Anda di halaman 1dari 3

Pancasila dan Masa Depan Bangsa; Perspektif Ideologi

31/05/2008 08:50:44 TANGGAL 1 Juni 2008 besok Pancasila sudah berusia 63 tahun. Tulisan berikut mencoba
menyoroti Pancasila dengan fokus kajian ideologi. Sentralnya Pancasila bagi negara-bangsa adalah fokus status
ideologinya yang berkarakter praksis serta memuat bahkan memperjuangkan suatu kepentingan yakni
kepentingan nasional: merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Pengertian Ideologi Ideologi berbeda dari
suatu filsafat dalam hal berikut. Jika filsafat masih berada di ranah spekulatif-refleksif, ideologi sudah berada di
ranah laku tindak. Jika filsafat adalah pemikiran rasional murni yang bisa saja dianggap “bebas nilai” (dis
interestedness), ideologi sudah berciri mendegradasi rasionalitas, dengan dominasi kepentingan seperti
disinggung di muka. Dalam hal tipologi atau cara berpikir, ideologi mempunyai karakter yang lebih mendekati
mitos. Maka itu, ideologi bukanlah ilmu karena ilmu sifatnya kritis, terbuka dan menganut relativitas kebenaran.
Sedangkan ideologi sifatnya adalah tak kritis, tertutup dan nyaris memutlakkan dirinya sebagai kebenaran.
Tampilan atau kinerja ideologi maujud secara implikatif dalam perjuangan sering revolusioner, sedangkan ilmu
berlangsung dalam kesenyapan karena mengandalkan gerak pikiran. Sementara kemiripannya dengan mitos
fungsi utama ideologi adalah mendistorsi realitas. Mitos purba dilahirkan untuk menjawab ketaksanggupan
menerangkan realitas secara rasional sistematis. Ideologi di era modern dilahirkan guna menjawab kompleksitas
kehidupan dalam sistematika yang berakar pada konsep hipotetis. Segi positif dari ideologi yang berciri mitis
inilah diakui dunia sebagai daya dorong (impetus) dari setiap upaya perwujudan cita-cita baik kenegara-
bangsaan maupun partai. Di sini ideologi mengejawantahkan tekad dan karakter; sehingga Roeslan Abdulgani
(Slamet Sutrisno; 1986) menamsilkan jika pada manusia ada kekuatan hebat yang disebut mental, maka pada
negara-bangsa namanya ideologi. Maka itu selain sebagai cara berpikir, pengertian berikutnya ideologi adalah
posisi dan keberadaannya selaku sistem keyakinan atau sistem nilai. Ia diterima sebagai kebenaran oleh
sekelompok sosial atau negara-bangsa selaku gambaran dunia menyeluruh; kiblat dari metodologi sosial yang
berfungsi panacea atau obat mujarab tunggal dalam keperluan problem solving persoalan manusia. Dan persis
dalam hal inilah kalangan barat menganggap usangnya era ideologi bagi suatu negara-bangsa. Aktualitas Ideologi
Jadi, ketika pada tahun 1960 Prof Daniel Bell menulis buku “The End of Ideology” banyak yang tertarik
kepadanya untuk berpendapat bahwa era ideologi memang sudah harus berakhir. Dalam era modernitas, apalagi
globalisasi, orang tidak lagi membutuhkan ideologi apapun. Salah satu faktornya adalah realitas teknologis yang
mengikuti dan mengembangkan kejayaan era ilmu pengetahuan; ipteklah yang akan memandu manusia dalam
problem solving dan bukan ideologi. Di negeri kita, pengikut pandangan ini di kalangan teknolog bukan sedikit.
Di mana-mana teknologi modern merasuki masyarakat guna memajukan diri dalam stelsel peradaban baru.
Karena teknologi sudah menjadi sistem, ideologi sama sekali tidak diperlukan. Justru di titik itulah kesilafan
kaum teknolog; tatkala teknologi transformatif selaku sistem dia adalah ideologi, yakni teknologisme. Buku “The
End of Ideology” didedikasikan kepada Prof Sidney Hook, guru dari pengarang buku tersebut. Justru Sidney Hook
merespons bahwa anggapan ideologi sudah berakhir perlu diberi kritik agar tidak melakukan simpulan dan
generalisasi yang salah. Dijelaskan oleh Sidney Hook bahwa mesin cetak persuratkabaran di AS dan Uni Soviet
(kini; Rusia) sama-sama modern dan canggih, namun demikian outcome dari persuratkabaran kedua negeri
adidaya itu jelas berlainan kalau bukan berlawanan. Kebebasan pers di AS begitu eksplisitnya, seorang wartawan
dapat menjatuhkan seorang presiden (Presiden Nixon dalam Watergate), sementara kebebasan pers di Uni
Soviet tentu jauh berlainan dari AS berhubung begitu represif. Malahan, dalam rezim Orde Baru dengan praktik
ideologis yang juga menindis; tidak usah presiden, bahkan Menpen Harmoko pun dengan gampangnya
membubarkan surat kabar. Apa yang memperbedakan sistem pers di kedua negeri itu, dan di negeri kita bukan
kemodernan sistem cetaknya, melainkan praksis ideologinya. Maka itu kalau sekarang ini ramai diwacanakan
bahwa dengan modernitas global maka ideologi menjadi relevan; akan bagaimanakah pendirian kita berhubung
dengan warisan kenega-ra-bangsaan yang didirikan dan dipertaruhkan oleh founding fathers yang dari genesisnya
adalah negara-bangsa yang berideologi? Di titik krusial inilah terhampar aktualitas membincangkan kembali
ideologi negara-bangsa agar gerak kemajuan pengindonesiaan tidak menghapus ideologinya (baca; jatidirinya);
apalagi kalau tidak maju-maju. Agaknya jelas bahwa membincangkan ulang Pancasila (sebagai ideologi) dan
masa depan bangsa, cukup pantas dan bahkan perlu. Lebih dari itu, “Maju” dan “Kemajuan” itu sendiri jangan
dilupakan merupakan term dan konsep ideologis yang menjadi alas dari modernitas Barat, dengan segala plus
dan minusnya. Selain sebagai alas, dan justru sebagai alas; ia (kemajuan) membutuhkan kriteria dan
intensionalitas yang keduanya hanya bisa ada berkat tilikan dan orientasi ideologis. Trilogi Pancasila
Berdasarkan kenyataan sejarah, budaya dan filsafat Pancasila mempunyai tiga fungsi seperti berikut : 1. Sebagai
pandangan dunia/pandangan hidup, 2. Sebagai dasar negara NKRI dan 3. Sebagai ideologi nasional (Pranarka,
1985). Fungsi pertama sebagai pandangan dunia/pandangan hidup Pancasila memberi alas dan orientasi sistem
kepengetahuan dan sistem nilai bagi kebutuhan proses membangsa dan menegara atau to be keindonesiaan
sepanjang masa. Fungsi ke dua adalah sebagai dasar negara yang berkenaan dengan sistem dan dasar hukum
nasional, di antaranya guna mengantisipasi kehadiran sistem hukum “pra-nasional” yang bersumber ajaran
keagamaan dan etnisitas eksklusif dalam tata hukum nasional yang sering kontroversial. Adapun fungsi ke tiga
Pancasila sebagai ideologi nasional adalah fungsi “pragmatis” di mana laku tindak keindonesiaan menjadi
keniscayaan komunitas kebangsaan. Aktualitas Pancasila sebagai Ideologi Nasional Aktualitas wacana Pancasila
sebagai ideologi nasional pertama-tama adalah mengungkit kemudian perlu menggugat kesadaran dan
penyadaran diri kita selaku nasion; sebab “nasional” itu adalah istilah yang kata dasarnya nasion. Dalam
kerangka teori fungsi-fungsi ideologi, ideologi memiliki fungsi legitimasi (Weber) dan fungsi integrasi (Geertz).
Maka itu untuk keperluan aktualisasi diri nasion, (ideologi) Pancasila perlu dinetralisir serta dieliminasi dari
fungsi distorsinya, dibuat dengan elegan fungsi legitimasinya dan diperdalam fungsi integratifnya. Dari lain pihak
kini makin perlu dinyatakan bahwa NKRI dengan Pancasila itu identik, ibarat air cucuran atap yang pasti
mengalir secara konsisten melalui dan dalam alurnya atap tersebut (Notonagoro, 1967). Ketika dialektika dan
akulturasi sudah merupakan watak keindonesiaan sejak lama, demikian pula dalam respons terhadap
modernitas-global, dialektika dan akulturasi tidak boleh bergeser ke arah dikte dan pembebekan di mana
Indonesia (baca: Pancasila) dibiarkan nir-peran dalam realitas objek dan bukan subjek. Di sini penting agaknya
disitir “Trisakti”-nya Sukarno: “berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di
bidang kebudayaan”. Di lain pihak, penting pula pendirian Moh Hatta agar Pancasila tidak tampil eksklusif hanya
penghias bibir (lipstick) akan tetapi berfungsi sebagai garam, tidak tampak namun terasakan. Tamsil ini diambil
dari tendensi tampilan eksklusif kelompok minoritas ekonomi dan “disambung” dengan gerakan tertentu
keagamaan eksklusif di negeri kita akhir-akhir ini. Padahal, Pancasila itu sendiri sebagai ideologi memiliki watak
inklusif, terbukti dari simbolisme yang melekatinya, “Bhinneka Tunggal Ika”. Aktualitas ideologi Pancasila tidak
bisa terlepas dari kognisi dan refleksi filosofinya, bahwa Pancasila adalah wahana dan mandala kebudayaan
nasional yang mampu mengatasi kecenderungan modern peradaban dunia. Artinya, ilmu dan teknologi yang
bagaimana pun pasti mempengaruhi pembentukan kebudayaan dunia, perlu dibuat distingsi yang cerdas kapan
dan di mana iptek adalah budaya (terkait sistem nilai) dan iptek adalah peradaban (yang dianggap bebas nilai).
Iptek, yang digerakkan oleh kekuatan nalar atau rasionalitas dalam absorbsinya ke dalam masyarakat Indonesia
menunggu arahan dan “semprit” dari Pancasila ke arah pengelolaan tidak hanya dimensi etisnya, melainkan
sampai dimensi kepengetahuan atau epistemologinya, bahkan segi metafisika sebab sila Ketuhanan YME
mengajarkan tentang Realitas Ilahi (yang tak dikenal dalam iptek yang positivistik). Keberhasilan membangun
epistemologi alternatif non- berat dicontohkan oleh bangsa Cina, semisal dengan sistem pengobatannya yang
diakui dunia. Iptek di mana pun selain segi manfaat dan kemajuannya ternyata telah memicu aneka krisis dunia
sebab ada latar yang ditunjukkan oleh Nicholas Maxwell (2004) sebagai faktor utama krisis-krisis itu, yakni
realitas science without wisdom. Pancasila sesungguhnya mengajarkan dimensi wisdom itu, namun belum
banyak dilakukan elaborasinya baik dalam ranah ilmu yang akademis dan ranah politik yang pragmatis. Studi
Komparatif Ideologi Pancasila Ideologi-ideologi Barat modern bersumberkan filsafat rasionalisme dan
individualisme yang menghasilkan paham modern hak-hak asasi manusia dan demokrasi Barat. Pancasila sebagai
ideologi bersumberkan filsafat kebangsaan di mana masing-masing pemikiran filosofi terkait sejarah dan budaya
yang berlainan, untuk mana lahir disiplin Sosiologi Pengetahuan sebagaimana dirintis dan dikembangkan oleh
Marheim, Merton, Luchan dan sebagainya. Sebagai implikasinya, misalnya, adopsi HAM ke dalam konstitusi
mestinya tidak dimaksudkan dalam kerangka mengubah sifat dasar konstitusi cq UUD 1945, melainkan dalam
rangka tujuan lainnya. Yakni, membatasi kekuasaan agar tidak absolut, memperkaitkan hak dan kewajiban,
membangun civil society dan demokratisasi. Maka itu, sekian banyak pasal-pasal HAM dalam amandemen UUD
1945 tidak dimaksudkan mencari kerangka filosofi-ideologis kebarat-baratan. Pancasila perlu diperkuat
kredibilitasnya untuk menjaga agar bangsa ini tidak kebobolan dalam pembiaran realitas baru: teknologi sebagai
ideologi; pembangunan ekonomi sebagai ideologi berhubung semua itu harus tetap berjalan dalam aturan main
nasion, dalam kerangka Pancasila sebagai ideologi nasional. Akhirnya, pengembangan ideologi Pancasila bisa
ditempuh melalui cara-cara komparatif terhadap keberhasilan dan kegagalan ideologi-ideologi besar dunia. q-
o/c (3643-2008) *) Drs Slamet Sutrisno MSi, Pengajar Pancasila di UGM Yogyakarta.
sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=165278&actmenu=39

TB Simatupang dan Semi-Kudeta 17 Oktober 1952


21/10/2010 00:46:18 TB Simatupang (Letjen Purn) dalam pengakuannya, dialah petinggi TNI-AD yang dianggap
paling terlibat dalam Peristiwa 17 Oktober 1952 yang lebih dikenal dengan “semi-kudeta” militer yang dilakukan
oleh sejumlah perwira TNI-AD. Ketika itu tank- tank dan sejumlah meriam diarahkan moncongnya ke istana,
kediaman resmi Presiden Sukarno waktu itu. TB Simatupang yang saat itu berpangkat kolonel dan menjabat
Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), akhirnya terpaksa dipurnawirakan di usia 39 tahun dari jabatan KSAP,
diangkat menjadi Penasihat Menteri Pertahanan tanpa kantor dan tanpa pernah diminta dan dibutuhkan
nasihatnya. Pak Sim –begitu panggilan akrabnya— lantas lama memegang kepemimpinan Dewan Gereja
Indonesia, sampai suatu saat sukses memegang jabatan Ketua Dewan Gereja- gereja Dunia. Dia adalah satu dari
sedikit jenderal intelektual yang pernah mewarnai TNI. Peristiwa yang melibatkan TB Simatupang dan AH
Nasution, dua kolonel terpenting TNI saat itu, oleh pemerintah akhirnya dinyatakan secara resmi bukan coup
atau percobaan coup. Tentu saja terdapat kompleksitas dan bahkan komplikasi sedemikian rupa mengingat
konteks makro peristiwa itu tak kurang menyangkut: posisi dan versi TNI pasca perang kemerdekaan dan di lain
pihak posisi dan status Bung Karno sendiri yang dalam era 1950-an cenderung tidak puas hanya menjadi presiden
sebagai kepala negara. Maka itu, dalam kerangka nation and character building yang sampai dewasa ini tak
kunjung mewujud dan memadai, disamping fakta bahwa TB Simatupang kemudian tidak mendapatkan jabatan
pasca Peristiwa 17 Oktober 1952, sosoknya sebagai seorang negarawan dan prajurit intelektual menarik untuk
di-kilasbalik-kan. Manusia cendekiawan senantiasa akan berpegang pada prinsip-prinsip dan pantang bersikap
oportunis, apalagi pecundang, pengecut, pengintrik atau plintat-plintut. Apabila dibandingkan dengan elite
politik dan elite negara masa kini memang nyata benar bedanya. Banyak elite politik dan kenegaraan masa kini
tampak luarnya inteligen namun suka berkilah, miskin tanggung jawab namun kaya daya citra. Jika Pak Sim
lebih suka dan elegan bersikap “ini dadaku,” banyak kalangan elite negeri ini kini lebih cerdik bersikap nylingker
atau bersikap kura-kura dalam perahu, cepat dan sigap berganti nama sebagai “Tumenggung Joyo Endo”
manakala tanggung jawab dituntut kepadanya atas jabatan yang dipegang. Profil perwatakan seorang TB
Simatupang berbeda benar dari mereka yang terpaut dalam kasus- kasus tersebut, yang berhubung dengan
perseteruannya dengan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi, dia tentunya cenderung tak disukai oleh sang
proklamator itu. Sukarno tak pernah sekalipun memilihnya sebagai anggota kabinet meski kecerdasan
Simatupang menonjol. Kini, dengan kapasitas minimalis –namun telah dipoles melalui fit and proper test
betapapun artifisialnya—seseorang mudah dilantik sebagai menteri atau “staf khusus” kepresidenan. TB
Simatupang pun menguasai bahasa- bahasa Eropa. Selepas jabatan KSAP Pak Sim menolak “didubeskan” ke
negara adidaya AS, meski Menlu Subandrio sendiri menawarinya. Bandingkan dengan oportunisme murahan yang
suka dipertontonkan di panggung politik kontemporer, selain dari snobisme politik yang menggusarkan khalayak
maupun yang menelorkan berbagai sinisme dan apatisme politik rakyat. Dan TB Simatupang segera memilih
menapaki kariernya sebagai gembala umat, belajar teologi dan menghiasi mediamassa dengan berbagai
artikelnya. Sebagai pribadi berintegritas, dia tak malu mengakui— demi nafkah keluarga selepas dicopot dari
jabatannya sampai mesti menulis dua tiga tulisan seminggu, di antaranya dengan nama samaran “Senopati.”
Itulah nasib seorang Pak Sim, sang pensiunan Kepala Staf Angkatan Perang RI. Demonstrasi para petinggi militer
bersama ribuan massa di Istana Merdeka 17 Oktober 1952 tersebut tidaklah terlepas dari konteks rivalitas tajam
antara kubu modernis TNI dengan kubu tradisionalis (ex Peta) dalam penataan internal pasca kemerdekaan yang
disusul oleh revolusi fisik sampai dengan Perjanjian KMB. AH Nasution dan TB Simatupang adalah pionir dalam
gagasan profesionalisasi TNI dengan sekaligus memanfaatkan misi militer Belanda di Indonesia pasca
ditandatanganinya Perjanjian KMB. Inilah yang ditentang oleh kubu ex Peta dengan kerisauan bahwa dengan
kedatangan misi militer Belanda sebagai narasumber profesionalisasi TNI, mereka (ex Peta) kemungkinan besar
akan tereliminasi. Adalah Kolonel Bambang Supeno yang menjumpai Presiden Sukarno dalam rangka rivalitas
tersebut; dengan gagasannya menyingkirkan KASAD Kol AH Nasution. Seolah merestui, Bung Karno menyatakan
kepada Bambang Supeno “bila memang itu dikehendaki harap dinyatakan.” Itulah yang diterima secara zakelijk
oleh Bambang Supeno yang segera menghimpun pernyataan yang akan ditandatangani oleh para panglima guna
memuluskan ambisi tersebut. Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, KASAD Kol AH Nasution dan
KASAP Kol TB Simatupang pun bersepakat menghadap Bung Karno di istana. Dalam pertemuan mana justru TB
Simatupang paling getol meminta klarifikasi kepada presiden—memang betulkah rencana Bambang Supeno itu.
Pokok inilah, yakni keberanian yang lugas TB Simatupang meminta klarifikasi langsung kepada Sukarno sungguh
merepresentasikan watak keprajuritan inteligen, penuh integritas khas seorang cendekiawan. Kolonel berusia 32
tahun itu sungguh berani mengambil risiko demi suatu kebenaran yang ingin ditegakkannya. Keberanian itu –
dalam idiom Banyumasan disebut “blaka suta”—hampir pasti sangat sulit dijumpai pada jenderal- jenderal
dengan watak “nJawani,” yang serba ewuh-pakewuh. Dalam pergantian generasi, TNI/Polri memiliki jendral
mirip TB Simatupang itu semisal pada diri Soemitro, Ali Sadikin dan Hugeng. Diterima di istana, Menhan
Hamengku Buwono IX memulai pembicaraan dengan bertanya kepada presiden dalam bahasa Belanda;”Kami
datang untuk bertanya apakah sebetulnya yang dikehendaki oleh Pangti?” T.B.Simatupang, KASAP, menimpali
dengan panjang lebar yang intinya tidak setuju apabila cara penggantian KASAD Kol. A.H.Nasution ditempuh
dengan menghimpun tanda tangan para panglima daerah. KASAP yang saat itu berusia 32 tahun menyatakan
bahwa:”…apabila menjadi kebiasaan bahwa seorang KASAD dapat begitu saja diganti dengan mengumpulkan
tanda tangan di antara para panglima, maka hal yang sama dapat terjadi dengan para panglima dengan
mengumpulkan tanda tangan di antara para komendan resimen dan seterusnya.” TB Simatupang menegaskan
bahwa selama dia menjadi KSAP tak akan membiarkan hal seperti itu terjadi, TB Simatupang pun menekankan
adalah bahaya jika suatu tentara yang lahir dalam perang rakyat tidak segera mengalami profesionalisasi dan
modernisasi setelah perang selesai. Bisa-bisa tentara akan menjadi sumber instabilitas kontinyu seperti Amerika
Latin—demikian ditegaskannya. Dan kepada arsitek terkemuka, Silaban, Bung Karno dengan gemas menyatakan
bahwa selama menduduki jabatan presiden Sukarno tidak akan memberikan kesempatan kepada TB Simatupang
untuk memegang suatu jabatan dalam negara RI. Selang beberapa waktu, TB Simatupang mendengar dari AK
Pringgodigdo betapa presiden sangat merasa terhina oleh KASAP. Dan presiden pun konon berucap: “ Hij poept
op mij,” atau “Dia telah memberaki saya.”(Simatupang, 1991;166). q-s-(1840-2010). *) Slamet Sutrisno, Dosen
Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM.

Anda mungkin juga menyukai