9 Januari 2008
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
KESEJAHTERAAN SOSIAL
DEPARTEMEN SOSIAL RI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perubahan tatanan dunia dan perkembangan komitmen global dalam berbagai konvensi
internasional memberi pesan yang sangat jelas bahwa pembangunan ekonomi sangat perlu
bagi peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Namun, pembangunan ekonomi hendaknya
dilakukan secara berkeadilan. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan dapat dicapai dan
dirasakan secara merata dan berkelanjutan oleh seluruh lapisan masyarakat dan segenap
anak bangsa.
Oleh karena itu, visi pembangunan nasional dewasa ini semakin dituntut untuk untuk
menempatkan manusia sebagai pusat perhatian. Pembangunan ekonomi harus dilaksanakan
sejalan dengan pembangunan kesejahteraan sosial. Sehingga pertumbuhan ekonomi dapat
menyumbang langsung terhadap peningkatan kualitas hidup manusia; dan sebaliknya,
pembangunan manusia dapat mendorong laju pembangunan ekonomi. Pembangunan
nasional yang terpadu ini dijalankan tanpa memarjinalkan penduduk miskin, rentan dan
telantar. Melainkan mampu meningkatkan keterpaduan sosial dan ekonomi yang didasari
oleh prinsip hak asasi manusia dan perlindungan sosial terutama bagi mereka yang kurang
beruntung.
B. TUJUAN
Pembuatan Naskah Akademik (NA) ini ditujukan untuk memberikan justifikasi logis bagi
Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial yang dilandasi oleh argumen dan
landasan berpikir baik yang bersifat kontekstual-konseptual, maupun yuridis-formal.
C. METODA PENDEKATAN
Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah
pendekatan sosio yuridis, dengan melakukan pengkajian teoritis dan empiris, dengar
pendapat, konsultasi publik dan observasi lapangan yang berkaitan dengan masalah dan
kebutuhan pelayanan kesejahteraan sosial.
D. PENGORGANISASIAN PENYUSUNAN
BAB II
ANALISIS SITUASI DAN LANDASAN KONSEPTUAL-
YURIDIS FORMAL
Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global maupun nasional.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, telah lama mengatur masalah ini sebagai salah
satu bidang kegiatan masyarakat intemasional (Suharto, 2006b). PBB memberi batasan
kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk
membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhankebutuhan dasarnya dan
meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Definisi
ini menekankan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang
melibatkan aktivitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga
pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan
kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas hidup individu,
kelompok dan masyarakat.
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melalui pemberian pelayanan sosial dasar baik yang
diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat yang terutama ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat sangat miskin (fakir
miskin dan komunitas adat terpencil), anak telantar, penyandang cacat, korban bencana
(pengungsi), dan kelompok rentan lainnya. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat
miskin diwujudkan dengan peningkatan penyediaan sarana prasarana pelayanan dan
rehabilitasi sosial, bantuan sosial, pemberdayaan sosial ekonomi, pemberian jaminan sosial
dan peningkatan kualitas manajemen kelembagaan sosial masyarakat.
Program bantuan sosial, rehabilitasi sosial, dan pemberdayaan fakir miskin, KAT dan
PMKS lainnya telah dirasakan manfaatnya oleh sebagian kelompok fakir miskin, KAT dan
PMKS lainnya yang mendapatkan bantuan sarana ekonomi, modal usaha, pelatihan
keterampilan dan pendampingan sosial, serta pelayanan konseling keluarga. Hal ini
nampak dari adanya perubahan sikap dan perilaku mereka dalam meningkatkan
produktivitas usaha ekonomis, mengatasi masalah sosial psikologis, memajukan pendidikan
dasar anak-anaknya, menata rumah yang sehat lingkungan dan memelihara kesehatan dan
gizi keluarga dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan diwilayahnya.
Pada saat diputuskan kebijakan Pengurangan Subsidi BBM, untuk melindungi masyarakat
miskin agar tidak terkena dampak negatif, maka pemerintah melaksanakan program Subsidi
Langsung Tunai kepada 19,1 Juta RTM dengan total nilai bantuan tunai sebesar Rp. 23
Trilyun. Dampak yang dapat dipantau adalah dapat dipertahankan daya beli masyarakat
miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu, pemerintah akhirnya berhasil
memiliki data tentang Rumah Tangga Miskin by name by adress termasuk karakteristik
sosial ekonomi RTM sebagai dasar perencanaan penanggulangan kemiskinan.
Upaya pemberdayaan keluarga sangat miskin tidak hanya dilakukan oleh pemerintah,
namun didorong peran aktif masyarakat melalui pelibatan Tenaga Kesejahteraan Sosial
Masyarakat (TKSM), atau relawan sosial sebanyak 17.896 orang, fasilitasi kegiatan bagi
4.077 Orsos/ LSM, pemberdayaan 5.786 Karang Taruna dan 564 Wahana Kesejahteraan
Sosial Berbasis Masyarakat, pengembangan 96 unit LKM BMT KUBE Sejahtera, serta
kerjasama dengan 234 perusahaan swasta dan BUMN dalam kerangka tanggungjawab
sosial dunia usaha (corporate sosial responsibility) dalam penanggulangan kemiskinan.
Selain itu, bagi masyarakat yang rentan miskin seperti pekerja mandiri dan sektor informal
diikutsertakan dalam Program Jaminan Kesejahteraan Ssoial melalui Asuransi
Kesejahteraan Sosial bagi 35.600 orang dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen
(BKSP) bagi 2.640 orang yang dikelola oleh 3.760 orsos. Bagi penyandang cacat ganda dan
lanjut usia telantar yang hidupnya sangat tergantung pada orang lain diberikan jaminan
kesejahteraan sosial bagi 3.750 orang penyandang cacat ganda dan sebanyak 2.500 orang
lanjut usia telantar.
Dalam hal penanggulangan bencana alam alam yang terjadi pada berbagai wilayah,
termasuk bagi korban bencana Tsunami dan Gempoa Bumi di Nangroe Aceh Daroslam dan
Nias telah diberikan bantuan bahan bangunan rumah untuk rehabilitasi rumah penduduk
sebanyak 26.567 KK. Sementara itu untuk penanganan pengungsi akibat konflik sosial
telah diberikan bantuan tanggap darurat sebanyak 2.667.531 jiwa dan bantuan
pemulangan/terminasi sebanyak 88.426 KK atau 371.535 jiwa, serta bantuan sosial bagi
Pekerja Migran telantar sebanyak 8.363 jiwa.
Adapun untuk menangani warga yang mengalami masalah sosial psikologis dilakukan
rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi penyandang cacat sebanyak 486.448 orang dan
12.538 anak cacat; anak nakal sebanyak 13.410 anak, pelayanan kesejahteraan sosial bagi
lanjut usia telantar sebanyak 75.557 orang. dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
NAPZA sebanyak 12.438 orang; tuna sosial (wanita tuna susila, gelandangan, pengemis
dan bekas narapidana) sebanyak 13.990 orang.
Akses masyarakat miskin, rentan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial terhadap
pelayanan sosial dasar semakin meningkat dan telah memberikan manfaat dalam
pemenuhan kebutuhan dasar serta dapat mencegah terjadinya kondisi sosial ekonomi yang
lebih buruk.
Indonesia saat ini memiliki pendapatan per kapita per tahun sebesar US$3,609 dan tingkat
melek hurup sebesar 90,4%; serta tingkat harapan hidup 67,2 tahun dari total penduduk
negeri ini. Dengan utang luar negeri sebesar US$ 176,5 milyar atau US$ 821 per capita
menunjukkan bahwa setiap orang punya utang sekitar Rp.8 juta. Jumlah orang miskin di
Indonesia pada tahun 2006 adalah sangat mencemaskan, yakni sekitar 39,05 juta jiwa atau
sekitar 18% dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini melampaui keseluruhan jumlah
penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (14 juta). Meski kadang
tumpang tindih, potret buram pembangunan ini akan lebih kelam lagi jika dimasukkan para
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) atau yang oleh Depsos diberi label
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang di dalamnya berbaris jutaan
gelandangan, pengemis, Wanita Tuna Susila, Orang Dengan Kecacatan, Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA), Komunitas Adat Terpencil (KAT), anak jalanan, pekerja anak, jompo
telantar dan seterusnya.
Buramnya potret ini juga dipertegas oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di kawasan ASEAN. Peringkat
Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2006 berada di urutan 108 dari 177
negara menunjukkan bahwa standar hidup orang Indonesia masih berada di atas Vietnam
(peringkat 109), Kamboja (129), Myanmar (130), dan Laos (133). Namun, semakin jauh
tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand
(74), dan Filipina (84) (UNDP, 2006). Rendahnya IPM ini selain memperlihatkan
kegagalan pembangunan, juga mengindikasikan rendahnya kualitas sumber daya manusia
(SDM). Data tahun 2002 memperlihatkan bahwa ternyata dari 94 juta angkatan kerja,
sebagian besar pendidikannya hanya tamat SD (36,2%), tidak tamat SD (17%), tidak
sekolah (7,4%). Tenaga kerja yang tamat SLTP (14,9%), tamat SLTA (19,1), tamat
Diploma ke atas (14,9). Selain itu, pengangguran sarjana (DIII/S1) di Indonesia juga sangat
tinggi yang mencapai 600.738 jiwa pada tahun 2005 (Suharto, 2007a; 2007b).
Melihat kusamnya wajah pembangunan seperti ini, pertanyaannya adalah: apakah ini
berarti bahwa sejak kemerdekaannya lebih dari 60 tahun lalu pembangunan Indonesia tidak
mengalami kemajuan? Jawaban yang tepat adalah: Tidak. Karena ada beberapa indikator
sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang menunjukkan kemajuan. Hanya masalahnya,
negara lain maju lebih cepat.
Dalam satu dekade terakhir ini, liberalisasi ekonomi dan demokratisasi politik di Indonesia
mencatat kemajuan yang mengesankan (lihat Husodo, 2006:1-2). Dalam sistem ekonomi,
kini tengah terjadi pergeseran dari ekonomi serba pengaturan (overregulated) ke ekonomi
pasar; sistem politik juga tengah berubah dari sentralistik ke desentralistik. Bank Indonesia
yang semakin independen, perijinan usaha yang semakin transparan, penerapan sistem
Bikameral, pemilihan Presiden langsung oleh rakyat, DPR/DPRD yang semakin kuat,
pengelolaan pemerintahan yang semakin akuntabel, otonomi daerah yang semakin
meningkat (sampai ada daerah yang memiliki sistem berbeda dari sistem nasional) adalah
beberapa contoh adanya kemajuan ini.
Namun demikian, di tengah capaian kemajuan yang sedang berlangsung, tingkat kemajuan
negara lain ternyata lebih pesat daripada Indonesia (Husodo, 2006; Suharto, 2007b).
Ekonom AS penasihat Sekjen PBB Koffi Anan, Professor Jeffry Sach memberikan
perbandingan indikator ekonomi yang menarik. Pada tahun 1984, angka ekspor Indonesia
adalah 4 miliar dollar AS, sementara ekspor China baru mencapai 3 miliar dollar AS.
Tetapi, 20 tahun kemudian di tahun 2004, ekspor China telah mencapai 700 miliar dollar
AS, sedangkan ekspor Indonesia baru mencapai sekitar 70 miliar dollar AS. World
Investment Report 2006 memperlihatkan bahwa Foreign Direct Investment ke China tahun
2004 mencapai 60,6 miliar dollar AS. Sedangkan yang masuk Indonesia menunjukkan
angka negatif 597 juta dollar AS. Artinya, investasi asing lebih banyak yang ditarik keluar
daripada yang masuk ke Indonesia. Beberapa investor pindah ke beberapa negara yang
dipandang lebih menarik. Bahkan investor Indonesia sendiri sepanjang tahun 2004
menanamkan dananya di luar negeri sebesar 107 juta dollar AS. Ketidakpastian hukum,
rawannya keamanan, kebijakan fiskal yang tidak kondusif membuat Indonesia dipandang
tidak menarik untuk investasi.
Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam luar biasa dan keunggulan komparatif
lainnya yang begitu potensial, ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara-
negara lain di kawasan ASEAN seharusnya menyadarkan kita bahwa pastilah ada sesuatu
yang salah dalam pendekatan pembangunan dan pengelolaan negara ini. Buku
Globalization and its Disontents karya pemenang Nobel Ekonomi, Joseph E. Stiglitz (2003)
dan Confessions of an Economic Hit Man tulisan John Perkins (2004) sangat jelas memberi
bukti tentang gagalnya pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, utang
luar negeri dan ideologi neoliberalisme. Setelah dipraktikkan selama 30 tahun lebih di
Tanah Air, pendekatan ini tidak mampu mengatasi kemiskinan. Cara ini ternyata hanya
efektif menggelembungkan “ekonomi balon permen karet” (bubble gum economic) sambil
Melihat wajah Indonesia seperti digambarkan di atas, sudah semestinya jika para
pemimpin, pembuat kebijakan, dan siapa saja yang tergerak membangun Indonesia untuk
menengok kembali dan memperkuat konsepsi manajemen pemerintahan berdasarkan tujuan
bernegara yang digagas oleh para pendiri bangsa, yaitu sistem pembangunan kesejahteraan
sosial yang berporos pada model negara kesejahteraan atau welfare state (Suharto, 2006a;
Husodo, 2006). Meskipun model negara kesejahteraan lahir dalam tradisi pemikiran dan
masyarakat Barat, seperti Jeremy Bentham (1748-1832), Otto von Bismarck (1850), Sir
William beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963), ide dasar sistem ini sesungguhnya
telah bersemi dan dikembangkan oleh para pejuang dan pendiri yang sudah sejak muda
berjuang melawan penjajahan dan penderitaan bangsa Indonesia. Dalam sidang-sidang
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), mereka memilih bentuk negara
kesejahteraan sebagai jawaban terhadap kondisi bangsa di masa itu yang dililit kemiskinan,
keterbelakangan, dan kebodohan yang sangat mengenaskan (Husodo, 2006; Suharto,
2007a).
Menurut Husodo (2006:3), Pembukaan UUD 1945 menunjukkan niat dan tujuan
membentuk negara kesejahteraan yang berbunyi “… Pemerintah melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.” Juga tercermin dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pasal 31
yang menjamin hak tiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 33 dengan
tegas mengamanatkan pengelolaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 34
menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan negara wajib
mengembangkan sistem jaminan sosial yang bersifat nasional.
C. LANDASAN FILOSOFI
Untuk menciptakan situasi dan kondisi yang berkeadilan sosial maka urusan
kepemerintahan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 45 dalam alinea IV
Pembukaaan UUD 45 yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial
Agar keadilan dan kesejahteraan umum ini dapat dicapai, maka setiap warga Negara
Indonesia memiliki hak dan tanggung jawab sesuai kemampuannya masing-masing untuk
sebanyak mungkin ikut serta dalam memajukan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu
diperlukan adanya kepastian hukum dalam bentuk Undang-Undang.
Gagasan tentang kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam UUD 1945 merupakan salah
satu alasan paling penting bagi kelahiran sebuah negara. Negara-bangsa Indonesia didirikan
dengan perjuangan para pahlawan yang sangat berat, penuh darah dan air mata. Tujuan
utama pendirian negara ini adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik,
lebih manusiawi dan bermartabat. Maka penciptaan kesejahteraan sosial merupakan alasan
paling mendasar bagi kelahiran bangsa ini. Itulah sebabnya, gagasan kesejahteraan sosial
tersebut sudah disebut pada bagian pembukaan UUD 1945.
Tetapi gagasan yang tertuang dalam UUD 1945 tersebut tidak lahir di dalam konteks
sendiri. Ia lahir sejalan dengan perkembangan umum masyarakat dunia, terutama para
pemenang Perang Dunia II (PD II) yang mulai berefleksi tentang masalah perbenturan
ideologi yang menjadi penyebab pertikaian. Beberapa negara Eropa, khususnya Inggris,
dan Amerika Serikat memandang penting melakukan ”kompromi ideologis” antara
“sosialis” (kiri) dan ”kapitalis” (liberal, kanan): sosial demokratik. Kompromi ideologis
memperkuat model ”Welfare State” (pajak tinggi, pelayanan sosial diperbaiki, asuransi
sosial dan pensiun dipenuhi, pendidikan dijamin pemerintah, layanan kesehatan tersedia).
Sebelumnya sudah ada asuransi sosial (von Bismarck, 1880-an); sosial security act untuk
mengurangi pengangguran (New Deal dari Roosevelt, 1935); Beveridge (the Beveridge
Report tahun 1942) yang menjadi cikal-bakal ”sosial administration” yang menyediakan
layanan kesehatan, jaminan sosial, pendidikan mencakup seluruh masyarakat).
Di awal tahun 1950-an PBB mensponsori penyebaran sistem kesejahteraan sosial di negara-
negara baru merdeka. Model yang diperkenalkan sangat sempit, yakni yang bersifat
remedial (koreksional dan rehabilitatif). Fokus: anak-anak, keluarga, remaja, lansia.
Indonesia tentu saja tidak luput dari pengaruh ini. Kelahiran Departemen Sosial dan
pendirian lembaga pendidikan kesejahteraan sosial pertama di Bandung (yang menjadi
cikal-bakal Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial/STKS) merupakan dampak dari program
PBB di tahun 1950-an tersebut. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial di Indonesia
diterjemahkan dalam kerangka pendekatan administrasi sosial (sosial administration) yang
lebih diarahkan pada penyediaan layanan bagi kelompok-kelompok paling rentan di
masyarakat seperti orang-orang cacat, lanjut usia, anak telantar, dan lain-lain. Tetapi di
akhir tahun 1960-an PBB mulai mengoreksi kebijakannya dan mulai mensosialisasikan ide-
ide pembangunan sosial yang lebih luas.
Itulah sebabnya, diperlukan sebuah dasar hukum atau undang-undang yang memungkinkan
negara berbagi peran dengan komponen-komponen sosial lain, seperti dunia usaha dan
lembaga-lembaga sosial masyarakat, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial
universal di Indonesia. Keberadaan dasar baru tersebut memiliki beberapa nilai strategis
yang sangat penting dan tetap sejalan dengan semangat dan prinsip-prinsip kesejahteraan
sosial yang terkandung di dalam sila kelima Pancasila, yakni mewujudkan ”keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” dan UUD 1945 .
Pertama, dasar hukum tersebut akan memberi landasan hukum, perlindungan dan jaminan
bagi kerjasama produktif antara negara dan pemerintah dengan pihak swasta dan lembaga-
lembaga kemasyarakatan dalam pengembangan, penyediaan layanan kesejahteraan sosial
dan pemberdayaan kapabilitas kalangan penyandang masalah sosial agar mampu
mengembangkan dirinya.
Kedua, Dasar hukum tersebut akan menjamin interkoneksi dan integrasi pelbagai
komponen perundang-undangan bidang kesejahteraan sosial yang lebih spesifik
mengangkut beberapa masalah khusus. Integrasi ini akan memastikan bahwa pelaksanaan
pelbagai undang-undang khusus, seperti perlindungan anak, kekerasan terhadap perempuan
dan lain-lain, terarah pada satu tujuan dan muara yang sama.
Ketiga, dasar hukum baru tersebut akan memberi orientasi baru program pembangunan
kesejahteraan sosial yang sejalan dengan perkembangan global saat ini dan sekaligus
mengantisipasi kecenderungan masalah-masalah sosial yang akan ditimbulkannya.
Keempat, dasar hukum baru ini akan memberi kerangka baru pembangunan sosial yang
tidak semata-mata memberikan pelayanan yang bersifat pasif kepada orang-orang, keluarga
dan kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial; melainkan sekaligus bersifat aktif
dan bernuansa investasi sosial. Undang-undang ini memastikan bahwa pembangunan sosial
merupakan sebuah investasi produktif dalam rangka pengembangan potensi dan kapabilitas
manusia sehingga pada gilirannya mereka dapat berkontribusi terhadap kemajuan
masyarakatnya.
Secara garis besar, landasan hukum bidang kesejahteraan sosial, diarahkan untuk menjamin
terselenggaranya pelayanan kesejahteraan dan investasi sosial yang berkualita dan
produktif sehingga dapat meningkatkan kapabilitas, harkat, martabat dan kualitas hidup
manusia, mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat, mencegah dan menangani
masalah kesejahteraan sosial, mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan
kesejahteraan sosial, serta memperkuat ketahanan sosial bagi setiap warga negara
D. LANDASAN SOSIOPOLITIS
Ketidaksesuaian produk hukum yang ada dengan pelaksanaan peran negara yang
selayaknya dilakukan bagi PMKS akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum
dalam pemenuhan hak atas peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial. Secara
sosiologis, hal ini akan menimbulkan kemiskinan struktural, ketelantaran, perilaku anti
sosial, kondisi disharmoni, kerawanan sosial dan tindak kejahatan yang akan menjadi
pemicu terjadinya disintegrasi sosial. Pada akhirnya akan menjadi beban sosial masyarakat
dan pemerintah yang membutuhkan biaya pembangunan yang lebih besar. Hal ini, secara
potensial akan mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Dampak psikologis yang ditimbulkan karena belum adanya undang-undang yang mengatur
tentang Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, yaitu
terganggunya rasa keadlian (sense of equity), munculnya kecemburuan sosial,
ketidakberdayaan, sikap fatalistik dan agresivitas, serta perilaku menyimpang lainnya.
Untuk menjamin terpenuhinya hak sosial, dan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan sosial pada tingkat lokal, nasional, dan global, maka perlu dilakukan
pembaruan Kesejahteraan Sosial secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dengan
adanya pengaturan tentang pembangunan kesejahteraan sosial dalam bentuk undang-
undang berarti negara telah memberikan perlindungan sosial dan layanan yang berpihak
kepada rakyat miskin, sehingga keadilan sosial dirasakan oleh semua warga tanpa
terkecuali sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Sementara iru, pendekatan yang berbasis hak lebih mengedepankan prinsip partisipatif dan
pemberdayaan yang tetap menjamin pelaksanaan kewajiban pemerintah dalam
penanggulangan masalah sosial yang dapat dipertanggungjawabkan berdasar hukum, serta
mampu memfasilitasi peningkatan kapasitas tindakan penanggulangan masalah sosial yang
secara langsung berkontribusi pada penghapusan atau pengendalian PMKS.
1. Negara
Negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, memiliki peran sentral dalam usaha
kesejahteraan sosial terutama karena selain negara memiliki kewajiban memenuhi hak-hak
dasar publik sebagai konstituennya, negara juga memiliki peran utama dalam sebagai
regulator (pembuat kebijakan publik) dan fasilitator (penyediaan dan pengelolaan anggaran
publik) bagi usaha kesejahteraan sosial. Sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman dan
praktik kenegaraan di seluruh dunia, peran negara dalam menjalankan pembangunan
kesejahteraan sosial tidak boleh direduksi dan apalagi diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat dan sektor swasta. Selain melanggar konstitusi, mereduksi peran negara dalam
usaha kesejahteraan sosial sama artinya dengan pengingkaran kewajiban negara dalam
memenuhi kebutuhan dasan warganya. Warga negara pada hakekatnya adalah konstituen
yang menyerahkan mandatnya kepada pemerintah dan karenanya merupakan faktor
penentu eksistensi negara itu sendiri. Dalam menjalankan misinya, Pemerintah pusat perlu
bekerjasama dengan PEMDA sehingga pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial
tidak tumpang tindih yang dapat mengakibatkan inefisiensi dan tidak akan mencapai
tujuannya secara maksimal.
3. Sektor swasta
E. LANDASAN YURIDIS
Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada
sebagian warga negara yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri karena
kondisinya yang mengalami hambatan fungsi sosial, dan akibatnya mereka mengalami
kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dasar serta tidak dapat menikmati
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Bagi fakir miskin dan anak telantar seperti yang dimaksud dalam UUD 45 diperlukan
langkah-langkah perlindungan sosial (protection measures) sebagai perwujudan
pelaksanaan kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin terpenuhinya hak dasar
dasar warganya yang tidak mampu, miskin atau marginal. Dalam UUD 1945 Pasal 28 H
ayat 2 dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakukan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, khususnya yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) yang menyatakan “setiap orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenan dengan kekhususannya”.
Komitmen global dan regional dalam pembangunan kesejahteraan sosial harus diupayakan
pencapaiannya meliputi antara lain konvensi-konvensi tentang HAM, hak anak, hak wanita,
hak penyadang cacat/ orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, pelayanan sosial
bagi korban NAPZA, dan berbagai protokol tambahan yang terkait, antara lain : Single
Convention on Drugs Tahun 1961 beserta Protokol 1972 (Dasar Hukum Narkotika
Internasional); Convention on Psychotropic Substances 1971; Deklarasi Menlu ASEAN
tentang Narkotika di Manila tahun 1976; Resolusi PBB No. 44/1982 tanggal 20 Desember
1989, Penetapan Tahun 1994 sebagai Tahun Keluarga Internasional; UN-World
Programme of Action Concerning Disabled Persons, 1980; Convention on the Right of the
Child (Konvensi Hak Anak), 1990; Resolusi PBB No. 047/237 tanggal 8 Desember 1993,
Penetapan tanggal 15 Mei 1993 sebagai Hari Keluarga Internasional; Konferensi Dunia
tentang Hak Azasi Manusia (HAM), Wina 1993, (Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
Adalah Pelanggaran HAM); KTT Dunia Pembangunan Sosial (WSSD) 1995; Konferensi
Dunia ke IV tentang Perempuan, di Beijing 1995; Sidang Khusus ke 24 Majelis Umum
PBB mengenai hasil KTT Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Copenhagen + 5 di Jeneva)
Tahun 2000; Asia Pacific Decade of Disabled Persons : 1993-2002; Deklarasi Majelis
Umum PBB tentang Hari Internasional Penyandang Cacat; Konvensi PBB tentang Hak
Asasi Penyandang Cacat (Piagam Millenium III).
Didalam sila ke-5 Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas
dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar salah
satu filosofis pembangunan bangsa, karenanya setiap warga Negara Indonesia berhak
atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya. Agar keadilan dan kesejahteraan sosial
ini dapat dicapai, maka setiap warga Negara Indonesia berhak dan wajib sesuai
kemampuannya masing-masing untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha
kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan Sosial merupakan amanat dan perintah UUD 1945, yang dicantumkan
dalam judul Bab XIV yaitu ” Kesejahteraan Sosial”. Dalam Amandemen UUD 1945
kini judul Bab XIV UUD 1945 itu adalah ” Per-ekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial”.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 huruf H
ayat (3), Pasal 34 ayat (1) dan (2) mengatur mengenai hak-hak warga Negara dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial, yaitu :
a. Pasal 27 ayat (2) menyatakan : “ Tiap-tiap warga Negara Indonesia berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “.
b. Pasal 28 huruf C ayat (1) menyatakan :” Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”
c. Pasal 28 huruf H ayat (2) menyatakan : ”Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”
d. Pasal 28 huruf H ayat (3) menyatakan : “ Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat “.
e. Pasal 34 ayat (1) menyatakan : “ Fakir miskin dan anak-anak yang telantar
dipelihara oleh negara “.
f. Pasal 34 ayat (2) menyatakan : “ Negara mengembangkan sistem jaminan Sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan “.
Pasal-pasal dalam amanat konstitusi tersebut memberi penegasan bahwa setiap warga
Negara berhak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan pemerintah wajib
melindungi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia dan berusaha untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi setiap warga Negara Indonesia. Dengan
demikian Kesejahteraan Sosial berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Pasal 5 ayat (3) : Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perbandingan lebih berkenan dengan
kekhususannya.
Pasal 41 ayat (1) : Setiap warga Negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan
untuk hidup layak, serta perkembangan pribadinya secara utuh.
Penjelasannya : Yang dimaksud dengan “Berhak atas Jaminan Sosial” adalah bahwa
setiap warga Negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kemampuan Negara.
Selain itu bagi masyarakat yang tergolong tidak mampu berhak memperoleh perhatian
yang lebih, dan ini merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan
masyarakat yang akan diatur dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 dibuat pada era sentralisasi dan peran pemerintah
pusat sangat besar dan dominan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999
yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, maka sistem pemerintahan telah berubah ke arah desentralisasi, sehingga
semua kebijakan perlu disesuaikan.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 substansinya sangat sumir, hanya terdiri dari 5
(lima) Bab dan 12 Pasal, dan hanya memuat ketetentuan-ketentuan pokok saja,
sehingga untuk saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang terutama penanganan permasalahan sosial yang semakin meningkat dan
kompleks. Demikian halnya dalam hal tugas-tugas pemerintah belum mengakomodir
tugas pemerintah dalam pencegahan terjadinya masalah sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemeliharaan kearifan sosial, serta perlindungan bagi penyandang masalah
kesejahteraan sosial. Sasaran, jenis-jenis pelayanan kesejahteraan sosial dan potensi dan
sumber dana kesejahteraan sosial sedemikian rupa belum diuraikan dalam Undang-
Undang tersebut, sehingga skema kebijakan nasional di bidang kesejahteraan sosial
menjadi belum terarah. Selain itu belum ada pengaturan tentang tugas dan wewenang
pemerintah daerah dalam menanggulangi masalah sosial sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 13 dan Pasal 14.
Undang-undang tersebut dibuat pada tahun 1974 sehingga telah berumur 33 tahun,
tentunya banyak pasal-pasal yang perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan
keadaan saat ini, termasuk banyaknya konvensi international yang telah diratifikasi
yang membuat Undang-undang tersebut menjadi kurang relevan lagi dengan paradigma
pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Konvensi international tersebut berbasiskan
pada perhatian, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Dari segi teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, tentunya harus menyesuaikan dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Mengingat pelayanan kesejahteraan sosial merupakan salah satu faktor yang berfungsi
sebagai sistem perlindungan sosial dasar bagi warga masyarakat beserta keluarganya,
maka jaminan kesejahteraan sosial pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan
makro pembangunan kesejahteraan sosial dan dilaksanakan berlandaskan komponen
hak asasi manusia yang berdimensi luas bagi hak dan martabat manusia. Dengan
demikian, pelayanan kesejahteraan sosial erat kaitannya dengan kewajiban Negara
untuk melindungi warga negaranya sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Universal
HAM PBB tanggal 10 Desember 1948. Sampai saat ini deklarasi tersebut masih
dijadikan sebagai referensi bagi setiap Negara anggota PBB untuk menaruh
komitmennya dalam pelaksanaan HAM melalui jaminan sosial. Negara yang tidak
menyelenggarakan jaminan sosial, dapat dipandang sebagai Negara yang melanggar
pelaksanaan HAM.
hambatan fungsi sosial seperti PMKS. Usaha kesejahteraan sosial yang khusus
diberikan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial selanjutnya disebut Pelayanan
Kesejahteraan Sosial.
BAB III
RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIS
A. KESEJAHTERAAN SOSIAL
Telah banyak dipahami bahwa istilah Kesejahteraan Sosial dapat diartikan secara
luas dan secara sempit. Pengertian Kesejahteraan Sosial serta unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya menurut Romanyshyn (1971:3), kesejahteraan sosial
mencakup semua bentuk intervensi yang memiliki tujuan utama mendorong
peningkatan kesejahteraan individu dan masyarkat secara keseluruhan. Dia
menyamakan kesejahteraan sosial sebagai aktivitas pelayanan yang mencakup
penyembuhan dan pencegahan masalah-masalah sosial. Dengan kata lain,
kesejahteraan sosial sebagai sistem pelayanan sosial untuk mengatasi dan mencegah
gejala masalah sosial.
kehidupan manusia - ditangani oleh pemerintah, dan menjadi salah satu komponen
atau subsystem kesejahteraan sosial.
Adapun asistensi sosial telah dilaksanakan dan merupakan salah satu tanggung
jawab Departemen Sosial.
• Penyediaan perumahan, dalam arti fisik, tentu saja merupakan bidang profesi
atau ilmu lain yaitu arsitektur. tetapi pemenuhan kebutuhan manusia akan
perumahan untuk meningkatkan "the well-being of individual and the society as
a whole" (Romansnyshyn, 1971 :3) jelas merupakan bidang Kesejahteraan
Sosial. Di Indonesia, penyediaan perumahan, khususnya melalui Perumnas,
dilaksanakan oleh Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat, tetapi untuk
golongan masyarakat yang kurang mampu, Departemen Sosial juga telah ikut
berperan serta dalam pemugaran perumahan mereka.
Pelbagai gagasan dan teori tentang kesejahteraan sosial pada dasarnya adalah
refleksi dari suatu kondisi yang diidealkan atau diimajinasikan oleh para pemikir
b. Sebagai jaring pengaman sosial. Gagasan tentang hal ini merupakan jawaban atas
dampak sosial dari perubahan-perubahan kebijakan ekonomi. Program
diarahkan pada kelompok-kelompok tertentu (targeted) untuk mengatasi
masalah-masalah paling mendesak.
Kelompok masyarakat yang cenderung berada pada titik yang paling jauh untuk
dapat menikmati pelayanan pembangunan dan berkesempatan berperan serta dalam
proses pelaksanaan pembangunan adalah para penyandang permasalahan
kesejahteraan sosial. Dengan demikian pada dasarnya pembangunan bidang
kesejahteraan sosial bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
sosial masyarakat, khususnya bagi mereka yang dikategorikan penyandang
permasalahan kesejahteraan sosial, agar mereka tidak tertinggal oleh warga
masyarakat lainnya. Oleh karena itu pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang
mengupayakan peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan keadilan sosial
merupakan salah satu aspek pembangunan kesejahteraan rakyat.
Usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan hukum
atau perundang-undangan, kebijakan serta program-program dan kegiatan
pelayanan dan /atau pelayanan sosial atau intervensi sosial serta pengadaan atau
provisi yang mengindikasikan adanya organisasi formal yang mendapat dukungan
sosial.
Dalam pengertian sistem tersebut tercermin adanya interaksi dan keterkaitan antara
berbagai bidang di dalam sistem dan antara sistem usaha kesejahteraan sosial
dengan lingkungannya. Sehingga antara aspek-aspek hukum dan perundang-
undangan, kebijakan dan program-program serta kegiatan-kegiatan di bidang usaha
kesejahateraan sosial dan antara usaha kesejahteraan sosial dengan sistem eknomi,
politik, sosial, serta segenap aspek kehidupan masyarakat lainnya terjadi saling
berkaitan.
PERGESERAN PARADIGMA
Pada sisi lain keberadaan institusi sosial, dinas sosial/ dinas kesejahteraan sosial,
Orsos/ LSM di bidang kesejahteraan sosial, panti-panti sosial yang berada dalam
kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan swasta membutuhkan
peningkatan kapasitas, standarisasi dan suatu saat nanti perlu diakreditasi, sehingga
profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial dapat ditingkatkan.
Oleh karena itu, diberbagai negara telah dikenal skema/ kebijakan publik formal
(formal public schemes) yang dikelola oleh pemerintah yang mencakup Kebijakan
Subsidi Konsumen (consumers subsidies) dan Jaminan Sosial (sosial security).
Kebijakan subsidi saat ini yang sedang berjalan dalam bentuk program kompensasi
BBM.
Adapun sistem jaminan sosial mencakup program asuransi sosial (sosial insurance)
dan bantuan sosial (sosial assistance). Kegiatan ‘bantuan sosial’ ini sudah banyak
dilakukan oleh Departemen Sosial, walaupun ‘bantuan sosial’ yang dimaksud masih
sifatnya charity.
Peran dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara proporsional dan jelas
posisinya, akan menghasilkan sistem perlindungan sosial (sosial protection) sebagai
basis dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Tindakan:
- Tidak masa bodoh terhadap permasalahan yang dialami penduduk miskin
- Reaksi cepat terhadap gejala degradasi, habisnya sumber daya dan bencana
sosial, karena penduduk miskin paling menderita
- Deteksi dini terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat
- Membangun kelembagaan yang efektif dalam pemberdayaan, jaminan dan
inklusi sosial.
Tindakan:
- Community-driven development
- Akuntabilitas sosial dan lingkungan
- Pendekatan terpadu untuk analisis sosial dan lingkungan
- Kelembagaan yang efektif dan bertanggungjawab (akuntabilitas publik)
Tindakan:
- Pendekatan terpadu untuk analisis sosial, ekonomi, lingkungan dan
pemecahan masalah (termasuk pengembangan indikator sosial).
- Manajemen resiko sosial (termasuk manajemen konflik)
Seiring dengan semakin intensifnya kerjasama antar negara, baik melalui lembaga
PBB maupun yang bersifat langsung antar negara, khususnya dalam kaitan dengan
pembangunan sosial, telah disepakati berbagai komitmen global dan regional dalam
upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan setiap warga dunia.
Pada saat bersamaan berkembang pula berbagai issu global seperti HAM,
kependudukan, desentralisasi, debirokratisasi, civil society, kesetaraan gender,
pelestarian lingkungan hidup dsb. Dinamika sosial dimaksud berdampak sangat
mendasar dalam kehidupan sosial masyarakat dan menimbulkan perubahan sosial
yang cepat, yang dalam banyak hal belum mampu diimbangi oleh sebagian warga
masyarakat. Kondisi demikian merupakan potensi kearah tumbuh kembangnya
permasalahan sosial baru ditanah air seperti semakin maraknya peredaran obat
terlarang / Napza, tindak kekerasan dan berbagai tindak eksploitasi, keretakan
keluarga dsb disamping permasalahan sosial lainnya seperti kemiskinan,
ketelantaran, kecacatan dsb. Semua itu perlu direspon secara profesional dan
memperlakukan korban dari tindakan kejahatan atau penyimpangan perilaku secara
adil atau non diskriminatif
Disamping itu secara bersamaan dan proposional perlu juga diberikan perhatian
khusus terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dapat menimbulkan
dampak baik positif maupun negatif terhadap upaya untuk menjaga keutuhan NKRI.
Pada sisi lainnya upaya untuk meningkatkan kesadaran sosial, tanggung jawab
sosial dan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan
pembangunan melalui upaya pemberdayaan infra struktur kesejahteraan sosial
sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial akan terus
dikembangkan.
Para penerima (beneficiary) pelayanan sosial yang ada saat ini sesungguhnya
membutuhkan untuk terlibat dalam progarm-program ekonomi secara langsung.
Mereka sebagian masih memiliki kemampuan untuk bekerja baik kepada orang
lain maupun membuka usaha mikro yang dikelolanya sendiri. Itulah sebabnya,
program-program semacam KUBE dan lainnya perlu lebih diberdayakan dengan
menyediakan program-program dukungan, baik pelatihan, magang kerja
maupun bantuan permodalan. Investasi pada program-program seperti ini akan
mendorong ”self-sufficiency” ekonomi dan sekaligus memfasilitasi PMKS
untuk berkontribusi kepada ekonomi.
Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang
didalamnya memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang
kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak telantar) serta
sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan
flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia (Suharto, 2006b).
Sehingga kalau mau jujur, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham
“Negara Kesejahteraan" (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan
Partisipatif” (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan sosial
dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism. Model ini
menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah
sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial security), meskipun dalam
operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.
Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera
(konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan
hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan,
pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian seperti ini menempatkan
kesejahtenaan sosial sebagai tujuan (end) dari suatu kegiatan pembangunan.
Misalnya, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
sosial masyarakat. Kesejahteraan sosial dapat juga didefinisikan sebagai arena atau
domain utama tempat berkiprah pekerjaan sosial. Sebagai analogi, kesehatan adalah
arena tempat dokter berperan atau pendidikan adalah wilayah dimana guru
melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Pemaknaan kesejahteraan sosial sebagai
arena menempatkan kesejahteraan sosial sebagai sarana atau wahana atau alat
(means) untuk mencapai tujuan pembangunan (Suharto, 2006b).
Dalam RUU ini, Kesejahteraan Sosial diartikan sebagai proses atau usaha terencana
yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun
badan-badan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian
pertama) dan menyelenggarakan pelayanan sosial (pengertian ke dua dan ketiga),
terutama bagi masyarakat yang mengalami masalah sosial. Oleh karena itu, istilah
yang digunakan untuk nama RUU menjadi Kesejahteraan Sosial.
Mengacu pada buku Charles Zastrow (2000), Introduction to Sosial Work and Sosial
Welfare, ada tiga pendekatan dalam UKS, yaitu perspektif residual, institusional, dan
pengembangan (Suharto, 2006b). Ketiga perspektif tersebut sangat berpengaruh dalam
membentuk model welfare state (negara kesejahteraan) yang merupakan basis
pembangunan kesejahteraan sosial, khususnya pemberantasan kemiskinan di negara--
1. Pendekatan Residual
Pandangan residual menyatakan bahwa pelayanan sosial baru perlu diberikan hanya
apabila kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan baik oleh lembaga-lembaga
yang ada di masyarakat, seperti institusi keluarga dan ekonomi pasar. Bantuan
finansial dan sosial sebaiknya dibenikan dalam jangka pendek, pada masa
kedaruratan, dan harus dihentikan manakala individu atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan tadi dapat berfungsi kembali. Di Amerika Serikat, program-
program Bantuan Publik (public assistance), seperti Supplemental Security Income
(SSI), General Assistance, Medicaid, Food Stamps, Housing Assistance, dan Aid to
Families with Dependent Children (AFDC) - kini menjadi Temporary Assistance
for Needy Families (TANF) (Chambers, 2000), adalah beberapa contoh program
residual dalam penanggulangan kemiskinan.
Perspektif residual sangat dipengaruhi ideologi konservatif (berasal dari kata kerja
“to conserve”, “memelihara” atau “mempertahankan”) yang cenderung menolak
perubahan (Parsons et al, 1994; Zastrow, 2000). Menurut ideologi ini tradisi dan
kepercayaan yang berubah cepat akan menghasilkan dampak negatif, ketimbang
positif. Dalam konteks ekonomi, penganut konservatif melihat bahwa pemerintah
tidak perlu melakukan intervensi terhadap bekerjanya pasar. Daripada mengatur
bisnis dan industri, pemerintah lebih baik mendukungnya melalui pemberian
insentif pajak. Ekonomi pasar bebas adalah cara paling baik untuk menjamin
kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan individu. Welfare state yang berwajah
rudimentary, selektivitas dan melibatkan pendekatan means-tested kemudian
diyakini oleh para residualist sebagai model yang tepat dijalankan dalam sistem
kesejahteraan sosial suatu negara (lihat Spicker, 1995; Suharto, 2005c).
pelayanan sosial dianggap sebagai klien, pasien, orang yang tidak mampu
menyesuaikan din atau bahkan penyimpang (deviant) (Parsons et al, 1994).
2. Pendekatan Institusional
3. Pendekatan Pengembangan
Skema pelayanan sosial means-tested umumnya hanya diberikan kepada orang miskin
yang memiliki pendapatan tertentu atau di bawah garis kemiskinan yang telah
ditetapkan. Misalkan garis kemiskinan yang ditetapkan adalah Rp. 100.000 per bulan.
Maka hanya orang yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan itulah yang berhak
menerima pelayanan sosial. Akibatnya, skema ini menimbulkan stigma, karena
penerima pelayanan sosial selalu diidentikan dengan orang miskin dan tidak mampu.
Apabila orang tersebut suatu ketika mendapat pekerjaan dengan upah, katakanlah Rp.
110.000 per bulan, secara otomatis dia harus melepaskan bantuan sosial yang
diterimanya. Kondisi ini sering memaksa para penerima pelayanan untuk tetap tidak
bekerja, terutama jika upahnya hanya lebih sedikit dari standar kemiskinan. Situasi
seperti inilah yang kemudian disebut sebagai “jebakan kemiskinan”, karena orang
miskin tenpaksa atau dipaksa untuk terus hidup di bawah garis kemiskinan.
Konsepsi pembangunan sosial yang diajukan Midgley (1995) dalam buku Sosial
Development: The Developmental Perspective in Sosial Welfare (1995)
menawarkan pendekatan alternatif, yakni perspektif pengembangan (developmental
perspective) yang memadukan aspek-aspek positif dari pendekatan residual maupun
institusional (Zastrow, 2000). Penspektif pengembangan ini sering disebut juga sebagai
pendekatan pembangunan sosial yang o!eh Midgley (1995:25) didefinisikan sebagai “a
process of planned sosial change designed to promote the well-being of population as a
whole in conjunction with a dynamic process of economic development.” Perspektif
pengembangan seja!an dengan ideologi liberal dan pendekatan institusional. Ia
mendukung pengembangan program-program kesejahteraan sosial, peran aktif
pemerintah, serta pelibatan tenaga-tenaga profesiona! dalam perencanaan sosial.
Dalam buku sebelumnya, The Sosial Dimensions of Development: Sosial Policy and
Planning in the Third World, Hardiman dan Midgley (1982) berpendapat bahwa
penanganan masalah sosial di Dunia Ketiga seharusnya lebih difokuskan kepada
kemiskinan, karena merupakan masalah dominan dan mempengaruhi permasalahan
sosial lainnya. Namun, mengingat kemiskinan di negara berkembang memiliki
karakteristik yang berbeda dengan negara-negara industri maju, maka strategi yang
digunakan di negara maju tidak dapat begitu saja diadopsi negara berkembang. Oleh
karena itu, selain menyatukan dua perspektif dan ideologi kesejahteraan sosial yang
tadinya berlawanan, perspektif pengembangan juga muncul sebagai reaksi terhadap tiga
strategi peningkatan kesejahteraan sosial, yakni filantropi sosial, pekerjaan sosial dan
administrasi sosial, yang dianggap Midgley terlalu didominasi oleh pendekatan residual
dan program-program sosial yang bersifat remedial dan kuratif.
Metoda pekerjaan sosial yang bermatra klinis, yang seringkali digunakan para pekerja
sosial di negara-negara maju, dipandang Midgley kurang tepat jika digunakan dalam
menangani kemiskinan. Sebagai ilustrasi, kemiskinan di AS banyak disebabkan oleh
faktor-faktor yang bersifat individual, seperti kesehatan yang buruk, kecacatan fisik,
kecacatan mental, masalah emosional, alkoholisme, penyalahgunaan narkoba (Zastrow,
2000) dan karenanya cocok jika ditangani dengan metode casework atau terapi individu
dan konseling. Sedangkan kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor-faktor
struktural, semisal KKN atau sistem pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial yang
kurang memadai. Midgley mengusulkan bahwa selain memerlukan program-program
penguatan sosial dan ekonomi dalam skala masyarakat, penanggulangan kemiskinan
perlu pula didukung oleh kebijakan ekonomi dan sosial pada skala nasional (Hardiman
dan Midgley, 1982; Midgley, 1995; lihat Suharto, 2005b).
Namun dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu
tidak terlalu memuaskan. Umumnya, argumentasi pesimis menyatakan bahwa
desentralisasi hanya memperkuat elit-elit lokal, menyuburkan primordialisme,
‘mendaerahkan KKN (Kompsi, Kolusi dan Nepotisme)’ dan ‘meng-KKN-kan daerah’.
Bahkan argumentasi yang lebih psimis lagi menyatakan bahwa desentralisasi menyulut
disintegrasi bangsa.
Bukti empiris ini menunjukkan bahwa semakin banyak perhatian harus diberikan pada
cara-cara meningkatkan akuntabilitas dan daya responsif institusi-institusi
pemerintahan melalui pembahan desain kelembagaan dan pemberdayaan struktur-
struktur pemerintahan yang baik (good governance). Menguatnya embusan
desentralisasi membawa harapan dan tantangan tersendiri bagi proses dan pencapaian
tujuan-tujuan pembangunan kesejahteraan sosial. Tanpa good governance (tata
pemerintahan yang baik), desentralisasi akan lebih meminggirkan pembangunan
kesejahteraan sosial. Terutama pada masa transisi dan pencarian makna sejati
desentralisasi, pemerintahan di daerah cenderung lebih bergairah dalam meningkatkan
investasi ekonomi secepatnya daripada melakukan investasi sosial jangka panjang.
Tanpa sikap dan komitmen yang jelas mengenai makna good governance, desentralisasi
dapat menimbulkan jebakan-jebakan bagi strategi dan implementasi pembangunan
kesejahteraan sosial di daerah. Desentralisasi yang terutama digerakan oleh globalisasi
pada aras intemasional dan reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-isu yang
mempengaruhi perkembangan kesejahteraan sosial di daerah. Tanpa good governance,
maka desentralisasi dapat menimbulkan berbagai jebakan yang menghambat
pembangunan, khususnya di bidang kesejahteraan sosial. Ada tiga isu utama yang
mendasari aksioma ini (Suharto, 2007b).
Berdasarkan analisis situasi di atas, diperlukan perubahan yang mendasar dalam hal
paradigma, kebijakan, strategi dan program-program pembangunan kesejahteraan
sosial pada masa yang akan datang. Hasil analisis retrospektif dan prospektif
disajikan dalam tabel berikut ini:
Retrospektif Prospektif
- Orientasi kebijakan nasional - Orientasi kebijakan nasional bertumpu pada
bertumpu pada pertumbuhan ekonomi pembangunan sosial dan kesejahteraan (prosperity)
dan keamanan yang bersifat represif
- penyusunan kebijakan dan program/ proyek harus
- penyusunan kebijakan dan program/ didasarkan pada underlying causes dan basic factors,
proyek didasarkan pada immediate sehingga masalah struktural dapat diketahui dan
causes dijadikan dasar utama dalam menentukan kebijakan
nasional
- pemberian pelayanan didasarkan atas - prinsip pelayanan harus didasarkan pada prinsip
prinsip selektivisme (sesuai dengan universalisme, sesuai dengan konvensi-konsvensi
inputs APBN yang tersedia) international tentang perlindungan HAM kelompok
rentan, miskin dan marginal
- keberhasilan program/ proyek dilihat - keberhasilan program/ proyek dilihat dari pencapaian
dari pencapaian target administratif/ target fungsional (outcomes dan impact)
fisik (outputs)
- tenaga pelaksana berbasiskan pada pekerja sosial
- tenaga pelaksana berbasiskan (sosial worker) dan tenaga kesejahteraan (welfare
voluntarism worker)
Masalah sosial di Indonesia, berkembang sangat dinamis mulai dari anak sampai
keluarga yang tidak sesuai norma agama, norma moral, norma hukum, norma keluarga,
dan/atau norma lainnya dalam kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut saling
mempengaruhi penanganan semakin kompleks.
Berbagai masalah sosial yang terjadi disebabkan antara lain derasnya migrasi, pengaruh
globalisasi, melemahnya norma-norma kehidupan masyarakat, sehingga menurunnya
kualitas mental masyarakat dan kesetia-kawanan sosial, yang berimplikasi pada
kemiskinan, kerawanan sosial, keter-lantaran, kecacatan, ketunaan sosial, tindak
kekerasan, bencana sosial, dan berkembang berbagai penyakit sosial dalam kehidupan
masyarakat. Sehubu-ngan hal tersebut, usaha kesejahteraan sosial menjadi penting
dalam upaya mencegah dan penanggulanan masalah sosial, memulihkan fungsi sosial,
mengembangkan potensi sosial, memberdayakan sumber daya sosial, dan melindungan
dari kerawanan sosial.
1. Kesejahteraan Keluarga
2. Kesejahteraan anak
Strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut yaitu melalui pemberdayaan
anak, keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan
kerjasama, peningkatan kapasitas pelayanan sosial, standardisasi pelayanan sosial
dan pengembangan kelembagaan pelayanan, desentralisasi pelaksanaan program,
respek terhadap prinsip umum Konvensi Hak Anak, yang meliputi non
diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, perhatian terhadap perspektif anak dan
integrasi pelayanan sosial dalam perlindungan hak-hak anak.
Khusus bagi para remaja dilakukan juga bimbingan keterampilan kerja/ usaha
untuk dapat hidup mandiri melalui pemberian bantuan stimulans usaha ekonomis
produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) melalui pusat kesejahteraan
sosial remaja atau pelayanan terpadu melalui Panti Sosial Bina Remaja (PSBR),
lembaga-lembaga keterampilan, dan sanggar belajar.
3. Kesejahteraan Perempuan
Strategi untuk mencapai tujuan yaitu pelembagaan sensitivitas gender dalam setiap
aktivitas pembangunan, pemberdayaan perempuan dalam keluarga dan masyarakat,
kerjasama dan kemitraan dengan Organisasi Sosial Kemasyarakatan/LSM.
Setiap perempuan berhak memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama dalam
pendidikan dan pelatihan, pekerjaan, perlindungan terhadap keselamatan dan/atau
kesehatan berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan sesuai norma kehidupan
dan penghidupan yang layak dalam masyarakat. Setiap perempuan berkewajiban
menjaga harkat dan martabat dirinya dan keluarga serta kodratnya sebagai
perempuan dengan memperhatikan fungsi dan perannya dalam kehidupan keluarga
dan/atau masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Untuk mewujudkan hak dan
kewajiban perempuan diselenggarakan usaha kesejahteraan sosial kepada
perempuan yang tidak mampu, terlantar, dieksploitasi, dan diperdagangkan.
psikologis, lanjut usia yang rawan sosial ekonomi, erta lanjut usia yang bermukim
di daerah kumuh.
Tujuan utama usaha kesejahteraan tuna sosial adalah rehabilitasi tuna sosial melalui
: (1) meningkatkan fungsi sosial para tuna sosial agar menjadi warga masyarakat
berkualitas, produktif dan mandiri; (2) membangun mekanisme penanganan
masalah tuna sosial berbasiskan masyarakat untuk mencegah tumbuh
berkembangnya tuna sosial; (3) meningkatkan pemahaman per-orangan, keluarga,
kelompok sosial dan masyarakat, khususnya penyandang masalah sosial yang rawan
dan beresiko tinggi tertular HIV/AIDS, agar memiliki keamanan dan kemampuan
ketahanan dan daya tangkal mencegah dan menghindarkan diri dari HIV/AIDS. (4)
memberikan perlindungan tertular HIV/AIDS agar tidak dikucilkan keluarga
dan/atau masyarakat. Selain itu juga dilakukan penyuluhan penanggulangan HIV
dan AIDS kepada generasi muda dan para penyandang masalah sosial yang rawan
dan beresiko tertular HIV/AIDS maupun mereka yang sudah tertular HIV/AIDS dan
keluarganya. Disamping itu dilakukan pencegahan dan terhindarnya kelompok
masyarakat terutama yang rawan dari ketunaan sosial tersebut.
Sasaran kesejahteraan tuna sosial adalah gelandangan dan pengemis, eks narapidana
dan eks anak negara serta penyandang perilaku menyimpang lainnya dari kondisi
ketunaan.
Untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS akan dilakukan (1) penyuluhan atau
kampanye penanggulangan HIV/AIDS; (2) bimbingan sosial dan kegiatan
penjangkauan (outreach program); (3) peningkatan peran dan fungsi lembaga-
lembaga keagamaan dalam mencegah penyimpangan perilaku sosial pada anggota
masyarakat; (4) peningkatan kemampuan petugas konseling serta petugas
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); (6) pembentukan lembaga konseling; (7)
peningkatan sarana dan fasuilitas pelayanan sosial; (8) pengembangan “hotline
services”, dan (9) perlindungan kesejahteraan sosial bagi penderita HIV/AIDS.
Selain masalah ketunaan sosial tersebut, maka penyalah guna narkotika, obat-obatan
terlarang dan zat adiktif di Jakarta menjadi priorotas ditangani. Tujuan rehabilitasi
sosial bagi penyalahguna narkotika adalah: (1) memulihkan fungsi sosial korban
penyalahgunaan, kecanduan, ketergantungan, pemakai narkotika, obat-obat
terlarang dan zat adiktif, termasuk obat-obatan psikoaktif (stimulans, depresants,
hallucinogens dan marijuana); (2) meningkatkan ketahanan dan daya tangkal
masyarakat terhadap perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, obat-obat
terlarang dan zat adiktif
Tujuan usaha kesejahteraan sosial bagi korban bencana dan musibah sosial adalah
(1) meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan dalam penanggulangan bencana
dan muisbah sosial serta terhindarnya masyarakat dan hasil-hasil pembangunan
dari ancaman bencana dan musibah sosial; (2) meningkatkan bantuan pemenuhan
kebutuhan dasar untuk penyelamatan korban akibat bencana alam dan korban
akibat bencana yang ditimbulkan ulah manusia atau korban kerusuhan sosial, serta
warga masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana dan musibah sosial; (3)
melindungi anak-anak, perempuan dan masyarakat rentan dari situasi krisis yang
diakibatkan bencana dan musibah sosial.
Sasaran yang akan dicapai adalah terlayaninya individu, keluarga dan kelompok
masyarakat yang terkena dampak dari terjadinya bencana, baik karena alam
maupun ulah manusia.
Strategi untuk mencapai tujuan yaitu partisipasi, kerjasama dan kemitraan dengan
Organisasi Sosial Kemasyarakatan dan LSM dalam penanggulangan bencana, serta
tranparansi dan akuntabilitas publik.
Kegiatan program ini meliputi (1) tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi;
(2) manajemen kasus dan konsultasi masalah psikososial (3) rekonstruksi,
kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan penyediaan data dan informasi; (4)
peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat; (5) peningkatan pengetahuan
dan keterampilan petugas Penanggulangan Bencana, (6) penyiapan perangkat keras
dan lunak, (7) pengembangan sistem rujukan dan pola pelayanan terpadu; serta (8)
perlindungan sosial bagi anak-anak, perempuan, dan masyarakat rentan lainnya.
Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya akses warga masyarakat terhadap
sistem jaminan sosial terutama mereka yang kurang mampu, mereka yang rentan,
penyandang cacat, lanjut usia terlantar, serta anak, perempuan dan lanjut usia
terlantar.
keluarga dan masyarakat rentan atau yang tidak beruntung terhadap sistem jaminan
sosial.
(2) Setiap warga negara berhak untuk dilindungi dari tindak kekerasan, fisik,
mental seksual, eksploitasi ekonomi dan seksual, diskriminasi, dan perlakuan
buruk lainnya yang dapat merendahkan derajat martabat kemanusiaannya.
(4) Warga negara yang menjadi korban bencana alam, sosial, penelantaran serta
berada dalam situasi buruk lainnya berhak memperoleh bantuan dan jaminan
kesejahteraan sosial.
(5) Warga negara yang memiliki hambatan fisik, mental, sosial dan ekonomi
berhak mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
(6) Warga negara yang berada di daerah terpencil dan terisolir berhak
memperoleh pelayanan kesejahteraan sosial khusus.
(7) Warga negara asing yang mempunyai masalah kemanusiaan yang berada
dalam wilayah Republik Indonesia, berhak mendapatkan pelayanan sosial
khusus dari pemerintah.
(8) Setiap warga negara yang termasuk anak-anak, perempuan, penyandang cacat
dan orang-orang usia lanjut, berhak menerima perlindungan dan bantuan yang
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka, serta berhak
menerima perlakuan yang memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan khusus
mereka.
Mitra kerja pemerintah dalam usaha kesejahteraan sosial adalah Organisasi Sosial dan
Masyarakat, yang juga mempunyai tanggung jawab :
(1) Pengurus Organisasi Sosial bertanggung jawab membina dan mengembangkan
fungsi organisasi sesuai dengan fungsi dan wewenangnya.
(2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengurus Organisasi Sosial berkewajiban melaksanakan usaha kesejahteraan
sosial dan mengembangkan nilai-nilai kesetiakawanan sosial
(3) Peran serta masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial meliputi peran
perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi
kemasyarakatan lainnya dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan kesejahteraan sosial.
(4) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam
penyelenggaraan uaha kesejahteraan sosial.
(5) Dunia usaha dapat berperan dalam pelayanan kesejahteraan sosial dengan
menyisihkan sebagian keuntungannya untuk menangani masalah kemiskinan,
masalah sosial dan memberikan perlindungan sosial.di wilayahnya.
(6) Tanggung jawab sosial pengusaha dilaksanakan dan dikembangkan secara
sinergis dan terpadu dengan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dikelola
pemerintah dan organisasi sosial.
Kita meyakini bahwa bahwa kerjasama antara pelbagai komponen sosial akan
menentukan sukses pembangunan kesejahteraan sosial. Perspektif ini mendukung
gagasan ”pluralisme kesejahteraan” yang memberi ruang sangat luas bagi kontribusi
beberapa entitas sosial dalam penciptaan kesejahteraan sosial. Mereka mencakup
negara, masyarakat sipil, sektor swasta dan lembaga-lembaga pembangunan
international (Hall & Midgley, 2004).
1. Negara
Negara tetap memiliki peran sentral dalam perumusan regulasi, kebijakan,
penyediaan anggaran dan memfasilitasi pengembangan program kesejahteraan
sosial. Baik pemerintah pusat maupun daerah perlu membagi tugas dan
tanggungjawab dalam pelaksanaan kebijakan dan program. Pendekatan
pembangunan sosial tidak setuju dengan usaha reduksi peran negara dalam
kesejahteraan sosial.
2. Masyarakat sipil
Masyarakat sipil juga memiliki peran sangat penting dalam pengembangan dan
perbaikan kebijakan sosial dan implementasi program kesejahteraan sosial. Ia
mencakup Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga-lembaga dan
organisasi massa (ormas), dan organisasi-organisasi profesi. Ia dapat berberan
sebagai lembaga’relief’, pelksana pelayan publik, pengembangan masyarakat dan
pengorganisasi masyarakat.
3. Sektor Swasta
Sektor swasta belakangan semakin menunjukkan komitmen sosialnya untuk
membantu mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal itu telah menjadi semacam
komitmen tanggungjawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility).
Mereka menyediakan dana, keahlian dan sumber daya yang dapat digunakan untuk
pelbagai program pengembangan kesejahteraan sosial. Hal ini sejalan dengan
keinginan untuk menciptakan suatu pembangunan ekonomi yang sensitif pada
lingkungan dan keberlanjutannya.
a. Permasalahan sosial
(6) Korban Bencana Alam dan Sosial, meliputi warga masyarakat yang
mengalami musibah atau bencana, seperti: (1) korban bencana alam, dan (2)
korban bencana sosial yang disebabkan oleh konflik sosial dan
kemajemukan latar belakang sosial budaya.
(7) Korban Tindak Kekerasan, Eksploitasi dan Diskriminasi, meliputi warga
masyarakat yang mengalami tindak kekerasan, seperti: (1) anak yang
dilacurkan, diperdagangkan dan bekerja dalam situasi terburuk (2) wanita
korban tindak kekerasan, (3) Lanjut Usia korban tindak kekerasan; (4)
pekerja migran korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminatif.
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah domain utama para pekerja sosial. Sebagai
ilustrasi, domain utama pembangunan kesehatan adalah dokter, pembangunan
pendidikan adalah guru, pembangunan hukum adalah hakim (Suhanto, 2007b). Tentu
saja, ilustrasi ini tidak berarti bahwa hanya profesi-profesi itu saja yang berkiprah di
domain pembangunan sosial yang disebutkan. Karena kalau dipertajam dan
dispesialisasikan lagi, setiap domain pembangunan pada kenyataannya melibatkan
banyak profesi. Sebagai contoh, dalam pembangunan kesehatan, selain dokter telibat
juga perawat, bidan, psikiater dan bahkan pekerja sosial medis (medical sosial worker).
Pembangunan kesejahtenaan sosial juga melibatkan tidak hanya pekerja sosial,
melainkan pula psikolog, dokter dan psikiater. Namun, secara akademis sering
dinyatakan bahwa setiap profesi memiliki domain utama (primary setting) dan domain
kedua (secondary setting). Misalnya, kesehatan adalah primary setting bagi dokter,
bidan dan perawat; dan merupakan secondary setting bagi pekerja sosial. Sebaliknya,
kesejahteraan sosial adalah primary setting bagi pekerja sosial dan secondary setting
bagi dokter, guru atau polisi. Bila dipetakan, maka Gambar 2 memberi ilustrasi.
Pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan
masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi
sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai
tujuan tersebut (Zastrow, 1999). Sebagai suatu aktivitas profesional, pekerjaan sosial
didasari oleh kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keahlian (body of
skills) dan kerangka nilai (body of values) yang secara integratif membentuk profil dan
pendekatan pekerjaan sosial.
Gambar 2 : Domain Utama dan Kedua bagi Dokter dan Pekerja Sosial
Ketiga komponen tersebut dibentuk dan dikembangkan secara eklektik dari beberapa
ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, politik dan ekonomi. Nilai-
nilai, pengetahuan dan keterampilan pekerjaan sosial dapat dilihat dan definisi
pekerjaan sosial terbanu. Dalam Konferensi Dunia di Montreal Kanada, Juli tahun
2000, International Federation of Sosial Workers (IFSW) (Tan dan Envall, 2000:5)
mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut.
The sosial work profession promotes problem solving in human relationships, sosial
change, empowerment and liberation of people, and the enhancement of society.
Utilizing theories of human behavior and sosial systems, sosial work intervenes at the
points where people interact with their environments. Principles of human rights and
sosial justice are fundamental to sosial work.
Profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi
kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta
perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori penilaku manusia dan sistem-sistem
sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang
berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan
sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial.
Dalam proses pertolongannya, peranan pekerja sosial sangat beragam tergantung pada
konteksnya. Secara umum pekerja sosial dapat berperan sebagai mediator, fasilitator
atau pendamping, pembimbing, perencana, dan pemecah masalah.
Dalam garis besar, ada empat tugas profesi pekerjaan sosial (lihat Suharto, 2006a dan
2006b; DuBois dan Miley, 2005:12):
Guna mengenal lebih jauh fungsi dan peranan pekerjaan sosial, di bawah ini disajikan
beberapa contoh bidang kesejahteraan sosial yang seringkali menjadi tempat
berkiprah para pekerja sosial.
Fokus atau objek formal Kesejahteraan Sosial adalah orang yang memerlukan
pemenuhan berbagai macam kebutuhan serta usaha untuk memenuhinya.
Kesejahteraan Sosial mencakup pengetahuan yang sistematis tentang orang dengan
berbagai macam kebutuhannya dalam hal pendidikan, kesehatan, pemeliharan
penghasilan, perumahan, pelayanan kerja, dan pelayanan sosial personal. Di
samping itu dalam Kesejahteraan Sosial tercakup pula kebijakan sosial yang
mengatur program-program Kesejahteraan Sosial dalam rangka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial. Dalam melaksanakan program program-program
Kesejahteraan Sosial ini diperlukan profesi Pekerjaan Sosial.
Pekerjaan Sosial sebagai profesi utama yang bertanggung jawab atas pelayanan
sosial, merupakan suatu keahlian yang didasari oleh berbagai macam ilmu
pengetahuan, sikap, falsafah dan nilai-nilai, serta keterampilan-keterampilan
tertentu. Ilmu pengetahuan yang mendasari Pekerjaan Sosial tersebut banyak
dipinjam dari ilmu-ilmu lain. Di samping itu juga telah dikembangkan konsep-
konsep yang khas bagi Pekerjaan Sosial sendiri.
Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk
membantu, baik secara perseorangan maupun di dalam kelompok untuk mencapai
kepuasaan dan ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial (Friedlander, 1961).
Adapun hubungannya dengan Usaha Kesejahteraan Sosial di Indonesia, dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 dinyatakan bahwa Pekerjaan Sosial adalah
semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana bagi pelaksanaan Usaha
Kesejahteraan Sosial.
Pekerjaan Sosial adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab
untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi-interaksi diantara orang
dalam melakukan pekerjaan sosial. Dalam hal ini, National Association of Sosial
Workers (NASW) merumuskan tugas Pekerja Sosial sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi, menganalisis, dan menginterprestasikan kebutuhan-
kebutuhan spesifik yang belum terpenuhi diantara individu-individu dan
kelompok-kelompok;
b. Memperbaiki dan meningkatkan hubungan tanggung jawab sosial antara
masyarakat dengan individu-individu anggotanya agar kebutuhan-kebutuhan
yang belum terpenuhi tersebut dapat terpenuhi dan lingkungan yang lebih
memuaskan dapat tercapai.
c. Menerapkan pengetahuan-pengetahuan spesifik, pengalaman-pengalaman,
serta penemuan-penemuan terhadap permasalahan-permasalahan yang dapat
dan perlu dipecahkan melalui program-program kesejahteraan sosial.
Tanda adanya pengkajian ulang dari substansi kerangka praktik Pekerjaan Sosial,
khususnya di Indonesia, maka praktik Pekerjaan Sosial akan selalu tertinggal dalam
memecahkan permasalahan sosial, yang akhirnya sebagai suatu profesi hanya
Ciri-ciri tersebut akan nampak pada pesatnya pembangunan area indutsri baru,
sentralisasi aktivitas ekonomi oleh kalangan elit tertentu, globalisasi informasi yang
telah mempengaruhi perilaku masyarakat, kapitalisme modern yang mengabaikan
masyarakat miskin dan semakin kuatnya politisi dalam menentukan perencanaan
dan kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan dibandingkan dengan ilmuwan,
sehingga produk kebijaksanaan sering berbenturan dengan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, maka Pekerja Sosial profesional pada masa yang akan
datang dihadapkan pada permasalahan yang kompleks dan pesatnya secara kuantitas
dan kualitas dari permasalahan kesejahteraan sosial, sehingga dituntut untuk
menerapkan strategi yang bersifat sistemik. Hal ini dapat dilaksanakan, jika cara
pandang yang holistik dan memiliki kemampuan analisis yang komprehensif.
Namun demikian, profil Pekerja Sosial profesional, tergantung pada penguasaan
kerangka keilmuan (Body of Knowledge), Kerangka Nilai (Body of Value), dan
kerangka Praktik (Body of Skill). Pekerjaan Sosial di Indonesia telah dituntut untuk
menunjukkan keandalan, intelektual, serta kejelasaan tentang terminologi. konsep,
asas, fakta, nilai-nilai dan norma (Holil, 1994:3)
Berdasarkan analisis tersebut ketetentuan dengan pekerjaan sosial dan sumber daya
kesejahteraan sosial yang diusulkan dalam substansi undang-undang sebagai berikut
:
Dalam hal pendanaan, substansi yang diusulkan dalam RUU Kesejahteraan Sosial
adalah:
(1) Pendanaan pelayanan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran pelayanan
kesejahteraan sosial melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Sumber pendanaan pelayanan kesejahteraan sosial ditentukan berdasarkan
prinsip kecukupan dan keberlanjutan.
(4) Untuk kepentingan pelayanan kesejahteraan sosial, Menteri dapat
mengusahakan pengumpulan dana kesejahteraan sosial yang berasal dari
Klasifikasi Lembaga Kesejahteraan Sosial dapat ditinjau dari aspek sumber sponsor,
pelindung atau pimpinan, sehingga dapat dikategorikan menjadi Lembaga Sosial
Pemerintah dan Organisasi Sosial / Lembaga Swadaya Masyarakat. Jika didasarkan
atas jenis masalah yang ditangani, dapat meliputi lembaga-lembaga sosial yang
menangani kesejahteraan anak dan keluarga, kesehatan, kecacatan, kesehatan jiwa,
tindak pidana, pendidikan informal dan perencanaan/koordinasi/pengembangan
program. Adapun atas dasar geografis, menjadi tingkat lokal, propinsi, nasional,
regional dan international. Ada juga diklasifikasikan menjadi pemberi pelayanan
langsung atau "consumer service agencies" dan pemberi pelayanan tidak langsung
atau "non consumer service agencies." Kesemua itu akan diatur dalam ketentuan-
ketentuan tentang akreditasi dan sertifikasi dalam substansi undang-undang.
Ketentuan tentang akreditasi dan sertfikasi yang diusulkan dalam substansi undang-
undang :
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan tingkat kelayakan pelayanan
kesejahteraan sosial
(2) Sasaran akreditasi adalah aktivitas dan pelaku usaha kesejahteraan sosial .
(3) Akreditasi terhadap kelayakan pelayanan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(4) Akreditasi dilakukan atas dasar standar pelayanan minimum dengan kriteria
yang telah ditentukan.
(5) Sertifikasi dilakukan untuk memastikan kualifikasi dan kompentensi yang sesuai
di bidang pelayanan kesejahteraan sosial;
(6) Sertifikat berbentuk ijasah dan sertifikat kompetensi.
(7) Ijasah diberikan kepada pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial
masyarakat yang telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan dan pelatihan,
yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan yang
terakreditasi.
(8) Sertifikat kompetensi diberikan kepada pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan
sosial masyarakat oleh pemerintah atas rekomendasi organisasi profesi sebagai
pengakuan terhadap kompetensi melakukan pelayanan kesejahteraan sosial.
(9) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga
pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan
terhadap kompetensi untuk melakukan pelayanan kesejahteraan sosial.tertentu
setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
O. PENEGAKAN HUKUM
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
B. SARAN-SARAN
Dalam pengaturannya materi Naskah Akademis ini akan diatur dalam suatu Undang-
undang dan sebagian akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya baik berbentuk
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri terkait.
Selain itu diharapkan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut dari Undang-undang
Kesejahteraan Sosial ini dapat segera disusun paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun
setelah diundangkannya Undang-undang ini, agar Undang-undang ini dapat berlaku
operasional di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Atherton & C.R., & Klemmack, D.L. (1982). Research methods in sosial work : An
introduction. Lexington, Ma : D.C. Heath.
Compton, B.R. (1980). Introduction to sosial welfare & sosial work: Structure,
fuction & process. Homewood, Ill. : The Dorsey Press.
Dubois, Brenda dan Karla Kroggrud Miley (1997) Sosial Work an Empowering
Profession. Boston London Toronto Sydney Tokyo Singapore: allyn and Bacon
Edi Suharto (2007b). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Jakarta: Refika
Aditama.
Gilbert, N., & Specht, H. (1986). Dimensions of sosial welfare policy (ed. 2).
Englewood Cliffs, NJ : Prentice-Hall.
Elkin R. dan Cornick, D.L. (1970). Utilizing Cost and Efficiency Studies in the
Decision-Making Progress in Health and Wefare. Dalam Sosial Work
Friedlander, Walter A. (1958). Concepts and Methods of Sosial Work. New York :
Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs.
Hasenfeld, Y. & English, Richard A.. 1967. Human Service Organizations. Vol. II.
Ann Arbor The University of Michigan Press. New York.
Holil Soelaiman. (1993). Kerangka Nilai (Body Of Value) dan Asas Etik
Pekerjaan Sosial. Jakarta : Departemen Sosial RI.
Kahn, A.J., (1979). Sosial policy and sosial services (ed.2). New York : Random
House.
Kamerman, S.B., & Kahn, A.J. (1976). Sosial services in the United States :
Policies and Programs. Philadelphia : Temple University Press.
Klenk, Robert M and Ryan, Robert M. (1974). The Practice of Sosial Work. (ed.2).
Belmont, California : Wadworth Publishing Co. Inc.
Lewis, Harold. (1985). Management in the Non Profit Sosial Service Organization.
dalam An Introduction Human Services Management. Ed. Slavin, S. The
Haworth Press, New York, London.
Macht, Mary and Quam, Jean. (1986). Sosial Work An Introduction. Colombus,
Ohio : Chares E. Merrill Publishing Company.
Migley, J. (1986). Industrialization and Welfare : The case of the four little tigers,
Sosial Polycy & Administration, 20 (3), 225-238.
Morris, Robert, dan John B. Turner, Ed. (1981). Encyclopedia of Sosial Work.
Sixteenth Issue. Volume II. New York : NASW.
Pincus, Allen and Minahan, Anne. (1973). Sosial Work Practice, Model and
Method. Itasca Illionis : F.E. Peacock Publisher Inc.
Romanyshyn, J.M. (1971). Sosial welfare : Charity to justice. New York : random
House.
Rukminto Adi, Isbandi (2003) Intervensi Komunitas. Edisi Revisi. Jakarta : LPFEUI
Saleebey Dennis (1991) The Strenghts Perspective in Sosial Work Practice. New
York : longman
Segal, Elizabeth dan Stephani Brzuzy (1998) Sosial Welfare Policy, Program and
Practice. Illionis : Peacoch Publisheus.inc
Siporin, Max. (1975). Introduction to Sosial Work Practice. New York : Macmillan
Publishing Co. Inc.
Training for Sosial Work. (1992). Austria : United Nations Office at Vienna.
Lain-lain
.......... (2007) Panduan Untuk Fasilitator: Pengembangan Analisa Situasi Ibu dan Anak
(ASIA) Berbasis Hak Asasi Manusia. Jakarta : UNICEF.