Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keluarga Berencana (KB) merupakan suatu program pemerintah pada tahun

1970 sampai dengan tahun 1975-an dan tahun 1980, Program Keluarga Berencana

(KB) ini sebagai gerakan masyarakat pada tahun 1980 sampai tahun 1990. Keluarga

Berencana (KB) dimaksudkan sebagai cara hidup dalam rangka membangunan

keluarga sejahtera pada tahun 1990-an, Keluarga Berencana (KB) sebagai persiapan

SDM Potensial yang kompetitif dan produktif dalam rangka mendukung Keluarga

Kecil Bahagia dan Sejahtera pada tahun 2000 sampai sekarang (KB Era Baru).

(www.bkkbn.go.id).

Program Keluarga Berencana (KB) mengalami perkembangan dari masa ke

masa yaitu sejak tahun 1970 sampai dengan tahun tahun 2000 (era baru). Berikut ini

adalah perkembangan Keluarga Berencana (KB) : Keluarga Berencana sebelum

tahun 1970 pendekatan perseorangan, Keluarga Berencana Tahun 1970 – 1975

pendekatan klinik, Keluarga Bencana 1975 – 1980 pendekatan KB integrasi,

Keluarga Berencana Tahun 1980 – 1990 pendekatan kemasyarakatan, Keluarga

Berencana tahun 1990 – 1999 KB sebagai cara hidup dalam rangka pembangunan

keluarga sejahtera, dan Keluarga Berencana Tahun 2000 (era baru) persiapan

Keluarga Berkualitas sebagai Sumber Daya Manusia potensial (www.bkkbn.go.id).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1970 Keluarga Berencana

(KB) adalah suatu upaya atau tindakan yang membantu individu atau pasangan

suami-istri untuk mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang

1
2

tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, mengatur

interval diantara kehamilan, mengkontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan

dengan umur suami-istri, dan menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hartanto,

1996).

Tujuan dari Program Keluarga Berencana (KB) ini adalah untuk membantu

pasangan atau individu dalam mencapai reproduksi secara bertanggung jawab dalam

rangka pembangunan keluarga kecil berkualitas dengan memperhatikan dan

menghargai hak-hak reproduksi seseorang dalam mengatur jumlah dan jarak

kelahiran, sehingga dapat menghindari dan mengurangi terjadinya kehamilan yang

tidak diinginkan serta dapat mengurangi angka kesakitan maupun angka kematian

akibat dari kehamilan dan persalinan yang pada gilirannya akan menurunkan

pertumbuhan penduduk (www.boalemo.go.id).

Program Keluarga Berencana (KB) ini memiliki banyak keuntungan yang

salah satunya adalah dapat mencegah terjadinya kanker uterus dan ovarium (dengan

mengkonsumsi pil kontrasepsi). Bahkan dengan perencanaan kehamilan yang aman,

sehat dan diinginkan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya menurunkan

angka kematian maternal. Ini berarti program tersebut dapat memberikan keuntungan

ekonomi dan kesehatan (www.bkkbn.go.id).

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak ke

dewasa, pada masa ini individu banyak mengalami perubahan-perubahan fisik

maupun psikis. (Hurlock, 1973). Menurut World Health Organization (WHO)

batasan umur pada masa remaja adalah adalah 12 – 24 tahun. Tetapi jika dilihat dari

segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan

(Depkes) batas umur pada masa remaja adalah bagi mereka yang berumur 10 sampai
3

dengan 19 tahun dan belum kawin. Sementara itu, menurut BKKBN (Direktorat

Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan umur remaja adalah 10 sampai

21 tahun (www.bkkbn.go.id).

Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat meskipun

laju pertumbuhannya semakin menurun. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP)

1990 dan 2000, jumlah penduduk Indonesia 179,4 juta jiwa dan 206,3 juta jiwa,

dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun pada periode 1990-

2000, lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk periode 1980-1990 (1,97%).

Masalah yang dihadapi antara lain adalah masih tingginya pertambahan jumlah

penduduk secara absolut. Meskipun telah terjadi penurunan fertilitas, namun secara

absolut pertambahan penduduk Indonesia meningkat sekitar 3 sampai 4 juta jiwa per

tahun. Hal ini disebabkan karena tambahan pasangan usia subur yang dihasilkan dari

ledakan kelahiran atau momentum demografi yang terjadi pada tahun 1970-an.

Apabila masalah kependudukan tersebut tidak ditangani dengan baik, dapat berakibat

pada semakin beratnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar penduduk

(www.bappenas.go.id/index).

Faktor utama yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk adalah tingkat

kelahiran. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1971, angka kelahiran total (TFR)

diperkirakan 5,6 anak per wanita usia reproduksi, dan saat ini telah turun lebih 50%

menjadi 2,6 anak per wanita (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia-

SDKI, 2002-2003). Penurunan TFR antara lain sebagai akibat dari meningkatnya

pemakaian alat kontrasepsi (prevalensi) pada pasangan usia subur. Pada tahun 1971,

angka prevalensi kurang dari 5%, meningkat menjadi 26% pada tahun 1980, 48%

pada tahun 1987, 57% tahun 1997, dan tahun 2002 sebesar 60% (SDKI 2002-2003).
4

Meningkatnya angka prevalensi juga berakibat pada peningkatan pelayanan KB

termasuk penyediaan alat kontrasepsi. Keterbatasan penyediaan alat kontrasepsi

masih menjadi persoalan utama dalam pelayanan KB. Dalam hal ini keluarga miskin

merupakan fokus utama dalam pelayanan KB termasuk penyediaan alat kontrasepsi

(www.bappenas.go.id/index).

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlah penduduk miskin pada

tahun 2005 mencapai 62 juta jiwa atau sekitar 28,44% dari jumlah penduduk

Indonesia yang mencapai 218 juta jiwa. Dari 62 juta penduduk miskin Badan Pusat

Statistik (BPS) memperkirakan jumlah rumah tangga miskin di Indonesia mencapai

15,5 juta kepala keluarga dengan asumsi satu rumah tangga berisi empat orang

anggota rumah tangga (Warta Demografi, 2006).

Menurut Data Badan Pusat Statistik pada tahun 1996 jumlah penduduk

miskin sebanyak 34,01 juta jiwa. Angkanya bertambah pada bulan Maret tahun 2007

menjadi 37,17 juta jiwa. Menurut Edy Suandi Hamid, kemiskinan meningkat di

perkotaan. Sebaliknya di pedesaan, angka penduduk miskin justru menurun. Data

survei ekonomi nasional BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di kota

naik dari 9,42 juta jiwa pada 1996 menjadi 13,56 juta jiwa pada 2007. Sementara itu

di pedesaan angkanya turun dari 24,59 juta jiwa pada 1996 menjadi 23,61 juta jiwa

pada 2007 (www.bkkbn.go.id).

Sedangkan berdasarkan sensus penduduk di Indonesia tahun 2000 jumlah

remaja usia 15 sampai dengan 24 tahun adalah 40.407.618 juta jiwa dengan

persentase sebesar 20,08% dari jumlah penduduk Indonesia. Berarti sekitar seperlima

penduduk Indonesia adalah remaja yang berusia 15 sampai dengan 24 tahun. Jika

diilihat dari jenis kelamin, jumlah remaja perempuan lebih banyak dibandingkan
5

laki-laki. Jumlah remaja perempuan sebanyak 20.520.806 juta jiwa dengan

persentase sebesar 50,78% dan remaja laki-laki sebanyak 19.886.812 juta jiwa

dengan persentase 49,22% (Warta Demografi, 2005). Jumlah remaja yang cukup

besar menjadi suatu tantangan yang berat bagi pemerintah, terutama yang berkaitan

dengan program kesehatan reproduksi.

Permasalahan reproduksi yang banyak terjadi di negara-negara berkembang

adalah kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan dengan jumlah

persentase sebesar 20% sampai dengan 40%. Permasalahan kesehatan reproduksi

pada remaja di sebabkan oleh kematangan seksual yang lebih dini dan bertambah

tingginya umur perkawinan (Warta Demografi, 2005).

Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 20% sampai dengan 30% dari

semua kasus HIV positif, diderita oleh pemuda yang berusia 20 tahun, yang

kemungkinan terinfeksi pada masa remaja (Network, 1997:1).

Studi di atas merupakan salah satu permasalahan remaja, dan salah satu

pencegahan yang dapat dilakukan adalah penggunaan kontrasepsi. Kontrasepsi

merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kehamilan.

(http://www.gaulislam.com). Selain itu kontrasepsi juga berfungsi untuk

menghindari penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS, sifilis, dan lain

sebagainya. Di setiap Negara memiliki persentase atau jumlah pemakai alat

kontrasepsi yang berbeda, khususnya pada remaja.

Survei di 24 negara di Amerika Utara dan Eropa menunjukkan bahwa

perilaku seks remaja sudah dimulai sejak usia 15 tahun. Survei dilakukan kepada

33.943 responden di 24 negara dan dikerjakan oleh sebuah LSM Perancis tersebut,

menunjukkan 13,2 % remaja berperilaku seks aktif semenjak usia 15 tahun dan tidak
6

menggunakan alat kontrasepsi. Sementara 82% lainnya, menggunakan alat

kontrasepsi (www.rileks.com).

Menurut Dr. Emmanuelle Godeau dari Service Medical du Rectorat de

Toulouse mayoritas remaja AS dan Eropa bertanggung jawab dalam melakukan

perilaku seksnya. Dengan melindungi diri mereka sendiri dan rekannya untuk

mencegah kehamilan dengan menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom atau pil

(www.rileks.com).

Selain di Amerika dan Eropa, Di negara Afrika Sub-Sahara para wanita

remaja belum nikah yang aktif seks, lebih banyak kemungkinan menggunakan

kontrasepsi ketimbang para wanita remaja seumurnya yang sudah menikah. Hal yang

sama juga dilakukan oleh rekan-rekan mereka, para wanita remaja di Amerika Latin

dan Amerika Serikat. Dari kira-kira 260 juta wanita di seluruh dunia, usia 15-19

tahun, yang belum dan yang sudah menikah, kira-kira 11% (29 juta) yang aktif seks

tetapi tidak mau hamil, dan tidak menggunakan metoda moderen pencegah

kehamilan (pil, suntikan, AKDR (alat yang dipasang dalam rahim), implan,

sterilisasi, diafragma, kondom). Di Afrika Sub-Sahara proporsi yang memerlukan

kontrasepsi atau proteksi yang lebih baik besar sekali (misalnya hampir sepertiga

perempuan muda di Pantai Gading dan di Ghana) Di Bangladesh dan di India juga

cukup tinggi (kurang sedikit dari 1 dalam 5). Di sebagian besar negara Amerika

Latin dan Karibia kira-kira 1 dalam 10 kaum wanita terancam kehamilan yang tidak

diinginkan karena mereka tidak menggunakan metoda moderen atau kontrasepsi

tradisional (www.pusatartikel.com).

Berbeda dengan Indonesia, dimana tingkat pengetahuan remaja mengenai

pentingnya menggunakan alat kontrasepsi masih sangat rendah padahal kebanyakan


7

dari para remaja tersebut banyak yang melakukan hubungan seksual sebelum

menikah, dan tidak sedikit dari mereka juga yang sudah menjadi pelaku seks aktif.

Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh dr. Boyke Dian Nugraha,

yang menunjukkan bahwa sekitar 16 hingga 20% dari remaja telah melakukan

hubungan seks pranikah. Dalam catatannya jumlah kasus itu cenderung naik, awal

tahun 1980-an angka itu berkisar 5 sampai dengan 10% (agussur@hotmail.com).

Pada saat ini remaja di perkotaan semakin berani melakukan hubungan

seksual sebelum menikah (pranikah). Sepertinya hal itu berkaitan dengan hasil

sebuah penelitian, sebesar 10 sampai dengan 12% remaja di Jakarta pengetahuan

seksnya masih sangat kurang. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan seks bagi

anak dan remaja secara intensif terutama di rumah dan di sekolah, semakin penting

(agussur@hotmail.com).

Selain itu survei Pemahaman Kesehatan Reproduksi dan Perkawinan Dini

tahun 2005 yang memiliki responden remaja usia 15-24 tahun yang dilakukan di

seluruh kecamatan di DKI Jakarta memberikan gambaran kritis tentang perilaku para

remaja tersebut. Survei yang memiliki responden sebanyak 2271 orang ini

menghasilkan beberapa temuan terkait dengan perilaku beresiko terhadap kesehatan

reproduksi remaja seperti (http://point-lookout.blogspot.com/2006/06/perilaku-

kesehatan-remaja-jakarta.html) :

1. Pada saat berpacaran, terdapat 12,5% responden yang mengaku pernah meraba

alat kelamin pacarnya. Sementara itu hanya 4% responden yang pernah pacaran

mengaku pernah berhubungan seks (laki-laki lebih banyak). Angka ini lebih

tinggi bila dibandingkan dengan studi BSS tahun 2002 dengan responden siswa

SMU di Jakarta Pusat dimana 8,9% siswa laki-laki dan 5,3% siswa perempuan
8

pernah berhubungan seks. Namun angka diatas lebih rendah dibanding angka

nasional, yaitu 5% remaja laki-laki dan kurang 1% remaja perempuan (SKRRI

2002-2003). Diluar pacaran, ternyata ada 13% responden pernah berhubungan

seks, dimana lebih dari 18% berhubungan seks dengan Pekerja Seks Komersial

(PSK). Pada saat seks pertama, ternyata hanya 8% responden yang menggunakan

alat kontrasepsi dan mayoritas adalah kondom. Walaupun rendah, tetapi

persentase di atas menunjukkan bahwa hanya sedikit sekali remaja yang

menyadari pentingnya alat kontrasepsi tidak hanya sebagai alat pencegah

kehamilan, tetapi juga pencegah penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan

HIV/AIDS.

2. Pengetahuan tentang HIV/AIDS mayoritas responden cukup baik. Hal ini terlihat

dari tingginya persentase responden yang tahu cara penularan, pencegahan dan

tempat tes HIV/AIDS. Hal yang sama ditemukan pada pengetahuan responden

tentang alat kontrasepsi, dimana mayoritas responden perempuan tahu cara pakai

pil, sedangkan laki-laki lebih banyak yang tahu cara pakai kondom (www.point-

lookout.blogspot.com).

Kurangnya pengetahuan remaja terhadap alat kontrasepsi dalam ber-KB

dikarenakan oleh berbagai hal seperti banyak orang yang masih menganggap tabu

untuk membicarakan masalah yang berhubungan dengan perilaku seksual, kurangnya

kepedulian dari pemerintah dan masyarakat, selain itu kurangnya informasi yang

didapatkan oleh para remaja mengenai alat kontrasepsi membuat mereka kurang

mengerti fungsi dari kontrasepsi dalam ber-KB.

Para santri yang pada umumnya adalah usia remaja tentunya memiliki

keinginan dan hak yang sama dengan remaja yang lainnya, yaitu hak untuk
9

mengetahui dan mengerti tentang KB kontrasepsi. Pengetahuan para remaja

mengenai KB kontrasepsi dalam hal ini sangat diperlukan, selain untuk melindungi

diri dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kehamilan yang tidak diinginkan

(KTD) dan penyakit menular seksual (PMS), hal ini juga dikarenakan remaja juga

merupakan calon pengguna KB kontrasepsi ketika mereka telah menikah.

Beberapa Pondok Pesantren yang berada di wilayah kota Bogor, memiliki

peran dan fungsi yang sangat penting sebagai lembaga pendidikan Islam. Sedangkan

Kota Bogor sendiri merupakan penyangga bagi kota metropolitan DKI Jakarta. Posisi

yang berdekatan membuat mudahnya pengaruh moderenisasi masuk kekalangan

santri-santri yang pada umumnya adalah remaja yang berusia antara 10 sampai

dengan 19 tahun. Untuk itu informasi masalah kesehatan yang khususnya adalah

kesehatan reproduksi remaja dan pentingnya KB kontrasepsi bagi remaja sangat

diperlukan untuk menambah pengetahuan mereka sehingga mereka mampu

mengetahui dan memahami manfaat dan pentingnya KB kontrasepsi.

Salah satu Pondok Pesantren yang ada di Wilayah Kota Bogor adalah Pondok

Pesantren Daarul Uluum. Pondok Pesantren ini memiliki santri laki-laki dan

perempuan yang diasramakan dalam satu komplek pesantren, yang beralamat di jl.

Durian Raya No. 219 Komplek Perumnas Bantar Kemang, desa Baranangsiang

Kecamatan kota Bogor Timur – Kota Bogor, Jawa Barat. Dilihat dari letaknya yang

berada di Pusat Kota Bogor, Pondok Pesantren juga memiliki kewajiban untuk

memberikan informasi kepada para remaja mengenai pentingnya KB kontrasepsi

pada para santri yang pada umumnya adalah remaja. Untuk itu timbul pertanyaan

bagaimana pihak atau komite Pondok Pesantren Daarul Uluum memberikan


10

informasi mengenai pentingnya program KB kontrasepsi kepada para santri yang

juga merupakan usia remaja, baik laki-laki maupun perempuan.

1.2. Tujuan penelitian

1.2.1. Tujuan Umum

Mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) santri

terhadap alat kontrasepsi di Pondok Pesantren Daarul Uluum di Kota Bogor

tahun 2008.

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran karakteristik (jenis kelamin dan umur) santri Pondok

Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008.

2. Mengetahui tingkat pengetahuan terhadap alat kontrasepsi di Pondok

Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008.

3. Mengetahui sikap santri terhadap alat kontrasepsi di Pondok Pesantren

Daarul Uluum Bogor, tahun 2008.

4. Mengetahui praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi di Pondok

Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008.

5. Mengetahui hubungan antara gambaran karakteristik (jenis kelamin dan

umur) dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) santri

terhadap alat kontrasepsi di Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun

2008.
11

6. Mengetahui hubungan antara peran orangtua dengan tingkat pengetahuan,

sikap, dan praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi di Pondok

Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008.

7. Mengetahui hubungan antara peran guru dengan tingkat pengetahuan, sikap,

dan praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi di Pondok Pesantren

Daarul Uluum Bogor, tahun 2008.

8. Mengetahui hubungan antara keterpaparan media dengan tingkat

pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi

di Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008.

9. Mengetahui hubungan antara peran teman sebaya dengan tingkat

pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi

di Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah remaja yang telah di jelaskan pada latar

belakang, di tambah lagi dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia dan jumlah

remaja di Indonesia. Serta kondisi Kota Bogor yang menjadi penyangga metropolitan

Jakarta, dan munculnya arus modernisasi yang mempengaruhi kehidupan remaja

pada saat ini. Dari hasil wawancara penulis dengan Ibu Somia selaku Petugas

BKKBN kota Bogor diperkirakan remaja sudah mengetahui tentang kontrasepsi

dalam ber-KB, namun sampai sejauh ini belum ada penelitian mengenai tingkat

pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) remaja terhadap kontrasepsi dalam ber-

KB. Selain itu kita juga belum mengetahui tingkat pengetahuan remaja terhadap

kontrasepsi dalam ber-KB di era reformasi ini. Hal ini yang membuat peneliti tertarik
12

untuk meneliti tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja yaitu santri terhadap

alat kontrasepsi di Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor Tahun 2008.

1.4. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik (jenis kelamin dan umur) santri Pondok

Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008 ?

2. Bagaimana tingkat pengetahuan terhadap alat kontrasepsi di Pondok

Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008 ?

3. Bagaimana sikap santri terhadap alat kontrasepsi di Pondok Pesantren

Daarul Uluum Bogor, tahun 2008 ?

4. Bagaimana praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi di Pondok

Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008 ?

5. Bagaimana hubungan antara gambaran karakteristik (jenis kelamin dan

umur) dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) santri

terhadap alat kontrasepsi di Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun

2008 ?

6. Bagaimana hubungan antara peran orangtua dengan dengan tingkat

pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi

di Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008 ?

7. Bagaimana hubungan antara peran Pondok Pesantren dengan tingkat

pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi

di Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008 ?


13

8. Baagaimana antara keterpaparan media dengan tingkat pengetahuan, sikap,

dan praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi di Pondok Pesantren

Daarul Uluum Bogor, tahun 2008 ?

9. Bagaimana hubungan antara pergaulan dengan teman sebaya dengan tingkat

pengetahuan, sikap, dan praktek (perilaku) santri terhadap alat kontrasepsi

di Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor, tahun 2008 ?

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian dilakukan kepada santri di Pondok Pesantren Daarul Uluum Kota

Bogor untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap remaja yaitu para santri

mengenai Kontrasepsi. Dengan pertimbangan Pondok Pesantren memiliki beberapa

perbedaan dengan sekolah-sekolah pada umumnya seperti struktur organisasi, sistem

pendidikan, materi ajaran dan pengajarannya, serta program pendidikannya yang

berbasis agama.

Pondok Pesantren Daarul Uluum terletak di Kota Bogor dan berada di lokasi

yang strategis karena dekat dengan pusat kota, tempat wisata dan pusat perbelanjaan,

dan yang paling penting lagi pondok pesantren ini dekat dengan pelayanan kesehatan

seperti Puskesmas dan LSM. Dimana tempat tersebut memiliki peran yang sangat

penting bagi remaja yaitu para santri dalam memberikan pengetahuan dan informasi

mengenai kontrasepsi dalam ber-KB.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2007, dengan menggunakan

pendekatan Cross Srctional dan menggunakan metode penelitian Survey Analytic.

Analisa data yang dilakukan dengan menggunakan analisis univariat, analisis

bivariat, dan analisis multivariat.


14

1.6. Manfaat Penelitian

1. Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan sebuah

penelitian.

2. Untuk dijadikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan

dengan tingkat pengetahuan remaja terhadap alat kontrasepsi pada Santri di

Pondok Pesantren Daarul Uluum Bogor tahun 2008.

3. Sebagai bahan informasi mengenai tingkat pengetahuan santri terhadap alat

kontrasepsi dan dijadikan dasar untuk mengembangkan kegiatan KIE di

pondok-pondok pesantren khususnya Pondok Pesantren Daarul Uluum

Bogor,

Anda mungkin juga menyukai