikan masing-masing
merupakan jurisdiksi Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Sejalan dengan ini, ilmu kesehatan dan ilmu pendidikan juga
sudah merupakan ilmu yang mapan dan mandiri, tetapi pemenuhan kebutuhan
akan pendidikan dan pelayanan kesehatan, khususnya bagi mereka yang tidak
dapat memperolehnya secara langsung dengan kemampuan sendiri, merupakan
perhatian Kesejahteraan Sosial.

• Pemeliharaan penghasilan, yang merupakan kebutuhan pokok manusia dalam


dunia modern merupakan salah satu bidang utama Kesejahteraan Sosial.
Pemeliharan penghasilan ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu asuransi
sosial dan asistensi (bantuan) sosial. Jaminan sosial di Indonesia, khususnya
dalam bentuk pensiun, baru mencakup pegawai negeri sipil dan ABRI. Di luar
kelompok ini, jaminan sosial hari tua baru mencakup karyawan-karyawan
perusahan-perusahan swasta, tetapi bentuk jaminan sosial ini belum berupa
pensiun, suatu cara pemeliharaan penghasilan untuk hari tua yang penting.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


23

Adapun asistensi sosial telah dilaksanakan dan merupakan salah satu tanggung
jawab Departemen Sosial.

• Penyediaan perumahan, dalam arti fisik, tentu saja merupakan bidang profesi
atau ilmu lain yaitu arsitektur. tetapi pemenuhan kebutuhan manusia akan
perumahan untuk meningkatkan "the well-being of individual and the society as
a whole" (Romansnyshyn, 1971 :3) jelas merupakan bidang Kesejahteraan
Sosial. Di Indonesia, penyediaan perumahan, khususnya melalui Perumnas,
dilaksanakan oleh Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat, tetapi untuk
golongan masyarakat yang kurang mampu, Departemen Sosial juga telah ikut
berperan serta dalam pemugaran perumahan mereka.

• Pelayanan kerja, mungkin dapat merupakan bagian ilmu pendidikan. tetapi


kalau pelayanan kerja terutama dimaksudkan untuk memberikan latihan kerja
dengan tujuan agar orang dapat memperoleh, atau memperoleh kembali,
pekerjaan agar kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi, maka pelayanan kerja lebih
tepat menjadi bagian dari sistem Kesejahteraan Sosial. Di Indonesia, pelayanan
kerja merupakan tanggung jawab utama Departemen Tenaga Kerja, tetapi
seperti halnya dalam pelayanan perumahan, untuk beberapa golongan
masyarakat yang kurang beruntung, Departemen Sosial juga telah memberikan
sumbangannya dengan menyelenggarakan latihan-latihan keterampilan.

• Pelayanan sosial personal, adalah pelayanan-pelayanan yang berkaitan dengan


kebutuhan-kebutuhan dan kesulitan-kesulitan yang menghambat
keberfungsisosialan individu secara maksimum, serta menghambat
kebebasannya untuk mengembangkan kepribadiannya dan untuk mencapai
aspirasinya melalui hubungan dengan orang lain; kebutuhan-kebutuhan yang
secara tradisional ditangani oleh tindakan perorangan atau keluarga; kebutuhan-
kebutuhan yang biasanya diserahkan pada tanggung jawab individual; dan
kebutuhan-kebutuhan yang memerlukan tingkat penyesuaian proses pertolongan
yang tinggi ketimbang keseragaman pertolongan (Sainsbury, 1977). Walaupun
tidak selalu harus dilaksanakan oleh Pekerja Sosial sendiri, pelayanan sosial
personal merupakan bidang utama profesi Pekerjaan Sosial. dengan kata lain,
Pekerjaan Sosial merupakan profesi yang mempunyai tanggung jawab utama
dalam pemberian pelayanan sosial personal. Di Indonesia, Personal Sosial
Services, atau yang secara bebas diterjemahkan sebagai pelayanan sosial antar
pribadi, merupakan tanggung jawab utama Departemen Sosial. Kebutuhan akan
pelayanan sosial personal ini tidak hanya terbatas pada golongan miskin saja,
melainkan terdapat juga pada golongan kaya, seperti : kebutuhan akan
kelompok bermain, tempat penitipan anak, 'day care center' untuk para lanjut
usia, dan sebagainya.

Pelbagai gagasan dan teori tentang kesejahteraan sosial pada dasarnya adalah
refleksi dari suatu kondisi yang diidealkan atau diimajinasikan oleh para pemikir

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


24

dan pemegang kebijakan sosial. Gagasan-gagasan yang tertuang setidaknya,


menurut pandangan Midgley, mencerminkan tiga kelompok besar besar perspektif
kebijakan sosial, yakni perspektif institusional, residual dan pembangunan sosial.
Ketiganya mempertimbangkan peran negara, sektor swasta dan masyarakat dalam
menyediakan dukungan kelembagaan, anggaran dan tenaga profesional untuk
membantu penciptaan kesejahteraan sosial. Menurut James Midgley (Midgley,
2005) Kondisi kesejahteraan mencerminkan tiga elemen dasar, yakni 1) ketika
masyarakat dapat mengontrol dan mengatasi masalahnya; 2) jika masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya untuk hidup layak; 3) jika
masyarakat memiliki kesempatan untuk mengembangkan taraf hidup dan
potensi yang dimilikinya.

Peran pelbagai lembaga kesejahteraan sosial, baik pemerintah, lembaga-lembaga


masyarakat dan swasta adalah memastikan bahwa baik individu, keluarga, maupun
masyarakat dapat memenuhi ketiga elemen dasar kesejahteraan sosial tersebut.
Dengan demikian, maka pelayanan sosial dan program-program pengembangan
masyarakat akan berorientasi pada peningkatan kapabilitas individu dan masyarakat
untuk ”mampu mengatasi masalahnya”; mampu dan sanggup ”memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya” dan memiliki kesempatan dan mampu
”memanfaatkan dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya”. Dengan
demikian, perspektif kesejahteraan sosial yang ingin di bangun di Indonesia tidaklah
murni seperti konsep ”negara kesejahteraan” yang sudah berkembang di negara-
negara lain, melainkan menyesuaikan dengan konteks sosial, ekonomi, politik dan
budaya masyarakat yang ada.

Untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan tersebut diperlukan ketentuan-


ketentuan untuk mengaturnya. Prinsip-prinsip yang mengatur berbagai macam
program sosial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut disebut sebagai
kebijakan sosial (sosial policy). Para ahli mencatat beberapa perbedaan pengertian
mengenai istilah kebijakan sosial (sosial policy). Hall dan Midgley (2004) misalnya
menyebut tiga pengertian.

a. Sebagai sinonim dari intervensi pemerintah dalam penyediaan pelayanan sosial


bagi kalangan miskin dan fakir miskin. Gagasan tentang negara kesejahteraan di
Eropa pasca PD II berasal dari keyakinan bahwa negara memiliki
tanggungjawab paling besar dalam penyediaan pelayanan sosial. Model ini
selanjutnya disebut sebagai ”institutional welfare state” dan jika skala intervensi
pemerintah lebih kecil dan targeted disebut sebagai ”residual welfare state”.

b. Sebagai jaring pengaman sosial. Gagasan tentang hal ini merupakan jawaban atas
dampak sosial dari perubahan-perubahan kebijakan ekonomi. Program
diarahkan pada kelompok-kelompok tertentu (targeted) untuk mengatasi
masalah-masalah paling mendesak.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


25

c. Sebagai ”livelihood”, yakni sebuah kebijakan terencana ke arah perbaikan


kualitas kehidupan sosial masyarakat. Livelihood mencakup aktivitas, asset dan
akses terhadap pelbagai sumber daya yang secara keseluruhan menentukan
kualitas hidup baik individu maupun keluarga.

Pembangunan bidang kesejahteraan sosial merupakan bagian integral dalam


kesatuan sistem pembangunan nasional yang dilaksanakan searah, saling
menunjang, saling melengkapi dan saling menopang dengan pembangunan bidang-
bidang lainnya. Ruang lingkup pembangunan bidang kesejahteraan sosial adalah
bergerak dalam upaya yang mengarah kepada semakin meningkatnya taraf
kesejahteraan sosial masyarakat secara lebih adil dan merata.

Apabila pembangunan nasional secara menyeluruh berupaya untuk meningkatkan


kemajuan, kemampuan, kesejhateraan dan keadlian sosial, maka melaksanakan
pembangunan bidang kesejahteraan sosial diupayakan agar setiap orang
bagaimanapun kondisi objektifnya berkesempatan dan berkemampuan untuk
menikmati pelayanan pembangunan dan berperan serta dalam proses pelaksanaan
pembangunan.

Kelompok masyarakat yang cenderung berada pada titik yang paling jauh untuk
dapat menikmati pelayanan pembangunan dan berkesempatan berperan serta dalam
proses pelaksanaan pembangunan adalah para penyandang permasalahan
kesejahteraan sosial. Dengan demikian pada dasarnya pembangunan bidang
kesejahteraan sosial bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
sosial masyarakat, khususnya bagi mereka yang dikategorikan penyandang
permasalahan kesejahteraan sosial, agar mereka tidak tertinggal oleh warga
masyarakat lainnya. Oleh karena itu pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang
mengupayakan peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan keadilan sosial
merupakan salah satu aspek pembangunan kesejahteraan rakyat.

Upaya meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan dan keadilan sosial, terutama


bagi para penyandang permasalahan kesejahteraan sosial, pada dasarnya
menyangkut peningkatan berbagai aspek kehidupan manusia seperti : pangan,
sandang, perumahan, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, pemeliharan
penghasilan, pelayanan kerja, pelayanan sosial personal.dan lain sebagainya.
Dengan demikian pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial harus
melibatkan pembangunan bidang-bidang lainnya yang terkait, agar dapat mencapai
tujuan seoptimal mungkin. dengan kata lain pembangunan bidang kesejahteraan
sosial tidak akan terlaksana dengan baik tanpa keterlibatan dari pembangunan
bidang-bidang lainnya sebagai suatu kesatuan Kesejahteraan Sosial.

Usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan hukum
atau perundang-undangan, kebijakan serta program-program dan kegiatan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


26

pelayanan dan /atau pelayanan sosial atau intervensi sosial serta pengadaan atau
provisi yang mengindikasikan adanya organisasi formal yang mendapat dukungan
sosial.

Dalam pengertian sistem tersebut tercermin adanya interaksi dan keterkaitan antara
berbagai bidang di dalam sistem dan antara sistem usaha kesejahteraan sosial
dengan lingkungannya. Sehingga antara aspek-aspek hukum dan perundang-
undangan, kebijakan dan program-program serta kegiatan-kegiatan di bidang usaha
kesejahateraan sosial dan antara usaha kesejahteraan sosial dengan sistem eknomi,
politik, sosial, serta segenap aspek kehidupan masyarakat lainnya terjadi saling
berkaitan.

Pelayanan kesejahteraan sosial dilaksanakan melalui organisasi-organisasi formal,


baik pemerintah maupun swasta. Selain itu pelayanan kesejahteraan sosial
merupakan perwujudan dari nilai-nilai dan merupakan bagian dari sistem nilai
masyarakat. Oleh sebab itu usaha kesejahteraan sosial merupakan institusi dan
kegiatan yang berkembang di dalam, diterima, atau mendapat dukungan dari
masyarakat.

PERGESERAN PARADIGMA

Paradigma pembangunan kesejahteraan sosial pada masa yang akan datang


harus merespon perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial yang dinamis dan
semakin kompleks. Oleh karen itu, pada masa yang akan datang akan mengalami
pergeseran paradigma yang lebih bertumpu pada hak asasi manusia, demokratisasi
dan peningkatan peran masyarakat sipil dalam pelaksanaan pembangunan
kesejahteraan sosial yang lebih adil. Pergeseran paradigma tersebut sebagai berikut:

1. Pembangunan menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan. Paradigma


pembangunan pada masa lalu lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi
dan fisik material, serta menempatkan manusia sebagai obyek sehingga beresiko
terjadinya dehumanisasi dalam pelaku pembangunan. Keberadaan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial sebagai objek pembangunan kesejahteraan sosial,
memposisikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial sebagai penerima
bantuan sosial yang pasif dan diberikan atas dasar bersifat belas kasihan
(charity). Paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai
subyek pembangunan akan memposisikan Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial sebagai pelaku aktif dalam setiap langkah kegiatan yang ditujukan pada
dirinya dan memberikan apresiasi yang layak terhadap potensi dan sumber yang
dimilikinya.

2. Hasil pembangunan selayaknya dinikmati oleh seluruh masyarakat. Paradigma


pembangunan pada masa lalu, hasil-hasil pembangunan lebih dinikmati oleh
sebagian kecil kelompok masyarakat yang mampu sehingga beresiko terjadinya

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


27

kesenjangan sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan reformasi proses


pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat miskin melalui pemberian
kesempatan yang seluas-luasnya kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial untuk dapat akses terhadap sumber daya pembangunan, termasuk
kemudahan dalam memperoleh modal usaha, jaminan kesejahteraan sosial dan
perlindungan sosial secara berkelanjutan.

3. Pembangunan mengaktualisasikan potensi dan budaya lokal. Paradigma


pembangunan pada masa lalu cenderung menyeragamkan model pembangunan
dan mengabaikan potensi dan budaya lokal, sehingga beresiko ketergantungan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial terhadap bantuan-bantuan yang
datang dari luar dan pengabaian potensi sosial ekonomi yang dimiliki. Oleh
karena itu pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial selayaknya
diimplementasikan dengan menggali, mempertahankan dan mengembangkan
modal sosial, termasuk kearifan lokal. Nilai-nilai sosial budaya, seperti
kesetiakawanan sosial dan gotong royong, dioptimalkan sebagai modal dasar
dalam menciptakan tanggung jawab sosial. Peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial diwujudkan dalam
kerangka peningkatan tanggung jawab sosial masyarakat melalui peningkatan
peran aktif, kepedulian dan kemampuan masyarakat secara melembaga dan
berkelanjutan sesuai dengan potensi dan budaya lokal yang dimilikinya.

4. Pelayanan sosial dasar disediakan untuk semua warga negara. Paradigma


pembangunan pada masa lalu, pelayanan sosial dasar relatif hanya bisa
dijangkau oleh masyarakat yang mampu atau masyarakat miskin yang terseleksi
(narrow targeting approach). Pada masa yang akan datang, aksesibilitas
terhadap pelayanan sosial dasar seharusnya terbuka bagi semua pihak (universal
approach), termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang selama ini
termarginalkan.

5. Pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial menjadi komitmen


bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Paradigma
pembangunan pada masa lalu, terutama pada masa sentralistik, penanganan
kemiskinan menjadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan pemerintah
daerah cenderung sebagai pelaksana. Pada masa yang akan datang, seiring
dengan desentralisasi pembangunan dalam kerangka kebijakan otonomi daerah,
maka kebijakan, strategi dan program pemberdayaan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial menjadi kewenangan bersama antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, serta adanya pembagian peran yang jelas. Hubungan
pusat dengan daerah yang semula berdasarkan hubungan struktural akan
bergeser menjadi hubungan fungsional.

6. Pendekatan pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial


dilakukan secara individual, keluarga, kelompok, dan komunitas secara

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


28

terpadu. Paradigma pembangunan pada masa lalu, penanganan Penyandang


Masalah Kesejahteraan Sosial lebih ditekankan pada pendekatan kelompok.
Jenis bantuannya seragam dan berwujud barang/ peralatan. Pada masa yang
datang, pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial tidak hanya
dilakukan dengan pendekatan kelompok, melainkan juga melalui pendekatan
individu, keluarga, kelompok dan komunitas secara terpadu. Demikian juga
fasilitasi yang diberikan selayaknya lebih bervariasi sesuai dengan potensi dan
kebutuhan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, termasuk memberikan
akses pada sumber modal usaha dalam wujud uang.

Kelima prinsip pembangunan kesejahteraan sosial yang ingin dikembangkan


tersebut sesungguhnya mencerminkan “sebuah proses perubahan sosial terencana
untuk mendorong peningkatan kesejahteraan (well being) dari populasi penduduk
secara keseluruhan bersamaan dengan proses-proses dinamik pembangunan
ekonomi”. Ia dibedakan dari “pendekatan administrasi pelayanan sosial”.
Administrasi pelayanan sosial berupaya memecahakan masalah sosial melalui
penyediaan fasilitas layanan sosial, intervensi profesional, dan penyediaan bantuan
dan asuransi sosial. Lebih dari itu, pembangunan sosial berusaha mendorong
peningkatan kesejahteraan sosial sejalan dengan dinamika proses ekonomi yang
berkelanjutan. Ia berusaha mengintegrasikan pembangunan kesejahteraan sosial
dengan pembangunan ekonomi melalui beberapa pendekatan (Midgley, 2003):

Oleh karena itu fungsi kesejahteraan sosial adalah pencegahan, rehabilitasi,


pemberdayaan dan perlindungan sosial, serta pemberian bantuan dan jaminan
kesejahteraan sosial, sehingga pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan
kepada PMKS diharapkan dapat meningkatkan fungsi sosial anak, keluarga dan
komunitas agar aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar dapat diperoleh atau
ditingkatkan. Pada akhirnya dapat dicapai kondisi diman kualitas hidup dan taraf
kesejahteraannya dapat semakin meningkat dan dapat mencegah depresiasi kualitas
sumber daya manusia pada generasi selanjutnya
Dalam kerangka fungsi kesejahteraan seperti itu, maka kebijakan sosial diupayakan
dapat membentu terciptanya tatanan organisasi pada tingkat nasional yang
mengharmonisasikan kebijakan ekonomi dan sosial di dalam komitmen yang
komprehensif untuk pembangunan yang berkelanjutan dan berpusat pada
masyarakat (people-centered). Selain itu, kebijakan sosial diharapkan dapat
mengadopsi kebijakan ekonomi makro yang mendorong penciptaan lapangan kerja
dan pencapaian hasil-hasil pembangunan ekonomi berbasis masyarakat. Dlebih dari
itu, kebijakan sosial juga memastikan bahwa program-program sosial bersifat
”productivist” melalui pelbagai bentuk investasi yang diarahkan pada
pengembangan partisipasi masyarakat dalam ekonomi. Dengan kata lain, program-
program sosial hendaknya terkait langsung dengan proses pembangunan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


29

Berdasarkan kerangka konseptual kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial,


maka tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang akan dicapai adalah:

a. meningkatkan aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar dan fasilitas


pelayanan publik;
b. memulihkan kembali fungsi sosial;.
c. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas dan kelangsungan hidup;
d. meningkatkan kemampuan, tanggung jawab dan kepedulian masyarakat dalam
usaha kesejahteraan sosial;
e. meningkatkan ketahanan sosial keluarga dan masyarakat;
f. mencegah dan mengendalikan perkembangan masalah kemiskinan, masalah
sosial dan kerawanan sosial ekonomi;
g. memberikan perlindungan kepada anak-anak, perempuan, lanjut usia, dan
kelompok rentan lainnya dari situasi lingkungan yang buruk;
h. meningkatkan koordinasi dan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan
sosial; dan
i. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial yang bertumpu pada pemberdayaan


masyarakat, adalah individu, keluarga dan komunitas memungkinkan untuk
melakukan tindakan/ aksi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kemaslahatannya
(quality of life and wellbeing). Oleh karena itu, penggunaan strategi pemberdayaan
masyarakat dalam program pembangunan kesejahteraan sosial mempunyai
implikasi agar setiap kegiatan yang diciptakan bertumpu pada proses yang sifatnya
partisipatif (terakomodasinya aspirasi, terbuka pilihan-pilihan dan terlibatnya semua
komponen masyarakat/stakeholders).

Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia masih dihadapkan kepada upaya


peningkatan fungsi-fungsi sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial melalui
pendekatan dan intervensi profesi pekerjaan sosial, sehingga PMKS yang ada
ditingkatkan fungsi sosialnya agar mampu akses terhadap pelayanan sosial dasar.
Dalam hal ini, bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, persoalannya tidak
terpenuhinya pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, sandang,
pangan, papan, dan kebutuhan dasar lainnya. Dengan demikian pemenuhan
kebutuhan dasar bagi PMKS membutuhkan pengelolaan tersendiri, karena
jangkauan dan populasi sasaran yang luas dan membutuhkan koordinasi dan
kemitraan dalam pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar.

Departemen Sosial mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan


melalui pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang mengalami masalah
kesejahteraan sosial, rentan dan miskin. Selain itu adanya komunitas yang menjadi
objek pengaturan, baik komunitas penyandang masalah kesejahteraan sosial,
maupun komunitas sebagai potensi dan sumber kesejahteraan sosial untuk terlibat
aktif dalam penanganan masalah sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


30

Kebutuhan pengembangan potensi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,


seperti kesetiakawanan sosial, kegotong royongan, keswadayaan masyarakat
dan kelembagan-kelembagaan sosial / organisasi sosial, perlu diperkuat dan
difasilitasi oleh pemerintah melalui Departemen Sosial dan instansi sosial di
daerah, agar ketahanan sosial masyarakat tetap terpelihara.

Pada sisi lain keberadaan institusi sosial, dinas sosial/ dinas kesejahteraan sosial,
Orsos/ LSM di bidang kesejahteraan sosial, panti-panti sosial yang berada dalam
kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan swasta membutuhkan
peningkatan kapasitas, standarisasi dan suatu saat nanti perlu diakreditasi, sehingga
profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial dapat ditingkatkan.

Walaupun demikian, pemenuhan seluruh kebutuhan masyarakat untuk peningkatan


kualitas hidup dan kesejahteraan sosial tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada
masyarakat. Pemenuhan kebutuhan dasar (terutama pendidikan dasar, pelayanan
kesehatan dasar dan pelayanan kesejahteraan sosial) selayaknya merupakan
kewajiban pemerintah; karena masyarakat juga telah dibebankan membayar pajak
baik secara individu maupun melalui korporasi tempat bekerja. Pada kenyataannya,
pada masyarakat mana pun, selalu ada yang individu keluarga, kelompok atau
komunitas yang miskin, rentan atau mengalami masalah sosial karena memiliki
hambatan fungsi sosial (disfungsi fisik, mental, sosial budaya, psikologis, ekonomi,
geografis), yang pada akhirnya harus diatasi melalui program-program
pembangunan yang ditujukan kepada warga masyarakat yang dikategorikan kurang
beruntung tersebut, termasuk PMKS yang sudah dikenal selama ini.

Oleh karena itu, diberbagai negara telah dikenal skema/ kebijakan publik formal
(formal public schemes) yang dikelola oleh pemerintah yang mencakup Kebijakan
Subsidi Konsumen (consumers subsidies) dan Jaminan Sosial (sosial security).
Kebijakan subsidi saat ini yang sedang berjalan dalam bentuk program kompensasi
BBM.

Adapun sistem jaminan sosial mencakup program asuransi sosial (sosial insurance)
dan bantuan sosial (sosial assistance). Kegiatan ‘bantuan sosial’ ini sudah banyak
dilakukan oleh Departemen Sosial, walaupun ‘bantuan sosial’ yang dimaksud masih
sifatnya charity.

Diantara proses pemberdayaan dan sistem jaminan sosial, terdapat strategi


peningkatan inklusi sosial, yang dapat diartikan kemampuan untuk aksesibilitas
terhadap sumber pelayanan sosial. Dalam pekerjaan sosial, peran pekerja sosial
menjadi pembuka akses/ pemberi peluang (enabler) ditujukan dalam rangka
peningkatan inklusi sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


31

Pemberdayaan sosial, inklusi sosial dan jaminan sosial, merupakan dimensi-dimensi


pembangunan sosial (dalam pengertian terbatas menjadi dimensi pembangunan
kesejahteraan sosial) dalam rangka membantu masyarakat secara lebih adil, efisien
dan berkelanjutan (help make societies more equitable, efficient and sustainable).

Peran dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara proporsional dan jelas
posisinya, akan menghasilkan sistem perlindungan sosial (sosial protection) sebagai
basis dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Untuk membuat agar pembangunan kesejahteraan sosial dapat berkelanjutan, maka


3 (tiga) persyaratan utama, yaitu :

1. Pembangunan kesejahteraan sosial harus responsif (sosial responsive) terhadap


kebutuhan dan aspirasi masyarakat miskin dan kelompok rentan

Tindakan:
- Tidak masa bodoh terhadap permasalahan yang dialami penduduk miskin
- Reaksi cepat terhadap gejala degradasi, habisnya sumber daya dan bencana
sosial, karena penduduk miskin paling menderita
- Deteksi dini terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat
- Membangun kelembagaan yang efektif dalam pemberdayaan, jaminan dan
inklusi sosial.

2. Pembangunan kesejahteraan sosial harus dapat diandalkan (sosial reliable)


yang ditunjukkan oleh penyelenggaraan yang efisien dari apa yang diharapkan
dengan dibangunnya modal sosial.

Tindakan:
- Community-driven development
- Akuntabilitas sosial dan lingkungan
- Pendekatan terpadu untuk analisis sosial dan lingkungan
- Kelembagaan yang efektif dan bertanggungjawab (akuntabilitas publik)

3. Pembangunan kesejahteraan sosial harus melahirkan masyarakat yang


mempunyai ketahanan sosial (sosial resilient) terhadap situasi yang berisiko,
goncangan (schocks), darurat, krisis, tekanan sosial budaya, ekonomi dan
politik.

Tindakan:
- Pendekatan terpadu untuk analisis sosial, ekonomi, lingkungan dan
pemecahan masalah (termasuk pengembangan indikator sosial).
- Manajemen resiko sosial (termasuk manajemen konflik)

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


32

Seiring dengan semakin intensifnya kerjasama antar negara, baik melalui lembaga
PBB maupun yang bersifat langsung antar negara, khususnya dalam kaitan dengan
pembangunan sosial, telah disepakati berbagai komitmen global dan regional dalam
upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan setiap warga dunia.
Pada saat bersamaan berkembang pula berbagai issu global seperti HAM,
kependudukan, desentralisasi, debirokratisasi, civil society, kesetaraan gender,
pelestarian lingkungan hidup dsb. Dinamika sosial dimaksud berdampak sangat
mendasar dalam kehidupan sosial masyarakat dan menimbulkan perubahan sosial
yang cepat, yang dalam banyak hal belum mampu diimbangi oleh sebagian warga
masyarakat. Kondisi demikian merupakan potensi kearah tumbuh kembangnya
permasalahan sosial baru ditanah air seperti semakin maraknya peredaran obat
terlarang / Napza, tindak kekerasan dan berbagai tindak eksploitasi, keretakan
keluarga dsb disamping permasalahan sosial lainnya seperti kemiskinan,
ketelantaran, kecacatan dsb. Semua itu perlu direspon secara profesional dan
memperlakukan korban dari tindakan kejahatan atau penyimpangan perilaku secara
adil atau non diskriminatif

Disamping itu secara bersamaan dan proposional perlu juga diberikan perhatian
khusus terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dapat menimbulkan
dampak baik positif maupun negatif terhadap upaya untuk menjaga keutuhan NKRI.
Pada sisi lainnya upaya untuk meningkatkan kesadaran sosial, tanggung jawab
sosial dan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan
pembangunan melalui upaya pemberdayaan infra struktur kesejahteraan sosial
sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial akan terus
dikembangkan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Kesejahteraan Sosial dilaksanakan


berdasarkan prinsip kemanusiaan, keadilan sosial, kesetiakawanan sosial,
keterpaduan, responsif, inklusif, non diskriminatif dan menumbuhkan ketahanan
sosial. Sejalan dengan itu, semangat pembangunan sosial akan diturunkan kedalam
program-program yang sejalan dengan karakter pembangunan sosial yang
bernuansa investasi sosial. Dengan kata lain, program-program sosial dipahami
sesungguhnya sebagai sebuah investasi sosial.

a. Investasi pada modal manusia (human capital)


Investasi mada modal sumberdaya manusia memiliki positif kepada masyarakat
secara keseluruhan dan kepada pembangunan ekonomi. Investasi pada
pengembangan SDM melalui pelbagai program pendidikan dengan demikian
perlu diprioritaskan. Model ini sebanarnya sudah dilaksanakan dalam model
”pelayanan sosial”, misalnya lewat program-program rehabilitasi sosial, tetapi
perlu lebih dikembangkan.

b. Investasi dalam program-program penciptaan lapangan kerja

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


33

Para penerima (beneficiary) pelayanan sosial yang ada saat ini sesungguhnya
membutuhkan untuk terlibat dalam progarm-program ekonomi secara langsung.
Mereka sebagian masih memiliki kemampuan untuk bekerja baik kepada orang
lain maupun membuka usaha mikro yang dikelolanya sendiri. Itulah sebabnya,
program-program semacam KUBE dan lainnya perlu lebih diberdayakan dengan
menyediakan program-program dukungan, baik pelatihan, magang kerja
maupun bantuan permodalan. Investasi pada program-program seperti ini akan
mendorong ”self-sufficiency” ekonomi dan sekaligus memfasilitasi PMKS
untuk berkontribusi kepada ekonomi.

c. Investasi dalam pembentukan modal sosial (sosial capital)


Modal sosial adalah jaringan sosial yang terlembagakan yang mendorong
integrasi komunitas. Ia merupakan suatu jalinan yang saling membantu dan
saling peduli (caring community) antar sesamanya baik pada dimensi sosial
maupun ekonomi. Investasi pada penguatan modal sosial akan memperkuat
ketahanan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Pengembangan program-program
pengorganisasian masyarakat, pengembangan masyarakat, dan koperasi mikro.
Model program ekonomi mikro melalui pendekatan kelompok pada saat yang
sama akan memperkuat dan memberdayakan modal sosial ini.

d. Investasi dalam pengembangan asset (asset development)


Kemiskinan bukanlah sekedar masalah kurangnya pendapatan dan terbatasnya
akses pada pelbagai fasilitas yang terkait dengan kebutuhan minimum
kesejahteraan (basic need). Lebih dari itu kesejahteraan berkaitan dengan tingkat
kepemilikan individu dan keluarga atas asset nyata (tangible asset), seperti
tabungan (dan bentuk-bentuk asset finansial lain), rumah, kendaraan, tempat dan
modal usaha. Sebab ”kekayaan” sebagai lawan dari ”kemiskinan” bukanlah
diukur dari tingkat konsumsi dan pendapatan saja, melainkan dari seberapa
besar asset yang dimilikinya. Pemerintah perlu menyediakan investasi khusus
dalam bentuk insentif kepada kalangan miskin untuk membantu mereka
mengumpulkan asset melalui tabungan. Penggunaan tabungan yang ada hanya
diperbolehkan untuk tujuan-tujuan pengembangan kesejahteraannya.

e. Menghilangkan hambatan bagi partisipasi ekonomi


Pemerintah perlu menyiapkan serangkaian program untuk menyingkirkan
hambatan-hambatan bagi kalangan PMKS untuk berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi. Beberapa penghambat tersebut berbentuk prasangka
dan diskriminasi berdasarkan etnis, gender, usia, difabilitas, dan ras. Program-
program anti-diskriminasi dan affirmative action dapat mengurangi hambatan-
hambatan tersebut. Sebab, beberapa kelompok PMKS, seperti yang mengalami
kecacatan fisik, tunawisma, mengalami penyakit mental, pasti akan
membutuhkan perlakuan dan bantuan khusus agar mereka bisa mengembangkan
potensi dirinya.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


34

f. Investasi dalam program-program sosial yang efektif secara biaya


Program-program yang berwatak ”productivist” hendaknya dapat memanfaatkan
anggaraan biaya secara efektif. Penting dipahami bahwa progaram-program
tersebut adalah investasi sosial sehingga harus dikelola secara efisien. Program-
program yang kurang dikelola dengan baik akan menjauhkannya dari usaha
pengembangan partisipasi PMKS di dalam pembangunan ekonomi.

Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang
didalamnya memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang
kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak telantar) serta
sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan
flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia (Suharto, 2006b).
Sehingga kalau mau jujur, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham
“Negara Kesejahteraan" (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan
Partisipatif” (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan sosial
dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism. Model ini
menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah
sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial security), meskipun dalam
operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.

Dengan demikian, kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif


berbeda, meskipun substansinya tetap sama (Suharto, 2007b). Kesejahteraan sosial
pada intinya mencakup empat konsepsi, yaitu:

1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada


istilah kesejahteraan sosial (sosial welfare) sebagai kondisi terpenuhinya
kebutuhan material dan non-material. Midgley, et al (2000: xi) mendefinisikan
kesejahteraan sosial sebagai “...a condition or state of human well-being.”
Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena
kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan
pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan
dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

2. Sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia Baru, pelayanan


sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (sosial security),
pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal
(personal sosial services).

3. Sebagai tunjangan sosial yang, khususnya di Amerika Serikat (AS), diberikan


kepada orang miskin. Karena sebagian besan penenima welfare adalah orang-
orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi
negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan,
ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut “sosial il/fare” ketimbang
“sosial welfare”.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


35

4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan,


lembagalembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) dan menyelenggarakan
pelayanan sosial (pengertian ke dua dan ketiga).

Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera
(konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan
hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan,
pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian seperti ini menempatkan
kesejahtenaan sosial sebagai tujuan (end) dari suatu kegiatan pembangunan.
Misalnya, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
sosial masyarakat. Kesejahteraan sosial dapat juga didefinisikan sebagai arena atau
domain utama tempat berkiprah pekerjaan sosial. Sebagai analogi, kesehatan adalah
arena tempat dokter berperan atau pendidikan adalah wilayah dimana guru
melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Pemaknaan kesejahteraan sosial sebagai
arena menempatkan kesejahteraan sosial sebagai sarana atau wahana atau alat
(means) untuk mencapai tujuan pembangunan (Suharto, 2006b).

Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktivitas


pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat,
terutama kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups) (Suharto,
2006b). Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan sosial (sosial protection)
baik yang bersifat formal maupun informal adalah contoh aktivitas kesejahteraan
sosial. Perlindungan sosial yang bersifat formal adalah berbagai skema jaminan
sosial (sosial security) yang diselenggarakan oleh negara yang umumnya berbentuk
bantuan sosial (sosial assisslance) dan asuransi sosial (sosial insurance), semisal
tunjangan bagi orang cacat atau miskin (sosial benefits atau doll), tunjangan
pengangguran (unemployment benefits), tunjangan keluarga (family assisstance
yang di Amerika dikenal dengan nama TANF atau Temporary Assisstance for
Needy Families. Beberapa skema yang dapat dikategorikan sebagai perlindungan
sosial informal antara lain usaha ekonomi produktif, kredit mikro, arisan, dan
berbagai skema jaring pengaman sosial (sosial safety nets) yang diselenggarakan
oleh masyarakat setempat, organisasi sosial lokal, atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM).

Dalam RUU ini, Kesejahteraan Sosial diartikan sebagai proses atau usaha terencana
yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun
badan-badan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian
pertama) dan menyelenggarakan pelayanan sosial (pengertian ke dua dan ketiga),
terutama bagi masyarakat yang mengalami masalah sosial. Oleh karena itu, istilah
yang digunakan untuk nama RUU menjadi Kesejahteraan Sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


36

B. USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Di Indonesia, istilah kesejahteraan sosial pada umumnya diartikan hanya sebatas


sebuah kondisi sejahtera (definisi pertama). Oleh karena itu, untuk menunjukkan
bahwa makna kesejahteraan sosial juga bisa diartikan sebagai sebuah proses atau
sistem kegiatan di bidang pelayanan sosial, asistensi sosial dan tunjangan sosial
(definisi kedua, ketiga dan keempat), maka diperkenalkanlah istilah usaha
kesejahteraan sosial.

Usaha kesejahteraan sosial adalah serangkaian aktivitas yang terencana dan


melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan
masyarakat. Sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kondisi sejahtera, istilah
“kesejahteraan” sejatinya tidak perlu pakai kata “sosial” lagi, karena sudah jelas
menunjuk pada sektor atau bidang yang termasuk dalam wilayah pembangunan
sosial. Sektor “pendidikan” dan “kesehatan” juga termasuk dalam wilayah
pembangunan sosial dan tidak memakai embel-embel “sosial” atau “manusia”
(Gambar 1). Di negara lain, istilah yang banyak digunakan adalah “welfare”
(kesejahteraan) yang secara konseptual mencakup segenap proses dan aktivitas
mensejahterakan warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema
perlindungan sosial bagi kelompok yang tidak beruntung (Suharto, 2006b).

Gambar 1: Pembangunan Kesejahteraan Sosial sebagai Bagian Pembangunan


Sosial

Pertanyaannya: mengapa di Indonesia mesti menggunakan istilah kesejahteraan sosial?


Penggunaan kata “sosial” pada pembangunan kesejahteraan sosial dimaksudkan untuk

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


37

memberi penegasan bahwa pengertian “kesejahteraan” bukanlah semata-mata


menunjuk pada kemakmuran yang bersifat fisik atau ekonomi saja. Selain itu, kata
“sosial” juga digunakan untuk mempertegas bahwa kegiatan itu difokuskan untuk
mensejahterakan “orang banyak”, khususnya masyarakat yang kurang beruntung
(disadvantaged groups), seperti warga masyarakat yang mengalami ketelantaran,
kecacatan, korban tindak kekerasan, korban bencana, dan sebagainya.

C. FUNGSI PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Usaha kesejahteraan sosial memiliki arti strategis dalam penanggulangan masalah


sosial. Sedikitnya ada empat fungsi usaha kesejahteraan sosial dalam penanggulangan
masalah sosial.

1. Mempertegas peran penyelenggara negara dalam melaksanakan mandat


‘kewajiban negara’ (state obligation) untuk melindungi warganya dalam
menghadapi resiko-resiko sosial-ekonomi yang tidak terduga (sakit, bencana alam,
krisis) dan memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
yang lebih baik dan berkualitas.

2. Mewujudkan cita-cita keadilan sosial secara nyata. Pembangunan di bidang


usaha kesejahteraan sosial yang dilandasi prinsip solidaritas dan kesetiakawanan
sosial pada dasarnya merupakan sarana redistribusi kekayaan suatu daerah dari
kelompok berpenghasilan kuat (pengusaha, penguasa, pekerja mandiri) kepada
masyarakat berpenghasilan rendah. Melalui mekanisme perpajakan, pemerintah
daerah mengatur dan menyalurkan sebagian PAD-nya untuk menjamin tidak
adanya warga masyarakat yang tertinggal dan terpinggirkan oleh derap
pembangunan.

3. Mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan di bidang usaha kesejahteraan


sosial memberi kontribusi terhadap penyiapan tenaga kerja, stabilitas sosial,
ketahanan masyarakat, dan ketertiban sosial yang pada hakekatnya merupakan
prasyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Sebagai ilustrasi, program
perlindungan anak atau pelatihan remaja putus sekolah memperkuat persediaan dan
kapasitas angkatan kerja dalam memasuki dunia kerja. Stabilitas sosial merupakan
fondasi bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi, karena masyarakat yang
menghadapi konflik sosial sulit menjalankan kegiatan pembangunan.

4. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia atau IPM (Human


Development Index). Fokus pembanguna di bidang usaha kesejahteraan sosial
adalah pada pembangunan manusia dan kualitas SDM melalui perlunya pendidikan
dan kesehatan masyarakat, khususnya penduduk miskin.

Merujuk pada struktur pemerintahan, instansi pemerintah yang berperan menjalankan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


38

pembangunan kesehatan adalah Departemen Kesehatan, pembangunan pendidikan


adalah Departemen Pendidikan, pembangunan kesejahteraan sosial adalah Departemen
Sosial karena fungsinya lebih terfokus pada usaha-usaha peningkatan kesejahteraan
sosial sebagai bagian dari pembangunan sosial.

Di negara-negara maju, terutama yang menganut ideologi ‘negara kesejahteraan


(welfare state), pembangunan di bidang usaha kesejahteraan sosial merupakan wujud
dari kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin hak-hak dasar warga negara.
Secara harafiah, terjemahan bebas welfare state adalah ‘negara kesejahteraan’. Karena
sistem ini substansinya menunjuk pada pentingnya peran negara dalam pembangunan
kesejahteraan sosial, maka welfare state bisa pula diterjemahkan ‘kesejahteraan
negara’, dalam arti negara berperan aktif dalam mengembangkan kebijakan sosial yang
terutama difokuskan untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya yang lemah dan
kurang beruntung.

Di Indonesia, meskipun konstitusinya secara de jure (legal-formal) merujuk pada


sistem negara kesejahteraan, implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak
fakir miskin, anak telantar dan penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan
beragam tantangan. Selain pemahaman dan komitmen penyelenggara negara terhadap
pembangunan kesejahteraan sosial masih belum solid, faham neo-liberalisme yang
mengedepankan kekuatan pasar, investasi modal finansial, dan pertumbuhan ekonomi
agregat dianggap lebih menjanjikan kemakmuran dibandingkan dengan pendekatan
kesejahteraan yang mengedepankan keadilan sosial, investasi sosial dan penguatan
kapasitas sumberdaya manusia.

Sebagai contoh, menguatnya desentralisasi yang terutama digerakan oleh globalisasi


pada aras intemasional dan reformasi pada aras nasional, pada umumnya semakin
memperlemah pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Sebagian besar Pemerintah
Daerah (Pemda) lebih tertarik pada pembangunan ekonomi melalui penggenjotan
Pendapatan Asli Daerah. Sementara itu, kewajiban Pemda untuk memperhatikan
perlindungan sosial terhadap kelompok lemah cenderung semakin melemah. Ini antara
lain terlihat dari dipangkasnya anggaran pemerintah untuk bidang sosial, penggabungan
dan bahkan pengahapusan dinas-dinas sosial/kesejahteraan sosial, pengalihfungsian
panti-panti sosial, atau penempatan pejabat-pejabat inti pada lembaga-lembaga sosial
tanpa memperhatikan kompetensinya di bidang kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial.

D. PENDEKATAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Mengacu pada buku Charles Zastrow (2000), Introduction to Sosial Work and Sosial
Welfare, ada tiga pendekatan dalam UKS, yaitu perspektif residual, institusional, dan
pengembangan (Suharto, 2006b). Ketiga perspektif tersebut sangat berpengaruh dalam
membentuk model welfare state (negara kesejahteraan) yang merupakan basis
pembangunan kesejahteraan sosial, khususnya pemberantasan kemiskinan di negara--

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


39

negara demokratis. Thoenes mendefinisikan welfare state sebagai “a form of society


characterised by a system of democratic government-sponsored welfare placed on a
new footing and offering a guarantee of collective sosial care to its citizens,
concurrently with the maintenance of a capitalist system ofproduction” (Spicker,
1988:77). Meski dengan model yang berbeda, Inggris, Amerika Serikat, Australia dan
Selandia Baru serta negaranegara di Eropa Barat termasuk penganut welfare state.
Negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare
state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis (Spicker, 1978; 1995).

1. Pendekatan Residual

Pandangan residual menyatakan bahwa pelayanan sosial baru perlu diberikan hanya
apabila kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan baik oleh lembaga-lembaga
yang ada di masyarakat, seperti institusi keluarga dan ekonomi pasar. Bantuan
finansial dan sosial sebaiknya dibenikan dalam jangka pendek, pada masa
kedaruratan, dan harus dihentikan manakala individu atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan tadi dapat berfungsi kembali. Di Amerika Serikat, program-
program Bantuan Publik (public assistance), seperti Supplemental Security Income
(SSI), General Assistance, Medicaid, Food Stamps, Housing Assistance, dan Aid to
Families with Dependent Children (AFDC) - kini menjadi Temporary Assistance
for Needy Families (TANF) (Chambers, 2000), adalah beberapa contoh program
residual dalam penanggulangan kemiskinan.

Perspektif residual sangat dipengaruhi ideologi konservatif (berasal dari kata kerja
“to conserve”, “memelihara” atau “mempertahankan”) yang cenderung menolak
perubahan (Parsons et al, 1994; Zastrow, 2000). Menurut ideologi ini tradisi dan
kepercayaan yang berubah cepat akan menghasilkan dampak negatif, ketimbang
positif. Dalam konteks ekonomi, penganut konservatif melihat bahwa pemerintah
tidak perlu melakukan intervensi terhadap bekerjanya pasar. Daripada mengatur
bisnis dan industri, pemerintah lebih baik mendukungnya melalui pemberian
insentif pajak. Ekonomi pasar bebas adalah cara paling baik untuk menjamin
kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan individu. Welfare state yang berwajah
rudimentary, selektivitas dan melibatkan pendekatan means-tested kemudian
diyakini oleh para residualist sebagai model yang tepat dijalankan dalam sistem
kesejahteraan sosial suatu negara (lihat Spicker, 1995; Suharto, 2005c).

Perspektif residual sering disebut sebagai pendekatan yang "menyalahkan korban”


atau blaming the victim approach. Masalah sosial, termasuk kemiskinan,
disebabkan oleh kesalahan-kesalahan individu dan karenanya menjadi
tanggungjawab dirinya, bukan sistem sosial. Metoda pekerjaan sosial dalam
mengatasi masalah sosial melibatkan pendekatan klinis dan pelayanan langsung
yang ditujukan untuk membantu orang menyesuaikan din dengan lingkungannya.
Program-program pengentasan kemiskinan yang bergaya Jaring Pengaman Sosial
(JPS) atau subsidi BBM adalah “anak kandung” faham residual. Penenima

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


40

pelayanan sosial dianggap sebagai klien, pasien, orang yang tidak mampu
menyesuaikan din atau bahkan penyimpang (deviant) (Parsons et al, 1994).

2. Pendekatan Institusional

Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan sosial sebagai


charity for unfortunates, pendekatan institusional melihat sistem dan usaha
kesejahteraan sosial sebagai fungsi yang tepat dan sah dalam masyarakat modern.
Pelayanan sosial dipandang sebagai hak warga negara. Program pengentasan
kemiskinan di AS yang berbentuk Asuransi Sosial (sosial insurance), semisal Old
Age, Survivors, Disability, and Health Insurance (OASDHI); Medicare;
Unemployment Insurance; dan Workers’ Compensation Insurance adalah
manifestasi dari pembangunan kesejahteraan sosial yang berbasis pendekatan
insitusional.

Perspektif institusional dipengaruhi oleh ideologi liberal yang percaya bahwa


perubahan pada umumnya adalah baik dan senantiasa membawa kemajuan (Parsons
et al, 1994; Zastrow, 2000). Masyarakat dan ekonomi pasar memerlukan pengaturan
guna menjamin kompetisi yang adil dan setara diantara berbagai kepentingan.
Karena negara dipandang merefleksikan kepentingan-kepentingan warganya
melalui perwakilan-perwakilan kelompok, maka pemerintah dibenarkan untuk
mengatur dan memberikan pelayanan sosial. Perspektif ini sangat mendukung
model welfare state yang bersifat universal. Program-program pemerintah, termasuk
program kesejahteraan sosial dipandang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar
kemanusiaan secara luas dan berkelanjutan. Seperti dinyatakan Zastrow (2000:14),
para penganut faham liberal meyakini bahwa “…….government regulation and
intervention are often required to safeguard human rights, to control the excess of
capitalism, and to provide equal chances for success. They emphasize
egalitarianism and the rights of minorities.” Menariknya, sikap seperti ini justru
berbeda dengan faham para ekonom pemuja neo-liberalisme yang cenderung
mendukung pasar bebas, globalisasi, dan laissez-faire policy sebagaimana dianut
para politisi dari kalangan konservatis.

Selain dipengaruhi ideologi liberal, perspektif institusional juga dekat dengan


ideologi radikal. Dalam konteks in perspektif institusional termasuk dalam gugus
pendekatan “yang menyalahkan sistem” (blaming the system approach) (Parsons, et
al, 1994). Individu dan kelompok dipandang sebagai warga negara yang sehat, aktif
dan partisipatif. Kemiskinan bukan disebabkan oleh kesalahan individu. Melainkan,
produk dari sistem sosial yang tidak adil, menindas, sexist dan rasis yang kemudian
membentuk sistem kapitalis. Metoda pekerjaan sosial yang sering digunakan
mencakup program-program pencegahan, pendidikan, pemberdayaan dan penguatan
struktur-struktur kesempatan. Tiga bentuk program pemerintah yang umum
ditekankan oleh pendekatan institusional meliputi: penciptaan distribusi pendapatan;
stabilisasi mekanisme pasar swasta; dan penyediaan “barang-barang publik” tertentu

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


41

(pendidikan, kesehatan, perumahan sosial, rekreasi), yang tidak dapat disediakan


oleh pasar secara efisien (Parsons et al, 1994).

3. Pendekatan Pengembangan

Selama bertahun-tahun, kaum liberal mengkritik pendekatan residual sebagai perspektif


kesejahteraan sosial yang tidak sejalan dengan prinsip kewajiban negara (state
obligation). Negara wajib menyediakan bantuan jangka panjang dan terstruktur kepada
konstituen mereka, terutama kelompok lemah, miskin dan kurang beruntung
(disadvantegd groups) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasannya secara
mandiri dan adekwat. Skema bantuan sosial residual yang mensyaratkan test
penghasilan (means-tested approach) dikritik sebagai sistem kesejahteran sosial yang
melahirkan stigma dan poverty trap kepada para penerimanya.

Skema pelayanan sosial means-tested umumnya hanya diberikan kepada orang miskin
yang memiliki pendapatan tertentu atau di bawah garis kemiskinan yang telah
ditetapkan. Misalkan garis kemiskinan yang ditetapkan adalah Rp. 100.000 per bulan.
Maka hanya orang yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan itulah yang berhak
menerima pelayanan sosial. Akibatnya, skema ini menimbulkan stigma, karena
penerima pelayanan sosial selalu diidentikan dengan orang miskin dan tidak mampu.
Apabila orang tersebut suatu ketika mendapat pekerjaan dengan upah, katakanlah Rp.
110.000 per bulan, secara otomatis dia harus melepaskan bantuan sosial yang
diterimanya. Kondisi ini sering memaksa para penerima pelayanan untuk tetap tidak
bekerja, terutama jika upahnya hanya lebih sedikit dari standar kemiskinan. Situasi
seperti inilah yang kemudian disebut sebagai “jebakan kemiskinan”, karena orang
miskin tenpaksa atau dipaksa untuk terus hidup di bawah garis kemiskinan.

Sebaliknya, kelompok konservatif juga tidak henti-hentinya mengkritik pendekatan


institusional. Pendekatan ini dipandang telah melahirkan model welfare state yang
boros, tidak ekonomis dan menciptakan ketergantungan kepada pemerintah yang
berkuasa. Para penerima pelayanan sosial menjadi malas, manja dan tidak mau bekerja
agar dapat memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyanakat.

Konsepsi pembangunan sosial yang diajukan Midgley (1995) dalam buku Sosial
Development: The Developmental Perspective in Sosial Welfare (1995)
menawarkan pendekatan alternatif, yakni perspektif pengembangan (developmental
perspective) yang memadukan aspek-aspek positif dari pendekatan residual maupun
institusional (Zastrow, 2000). Penspektif pengembangan ini sering disebut juga sebagai
pendekatan pembangunan sosial yang o!eh Midgley (1995:25) didefinisikan sebagai “a
process of planned sosial change designed to promote the well-being of population as a
whole in conjunction with a dynamic process of economic development.” Perspektif
pengembangan seja!an dengan ideologi liberal dan pendekatan institusional. Ia
mendukung pengembangan program-program kesejahteraan sosial, peran aktif
pemerintah, serta pelibatan tenaga-tenaga profesiona! dalam perencanaan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


42

Menurut Midgley (20055 : 205), selain memfasilitasi dan mengarahkan pembangunan


sosial, pemerintah juga seharusnya memberikan kontribusi langsung pada
pembangunan sosial lewat bermacam kebijakan dan program sektor publik. Perspektif
institusional membutuhkan bentuk organisasi formal yang bertanggungjawab untuk
mengatur usaha pembangunan sosial dan mengharmoniskan implementasi dari berbagai
pendekatan strategis yang berbeda. Organisasi seperti ini berada pada tingkat yang
berbeda tetapi tetap hams dikoordinasikan pada tingkat nasional. Mereka juga
mempekenjakan tenaga spesialis yang telah terlatih dan terampil untuk mendukung
tercapainya tujuan pembangunan sosial.

Pendekatan pengembangan juga tidak menentang ideologi konservatif dan pendekatan


residual, karena menyatakan bahwa pengembangan program-program kesejahteraan
sosial tertentu akan memiliki dampak positif terhadap ekonomi (Di AS, politisi aliran
konservatif umumnya menolak program-program kesejahteraan sosial karena
dipandang akan membawa dampak negatif terhadap pembangunan ekonomi) (Zastrow,
2000:15). Ini sejalan dengan ide Tittmus (1974), “embahnya” kebijakan sosial dan
pekerjaan sosial Inggris, yang berpendapat bahwa kesejahteraan sosial adalah “the
handmaiden of the process of production.” Agar tems hidup dan berjaya, masyarakat
hams memiliki beberapa piranti untuk memelihara keteraturan, mempertahankan
perubahan, menciptakan angkatan kerja yang kuat dan terampil, serta mereproduksi
dirinya sendiri untuk masa depan. Sistem kesejahteraan sosial memiliki fungsi untuk
mempromosikan investasi sosial semacam ini (Spicker, 1988; 1995). Menumt Gosta
Esping-Andersen, kebijakan sosial di Swedia telah mampu mendukung pertumbuhan
ekonomi dan tenaga kerja dan tidak hanya sekedar merespon kebutuhan sosial
(Midgley, 1995).

Dalam buku sebelumnya, The Sosial Dimensions of Development: Sosial Policy and
Planning in the Third World, Hardiman dan Midgley (1982) berpendapat bahwa
penanganan masalah sosial di Dunia Ketiga seharusnya lebih difokuskan kepada
kemiskinan, karena merupakan masalah dominan dan mempengaruhi permasalahan
sosial lainnya. Namun, mengingat kemiskinan di negara berkembang memiliki
karakteristik yang berbeda dengan negara-negara industri maju, maka strategi yang
digunakan di negara maju tidak dapat begitu saja diadopsi negara berkembang. Oleh
karena itu, selain menyatukan dua perspektif dan ideologi kesejahteraan sosial yang
tadinya berlawanan, perspektif pengembangan juga muncul sebagai reaksi terhadap tiga
strategi peningkatan kesejahteraan sosial, yakni filantropi sosial, pekerjaan sosial dan
administrasi sosial, yang dianggap Midgley terlalu didominasi oleh pendekatan residual
dan program-program sosial yang bersifat remedial dan kuratif.

Metoda pekerjaan sosial yang bermatra klinis, yang seringkali digunakan para pekerja
sosial di negara-negara maju, dipandang Midgley kurang tepat jika digunakan dalam
menangani kemiskinan. Sebagai ilustrasi, kemiskinan di AS banyak disebabkan oleh
faktor-faktor yang bersifat individual, seperti kesehatan yang buruk, kecacatan fisik,
kecacatan mental, masalah emosional, alkoholisme, penyalahgunaan narkoba (Zastrow,

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


43

2000) dan karenanya cocok jika ditangani dengan metode casework atau terapi individu
dan konseling. Sedangkan kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor-faktor
struktural, semisal KKN atau sistem pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial yang
kurang memadai. Midgley mengusulkan bahwa selain memerlukan program-program
penguatan sosial dan ekonomi dalam skala masyarakat, penanggulangan kemiskinan
perlu pula didukung oleh kebijakan ekonomi dan sosial pada skala nasional (Hardiman
dan Midgley, 1982; Midgley, 1995; lihat Suharto, 2005b).

E. PEMBANGUNAN DI BIDANG USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pada tahun 2002, Institute of Development Studies, University of Sussex di Inggiris


melakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk pemerintahan di negara-negara
berkembang di seluruh dunia (Suharto, 2007b). Hasil penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa dalam satu dasawarsa belakangan ini sedikitnya ada 63 negara
berkembang yang sedang mengalami gelombang pembahan formasi kekuasaan dari
pemerintahan sentralistik menuju pada sistem yang lebih dekat dengan warganya
(Thamrin, 2005). Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang
mengalami transformasi kekuasaan seperti itu. Sejak runtulmya Orde Baru, gelombang
reformasi telah mengubah format politik dan sistem pemerintahan di Tanah Air.
Kewenangan pemerintahan yang tadinya sangat terpusat di Jakarta kini semakin
terdistribusi ke pemerintahan di daerah-daerah melalui proses desentralisasi.
Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan
partisipasi warga dalam segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kesetaraan antar golongan, memperluas keadilan sosial dan memperbaiki
kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi representatif dan
partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah, karena
skala kedaerahan dan kedekatannya dengan komunitas lokal.

Namun dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu
tidak terlalu memuaskan. Umumnya, argumentasi pesimis menyatakan bahwa
desentralisasi hanya memperkuat elit-elit lokal, menyuburkan primordialisme,
‘mendaerahkan KKN (Kompsi, Kolusi dan Nepotisme)’ dan ‘meng-KKN-kan daerah’.
Bahkan argumentasi yang lebih psimis lagi menyatakan bahwa desentralisasi menyulut
disintegrasi bangsa.

Meskipun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, beberapa hasil penelitian


menunjukkan bahwa desentralisasi seringkali hanya menguntungkan penguasa dan
pengusaha setempat, bukan memperhatikan suara dan kepentingan kaum marginal.
Sebagaimana dikemukakan Gaventa (2005: 12), hambatan-hambatan kekuasaan,
pengucilan sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasitas organisasional kolektif
menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari desentralisasi. Mengutip
pengamatan Manor, Gaventa menyatakan “...belum ada bukti tentang elite lokal yang
lebih bijak dan baik hati ketimbang orang-orang yang berada di atasnya.”

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


44

Bukti empiris ini menunjukkan bahwa semakin banyak perhatian harus diberikan pada
cara-cara meningkatkan akuntabilitas dan daya responsif institusi-institusi
pemerintahan melalui pembahan desain kelembagaan dan pemberdayaan struktur-
struktur pemerintahan yang baik (good governance). Menguatnya embusan
desentralisasi membawa harapan dan tantangan tersendiri bagi proses dan pencapaian
tujuan-tujuan pembangunan kesejahteraan sosial. Tanpa good governance (tata
pemerintahan yang baik), desentralisasi akan lebih meminggirkan pembangunan
kesejahteraan sosial. Terutama pada masa transisi dan pencarian makna sejati
desentralisasi, pemerintahan di daerah cenderung lebih bergairah dalam meningkatkan
investasi ekonomi secepatnya daripada melakukan investasi sosial jangka panjang.

Tanpa sikap dan komitmen yang jelas mengenai makna good governance, desentralisasi
dapat menimbulkan jebakan-jebakan bagi strategi dan implementasi pembangunan
kesejahteraan sosial di daerah. Desentralisasi yang terutama digerakan oleh globalisasi
pada aras intemasional dan reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-isu yang
mempengaruhi perkembangan kesejahteraan sosial di daerah. Tanpa good governance,
maka desentralisasi dapat menimbulkan berbagai jebakan yang menghambat
pembangunan, khususnya di bidang kesejahteraan sosial. Ada tiga isu utama yang
mendasari aksioma ini (Suharto, 2007b).

1. Money follows function atau function follows money?

Idealnya, UU Pemerintahan Daerah yang baru berpedoman pada prinsip money


follows function, uang mengikuti kewenangan. Artinya, otonomi daerah tidak
ditentukan oleh seberapa besar Pendapatan Ash Daerahnya (PAD), melainkan oleh
kemampuannya menjalankan kewenangan sesuai dengan kebutuhan. Setiap daerah
dipersilahkan menentukan kewenangannya masing-masing. Namun dalam
praktiknya, prinsip function follows money seringkali lebih dominan. Pemda yang
memiliki prosentase PAD yang besar terhadap APBD-nya, memiliki kewenangan
yang besar. Sebaliknya, Pemda yang memiliki PAD yang rendah memiliki otonomi
yang rendah pula. Bahkan, jika PAD-nya hanya 5 atau 10 persen saja dari APBD,
Pemda dianggap tidak layak memiliki otonomi. Akibatnya, perlombaan
meningkatkan PAD lebih mengemuka ketimbang menjalankan (apalagi
meningkatkan) kewajiban membebani pelayanan dasar dan perlindungan sosial bagi
publik.

2. Pembangunan ekonomi dulu baru kemudian pembangunan kesejahteraan


sosial.

Keragaman sumberdaya manusia dan potensi ekonomi daerah kerapkali


menimbulkan pandangan generalisasi bahwa pembangunan kesejahteraan sosial
hanya perlu dilakukan oleh daerah-daerah yang memiliki kemampuan ekonomi
tinggi. Desentralisasi yang memberi kewenangan lebih luas pada daerah, kemudian
dijadikan momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-institusi sosial dan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


45

bahkan meniadakannya sama sekali. Alasannya: pembangunan kesejahteraan sosial


dianggap boros dan karenanya baru perlu dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi
(PAD) telah tinggi. Padahal, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa
kemampuan ekonomi tidak secara otomatis dan linier berhubungan dengan
pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 2006a). Dilihat dari kemampuan
ekonomi (GDP) dan prosentase pengeluaran sosial pemerintah terhadap GDP,
misalnya, hubungan antara keduanya melahirkan empat model negara:

a. Negara Sejahtera: kelompok negara yang memiliki GDP dan pengeluaran


sosial yang tinggi. Negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat adalah contoh
Negara Sejahtera.
b. Negara Baik Hati: negara-negara yang memiliki GDP relatif rendah, namun
pengeluaran sosialnya tinggi. Yunani, Portugis dan Sri Lanka termasuk kategori
ini.
c. Negara Pelit: kelompok negara yang memiliki GDP tinggi namun pengeluaran
sosialnya rendah. Amerika, Inggris dan Jepang memiliki GDP yang lebih tinggi
dari Yunani dan Portugis. Namun prosentase pengeluanan sosial terhadap GDP
di ketiga negara ini lebih rendah daripada Yunani dan Portugis.
d. Negara Lemah: negara-negara yang memiliki GDP dan pengeluaran sosial yang
rendah. Indonesia, Myanmar dan Kamboja adalah beberapa negara di ASEAN
yang masuk dalam kategori Negana Lemah.

3. Godaan lokalisme dan primondialisme

Sudah menjadi rahasia umum, di beberapa daerah, institusi-institusi kesejahteraan


sosial digabung, dirampingkan atau dihapus dengan alasan disesuaikan dengan
kebutuhan setempat. Tanpa menghiraukan konsepsi dan substansi kesejahteraan
sosial yang benan, ada suatu daerah yang menggabungkan bidang kesejahteraan
sosial dengan urusan kebakaran, pasar atau pemakaman. Di daerah yang lain lagi,
primordialisme yang terlalu dominan tidak jarang mengesampingkan prinsip
meritokrasi dan kompetensi sumberdaya kesejahteraan sosial. Dalam banyak kasus,
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial dipandang sebagai pos yang bisa diisi oleh
siapa saja dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang tidak relevan
sekalipun.

Berdasarkan analisis situasi di atas, diperlukan perubahan yang mendasar dalam hal
paradigma, kebijakan, strategi dan program-program pembangunan kesejahteraan
sosial pada masa yang akan datang. Hasil analisis retrospektif dan prospektif
disajikan dalam tabel berikut ini:

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


46

Tabel 1. Analisis Retrospektif dan Prospektif

Retrospektif Prospektif
- Orientasi kebijakan nasional - Orientasi kebijakan nasional bertumpu pada
bertumpu pada pertumbuhan ekonomi pembangunan sosial dan kesejahteraan (prosperity)
dan keamanan yang bersifat represif
- penyusunan kebijakan dan program/ proyek harus
- penyusunan kebijakan dan program/ didasarkan pada underlying causes dan basic factors,
proyek didasarkan pada immediate sehingga masalah struktural dapat diketahui dan
causes dijadikan dasar utama dalam menentukan kebijakan
nasional

- penyusunan kebijakan dilaksanakan - penyusunan kebijakan dilaksanakan secara


secara top-down dan sentralistik partisipatif/ indikatif melalui mekanisme bottom up
dan desentralistik

- pelayanan diberikan atas dasar - pelayanan yang dikembangkan pemerintah lebih


karikatif, charity, residual dan memperkuat upaya pencegahan, perlindungan HAM,
bantuan sosial pengembangan dan pemberian peluang agar
masyarakat dan pemerintah daerah dapat
menyampaikan aspirasinya dan menentukan pilihan-
pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraannya

- pemberian pelayanan didasarkan atas - prinsip pelayanan harus didasarkan pada prinsip
prinsip selektivisme (sesuai dengan universalisme, sesuai dengan konvensi-konsvensi
inputs APBN yang tersedia) international tentang perlindungan HAM kelompok
rentan, miskin dan marginal

- keberhasilan program/ proyek dilihat - keberhasilan program/ proyek dilihat dari pencapaian
dari pencapaian target administratif/ target fungsional (outcomes dan impact)
fisik (outputs)
- tenaga pelaksana berbasiskan pada pekerja sosial
- tenaga pelaksana berbasiskan (sosial worker) dan tenaga kesejahteraan (welfare
voluntarism worker)

- pelayanan kesejahteraan sosial - pelayanan kesejahteraan sosial dilaksanakan secara


dilaksanakan parsial terhadap terintegrasi dengan sektor yang memberikan
pelayanan sosial dasar pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan,
perumahan, pangan, air bersih, lapangan kerja, dan
pelayanan spesifik dasar lainnya)
-
- struktur organsisasi kelembagaan - struktur organisasi kelembagaan pemerintah harus
pemerintah didasarkan pada didasarkan pada ‘field of sosial welfare’ sehingga
pendekatan fungsi kesejahteraan mudah dipahami oleh masyarakat dan pemertintah
sosial (bantuan sosial, rehabilitasi, daerah serta dapat melaksanakan fungsi-fungsi
pembinaan) kesejahteraan sosial secara terintegrasi.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


47

F. RUANG LINGKUP BIDANG USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Masalah sosial di Indonesia, berkembang sangat dinamis mulai dari anak sampai
keluarga yang tidak sesuai norma agama, norma moral, norma hukum, norma keluarga,
dan/atau norma lainnya dalam kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut saling
mempengaruhi penanganan semakin kompleks.

Berbagai masalah sosial yang terjadi disebabkan antara lain derasnya migrasi, pengaruh
globalisasi, melemahnya norma-norma kehidupan masyarakat, sehingga menurunnya
kualitas mental masyarakat dan kesetia-kawanan sosial, yang berimplikasi pada
kemiskinan, kerawanan sosial, keter-lantaran, kecacatan, ketunaan sosial, tindak
kekerasan, bencana sosial, dan berkembang berbagai penyakit sosial dalam kehidupan
masyarakat. Sehubu-ngan hal tersebut, usaha kesejahteraan sosial menjadi penting
dalam upaya mencegah dan penanggulanan masalah sosial, memulihkan fungsi sosial,
mengembangkan potensi sosial, memberdayakan sumber daya sosial, dan melindungan
dari kerawanan sosial.

Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, pencegahan dan/atau penanggulangan


masalah sosial menjadi urusan wajib pemerintahan daerah sebagai-mana diatur dalam
undang-undang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, penyele-nggaraan usaha kesejahteraan
sosial dimaksudkan untuk meningkatkan kesejah-teraan sosial masyarakat, dan
meningkatkan pelayanan sosial yang juga merupa-kan bagian dari tujuan pembangunan
nasional. Usaha kesejahteraan sosial tersebut ditujukan kepada :

1. Kesejahteraan Keluarga

Tujuan diselenggaraan usaha kesejahteraan keluarga adalah (1) membangun


ketahanan sosial keluarga untuk mampu meningkatkan dan memelihara
keharmonisan dan kualitas sumber daya keluarga; (2) meningkatkan akses keluarga
terhadap pelayanan kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan,
pendidikan, lapangan kerja dan fasilitas pelayanan publik serta sistem jaminan
sosial; dan (3) meningkatkan kepedulian masyarakat, potensi dan sumber sosial
serta sumber daya ekonomi untuk pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif
dan budaya kewirausahaan bagi keluarga, terutama keluarga miskin.

Sasaran penyelenggaraan usaha kesejahteraan keluarga miskin termasuk keluarga


yang mengalami masalah sosial psikologis, keluarga muda, dan calon keluarga
muda yang rawan sosial ekonomi serta keluarga yang ber-mukim di daerah kumuh.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui bantuan sosial, pemberdayaan


keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, partisipasi, kemitraan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


48

dan kerjasama dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan/LSM, dunia usaha dan


lembaga-lembaga pelayanan kesejahteraan sosial keluarga, pengembangan budaya
kewirausahaan, desentralisasi pelaksanaan program dan integrasi pelayanan dalam
perlindungan hak-hak anak dan perempuan.

Usaha-usaha kesejahteraan sosial mencakup : (1) penyuluhan sosial keluarga


sejahtera dan bimbingan sosial pengasuhan anak; (2) manajemen kasus, konsultasi
keluarga dan bimbingan mental-psikologis dalam ‘family peservation program’; (3)
penjangkauan (outreach program) atau pelayanan kunjungan ke rumah (home
visiting services) (4) bimbingan keterampilan usaha/ kerja dan kewirausahaan, serta
bantuan stimulan usaha ekonomis produktif dalam kelompok usaha bersama
(KUBE) terutama bagi keluarga fakir miskin dan keluarga muda rawan sosial
ekonomi; (4) pengembangan teknologi tepat guna dalam kegiatan usaha ekonomi
produktif; (5) akses kredit usaha dan sistem perbankan, (6) pemasaran sosial (social
marketing) dan pengembangan sistem rujukan; (7) pengembangan ‘community
centre’; dan (8) untuk memelihara taraf kesejahteraan keluarga, juga dilakukan
kegiatan peningkatan akses terhadap sistem jaminan sosial dan bantuan sosial untuk
kelangsungan pendidikan anak, serta peningkatan kesehatan dan gizi keluarga

2. Kesejahteraan anak

Tujuan diselenggarakan usaha kesejahteraan anak adalah (1) meningkatkan


kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan anak agar hak-hak anak
terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial dapat terjamin
sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif serta
mencegah timbulnya gizi buruk; (2) mencegah dan menghindarkan anak dari tindak
kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan perlakuan diskriminatif yang
mengakibatkan hak-hak anak menjadi tidak ter-penuhi; dan (3) meningkatkan
kepedulian masyarakat dalam menangani anak yang mengalami masalah sosial di
lingkungan keluarga dan masyarakat.

Sasaran penyelenggaraan usaha kesejahteraan anak adalah anak terlantar termasuk


anak jalanan, serta teratasinya kasus-kasus anak yang terkena tindak kekerasan,
perlakuan salah, eksploitasi, pelecehan seksual, dan perlakuan diskriminatif, serta
penyalahgunaan narkotika khususnya bagi remaja.

Strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut yaitu melalui pemberdayaan
anak, keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan
kerjasama, peningkatan kapasitas pelayanan sosial, standardisasi pelayanan sosial
dan pengembangan kelembagaan pelayanan, desentralisasi pelaksanaan program,
respek terhadap prinsip umum Konvensi Hak Anak, yang meliputi non
diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, perhatian terhadap perspektif anak dan
integrasi pelayanan sosial dalam perlindungan hak-hak anak.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


49

Peningkatan kesejahteraan sosial anak dan remaja dilaksanakan melalui kegiatan :


(1) pelayanan alternatif dan penguatan lingkungan keluarga, antara lain pendidikan
dan pengasuhan anak, foster care, reunifikasi keluarga, adopsi, day care centre/
TPA atau Kelompok Bermain; (2) rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial dan
recovery fisik dan psikologis bagi anak-anak korban perlakuan salah dan tindak
kekerasan serta perlindungan khusus bagi anak-anak pengidap HIV dan penderita
AIDS; (3) standardisasi pelayanan dan peningkatan pelayanan kebutuhan dasar
(pendidikan, kesehatan, gizi, makanan, pakaian, rekreasi) melalui pusat
kesejahteraan sosial anak, melalui revitalisasi Panti Sosial Asuhan Anak, Panti
Sosial Petirahan Anak, Taman Penitipan Anak dan kelompok bermain atau
lembaga-lembaga pelayanan yang sejenis untuk memberikan pelayanan secara
terpadu dan komprehensif; (4) penyuluhan, aksi sosial dan pelembagaan budaya
melindungi hak-hak anak; (5) perlindungan khusus termasuk reintegrasi sosial dan
recovery fisik dan psikososial bagi anak-anak yang berada dalam situasi krisis,
seperti berada dalam situasi konflik perang dan anak-anak pengungsi, serta anak-
anak yang sedang mengikuti lembaga peradilan anak; (6) perlindungan sosial bagi
anak yang diekploitasi, termasuk anak yang dieksploitasi secara ekonomi, drug
abuse, eksploitasi seksual, diperdagangkan, trafficking dan abduction; (7)
pelayanan bagi anak-anak dari masyarakat adat dan terpencil atau kelompok
minoritas; (8) penjangkauan (outreach program), manajemen kasus, advokasi dan
pengembangan sistem rujukan melalui Lembaga Perlindungan Anak (LPA) atau
lembaga-lembaga perlindungan yang sejenis di tingkat nasional maupun di daerah
bekerjasama dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan / LSM. (9) kerjasama
international dalam pengembangan sistem perlindungan sosial bagi anak.

Khusus bagi para remaja dilakukan juga bimbingan keterampilan kerja/ usaha
untuk dapat hidup mandiri melalui pemberian bantuan stimulans usaha ekonomis
produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) melalui pusat kesejahteraan
sosial remaja atau pelayanan terpadu melalui Panti Sosial Bina Remaja (PSBR),
lembaga-lembaga keterampilan, dan sanggar belajar.

3. Kesejahteraan Perempuan

Kesejahteraan perempuan bertujuan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan


perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam pelayanan
dan usaha kesejahteraan sosial, sehingga kesetaraan dan keadilan gender dapat
terwujud.

Sasaran usaha kesejahteraan perempuan adalah meningkatnya kemampuan, peranan


dan kedudukan perempuan pada umumnya, termasuk ibu rumah tangga, perempuan
rawan sosial ekonomi, tuna sosial, agar menjadi perem-puan yang potensial
menjadi penggerak dan pimpinan usaha kesejahteraan sosial baik untuk diri sendiri
maupun dalam keluarga dan masyarakat.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


50

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu pelembagaan sensitivitas gender dalam setiap
aktivitas pembangunan, pemberdayaan perempuan dalam keluarga dan masyarakat,
kerjasama dan kemitraan dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan/LSM.

Setiap perempuan berhak memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama dalam
pendidikan dan pelatihan, pekerjaan, perlindungan terhadap keselamatan dan/atau
kesehatan berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan sesuai norma kehidupan
dan penghidupan yang layak dalam masyarakat. Setiap perempuan berkewajiban
menjaga harkat dan martabat dirinya dan keluarga serta kodratnya sebagai
perempuan dengan memperhatikan fungsi dan perannya dalam kehidupan keluarga
dan/atau masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Untuk mewujudkan hak dan
kewajiban perempuan diselenggarakan usaha kesejahteraan sosial kepada
perempuan yang tidak mampu, terlantar, dieksploitasi, dan diperdagangkan.

Komponen pelayanan usaha kesejahteraan perempuan baik yang diselenggarakan


Masyarakat maupun Pemerintah Daerah, melalui : (1) bimbingan sosial dan
keterampilan kerja/usaha; (2) pemberian bantuan modal ekonomis usaha produktif
secara kelompok usaha bersama (KUBE) dan pengembangan budaya
kewirausahaan; (3) bimbingan sosial motivasi dan bimbingan keterampilan sosial
dan kepemimpinan dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial; (4) peningkatan
status kepemilikan aset; (5) penyediaan sarana perawatan anak di tempat kerja dan
pemberian fasilitas dan kemudahan aksesibilitas terhadap sarana pelayanan publik
bagi ibu hamil maupun yang mengalami hambatan fungsi sosial, serta (6) advokasi
tentang hak-hak perempuan untuk menyelaraskan pemenuhan kebutuhan
reproduksi, produksi dan peranan perempuan dalam pembangunan.

Setiap institusi baik pemerintah maupun swasta yang menyelenggarakan pelayanan


umum atau mempekerjakan perempuan wajib menyediakan fasilitas yang memadai
bagi kepentingan perempuan.

4. Kesejahteraan Lanjut Usia

Tujuan diselenggarakan usaha kesejahteraan lanjut usia adalah : (1) mem-bangun


apresiasi terhadap lanjut usia untuk menjaga harkat dan martabatnya serta
memanfaatkan pengalaman dan keahliannya yang didukung oleh pengembangan
budaya yang menjungjung tinggi serta menghormati lanjut usia secara melembaga
dan berkesinambungan bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya; (2)
melindungi hak-hak lanjut usia dalam meng-akses fasilitas pelayanan publik melalui
pemberian kemudahan dan jaminan sosial.

Sasaran usaha kesejahteraan lanjut usia adalah tertanam, terpelihara dan


diamalkannya nilai-nilai kearifan, pengalaman dan keahlian penduduk lanjut usia
secara melembaga dan berkesinambungan pada generasi muda dan masyarakat pada
umumnya. Sasaran lain ditujukan kepada lanjut usia yang mengalami masalah sosial

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


51

psikologis, lanjut usia yang rawan sosial ekonomi, erta lanjut usia yang bermukim
di daerah kumuh.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan keluarga dan


masyarakat, kemitraan dan kerjasama dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan/
LSM, desentralisasi pelaksanaan program dan integrasi pelayanan dalam
perlindungan sosial bagi lansia.

Komponen kegiatan berupa pelayanan sosial yang diarahkan pada usaha


mewujudkan pelembagaan sistem perlindungan sosial bagi lanjut usia dalam
kehidupan bangsa melalui : (1) penyuluhan sosial melalui berbagai media dan
forum untuk meningkatkan apresiasi dan kepedulian keluarga, masyarakat,
organisasi sosial kemasyarakatan / LSM, dunia usaha dalam kegiatan berbagai
bidang, antara lain bidang kesehatan, keagamaan, ketenagakerjaan, pembinaan antar
generasi, pemukiman lanjut usia, pelembagaan hospitium, pelembagaan pelayanan
dan perawatan di panti sosial, pelembagaan peristirahatan dan rehabilitasi serta
penyelenggaraan hari lanjut usia nasional dan pengembangan peraturan perundang-
undangan kesejahteraan lanjut usia; (2) peningkatan fungsi panti sosial tresna
werdha menjadi pusat pelayanan dan perawatan lanjut usia untuk lingkungan
sekitarnya melalui pengembangan berbasiskan masyarakat; (3) peningkatan
kegiatan-kegiatan usaha ekonomi produktif dan kegiatan amal sosial keagamaan
secara terarah pada pemantapan kemandirian sosial ekonomi dan disesuaikan
dengan kemampuan, keahlian lanjut usia; (4) peningkatan kegiatan pendidikan,
kesenian, kebudayaan, pengisian waktu luang serta rekreasi dan wisata bagi lanjut
usia; (5) penyelenggaraan dan pengembangan akomodasi ‘hostel type’; (6)
perlindungan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan melalui sistem jaminan sosial
dan Lembaga kesejahteraan lanjut usia (LKL) atau lembaga perlindungan yang
sejenis di tingkat nasional maupun di daerah; (7) peningkatan upaya kesehatan jiwa
(psikogeriatri) dan perbaikan gizi, kesehatan mata, eksehatan gigi dan perawatan
kesehatan lanjut usia dalam keluarga; (8) pengembangan lembaga hospitium
terutama untuk perawatan lanjut usia yang menderita penyakit kronik yang
berprognosis dan atau yang menderita penyakit terminal: (9) peningkatan sarana dan
fasilitas khusus bagi lanjut usia meliputi keringanan pengobatan, pemberian
pelayanan dan sarana transportasi, sarana rekreasi dan olah raga, pemberian
kemudahan wisata, pemberian KTP seumur hidup.

4. Kesejahteraan Penyandang Cacat

Tujuan usaha kesejahteraan penyandang cacat dalam merehabilitasi sosial


penyandang cacat adalah: (1) meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja untuk
meningkatkan kualitas hidup dan taraf kesejahteraan sosial penyandang cacat; (2)
meningkatkan kepedulian masyarakat, potensi dan sumber sosial serta sumber daya
ekonomi untuk pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif dan budaya
kewirausahaan bagi penyandang cacat; (3) memelihara penghasilan dan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


52

kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui sistem jaminan sosial; (4)


meningkatkan aksesibilitas fisik penyan-dang cacat tubuh, cacat mental dan cacat
akibat penyakit kronis terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, fasilitas pelayanan
kesejahteraan sosial dan sumber daya ekonomi untuk kualitas hidup dan
kesejahteraannya; dan (5) meningkatkan aksesibilitas non fisik penyandang cacat
tubuh, cacat mental dan cacat akibat penyakit kronis dalam setiap pengambilan
keputusan kebijakan publik dan pelayanan sosial sesuai dengan perspektif
penyandang cacat.

Sasaran usaha kesejahteraan penyandang cacat adalah pulihnya fungsi sosial


penyandang cacat dan terbukanya kesempatan berusaha dan bekerja bagi
penyandang cacat produktif untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya
termasuk cacat veteran, yang meliputi penyandang cacat tubuh, cacat mental
(retardasi, cacat mental psychotik), tuna netra, tuna rungu wicara dan cacat eks
penderita penyakit kronis.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan penyandang cacat,


keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan
kerjasama dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan LSM, dunia usaha,
peningkatan kapasitas pelayanan, standardisasi pelayanan dan pengembangan
kelembagaan pelayanan serta integrasi pelayanan dalam perlindungan hak-hak
penyandang cacat.

Komponen kegiatan yang dilaksanakan meliputi (1) pelayanan sosial di rumah


(home care services) untuk konseling perlakuan dalam situasi di rumah, terapi fisik,
diagnosis dan perantara untuk penempatan dalam institusi sekolah, rujukan
pelayanan rehabilitasi sosial, lapangan kerja, pelayanan alat bantu khusus bagi
penyandang cacat dan aktivitas waktu luang; (2) pelayanan rehabilitasi dan
dukungan untuk melaksanakan kehidupan secara mandiri, meliputi usaha
bimbingan fisik, mental dan sosial, pelayanan protesa, refungsionalisasi motorik
dan mobilitas, terapi sikap dan perilaku; (3) jaminan perlindungan dan aksesibilitas
terhadap pelayanan sosial dasar dan fasilitas pelayanan publik; (4) bimbingan
keterampilan kerja, praktek belajar kerja serta pemberian bantuan usaha ekonomis
produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) serta pengembangan budaya
kewirausahaan; (5) standardisasi pelayanan rehabilitasi sosial; (6) pengembangan
sistem rujukan, advokasi dan pemberian kuota pekerjaan, serta bimbingan
resosialisasi dan penyaluran dengan mendayagunakan mekanisme Unit Pelayanan
Sosial Keliling (UPSK), Loka Bina Karya (LBK), dan Pusat Pelatihan Keterampilan
Kerja Penyandang Cacat serta lembaga pelayanan sosial lainnya.

Untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap hak asasi penyandang cacat


dilakukan penyuluhan dan peningkatan sensitivitas masyarakat kehidupan
penyandang cacat, advokasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga pendidikan
dan latihan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


53

5. Kesejahteraan tuna sosial

Tujuan utama usaha kesejahteraan tuna sosial adalah rehabilitasi tuna sosial melalui
: (1) meningkatkan fungsi sosial para tuna sosial agar menjadi warga masyarakat
berkualitas, produktif dan mandiri; (2) membangun mekanisme penanganan
masalah tuna sosial berbasiskan masyarakat untuk mencegah tumbuh
berkembangnya tuna sosial; (3) meningkatkan pemahaman per-orangan, keluarga,
kelompok sosial dan masyarakat, khususnya penyandang masalah sosial yang rawan
dan beresiko tinggi tertular HIV/AIDS, agar memiliki keamanan dan kemampuan
ketahanan dan daya tangkal mencegah dan menghindarkan diri dari HIV/AIDS. (4)
memberikan perlindungan tertular HIV/AIDS agar tidak dikucilkan keluarga
dan/atau masyarakat. Selain itu juga dilakukan penyuluhan penanggulangan HIV
dan AIDS kepada generasi muda dan para penyandang masalah sosial yang rawan
dan beresiko tertular HIV/AIDS maupun mereka yang sudah tertular HIV/AIDS dan
keluarganya. Disamping itu dilakukan pencegahan dan terhindarnya kelompok
masyarakat terutama yang rawan dari ketunaan sosial tersebut.

Sasaran kesejahteraan tuna sosial adalah gelandangan dan pengemis, eks narapidana
dan eks anak negara serta penyandang perilaku menyimpang lainnya dari kondisi
ketunaan.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan keluarga dan


masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan kerjasama dengan
organisasi sosial kemasyarakatan dan LSM, peningkatan kapasitas pelayanan,
standardisasi pelayanan dan pengembangan kelembagaan pelayanan, peningkatan
kontrol sosial masyarakat dan penanaman nilai-nilai agama, perlindungan sosial
dari, oleh dan untuk keluarga dan masyarakat, desentralisasi pelaksanaan program,
serta integrasi pelayanan dalam pelayanan rehabilitasi sosial.

Komponen kegiatan yang dilaksanakan meliputi (1) usaha pencegahan berbasiskan


masyarakat dan pelayanan sosial melalui pusat rehabilitasi tuna sosial berbasiskan
masyarakat, antara lain melalui ‘open house, ‘drop in centre’, pelayanan temporer
oleh masyarakat, pelayanan kunjungan ke rumah atau ‘outreach program’; (2)
pelayanan berbasiskan institusional atau sistem panti dengan menyelenggarakan
bimbingan fisik, mental, sosial, terapi sikap dan perilaku, dan bimbingan
keterampilan kerja/usaha praktek belajar kerja serta pemberian bantuan usaha
ekonomis produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) dan pengembangan
budaya kewirausahaan, resosialisasi dan bimbingan lanjutan; (3) manajemen kasus,
‘perservation program’ dan pengembangan sistem rujukan; (4) perlindungan sosial;
(5) standardisasi dan teknologi pelayanan rehabilitasi sosial; (6) peningkatan akses
sistem jaminan sosial dan bantuan sosial untuk kelangsungan pendidikan dan
kesehatan anak serta peningkatan gizi keluarga.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


54

Untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS akan dilakukan (1) penyuluhan atau
kampanye penanggulangan HIV/AIDS; (2) bimbingan sosial dan kegiatan
penjangkauan (outreach program); (3) peningkatan peran dan fungsi lembaga-
lembaga keagamaan dalam mencegah penyimpangan perilaku sosial pada anggota
masyarakat; (4) peningkatan kemampuan petugas konseling serta petugas
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); (6) pembentukan lembaga konseling; (7)
peningkatan sarana dan fasuilitas pelayanan sosial; (8) pengembangan “hotline
services”, dan (9) perlindungan kesejahteraan sosial bagi penderita HIV/AIDS.

Selain masalah ketunaan sosial tersebut, maka penyalah guna narkotika, obat-obatan
terlarang dan zat adiktif di Jakarta menjadi priorotas ditangani. Tujuan rehabilitasi
sosial bagi penyalahguna narkotika adalah: (1) memulihkan fungsi sosial korban
penyalahgunaan, kecanduan, ketergantungan, pemakai narkotika, obat-obat
terlarang dan zat adiktif, termasuk obat-obatan psikoaktif (stimulans, depresants,
hallucinogens dan marijuana); (2) meningkatkan ketahanan dan daya tangkal
masyarakat terhadap perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, obat-obat
terlarang dan zat adiktif

Sasaran yang akan dicapai adalah terhindar dan terbebasnya penyalahguna


narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya termasuk minuman keras, yang sudah
bebas/disembuhkan dari ketergantungan fisik ataupun yang masih dalam tahap
coba-coba dari kondisi kenakalan dan penyalahgunaan narkotika dan minuman
keras. Sasaran kegiatan pencegahan adalah seluruh remaja, keluarga dan masyarakat
terutama melalui mekanisme karang taruna dan lembaga sosial lainnya.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan keluarga dan


masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan kerjasama dengan
organisasi sosial kemasyarakatan dan LSM, dunia usaha, kepolisian dan perangkat
hukum dan perundang-undangan, peningkatan kapasitas pelayanan, standardisasi
pelayanan dan pengembangan kelembagaan pelayanan, desentralisasi pelaksanaan
program serta integrasi pelayanan dalam pelayanan rehabilitasi sosial.

Komponen kegiatan meliputi (1) pengembangan rehabilitasi sosial melalui


‘therapeutic communities dan halway house’; (2) pelayanan ‘out patient treatment’
dengan pendekatan pekerjaan sosial medis, pelatihan dan penempatan kerja; (3)
pelayanan sistem pemeliharaan fungsi sosial melalui klinik ‘methadone’ bagi
penyalah guna narkotika dan obat-obatan terlarang dan pelayanan melalui sistem
‘alcoholik anonymous’ untuk alkoholik, serta bimbingan mental keagamaan; (4)
pelayanan pemberian ‘antagonist drugs’; (5) pengembangan sistem peraturan dan
perundang-undangan yang ditujukan untuk pengawasan distribusi, lisensi dan
pengawasan terhadap usia pengguna dan sistem promosi; (6) pengembangan sistem
rujukan, resosialisasi dan bimbingan lanjut.; (7) standardisasi pelayanan dan
rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang dan
zat adiktif lainnya.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


55

6. Kesejahteraan bagi korban bencana dan musibah sosial

Tujuan usaha kesejahteraan sosial bagi korban bencana dan musibah sosial adalah
(1) meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan dalam penanggulangan bencana
dan muisbah sosial serta terhindarnya masyarakat dan hasil-hasil pembangunan
dari ancaman bencana dan musibah sosial; (2) meningkatkan bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar untuk penyelamatan korban akibat bencana alam dan korban
akibat bencana yang ditimbulkan ulah manusia atau korban kerusuhan sosial, serta
warga masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana dan musibah sosial; (3)
melindungi anak-anak, perempuan dan masyarakat rentan dari situasi krisis yang
diakibatkan bencana dan musibah sosial.

Sasaran yang akan dicapai adalah terlayaninya individu, keluarga dan kelompok
masyarakat yang terkena dampak dari terjadinya bencana, baik karena alam
maupun ulah manusia.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu partisipasi, kerjasama dan kemitraan dengan
Organisasi Sosial Kemasyarakatan dan LSM dalam penanggulangan bencana, serta
tranparansi dan akuntabilitas publik.

Kegiatan program ini meliputi (1) tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi;
(2) manajemen kasus dan konsultasi masalah psikososial (3) rekonstruksi,
kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan penyediaan data dan informasi; (4)
peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat; (5) peningkatan pengetahuan
dan keterampilan petugas Penanggulangan Bencana, (6) penyiapan perangkat keras
dan lunak, (7) pengembangan sistem rujukan dan pola pelayanan terpadu; serta (8)
perlindungan sosial bagi anak-anak, perempuan, dan masyarakat rentan lainnya.

7. Pengembangan sistem jaminan sosial bagi penyandang masalah sosial

Kegiatan ini bertujuan mengembangkan dan melembagakan sistem jaminan sosial


untuk memelihara, menjamin dan melindungi taraf kesejahteraan sosial masyarakat
khususnya kelompok masyarakat rentan dan masyarakat yang kurang beruntung
serta meningkatkan pengamalan nilai-nilai kesetiakawanan sosial.

Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya akses warga masyarakat terhadap
sistem jaminan sosial terutama mereka yang kurang mampu, mereka yang rentan,
penyandang cacat, lanjut usia terlantar, serta anak, perempuan dan lanjut usia
terlantar.

Strategi untuk mencapai tujuan yaitu advokasi, keterpaduan pelayanan dengan


sistem jaminan sosial pada umumnya, dan peningkatan akses semua individu,

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


56

keluarga dan masyarakat rentan atau yang tidak beruntung terhadap sistem jaminan
sosial.

Kegiatan pokok meliputi pengembangan kapasitas dan jangkauan pelayanan Sistem


Asuransi Sosial, termasuk Asuransi Kesejahteraan Sosial; Sistem Jaminan
Kesejahteraan Sosial Gotong Royong, dan Sistem Perlindungan Kesejahteraan
Sosial secara subsidi silang dari kelompok mampu membantu kelompok yang tidak
mampu.

Usaha kesejahteraan sosial dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan ber-


kesinambungan dengan mendayagunakan potensi sumber kesejahteraan sosial
secara optimal, dalam rangka penanggulangan masalah sosial. Oleh sebab itu,
penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah, akan tetapi juga merupakan tanggung jawab Keluarga, Organisasi
Sosial, Masyarakat, dan Dunia Usaha. Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan usaha
kesejahteraan sosial untuk mewujudkan kepastian hukum bagi Pemerintah dan
Masyarakat dalam penyelenggaran usaha kesejahteraan sosial.

G. HAK, TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN

Hambatan fungsi sosial dan hambatan struktural yang dialami PMKS


mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh akses terhadap
sistem pelayanan sosial dasar atau pelayanan publik lainnya, sehingga tidak dapat
mencapai taraf kualitas hidup dan kesejahteraan yang memadai. Dengan demikian
lahirnya PMKS pada hakikatnya ada warga negara yang tidak terpenuhi hak
dasarnya. Perlu dipahami bahwa setiap warga negara memiliki hak dasar sebagai
berikut :
(1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial
yang memungkinkan pengembangan potensi dirinya secara utuh untuk
mencapai taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya.

(2) Setiap warga negara berhak untuk dilindungi dari tindak kekerasan, fisik,
mental seksual, eksploitasi ekonomi dan seksual, diskriminasi, dan perlakuan
buruk lainnya yang dapat merendahkan derajat martabat kemanusiaannya.

(3) Warga negara yang tergolong miskin berhak memperoleh bantuan


pengembangan sosial ekonomi sehingga memiliki kemampuan untuk
memperbaiki taraf kesejahteraannya secara mandiri.

(4) Warga negara yang menjadi korban bencana alam, sosial, penelantaran serta
berada dalam situasi buruk lainnya berhak memperoleh bantuan dan jaminan
kesejahteraan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


57

(5) Warga negara yang memiliki hambatan fisik, mental, sosial dan ekonomi
berhak mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang sesuai dengan
martabat kemanusiaan.

(6) Warga negara yang berada di daerah terpencil dan terisolir berhak
memperoleh pelayanan kesejahteraan sosial khusus.

(7) Warga negara asing yang mempunyai masalah kemanusiaan yang berada
dalam wilayah Republik Indonesia, berhak mendapatkan pelayanan sosial
khusus dari pemerintah.

(8) Setiap warga negara yang termasuk anak-anak, perempuan, penyandang cacat
dan orang-orang usia lanjut, berhak menerima perlindungan dan bantuan yang
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka, serta berhak
menerima perlakuan yang memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan khusus
mereka.

Pengabaian hak-hak warga negara akan menciptakan permasalaha kesejahteraan


sosial. Oleh karena itu tanggung jawab setiap warga negara
a. menciptakan dan memelihara situasi yang kondusif bagi terselenggaranya
usaha kesejahteraan sosial;
b. memberikan perlindungan sosial bagi anak-anak, perempuan, penyandang
cacat dan orang-orang dengan lanjut usia;
c. mendukung terhadap kelancaran pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial;
dan
d. memberikan pelayanan terhadap orang-orang yang mengalami masalah
kemiskinan, masalah sosial dan membutuhkan perlindungan sosial di
lingkungannya sesuai dengan kemampuannya.

Mitra kerja pemerintah dalam usaha kesejahteraan sosial adalah Organisasi Sosial dan
Masyarakat, yang juga mempunyai tanggung jawab :
(1) Pengurus Organisasi Sosial bertanggung jawab membina dan mengembangkan
fungsi organisasi sesuai dengan fungsi dan wewenangnya.
(2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengurus Organisasi Sosial berkewajiban melaksanakan usaha kesejahteraan
sosial dan mengembangkan nilai-nilai kesetiakawanan sosial
(3) Peran serta masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial meliputi peran
perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi
kemasyarakatan lainnya dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan kesejahteraan sosial.
(4) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam
penyelenggaraan uaha kesejahteraan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


58

(5) Dunia usaha dapat berperan dalam pelayanan kesejahteraan sosial dengan
menyisihkan sebagian keuntungannya untuk menangani masalah kemiskinan,
masalah sosial dan memberikan perlindungan sosial.di wilayahnya.
(6) Tanggung jawab sosial pengusaha dilaksanakan dan dikembangkan secara
sinergis dan terpadu dengan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dikelola
pemerintah dan organisasi sosial.

Adapun tugas pemerintah dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial


meliputi:
a. penjaminan tersedianya akses pelayanan sosial yang merata untuk semua
warga negara ;
b. perlindungan, rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial;
c. fasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab
sosialnya;
d. peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber pelayanan kesejahteraan
sosial;
e. pelaksanaan analisis dan audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktivitas
pembangunan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan penelitian kesejahteraan sosial;
g. pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
kesejahteraan sosial; dan
h. pengalokasian anggaran pembangunan bidang penanggulangan kemiskinan,
perlindungan dan kesejahteraan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang memadai;
i. pengembangan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku tingkat nasional dan
internasional dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.

Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial meliputi:


a. penetapan kebijakan dan perencanaan bidang penanggulangan kemiskinan,
perlindungan dan kesejahteraan sosial selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional;
b. penetapan standar pelayanan minimum, registrasi, akreditasi dan sertifikasi
pelayanan kesejahteraan sosial;
c. penetapan kebijakan kerjasama dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan
sosial dengan negara-negara lain, badan-badan, atau pihak-pihak
internasional;
d. penyelenggaraan usaha-usaha kesejahteraan sosial dalam bentuk
pendampingan, bantuan kompensasi, asistensi dan jaminan kesejahteraan
sosial; dan
e. pengendalian pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial
masyarakat.

Pelaksanaaan tugas penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial pada tingkat

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


59

nasional dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan yang


dikoordinasikan oleh Menteri. Dalam melaksanakan tugas tersebut Pemerintah
dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu Pemerintah Daerah
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dan mengordinasikan pembinaan dan
pengembangan pelayanan sosial dasar, serta melaksanakan pelayanan kesejahteraan
sosial di wilayahnya. Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur,
membina, mengembangkan, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan
pelayanan kesejahteraan sosial di wilayahnya .

H. PELAKU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Kita meyakini bahwa bahwa kerjasama antara pelbagai komponen sosial akan
menentukan sukses pembangunan kesejahteraan sosial. Perspektif ini mendukung
gagasan ”pluralisme kesejahteraan” yang memberi ruang sangat luas bagi kontribusi
beberapa entitas sosial dalam penciptaan kesejahteraan sosial. Mereka mencakup
negara, masyarakat sipil, sektor swasta dan lembaga-lembaga pembangunan
international (Hall & Midgley, 2004).

1. Negara
Negara tetap memiliki peran sentral dalam perumusan regulasi, kebijakan,
penyediaan anggaran dan memfasilitasi pengembangan program kesejahteraan
sosial. Baik pemerintah pusat maupun daerah perlu membagi tugas dan
tanggungjawab dalam pelaksanaan kebijakan dan program. Pendekatan
pembangunan sosial tidak setuju dengan usaha reduksi peran negara dalam
kesejahteraan sosial.

2. Masyarakat sipil
Masyarakat sipil juga memiliki peran sangat penting dalam pengembangan dan
perbaikan kebijakan sosial dan implementasi program kesejahteraan sosial. Ia
mencakup Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga-lembaga dan
organisasi massa (ormas), dan organisasi-organisasi profesi. Ia dapat berberan
sebagai lembaga’relief’, pelksana pelayan publik, pengembangan masyarakat dan
pengorganisasi masyarakat.

3. Sektor Swasta
Sektor swasta belakangan semakin menunjukkan komitmen sosialnya untuk
membantu mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal itu telah menjadi semacam
komitmen tanggungjawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility).
Mereka menyediakan dana, keahlian dan sumber daya yang dapat digunakan untuk
pelbagai program pengembangan kesejahteraan sosial. Hal ini sejalan dengan
keinginan untuk menciptakan suatu pembangunan ekonomi yang sensitif pada
lingkungan dan keberlanjutannya.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


60

4. Lembaga-lembaga filantropi dan pembangunan internasional


Lembaga-lembaga filantropi dan pembangunan international perlu juga dihitung
sebagai salah satu komponen pelaku atau sumber daya kesejahteraan sosial. Mereka
bekerja lintas negara dan mengembangkan suatu model program pengembangan dan
pelayanan kesejahteraan sosial yang relatif baik. Lembaga-lembaga tersebut bisa
berbentuk lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
maupun berbentuk lembaga khusus yang dibentuk dalam kerangka bantuan resmi
pembangunan dari negara-negara maju (official development assistance). Mereka
dapat menjadi rekan kerjasama yang baik bagi pemerintah, kalangan masyarakat
sipil, dan swasta.

I. SASARAN DAN SUMBER KESEJAHTERAAN SOSIAL

Lingkup cakupan sasaran pembangunan kesejahteraan sosial ke depan akan


tetap mencakup permasalahan sosial dan sumber kesejahteraan sosial:

a. Permasalahan sosial

(1) Kemiskinan, meliputi kelompok warga yang menyandang ketidakmampuan


sosial ekonomi seperti keluarga fakir miskin atau warga yang rentan menjadi
miskin seperti keluarga rawan sosial ekonomi dan warga masyarakat yang
berdomisili di lingkungan kumuh.
(2) Ketelantaran, meliputi warga masyarakat yang karena sesuatu hal
mengalami ketelantaran fisik, mental dan sosial, seperti: (1) balita telantar,
(2) anak dan remaja telantar, termasuk anak jalanan dan pekerja anak, (3)
orang dewasa telantar, (4) keluarga bermasalah sosial psikologis, dan (5)
lansia telantar.
(3) Kecacatan, meliputi warga masyarakat yang mengalami kecacatan fisik dan
mental sehingga terganggu fungsi sosialnya, seperti: (1) cacat veteran, (2)
cacat tubuh, (3) cacat mental (retardasi, cacat mental psychotik), (3) tuna
netra, (4) tuna rungu wicara dan (5) cacat bekas penderita penyakit kronis.
(4) Ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, meliputi warga masyarakat
yang mengalami gangguan fungsi-fungsi sosialnya akibat
ketidakmampuannya mengadakan penyesuaian (sosial adjusment) secara
normatif, seperti: (1) tuna susila, (2) anak konflik dengan hukum/ nakal, (3)
bekas narapidana, (4) korban narkotika, (5) gelandangan; (6) pengemis dan
(7) korban HIV/AIDS dan (8) eks penyakit kronis telantar.
(5) Keterasingan/ keterpencilan dan atau berada dalam lingkungan yang buruk,
meliputi warga masyarakat yang berdomisili di daerah yang sulit terjangkau,
atau terpencar-pencar, atau berpindah-pindah, yang lazim disebut Komunitas
Adat Terpencil.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


61

(6) Korban Bencana Alam dan Sosial, meliputi warga masyarakat yang
mengalami musibah atau bencana, seperti: (1) korban bencana alam, dan (2)
korban bencana sosial yang disebabkan oleh konflik sosial dan
kemajemukan latar belakang sosial budaya.
(7) Korban Tindak Kekerasan, Eksploitasi dan Diskriminasi, meliputi warga
masyarakat yang mengalami tindak kekerasan, seperti: (1) anak yang
dilacurkan, diperdagangkan dan bekerja dalam situasi terburuk (2) wanita
korban tindak kekerasan, (3) Lanjut Usia korban tindak kekerasan; (4)
pekerja migran korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminatif.

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial mengalami hambatan fungsi sosial


(disfungsi sosial), seperti:
ƒ hambatan fisik (misal : kecacatan fisik, kecacatan mental),
ƒ hambatan ilmu pengetahuan (misal kebodohan, kekurangtahuan informasi),
ƒ hambatan keterampilan (misal tidak mempunyai keahlian yang sesuai
dengan permintaan lapangan kerja modern),
ƒ hambatan mental/ sosial psikologis (misal kurang motivasi, kurang percaya
diri, depresi/ stres),
ƒ hambatan budaya (misal mempertahankan tradisi yang kurang mendukung
kemajuan sosial/ modernisasi),
ƒ hambatan geografis (misal keterpencilan terhadap fasilitas pelayanan sosial
dasar)

Selain faktor-faktor internal yang menunjukkan hambatan fungsi sosial,


berkembangnya PMKS juga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang
bersifat struktural seperti kebijakan publik yang belum berpihak kepada
penduduk miskin,
dampak sosial negatif dari pembangunan ekonomi dan ketidakadilan sosial.

b. Potensi dan sumber kesejahteraan sosial

Dalam menangani permasalahan kesejahteraan sosial dilakukan dengan


mendayagunakan sumber kesejahteraan sosial :
(1) nilai kepahlawanan, kejuangan, dan keperintisan;
(2) nilai kesetiakawanan sosial dan kearifan lokal;
(3) tanggung jawab organisasi sosial/lembaga swadaya masyarakat;
(4) kepedulian sosial karang taruna dan organisasi kepemudaan sejenis
lainnya;
(5) kesukarelawanan sosial/ tenaga kesejahteraan sosial masyarakat;
(6) tanggung jawab sosial dunia usaha / korporasi;
(7) penggalangan dana sosial;
(8) ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesejahteraan sosial;

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


62

(9) sumbangan dan bantuan masyarakat; dan .


(10) potensi kesejahteraan sosial lainnya.

J. PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Dalam menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial, pemerintah dan/ atau


masyarakat dan mengupayakan :

a. pencegahan terjadinya permasalahan sosial melalui penyuluhan dan bimbingan


sosial;
b. peningkatan akses sumberdaya ekonomi, pelayanan sosial dasar, dan jaminan
kesejahteraan sosial;
c. pemberian bantuan sosial dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar,
mengembangkan usaha dan mendapat kemudahan dalam memperoleh
kesempatan berusaha;
d. pelayanan rehabilitasi sosial untuk memulihkan kemampuan realisasi diri,
fungsi fisik, relasi sosial, keterampilan sosial ekonomi dan peran-peran
sosialnya berdasarkan potensi diri dan sumber-sumber kesejahteraan sosial;
e. pemberdayaan sosial berdasarkan potensi budaya, adat istiadat, ilmu
pengetahuan dan kearifan lokal dan keterampilan yang dimiliki;
f. perlindungan sosial terhadap pemenuhan hak-hak dasar warga negara,
termasuk anak-anak dan perempuan untuk mendapatkan akses pelayanan
sosial dasar dan jaminan kesejahteraan sosial untuk peningkatan kualitas hidup
dan kesejahteraan sosialnya;
g. peningkatan prakarsa dan peran aktif warga masyarakat, terutama warga
masyarakat mampu dan dunia usaha dalam mencegah dan menanggulangi
masalah sosial;
h. mengkoordinasikan berbagai pelayanan sosial dasar agar mencapai sasaran
secara efektif dan efisien; dan
i. peningkatan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial dalam
mendayagunakan potensi dan sumber pelayanan kesejahteraan sosial.

Untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial, pemerintah dan/ atau masyarakat


mengembangkan usaha-usaha kesejahteraan sosial melalui:

a. investasi pada pengembangan sumber daya manusia;


b. investasi pada usaha mikro, kecil dan menengah;
c. investasi terhadap lembaga keuangan mikro;
d. fasilitasi pengembangan aset keluarga miskin;.
e. mendorong pengembangan modal sosial;
f. menghilangkan hambatan bagi partisipasi ekonomi masyarakat yang tidak
mampu; dan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


63

g. mengembangkan program-program sosial yang mendorong partisipasi


ekonomi.

Setiap jenis usaha kesejahteraan sosial dilaksanakan dengan :


a. menggunakan metode pekerjaan sosial dan/ atau metode lainnya yang relevan;
b. memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna;
c. dilaksanakan oleh pekerja sosial bersama profesi lain;
d. dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan; dan
e. dilaksanakan dalam wahana kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan.

Kelembagaan usaha kesejahteraan sosial dilaksanakan dalam bentuk:


a. perawatan dan pengasuhan dalam keluarga;
c. kelembagaan temporer;
d. panti sosial atau pusat pelayanan kesejahteraan sosial yang sejenis; dan
e. pusat pengembangan masyarakat.

K. PEKERJAAN SOSIAL DAN SUMBER DAYA KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pembangunan kesejahteraan sosial adalah domain utama para pekerja sosial. Sebagai
ilustrasi, domain utama pembangunan kesehatan adalah dokter, pembangunan
pendidikan adalah guru, pembangunan hukum adalah hakim (Suhanto, 2007b). Tentu
saja, ilustrasi ini tidak berarti bahwa hanya profesi-profesi itu saja yang berkiprah di
domain pembangunan sosial yang disebutkan. Karena kalau dipertajam dan
dispesialisasikan lagi, setiap domain pembangunan pada kenyataannya melibatkan
banyak profesi. Sebagai contoh, dalam pembangunan kesehatan, selain dokter telibat
juga perawat, bidan, psikiater dan bahkan pekerja sosial medis (medical sosial worker).
Pembangunan kesejahtenaan sosial juga melibatkan tidak hanya pekerja sosial,
melainkan pula psikolog, dokter dan psikiater. Namun, secara akademis sering
dinyatakan bahwa setiap profesi memiliki domain utama (primary setting) dan domain
kedua (secondary setting). Misalnya, kesehatan adalah primary setting bagi dokter,
bidan dan perawat; dan merupakan secondary setting bagi pekerja sosial. Sebaliknya,
kesejahteraan sosial adalah primary setting bagi pekerja sosial dan secondary setting
bagi dokter, guru atau polisi. Bila dipetakan, maka Gambar 2 memberi ilustrasi.

Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan
masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi
sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai
tujuan tersebut (Zastrow, 1999). Sebagai suatu aktivitas profesional, pekerjaan sosial
didasari oleh kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keahlian (body of
skills) dan kerangka nilai (body of values) yang secara integratif membentuk profil dan
pendekatan pekerjaan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


64

Gambar 2 : Domain Utama dan Kedua bagi Dokter dan Pekerja Sosial

Ketiga komponen tersebut dibentuk dan dikembangkan secara eklektik dari beberapa
ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, politik dan ekonomi. Nilai-
nilai, pengetahuan dan keterampilan pekerjaan sosial dapat dilihat dan definisi
pekerjaan sosial terbanu. Dalam Konferensi Dunia di Montreal Kanada, Juli tahun
2000, International Federation of Sosial Workers (IFSW) (Tan dan Envall, 2000:5)
mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut.

The sosial work profession promotes problem solving in human relationships, sosial
change, empowerment and liberation of people, and the enhancement of society.
Utilizing theories of human behavior and sosial systems, sosial work intervenes at the
points where people interact with their environments. Principles of human rights and
sosial justice are fundamental to sosial work.

Profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi
kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta
perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori penilaku manusia dan sistem-sistem
sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang
berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan
sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial.

Sebagai sebuah profesi kemanusiaan, pekerja sosial memiliki seperangkat ilmu-


pengetahuan (body of knowledge), keterampilan (body of skills) dan nilai (body of
values) yang diperolehnya melalui pendidikan formal dan pengalaman profesional.
Ketiga perangkat tersebut membentuk pendekatan pekerjaan sosial dalam membantu
kliennya. Secara konvensional, tugas utama pekerja sosial adalah melaksanakan
pelayanan kemanusiaan baik pada setting lembaga (seperti lembaga rehabilitasi
penyandang cacat, lembaga perlindungan anak, panti sosial bagi manusia lanjut usia),
maupun masyarakat (misalnya menjadi pengembang masyarakat atau community

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


65

developer yang menyelenggarakan program-program pemberdayaan komunitas lokal)


(Suharto, 2007b)

Dalam proses pertolongannya, peranan pekerja sosial sangat beragam tergantung pada
konteksnya. Secara umum pekerja sosial dapat berperan sebagai mediator, fasilitator
atau pendamping, pembimbing, perencana, dan pemecah masalah.

Dalam garis besar, ada empat tugas profesi pekerjaan sosial (lihat Suharto, 2006a dan
2006b; DuBois dan Miley, 2005:12):

1. Meningkatkan kapasitas orang dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien.


Dalam menjalankan peran ini, pekerja sosial mengidentifikasi hambatanhambatan
klien dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pekerja sosial juga menggali
kekuatan-kekuatan yang ada pada din klien guna mengembangkan solusi dan
rencana pertolongan.
2. Menggali dan menghubungkan sumber-sumber yang tersedia di sekitar klien.
Beberapa tugas pekerja sosial yang terkait dengan peran ini antara lain: (a)
membantu klien menjangkau sumber-sumber yang diperlukannya; (b)
mengembangkan program pelayanan sosial yang mampu memberikan manfaat
optimal bagai klien; (c) meningkatkan komunikasi diantara para petugas
kemanusiaan; dan (d) mengatasi hambatan-hambatan dalam proses pelayanan sosial
bagi klien
3. Meningkatkan jaringan pelayanan sosial. Tujuan utama dari peran ini adalah
untuk menjamin bahwa sistem kesejahteraan sosial berjalan secara manusiawi,
sensitif terhadap kebutuhan warga setempat dan efektif dalam memberikan
pelayanan sosial terhadap masyarakat.
4. Mempromosikan keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial.
Dalam menjalankan peran ini, pekerja sosial mengidentifikasi isu-isu sosial dan
implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Kemudian, pekerja sosial membuat
naskah kebijakan (policy paper) yang memuat rekomendasi-rekomendasi bagi
pengembangan kebijakan-kebijakan barn maupun perbaikan atau pergantian
kebijakan-kebijakan lama yang tidak berjalan efektif. Selain itu, dalam
melaksanakan peran ini, pekerja sosial juga bisa menterjemahkan kebijakan-
kebijakan publik kedalam program dan pelayanan sosial yang dibutuhkan klien.

Guna mengenal lebih jauh fungsi dan peranan pekerjaan sosial, di bawah ini disajikan
beberapa contoh bidang kesejahteraan sosial yang seringkali menjadi tempat
berkiprah para pekerja sosial.

• Keluarga dan pelayanan anak: penguatan keluarga, konseling keluarga,


pemeliharaan anak dan adopsi, perawatan harian, pencegahan penelantaran dan
kekerasan dalam rumah tangga
• Kesehatan dan rehabilitasi: pendampingan pasien di rumah sakit,
pengembangan kesehatan masyarakat, kesehatan mental, rehabilitasi vokasional,

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


66

rehabilitasi pecandu obat dan alkohol, pendampingan ODHA, harm reduction


programmes.
• Pengembangan masyarakat: perencanaan sosial, pengorganisasian masyarakat,
revitalisasi ketetanggaan, perawatan lingkungan hidup, kehutanan sosial,
penguatan modal sosial, penguatan ekonomi kecil.
• Jaminan sosial: skema asuransi sosial, bantuan sosial, sosial fund, JKSM, jaring
pengaman sosial.
• Pelayanan kedaruratan: pengorganisasian bantuan, manajemen krisis, informasi
dan rujukan, integrasi pengungsi, pengembangan peringatan diri masyarakat.
• Pekerjaan sosial sekolah: konseling penyesuaian sekolah, manajemen perilaku
pelajar, manajemen tunjangan biaya pendidikan, pengorganisasian makan siang
murid, peningkatan partisipasi keluanga dan masyarakat dalam pendidikan.
• Pekerjaan sosial industri : program bantuan pegawai, penanganan stress dan
burn-out, penempatan dan relokasi kerja, perencanaan pensiun, tanggungjawab
sosial perusahaan (corporate sosial responsibility).

Fokus atau objek formal Kesejahteraan Sosial adalah orang yang memerlukan
pemenuhan berbagai macam kebutuhan serta usaha untuk memenuhinya.
Kesejahteraan Sosial mencakup pengetahuan yang sistematis tentang orang dengan
berbagai macam kebutuhannya dalam hal pendidikan, kesehatan, pemeliharan
penghasilan, perumahan, pelayanan kerja, dan pelayanan sosial personal. Di
samping itu dalam Kesejahteraan Sosial tercakup pula kebijakan sosial yang
mengatur program-program Kesejahteraan Sosial dalam rangka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial. Dalam melaksanakan program program-program
Kesejahteraan Sosial ini diperlukan profesi Pekerjaan Sosial.

Pekerjaan Sosial sebagai profesi utama yang bertanggung jawab atas pelayanan
sosial, merupakan suatu keahlian yang didasari oleh berbagai macam ilmu
pengetahuan, sikap, falsafah dan nilai-nilai, serta keterampilan-keterampilan
tertentu. Ilmu pengetahuan yang mendasari Pekerjaan Sosial tersebut banyak
dipinjam dari ilmu-ilmu lain. Di samping itu juga telah dikembangkan konsep-
konsep yang khas bagi Pekerjaan Sosial sendiri.

Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk
membantu, baik secara perseorangan maupun di dalam kelompok untuk mencapai
kepuasaan dan ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial (Friedlander, 1961).
Adapun hubungannya dengan Usaha Kesejahteraan Sosial di Indonesia, dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 dinyatakan bahwa Pekerjaan Sosial adalah
semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana bagi pelaksanaan Usaha
Kesejahteraan Sosial.

Pekerjaan Sosial adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab
untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi-interaksi diantara orang

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


67

dengan lingkungan sosial sehingga memiliki kemampuan untuk menyelesaikan


tugas-tugas kehidupan mereka, mengatasi kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan
aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai mereka.

Adapun tujuan Pekerjaan Sosial yaitu untuk :


a. meningkatkan kemampuan orang untuk menghadapi tugas-tugas kehidupannya
dan kemampuannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
b. Mengkaitkan orang dengan sistem-sistem yang dapat menyediakan sumber-
sumber, pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan yang
dibutuhkannya.
c. Meningkatkan kemampuan pelaksanaan sistem-sistem tersebut secara efektif
dan berperikemanusiaan.
d. Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan dan perkembangan
kebijakan serta perundang-undangan sosial.

Pekerjaan Sosial berusaha menolong individu, kelompok dan masyarakat agar


mereka memahami secara tepat kondisi atau kenyataan yang mereka hadapi dan
mencoba meningkatkan kemampuan mereka untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Pada saat yang sama, Pekerjaan Sosial berusaha untuk memobilisir
sumber-sumber dan kekuatan-kekuatan sosial, baik untuk mengatasi gangguan
mental psikis dan tingkah laku maupun mendorong meningkatkan kondisi sosial
yang menguntungkan bagi pertumbuhan individu, kelompok dan masyarakat.

Dalam usaha pencapaian tujuan-tujuan pekerjaan sosial, fungsi-fungsi pekerjaan


sosial sebagai berikut :
a. Mengembangkan, memelihara dan memperkuat sistem kesejahteraan sosial,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia,
b. Untuk menjamin standar subsistensi kesehatan, dan kesejahteraan yang
memadai bagi semua warga masyarakat,
c. Membantu orang agar dapat berfungsi secara optimal di dalam institutsi-
institusi sosial maupun statusnya,
d. Menopang dan memperbaiki tertib sosial dan struktur kelembagaan
masyarakat.

Berdasarkan fungsi-fungsi pekerjaan sosial tersebut, dapat disimpulkan bahwa


fungsi-fungsi pekerjaan sosial adalah membangunan sistem kesejahteraan sosial
atau kesatuan-kesatuan masyarakat agar segenap lembaga-lembaga kesejahteraan
sosial dapat berfungsi secara optimal. Oleh karena itu Pekerja Sosial dituntut
kemampuannya untuk mempertemukan kapasitas-kapasitas orang dalam mengatasi
masalah-masalah kehidupan dengan lingkungan yang mendukungnya, sehingga
daripadanya dihasilkan sumbangan yang maksimal baik bagi pengembangan
potensi-potensi kemanusiaannya maupun bagi pengembangan lingkungan
masyarakat. Dengan demikian Pekerja Sosial memiliki tugas yang tidak ringan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


68

dalam melakukan pekerjaan sosial. Dalam hal ini, National Association of Sosial
Workers (NASW) merumuskan tugas Pekerja Sosial sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi, menganalisis, dan menginterprestasikan kebutuhan-
kebutuhan spesifik yang belum terpenuhi diantara individu-individu dan
kelompok-kelompok;
b. Memperbaiki dan meningkatkan hubungan tanggung jawab sosial antara
masyarakat dengan individu-individu anggotanya agar kebutuhan-kebutuhan
yang belum terpenuhi tersebut dapat terpenuhi dan lingkungan yang lebih
memuaskan dapat tercapai.
c. Menerapkan pengetahuan-pengetahuan spesifik, pengalaman-pengalaman,
serta penemuan-penemuan terhadap permasalahan-permasalahan yang dapat
dan perlu dipecahkan melalui program-program kesejahteraan sosial.

Berdasarkan kebijakan Departemen Sosial, maka pegawai yang telah memiliki


profesi pekerjaan sosial, diarahkan untuk menduduki Jabatan Fungsional pekerjaan
Sosial. Sebagai konsekuensinya telah diterbitkan Surat Edaran bersama menteri
Sosial RI dengan Kepala Badan Administrasi kepegawaian negara Nomor B/C-01-
VII-88/MS dan Nomor 17/SE/1988 tanggal 9 Agustus 1988 tentang Angka Kredit
Bagi Jabatan Pekerja Sosial. Dalam pengertian tentang Pekerja Sosial yang berhak
memperoleh jabatan fungsional tidak termasuk pekerja sosial yang bergerak pada
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang diselenggarakan swasta atau organisasi
non pemerintah (NGO), karena yang dimaksud pekerja sosial adalah Pegawai
Negeri Sipil yang diberi tugas melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan sosial
secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada lingkungan Departemen Sosial dan
unit pelayanan kesejahteraan sosial pada instansi lainnya.

Pekerjaan Sosial di Indonesia saat ini dihadapkan pada permasalahan metodologis


untuk mengantisipasi permasalahan kesejahteraan sosial yang begitu cepat.
Metodologi praktik Pekerjaan Sosial dengan memanfaatkan paradigma-pradigma
yang ada dapat tetap dipakai, namun dengan adanya fokus intervensi Pekerjaan
Sosial yang berubah (tidak hanya perseorangan penyandang masalah, kelompok,
komunitas, organisasi, tetapi sistem sosial ekonomi dan politik yang lebih luas)
dituntut untuk selalu diadakan pengkajian ulang terutama pada kerangka konseptual
dasar (Common Base).

Pekerjaan Sosial (tidak pernah) sempat memantapkan kerangka konseptual dasar


yang umum (Common Base) bagi praktik Pekerjaan Sosial pada berbagai okupasi,
kecuali dalam satu hal mungkin Pekerjaan Sosial pernah dipandang mapan, yaitu
dalam hal Case Work, yang ditopang oleh disiplin Psikologi, khususnya Psikologi
Perkembangan dan Psikoanalisis (Holil,1994:1).

Tanda adanya pengkajian ulang dari substansi kerangka praktik Pekerjaan Sosial,
khususnya di Indonesia, maka praktik Pekerjaan Sosial akan selalu tertinggal dalam
memecahkan permasalahan sosial, yang akhirnya sebagai suatu profesi hanya

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


69

berfungsi sebagai profesi yang hanya melaksanakan praktik yang bersifat


rehabilitasi pada penyandang masalah sosial yang bersumber dari
kekurangberhasilan atau kegagalan bidang pembangunan yang lain. Jika profesi
pekerjaan Sosial mampu melaksanakan praktik yang bersifat pencegahan
(antisipasi) munculnya permasalahan sosial dan bahkan mampu melaksanakan
praktik pengembangan sosial (sosial development), maka Pekerjaan Sosial akan
dapat berdiri sejajar dengan porfesi yang lain, bahkan dalam setiap aktivitas
(perencanaan, perumusan, kebijaksanaan, dan pelaksanaan) bidang Pembangunan
Kesejahteraan Sosial sudah sewajarnya Pekerja Sosial sebagai pemegang ide,
pembuat inovasi dan pemimpin kegiatan. Konsep "bekerja bersama" dengan
profesi lain dalam aktivitas pembangunan kesejahteraan sosial belum sepenuhnya
tercapai di Indonesia.

Apalagi masa pasca APEC, Indonesia akan dihadapkan permasalahan pertambahan


penduduk yang semakin meningkat, industrialisasi yang semakin pesat,
pemanfaatan teknologi yang tinggi untuk aktivitas ekonomi, pembagian kerja dan
kelas sosial yang semakin heterogen, semakin banyaknya tenaga kerja asing,
pengaruh globalisasi dari negara-negara maju, sistem informasi yang menembus
ruang dan waktu, akan merubah wajah Indonesia di masa yang akan datang.

Ciri-ciri tersebut akan nampak pada pesatnya pembangunan area indutsri baru,
sentralisasi aktivitas ekonomi oleh kalangan elit tertentu, globalisasi informasi yang
telah mempengaruhi perilaku masyarakat, kapitalisme modern yang mengabaikan
masyarakat miskin dan semakin kuatnya politisi dalam menentukan perencanaan
dan kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan dibandingkan dengan ilmuwan,
sehingga produk kebijaksanaan sering berbenturan dengan kebutuhan masyarakat.

Pasca Isue kerusakan lingkungan global, seiring dengan berlangsungnya liberalisasi


APEC, maka masalah kesejahteraan sosial masyarakat akan menjadi isue sentral
bagi dunia, seperti : masalah kemiskinan pada negara-negara berkembang, masalah
gerakan radikal dari kaum buruh, masalah narkotika, masalah kriminalitas yang
semakin canggih, masalah legitimasi abortus, masalah eksistensi homoseksual,
dampak perilaku sosial dari masyarakat anomi, masalah hak azasi manusia,
masalah perilaku seksual remaja yang bebas, pergeseran nilai yang berdampak pada
krisis keluarga, dan sudah tentu masalah epidemi penyakit menular (terutama
HIV/AIDS) sebagai dampak kumulatif dari permasalahan sosial yang lain.

Berdasarkan hal tersebut, maka Pekerja Sosial profesional pada masa yang akan
datang dihadapkan pada permasalahan yang kompleks dan pesatnya secara kuantitas
dan kualitas dari permasalahan kesejahteraan sosial, sehingga dituntut untuk
menerapkan strategi yang bersifat sistemik. Hal ini dapat dilaksanakan, jika cara
pandang yang holistik dan memiliki kemampuan analisis yang komprehensif.
Namun demikian, profil Pekerja Sosial profesional, tergantung pada penguasaan
kerangka keilmuan (Body of Knowledge), Kerangka Nilai (Body of Value), dan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


70

kerangka Praktik (Body of Skill). Pekerjaan Sosial di Indonesia telah dituntut untuk
menunjukkan keandalan, intelektual, serta kejelasaan tentang terminologi. konsep,
asas, fakta, nilai-nilai dan norma (Holil, 1994:3)

Berdasarkan analisis tersebut ketetentuan dengan pekerjaan sosial dan sumber daya
kesejahteraan sosial yang diusulkan dalam substansi undang-undang sebagai berikut
:

Sumber daya manusia di bidang usaha kesejahteraan sosial terdiri dari :


a. pegawai pemerintah;
b. tenaga kesejahteraan sosial;
c. tenaga pekerja sosial; dan
d. tenaga profesi lainnya;

Sumber daya manusia di bidang usaha kesejahteraan sosial harus memiliki :


a. pengetahuan, nilai dan keterampilan pekerjaan sosial dan profesi lainnya yang
diperoleh dari pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kompetensi yang
dibutuhkan;
b. kompetensi dalam melaksanakan proses pelayanan kesejahteraan sosial,
pengkajian kebijakan sosial, pengembangan model pelayanan, perencanaan dan
evaluasi program pelayanan kesejahteraan sosial, serta kegiatan penunjang
lainnya.

Pengembangan sumber daya manusia meliputi :


a. Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pekerja sosial dan tenaga
kesejahteraan sosial yang diatur oleh lembaga yang mengangkatnya
berdasarkan kebutuhan pelayanan kesejahteraan sosial.
b. Pemerintah bertanggung jawab memfasilitasi lembaga kesejahteraan sosial dan
sumber daya manusia kesejahteraan sosial yang diperlukan untuk menjamin
mutu pelayanan kesejahteraan sosial.
c. Pengembangan kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial dilakukan
melalui pendidikan, pelatihan dan pembinaan.

Setiap pelaku usaha kesejahteraan sosial, baik perorangan, organisasi kesejahteraan


sosial, lembaga pemerintah/swasta yang berprestasi dan/atau berjasa dalam
memajukan usaha kesejahteraan sosial diberi penghargaan.. Penghargaan dapat
diberikan oleh Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah.

Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan,


kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga
kehormatan, jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang
bermanfaat bagi penerima penghargaan.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


71

Pekerja sosial dapat memperoleh promosi berupa penghasilan dan jaminan


kesejahteraan sosial serta penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja. enaga
kesejahteraan sosial masyarakat yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
diberikan promosi berupa insentif dan penghargaan dari pemerintah dan/ atau
masyarakat.

Dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial diperlukan sarana prasarana


yang memadai. Ketentuan yang diusulkan dalam RUU Kesejahteraan Sosial sebagai
berikut:
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas
perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan
prasarana pelayanan kesejahteraan sosial.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan prasarana
pelayanan kesejahteraan sosial sesuai dengan standar dan kebutuhan
Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Jumlah dan jenis prasarana pelayanan kesejahteraan sosial yang dibangun
harus memperhatikan potensi pelayanan kesejahteraan sosialan yang
berkembang di daerah setempat.
(4) Prasarana pelayanan kesejahteraan sosial yang dibangun di daerah wajib
memenuhi jumlah dan standar minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(5) Badan usaha yang bergerak dalam bidang pembangunan perumahan dan
permukiman berkewajiban menyediakan prasarana pelayanan kesejahteraan
sosial sebagai fasilitas umum dengan standar dan kebutuhan yang ditetapkan
oleh Pemerintah yang selanjutnya diserahkan kepada pemerintah daerah
sebagai aset/milik pemerintah daerah setempat.
(6) Pemerintah membina dan mendorong pendirian sarana pelayanan
kesejahteraan sosial dalam negeri dan di luar negeri sesuai dengan kebutuhan.
(7) Setiap orang atau badan usaha yang mendirikan sarana pelayanan
kesejahteraan sosial wajib memperhatikan standar pelayanan minimum dari
bidang pelayanan kesejahteraan sosial yang bersangkutan.

Dalam hal pendanaan, substansi yang diusulkan dalam RUU Kesejahteraan Sosial
adalah:
(1) Pendanaan pelayanan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran pelayanan
kesejahteraan sosial melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Sumber pendanaan pelayanan kesejahteraan sosial ditentukan berdasarkan
prinsip kecukupan dan keberlanjutan.
(4) Untuk kepentingan pelayanan kesejahteraan sosial, Menteri dapat
mengusahakan pengumpulan dana kesejahteraan sosial yang berasal dari

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


72

masyarakat dan dana kesejahteraan sosial lainnya berdasarkan peraturan


perundang-undangan yang berlaku.
(5) Dana kesejahteraan sosial yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah
daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(6) Pengelolaan dana pelayanan kesejahteraan sosial berdasarkan pada prinsip
keadilan, efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Dalam RUU Kesejahteraan Sosial diharapkan diatur juga ketentuan tentang


organisasi profesi dalam rangka meningkatkan mutu dan profesionalisme pelayanan
kesejahteraan sosial. Organisasi profesi terdiri dari ikatan pekerja sosial, ikatan
lembaga pendidikan pekerjaan sosial, ikatan lembaga pelayanan kesejahteraan
sosial dan organisasi profesi lainnya di bidang kesejahteraan sosial. Organisasi
profesi berkewajiban menetapkan kode etik yang disepakati anggota.

L. PENGELOLAAN PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pada masa setelah diberlakukan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi


Daerah, sedang terjadi perubahan pada lingkungan strategis pembangunan
kesejahteraan sosial seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, baik yang
berkaitan dengan struktur maupun fungsi kelembagaan pada tingkat pusat dan
daerah. Karena itu, reposisi sektor kesejahteraan sosial dan reformasi paradigma
serta strategi pembangunan kesejahteraan sosial harus menjadi komitmen bersama
antara pusat dan daerah. Pemahaman yang beragam antara pusat dan daerah tentang
kebijakan, strategi penanganan, penggalian sumber, penetapan kelembagaan,
penjabaran program, pengembangan jaringan kerja, pengembangan SDM, dan
dimensi-dimensi strategis lainnya; menunjukkan perlunya penataan kembali
Kesejahteraan Sosial.

Dalam era otonomi daerah, pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial


lebih bernuansa pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, dunia
usaha dan pemerintah daerah. Implikasinya adalah bahwa kebijakan, strategi dan
program pembangunan kesejahteraan sosial yang bertumpu pada pemberdayaan
potensi lokal atau regional menjadi fokus pembangunan kesejahteraan sosial pada
masa yang akan datang, dengan tetap berada pada kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Berdasarkan analisis tersebut ketentuan dengan pengelolaan pelayanan kesejahteraan


sosial yang diusulkan dalam substansi undang-undang sebagai berikut :
1. pengelolaan Kesejahteraan Sosial merupakan tanggung jawab menteri;
2. pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pelayanan
kesejahteraan sosial untuk menjamin mutu pelayanan kesejahteraan sosial;

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


73

3. pemerintah dan / atau pemerintah daerah wajib mendirikan instansi yang


menangani masalah sosial dan dilengkapi dengan unit pelaksana teknis
pelayanan kesejahteraan sosial;
4. pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
pelayanan kesejahteraan sosial lintas daerah kabupaten/ kota;
5. pemerintah kabupaten/kota mengelola pelayanan kesejahteraan sosial yang
sesuai dengan karakteristik permasalahan sosial lokal;
6. pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan koordinasi dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan kesejahteraan
sosial;

M. PERAN SERTA MASYARAKAT

Dengan memperhatikan kondisi sosial-kultural masyarakat Indonesia, maka


komponen Kesejahteraan Sosial harus seiring pula dengan kenyataan faktual yang
ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yakni komponen “civic involvement”
(kepedulian sesama warga).

Wujud keaktifan warga yang terpancar dalam berbagai kegiatan kepedulian


terhadap sesama warga menyandang masalah sosial, telah berkembang sebagai
bagian integral dari khasanah kultur bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penerapan
sistem jaminan sosial nasional hendaknya dipadukan secara`terstruktur dalam
perpaduan antara`konsep yang dikembangkan di negara barat/maju (Eropa, Amerika
dan negara-negara maju lainnya) dengan komponen sistem yang juga berkembang
di Asia pada umumnya, khususnya yang berkembang dalam kultur bangsa
Indonesia.

Bentuk pelayanan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat yang telah dilaksanakan


dalam tradisi Indonesia, antara lain arisan, pengumpulan beras perelak/jimpitan,
pembuatan lumbung desa, usaha simpan pinjam sampai mekanisme rotasi kerja
secara gotong royong di tegalan dan sawah warga desa. Berbagai bentuk ini
merupakan mekanisme pertahanan hidup secara informal dan tradisional, yang
dilaksanakan oleh warga masyarakat Indonesia dan warga masyarakat Asia pada
umumnya, sebagai wujud kepedulian terhadap sesama warga. Pendekatan yang
menggunakan mekanisme tradisi lokal tersebut, ternyata telah dipakai sebagai cara
yang cukup handal oleh kelompok-kelompok miskin dan marjinal sehingga
membuktikan bahwa mereka mempunyai kemampuan dasar untuk membangun dan
mempertahankan dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa pelayanan kesejhateraan
sosial tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah saja, tetapi juga tanggung
jawab masyarakat secara keseluruhan.

Memperhatikan perspektif jangkauan pelayanan kesejahteraan sosial di masa


mendatang, maka peran Pemerintah harus diletakkan secara strategis untuk
mendorong inisiatif warga masyarakat agar dapat mengembangkan berbagai potensi

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


74

kemandirian mereka dalam rangka membantu sesama warganya. Fokus perhatian


harus ditujukan untuk mengangkat berbagai elemen potensial yang terdapat dalam
tradisi lokal masyarakat Indonesia. Nilai-nilai budaya lokal telah memperkuat
kemampuan masyarakat untuk memelihara taraf kesejahteraannya, dikala sesama
warga menghadapi risiko sosial yang berat.

Dukungan kepedulian sosial yang dikembangkan secara tradisional, ternyata telah


tumbuh menjadi “modal sosial” yakni kerja sama secara gotong royoong antar
warga masyarakat untuk menghasilkan tindakan kolektif guna mengatasi masalah
yang dihadapi oleh sesama warga masyarakat. Pilar modal sosial inilah yang
kemudian sebagai kelengkapan elemen dalam sistem jaminan sosial nasional. Di
dalam modal sosial, terdapat tiga unsur penting yaitu: semangat karitas (charity),
kepedulian sosial (volunteerism) dan kepedulian sesama warga (civic involvement)
dan kepedulian warga (civic involvement). Sehubungan dengan itu, maka fokus
pengembangan SKSN hendaknya juga dikaitkan secara komprehensif dengan
kepedulian sosial yang secara khusus berkembang dalam masyarakat Indonesia
sebagai tardisi lokal.

Kepedulian sosial akan dapat dijadikan sebagai gerakan nasional yang


mendampingi pelaksanaan komponen bantuan sosial dan asuransi sosial. Dalam
pelaksanaan kepedulian, kita akan menemukan bahwa aktivitas yang dilaksanakan
masyarakat ternyata mengandung potensi sosial yang dahsyat. Melalui kepedulian
sosial dapat terhimpun dana masyarakat (community fund) dalam jumlah besar dan
secara serentak terjadi redistribusi penghasilan melalui mekanisme kegotong-
royongan.

Berdasarkan uraian diatas maka undang-undang tentang Kesejahteraan Sosial harus


memuat aturan yang melibatkan peran serta masyarakat, baik dalam pengumpulan
dana untuk pelaksanaan jaminan kesejahteraan sosial maupun penanganan dalam
pengelolaan kelembagaan yang berbasis masyarakat seperti organisasi sosial,
lembaga swadaya masyarakat, dll. Pokok-pokok pikiran yang selayaknya di
masukan dalam substansi undang-undang adalah:
(1) Masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan dalam pelaksanaan sistim jaminan kesejahteraan sosial nasional.
(2) Peran masyarakat dapat dilakukan secara perorangan, keluarga, kelompok,
komunias/masyarakat, organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
(3) peran serta masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial meliputi peran
serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi sosial, yayasan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
kesejahteraan sosial.
(4) masyarakat dapat berperan serta sebagai perencana, penyedia, pelaksana,
pengawas pelayanan kesejahteraan sosial.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


75

N. EVALUASI, AKREDITASI, SERTIFIKASI DAN PERIJINAN

Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pelayanan kesejahteraan sosial


secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pelayanan kesejahteraan
sosial, sedangkan akreditasi dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan
pelayanan kesejahteraan sosial. Adapun sertifikasi dilakukan untuk memastikan
kualifikasi dan kompentensi yang sesuai di bidang pelayanan kesejahteraan sosial.
Untuk pendirian lembaga kesejahteraan sosial wajib memperoleh ijin
pemerintah atau pemerintah daerah;

Tercapainya kondisi masyarakat yang berkesejahteraan sosial akan diwujudkan


melalui kebijaksanaan sosial yang dilaksanakan oleh badan-badan atau lembaga-
lembaga sosial. Badan-badan sosial (Sosial Agency) atau Lembaga Kesejahteraan
Sosial (Sosial Welfare State) adalah suatu bentuk organisasi yang memberikan
pelayanan sosial atau menyelenggarakan Pelayanan Kesejahteraan Sosial baik yang
didirikan pemerintah atau swasta. Badan/Lembaga Kesejahteraan Sosial dalam
melaksanakan program-program pelayanan kesejahteraan sosial, tidak terlepas dari
profesi pokok yaitu Profesi Pekerjaan Sosial. Lembaga Kesejahteraan Sosial di
Indonesia memiliki status reguler (diatur berdasarkan perundangan-undangan) atau
institusional (melembaga) di dalam masyarakat.

Lembaga Kesejahteraan Sosial yang bergerak dalam pelayanan kesejahteraan sosial


bersumber pada tanggung jawab untuk memberikan jaminan kepada warganya
untuk memperoleh sumber pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan yang
mereka perlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, menghilangkan
ketelantaran serta untuk mewujudkan aspirasinya. Dengan demikian fungsi
Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah wujud dari tanggung jawab sosial dan
partisipasi sosial yang teratur, efisien dan efektif serta memenuhi syarat sebagai
usaha kesejahteraan sosial. Selain itu fungsi lembaga sosial merupakan saluran dari
pekerjaan sosial dalam praktik. Dengan demikian pada hakekatnya karena proses
pekerjaan sosial itulah yang menggerakan secara dinamis usaha-usaha kesejahteraan
sosial yang diselenggarakan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial.

Klasifikasi Lembaga Kesejahteraan Sosial dapat ditinjau dari aspek sumber sponsor,
pelindung atau pimpinan, sehingga dapat dikategorikan menjadi Lembaga Sosial
Pemerintah dan Organisasi Sosial / Lembaga Swadaya Masyarakat. Jika didasarkan
atas jenis masalah yang ditangani, dapat meliputi lembaga-lembaga sosial yang
menangani kesejahteraan anak dan keluarga, kesehatan, kecacatan, kesehatan jiwa,
tindak pidana, pendidikan informal dan perencanaan/koordinasi/pengembangan
program. Adapun atas dasar geografis, menjadi tingkat lokal, propinsi, nasional,
regional dan international. Ada juga diklasifikasikan menjadi pemberi pelayanan
langsung atau "consumer service agencies" dan pemberi pelayanan tidak langsung
atau "non consumer service agencies." Kesemua itu akan diatur dalam ketentuan-
ketentuan tentang akreditasi dan sertifikasi dalam substansi undang-undang.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


76

Ketentuan tentang evaluasi pengawasan dan evaluasi yang diusulkan dalam


substansi undang-undang :

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat melakukan


pengawasan terhadap aktivitas usaha kesejahteraan sosial sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pelayanan kesejahteraan
sosial secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara usaha
kesejahteraan sosial
(2) Evaluasi dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan
penerima pelayanan serta organisasi profesi.

Ketentuan tentang akreditasi dan sertfikasi yang diusulkan dalam substansi undang-
undang :
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan pelayanan
kesejahteraan sosial
(2) Sasaran akreditasi adalah aktivitas dan pelaku usaha kesejahteraan sosial .
(3) Akreditasi terhadap kelayakan pelayanan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(4) Akreditasi dilakukan atas dasar standar pelayanan minimum dengan kriteria
yang telah ditentukan.
(5) Sertifikasi dilakukan untuk memastikan kualifikasi dan kompentensi yang sesuai
di bidang pelayanan kesejahteraan sosial;
(6) Sertifikat berbentuk ijasah dan sertifikat kompetensi.
(7) Ijasah diberikan kepada pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial
masyarakat yang telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan dan pelatihan,
yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan yang
terakreditasi.
(8) Sertifikat kompetensi diberikan kepada pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan
sosial masyarakat oleh pemerintah atas rekomendasi organisasi profesi sebagai
pengakuan terhadap kompetensi melakukan pelayanan kesejahteraan sosial.
(9) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga
pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan
terhadap kompetensi untuk melakukan pelayanan kesejahteraan sosial.tertentu
setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Ketentuan tentang pendaftaran dan perijinan lembaga kesejahteraan sosial yang


diusulkan dalam substansi undang-undang :
(1) Setiap lembaga kesejahteraan sosial yang telah memperoleh status badan
hukum wajib mendaftarkan kepada kementerian sosial atau instansi sosial;
(2) Untuk meningkatkan keterpaduan usaha kesejahteraan sosial, lembaga-
lembaga kesejahteraan sosial asing yang melakukan kegiatan pelayanan

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


77

kesejahteraan sosial harus melaporkan kegiatannya kepada kementrian atau


instansi sosial.

O. PENEGAKAN HUKUM

Suatu undang-undang hanya dapat berlaku efektif apabila memenuhi persyaratan,


yaitu dibutuhkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Perlu penegasan bahwa
UU ini harus memuat sanksi yang tegas dan jelas sehingga masyarakat akan
mentaati dan mematuhi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Sanksi
tersebut berupa sanksi pidana dan administrasi. Sanksi pidana dapat berupa
penjara/kurungan atau denda yang setinggi-tingginya. Sementara penjatuhan
hukuman bagi pelaku tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam RUU yang dimaksud akan dikenakan ancaman
sanksi pidana, perlu adanya pembedaan berat ringannya hukuman. Sedangkan untuk
sanksi administrasi dapat berupa pencabutan ijin operasional bagi Orsos / Yayasan
penyelenggara.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


78

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN

Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Kesejahteraan Sosial sudah selayaknya untuk ditinjau kembali dan disempurnakan
mengingat adanya perkembangan sistem ketatanegaraan, amandemen UUD tahun 1945
dan pemberlakuan Otonomi Daerah. Perubahan tersebut berkaitan dengan struktur
maupun fungsi kelembagaan pada tingkat Pusat dan Daerah, oleh karena itu Reposisi
Sektor Kesejahteraan Sosial dan reformasi paradigma dan strategi pembangunan
kesejahteraan sosial harus menjadi komitmen bersama antara pemerintah Pusat dan
Daerah. Pemahaman yang beragam antara Pusat dan Derah mengenai kebijakan,
strategi penanganan, penjabaran program dan dimensi strategis lainnya menunjukkan
perlunya penataan kembali usaha Kesejahteraan Sosial yang diatur dalam suatu
Undang-undang.

Lingkup materi yang diatur dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial memuat


tentang prinsip-prinsip kesejahteraan sosial, hak warga negara, tanggung jawab warga
negara, keluarga dan masyarakat, kewenangana pemerintah, sasaran dan sumber
pelayanan kesejahteraan sosial, pelayanan kesejahteraan sosial, pengelolaan pelayanan
kesejahteraan sosial, peranserta masyarakat, evaluasi, akreditasi dan sertifikasi, lembaga
kesejahteraan sosial, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

B. SARAN-SARAN

Dalam pengaturannya materi Naskah Akademis ini akan diatur dalam suatu Undang-
undang dan sebagian akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya baik berbentuk
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri terkait.

Diharapkan Naskah Akademis Undang-undang tentang Kesejahteraan Sosial menjadi


prioritas utama dan pembahasan Program Legislasi Nasional tahun 2008 mengingat
kompleksitas permasalahan sosial saat ini dan peningkatan jumlah penyandang masalah
kesejahteraan sosial yang semakin meningkat.

Selain itu diharapkan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut dari Undang-undang
Kesejahteraan Sosial ini dapat segera disusun paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun
setelah diundangkannya Undang-undang ini, agar Undang-undang ini dapat berlaku
operasional di masyarakat.

Biro Kepegawaian dan Hukum 2007

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


79

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Adimihardja, Kusnaka dan Harry Hikmat (2003). Partisipatory Research Appraisal


dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada masyarakat . Bandung : Penerbit
Humaniora

Ashman, Kirst Karen dan Braftton H. Hull.Jr (1993) Understanding Generalist


Practice.USA : Nelson Hall inc.

Aipassa. (1988). Pendidikan profesional dalam Pekerjaan Sosial. Bandung : Jurnal


BPLTS (ed.1)

Atherton & C.R., & Klemmack, D.L. (1982). Research methods in sosial work : An
introduction. Lexington, Ma : D.C. Heath.

Budiarto dan Wantjik Saleh (1979) KUHP Jakarta : Ghalia Indonesia

Cary, Lee J. (1970). Community Development as a Process. Columbia : University of


Missouri Press.

Cummings, Thomas G. (ed.) 1980. Systems Theory For Organization


Development. John Wiley & Sons, New York.

College, Muhlenberg dan Arthur B. Ghostak (1978) Modern Sosial Problems.USA:


Library of Congress Cataloging in Publication Data

Compton, B.R. (1980). Introduction to sosial welfare & sosial work: Structure,
fuction & process. Homewood, Ill. : The Dorsey Press.

Dubois, Brenda dan Karla Kroggrud Miley (1997) Sosial Work an Empowering
Profession. Boston London Toronto Sydney Tokyo Singapore: allyn and Bacon

Edi Suharto (2007b). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Jakarta: Refika
Aditama.

Farid (ed.). (2003). Pengertian Konvensi Hak Anak. Jakarta: UNICEF.

Gilbert, N., & Specht, H. (1986). Dimensions of sosial welfare policy (ed. 2).
Englewood Cliffs, NJ : Prentice-Hall.

Elkin R. dan Cornick, D.L. (1970). Utilizing Cost and Efficiency Studies in the
Decision-Making Progress in Health and Wefare. Dalam Sosial Work

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


80

Administration: A Resource Book. Ed. Schatz, Harry A. The Council on Sosial


Work Education, Inc., New York.

Friedlander, Walter A. (1958). Concepts and Methods of Sosial Work. New York :
Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs.

Harry Hikmat (2002). Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora


Utama Press.

Hasenfeld, Y. & English, Richard A.. 1967. Human Service Organizations. Vol. II.
Ann Arbor The University of Michigan Press. New York.

Hage, Jerald. 1980. Theories of Organizations Form, Process, & Transformation.


John Wiley & Sons, Inc., Canada.

Holil Soelaiman. (1993). Beberapa gelagat akbar dan implikasinya terhadap


kesejahteraan sosial dan tantangan pembangunan kesejahteraan sosial
dalam PJP II. (jurnal Pembangunan Kesejahteraan Sosial) Jakarta : DNIKS.

Holil Soelaiman. (1993). Kerangka Nilai (Body Of Value) dan Asas Etik
Pekerjaan Sosial. Jakarta : Departemen Sosial RI.

Holil Soelaiman. (1993). Tantangan dan kebutuhan akan pendidikan Pekerjaan


Sosial (makalah). Jakarta : Departemen Sosial RI.

Irawan Soehartono. (1991). Kesejahteraan Sosial sebagai ilmu. (makalah) Bandung


: STKS.

Jusman Iskandar 1994. Pengaruh Kinerja Tenaga Sukarela terhadap Sikap


Partisipasi, dan Solidaritas Sosial Warga Masyarakat dalam Kegiatan
pelayanan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat Desa. (Disertasi).
Bandung : Universitas Paadjadjaran.

Kahn, A.J., (1979). Sosial policy and sosial services (ed.2). New York : Random
House.

Kamerman, S.B., & Kahn, A.J. (1976). Sosial services in the United States :
Policies and Programs. Philadelphia : Temple University Press.

Klenk, Robert M and Ryan, Robert M. (1974). The Practice of Sosial Work. (ed.2).
Belmont, California : Wadworth Publishing Co. Inc.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


81

Lewis, Harold. (1985). Management in the Non Profit Sosial Service Organization.
dalam An Introduction Human Services Management. Ed. Slavin, S. The
Haworth Press, New York, London.

Macht, Mary and Quam, Jean. (1986). Sosial Work An Introduction. Colombus,
Ohio : Chares E. Merrill Publishing Company.

Migley, J. (1986). Industrialization and Welfare : The case of the four little tigers,
Sosial Polycy & Administration, 20 (3), 225-238.

Mishra, R. (1977). Society and sosial policy : Theoretical Operspectives on


welfare. London : The MCMillan Press.

Morris, Robert, dan John B. Turner, Ed. (1981). Encyclopedia of Sosial Work.
Sixteenth Issue. Volume II. New York : NASW.

Naylor, Harriet H. (1967). Volunteers Today : Finding, Trainning, and Working


With Them. New York : Associated Press.

Netting,Ellen. Peter M. Kettner Steven L Mc Murtry (1993) Sosial Work Macro


Practice. New York : Longman

Pincus, Allen and Minahan, Anne. (1973). Sosial Work Practice, Model and
Method. Itasca Illionis : F.E. Peacock Publisher Inc.

Romanyshyn, J.M. (1971). Sosial welfare : Charity to justice. New York : random
House.

Rukminto Adi, Isbandi (2002) Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan


Kesejahteraan Sosial, Jakarta : LPFEUI

Rukminto Adi, Isbandi (2003) Intervensi Komunitas. Edisi Revisi. Jakarta : LPFEUI

Sainsbury, E. (1977). The personal sosial services. London : Pitman.

Saleebey Dennis (1991) The Strenghts Perspective in Sosial Work Practice. New
York : longman

Segal, Elizabeth dan Stephani Brzuzy (1998) Sosial Welfare Policy, Program and
Practice. Illionis : Peacoch Publisheus.inc

Sheafer, Bradford, Charles`R.Horesjs, Gloria A. Horegsi (2000) Techniques and


guidelines for sosial work practice. Boston : Allyn and Bacon

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


82

Siporin, Max. (1975). Introduction to Sosial Work Practice. New York : Macmillan
Publishing Co. Inc.

Slavin, Simon (ed.). (1985). An Introduction Human Services Management. The


Haworth Press, New York, London.

Training for Sosial Work. (1992). Austria : United Nations Office at Vienna.

Zastrow, Charles, and Karen Kirst - Ashman. (1989). Understanding Human


Behavior and The Sosial Environment. Nelson-Hall Publishers, Chicago.

Lain-lain

------- (1996 ) Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan

…… (1974) Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan-


ketentuan Pokok Kesos jakarta: Depsos RI

…… (1998) Panduan Pekerja Sosial di lingkungan Departemen Sosial RI Jakarta :


Depsos

..........(1996) Kepmensos 25/HUK/96 tentang Pola Pengembangan Profesi Pekerjaan


Sosial Jakarta : Depsos RI

…… .(2001) Buku Pegangan Kedaruratan Edisi Terjemahan Bahasa Indonesia Geneva


: United nations High Commisioner For Refuqees

…… (2002) Himpunan Peraturan dan perundang-undangan tentang Perlindungan


Anak jakarta : Depsos RI

…… (2003) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Jakarta : Biro Kepegawaian dan Hukum Depsos RI

.…… (2003) Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kesejahteraan Sosial


Buku I jakarta : Biro Kepegawaian dan Hukum Depsos RI

…… (2004) UUD 45 dan Amandemennya. Jakarta : Fokusmedia

......... .(2004 ) Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 2004. Jakarta : CV.Tamita


Utama

.......... (2007) Panduan Untuk Fasilitator: Pengembangan Analisa Situasi Ibu dan Anak
(ASIA) Berbasis Hak Asasi Manusia. Jakarta : UNICEF.

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial


83

Naskah Akademis RUU Kesejahteraan Sosial

Anda mungkin juga menyukai