Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar
dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI
sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada
masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya
dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut
dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian
hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu
stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau
mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional,
spiritual dan karya.
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh
partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai
Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama
pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai
susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang
bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik
otoriter.
Di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang
mendasarinya. Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus
menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das
sollen (keinginan, keharusan dan cita). Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam arti
bahwa dalam kenyataannya baik produk normative maupun implementasi-penegakannya
hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini
dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris. Ketiga,
politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang dapat
dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan
atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”. Di dalam buku Politik Hukum Di
Indonesia karangan Mahfud MD dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan
asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum”.
Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable
terpengaruh). Pilihan atas asumsi dalam buku ini bahwa produk hukum merupakan produk
politik, mengantarkan pada penentuan hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan
melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Dalam buku ini membagi variable bebas
(konfigurasi politik) dan variable terpengaruh (konfigurasi produk hukum) kedalam kedua
ujung yang dikotomis.
Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang
otoriter (non-demokrtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum yang berkarakter
responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau
menindas. Konsep demokratis atau otoriter (non-demokratis) diidentifikasi berdasarkan tiga
indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif dan
kebebasan pers. Sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan pada
proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.
Pengertian konseptual yang dipakai dalam buku ini yaitu : politik diletakkan sebagai
independent variable.
Dan biasanya bersifat formalitas dan produk hukum diberi fungsi dengan sifat positivis
instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan idiologi dan program pemerintah. Sejarah
konfigurasi poltik di Indonesia diatas telah dijelaskan bahwa konfigurasi politik tertentu
melahirkan produk tertentu juga. Didalam buku politik hukum Mahfud MD ini dijelaskan
masa periodesasi dalam perkembangan hukum dengan produk hukumnya ;
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12
Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada tanggal
20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang
sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin
Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al
Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.[18]
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana
disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru,
Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh
penguasa saat itu.