Anda di halaman 1dari 12

Sistem Pendidikan Islam Perlu Diubah

Jumat, 2 Juli 2010 13:36 WIB

Yogyakarta (ANTARA News) - Cendekiawan Islam yang juga mantan Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif menegaskan, sistem pendidikan Islam perlu
diubah ke arah yang lebih baik sebagai cara untuk memerangi kemiskinan yang masih
menghinggapi Bangsa Indonesia.

"Sistem pendidikan Islam harus diubah secara radikal agar memiliki visi ke depan dan
mampu memberikan pencerahan," kata Syafii dalam Seminar Internasional Memperkuat
Sinergi antar-Pergerakan Perempuan untuk Memerangi Kemiskinan dan mencapai Sasaran
Pembangunan Millenium di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, sistem pendidikan Islam termasuk sistem pendidikan yang dikembangkan oleh
sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah masih belum memberikan ruang
kreatifitas dan keingintahuan pelajar.

Ia menyatakan, sistem pendidikan perlu benar-benar menyasar langsung ke masyarakat di


bawah, dan bukan seperti saat ini yang masih mengawang-awang.

"Kondisi demikian, memang banyak ditemui di sebagian besar sekolah yang berada di dunia
Islam. Begitu pula dengan Muhammadiyah belum memberikan alternatif," lanjutnya.

Syafii menegaskan, tanpa adanya perubahan mendasar dalam sistem pendidikan Islam, maka
seluruh upaya untuk memerangi kemiskinan tidak akan pernah efektif.

"Al Quran pro pada kaum miskin, tetapi anti-kemiskinan. Di dalam kitab suci pun ditegaskan
bahwa orang harus mau mengubah nasibnya sendiri agar lebih baik," lanjutnya.

Sementara itu, Utusan Khusus Presiden untuk tujuan pembangunan milenium (MDGs) Nila F
Moeloek, menyatakan, hulu dari pembangunan manusia adalah kesehatan dan pendidikan
yang akan mewujudkan kesejahteraan ekonomi.

"Saat ini, kondisi kesehatan dan pendidikan kaum perempuan masih kalah dibanding kaum
laki-laki. Padahal, kaum perempuan memegang peran yang cukup banyak di sejumlah bidang
kehidupan," katanya.

Pendidikan untuk kaum perempuan, lanjut dia, masih cukup memprihatinkan, dengan
persentase kaum perempuan yang menikmati pendidikan dasar hingga menengah adalah 60
persen lebih.

Kaum perempuan juga cukup rentan dengan sejumlah permasalahan seperti banyaknya
angkatan kerja, kemiskinan, putus sekolah, buta huruf, rendahnya daya saing dan kekerasan
domestik.

"Karenanya, sudah saatnya seluruh masyarakat berpikir holistik agar di masa yang akan
datang, Indonesia terbebas dari kemiskinan," katanya. (E013/Z002)
http://www.antaranews.com/berita/1278052589/sistem-pendidikan-islam-perlu-diubah
MENCANDRA TREND PENDIDIKAN ISLAM
INDONESIA MASA KINI

Oleh: Dr. Ainurrofiq Dawam, M.A

Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Kilasan Sejarah Singkat

Pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau
dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai pendidikan tertua di Indonesia.
Pendidikan Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan
tetapi memiliki pemahaman yang sama baik secara fungsional, substansial,
operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan tersebut
dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping
wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia
yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat
dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa
spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif
materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Allah. Secara operasional
trilogi sistem penidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan
sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa.
Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem
pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang
dari satu induk mengembang ke berbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang
kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya.

Sebelum masuknya penjajah Belanda triilogi sistem pendidikan pribumi tersebut


berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan agama Islam yang
berlangsung secara damai, ramah, dan santun. Perkembangan tersebut pada
dasarnya merupakan bukti bagi kesadaran masyarakat Indonesia akan sesuainya
model pendidikan Islam dengan nurani masyarakat dan bangsa Indonesia saat itu.
Kehidupan masyarakat terasa harmonis, selaras, dan tidak saling mendominasi.
Hanya saja sejak masuknya bangsa penjajah baik Spanyol, Portugis, dan Belanda
dengan sifat kerakusan akan kekayaan dan materi yang luar biasa menjadikan
masyarakat Indonesia tercerai berai. Terdapat sebagian masyarakat pribumi yang
masih teguh dengan pendirian dan ajaran yang diperoleh di dayah, surau, dan
pesantren ada juga yang sudah mulai terbuai dengan bujuk rayu para penjajah
jahat tersebut.

Sebagian manusia pribumi yang menerima bujukan dan rayuan penjajah di atas
adalah manusia pribumi yang telah lupa dan memang secara sadar melupakan
ajaran yang mereka peroleh di tempat pendidikannya. Mereka juga terbius dengan
iming-iming kekayaan dari para penjajah yang sangat licik. Kelicikan dan kejahatan
para penjajah memang tidak pernah diungkap oleh para sejarawan. Kelicikan dan
kejahatan penjajah sudah tidak bias diterima manusia normal. Bujukan dan rayuan
yang manis dari para penjajah diarahkan kepada manusia pribumi yang kelihatan
secara moral, kepribadian, praktik keagamaan masih lemah dan rendah. Moralitas
yang rendah, kepribadian yang lemah dan tingkat ketaatan keagamaan minim
merupakan sasaran empuk bagi para penjajah.

Trilogi sistem pendidikan Islam di atas mulai tergerus bahkan memang sengaja
dibatasi serta dimatikan oleh penjajah. Para penjajah memandang bahwa trilogi
sistem pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bukanlah lembaga pendidikan akan
tetapi hanyalah lembaga agitasi dan provokasi untuk melawana penjajahan. Dengan
asumsi yang demikian, maka menjadi sangat wajar ketika penjajah berusaha untuk
mengkerdilkan atau bahkan mematikannya. Di saat yang bersamaan penjajah
mendirikan sistem pendidikan alam negara penjajah. Di sini telah terjadi polarisasi
lembaga pendidikan yang pada awalnya hanya mengenal pendidikan tradisional,
maka pada masa penajajahan ini mulai muncul sistem pendidikan modern. Di
sinilah cikal-bakal mulai munculnya istilah pendidikan tradisional dan pendidikan
modern. Adanya fragmentasi ini kemudian juga merembet ke dikotomisasi ilmu
pengetahuan yaikni ada ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama dipahami sebagai
ilmu-ilmu yang diberikan secara tradisional oleh trilogi sistem pendidikan Islan
sedangkan ilmu umum digunakan untuk menyebut ilmu-ilmu yang diberikan oleh
lembaga pendidikan modern, dalam hal ini sekolah-sekolah yang didirikan para
penjajah. Adanya persaingan yang tidak seimbang antara kaum penjajah dan
penduduk asli, maka sebagian besar manusia Indonesia mulai mengalami
perubahan dalam kehidupannya.

Mulai saat ini pulalah manusia Indonesia mengalami perubahan yang sangat
signifikan baik dalam aspek ideologi, ekonomi, politik, maupun moralitas. Dalam
aspek ideologi manusia pribumi mulai ada yang bergeser dari ideologi spiritualisme-
religius ke ideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi materialisme-kapitalisme
adalah ideologi yang lebih mementingkan kekayaan materi dan kekayaan tersebut
digunakan untuk dirinya sendiri. Kekayaan yang diperoleh dengan cara memeras
dan menyiksa para fakir miskin adalah sebuah perilaku para pengkiut ideilogi ini.
Dalam aspek ekonomi juga mulai bergeser dari hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup diri dan keluarganya mengarah ke orientasi untuk menguasi seluruh
kekayaan yang ada, sehingga kekayaan tesrebut hanya untuk dirinya sendiri. Hal ini
memang merupoakan konskuensi logis dari pergeseran ideologi di atas. Karena
secara teoritis dan praktis antara ideologi dan perilaku ekonomi akan memiliki
kesejajaran dan kesinambungan. Dalam aspek politik kehidupan masyarakat
bergeser dari sekedar menjadikannya sebagai sarana untuk menmgembangkan
ajaran dan moralitas masyarakat bergeser menjadi sebagai sarana untuk
menguasai masyarakat baik secara cultural maupun truktural. Inilah yang
belakangan menyebabkan munculnya kekayaan structural dan kemiskinan
structural. Yaitu kondisi dan keberlangsungan kehidupan masyarakat dimana yang
kaya semakin kayak arena menguasai seluruh akses kekayaan, sedangkan yang
miskin semakin miskin karena memang telah direbut seluruh aksesnya oleh orang
yang kaya.

Dalam aspek moralitas pergeseran terjadi pada pandangan masyarakat tentang


konsep moralitas itu sendiri. Moralitas di sini dipahami sebagai konsep tentang
moral atau kebaikan atau baiknya sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat.
Ketika penjajah yang berkuasa di Indonesia, maka konsepsi tentang moral harus
mengikuti konstruksi masyarakat penajajah. Sedangkan sebagaimana dijelaskan di
depan bahwa ideologi para penjajah adalah materialisme-kapitalis, maka sesuatu
atau seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan
berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di
hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat dan
kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoral adalah
seseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta l;ebih dari orang
tuanya. Demikianlah pergesaran yang terjadi sebagai akibat terjadinya penjajahan
di Indonesia.

Pada masa penjajahan Jepang --yang merupakan Saudara Tua (karena sama-sama
di benu Asia dengan Indonesia)—pendidikan tradisional mulai mendapatkan angin
kemajuan. Namun, semua itu tidak ada artinya karena memang penjajahan Belanda
sebagai salah satu bangsa Barat atau lebih dikenal dengan bangsa Barat telah
menancapkan ideologi, politk, ekonomi, budaya, dan moralitas kepada masyarakat
pribumi, maka angina segar tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal.
Dengan demikian pendidikan tradisional menjadi sangat sulit untuk kemabli lagi ke
posisi semual, yakni sebelum adanya penjajahan bangsa Barat.

Memasuki masa kemerdekaan pendidikan Islam masih terus berkutat dengan


sistem pendidikan modern (peninggalan Belanda). Sistem pendidikan ini dipelopori
oleh para tokoh pendidikan yang telah mengenyam sistem pendidikan Belanda atau
Barat. Oleh karena itu, menjadi sangat masuk akal ketika sistem pendidikan
nasional Indonesia berkiblat kepada sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan
yang berkiblat pada sistem pendidikan Barat secara praktis dan teoritis berbeda
dengan sistem pendidikan Islam tradisional. Dari sinilah kemudian terjadi
pemisahan antara pendidikan tradisional yang dalam hal ini bias direpresentasikan
oleh pendidikan Islam dan pendidikan modern yang dalam hal ini bias
direpresentasikan oleh pendidikan nasional. Kedua sistem pendidikan ini merupakan
sebuah hasil kompromi para funding father negeri ini.

Kompromi yang diambil para funding father negeri ini adalah bahwa pengabaian
sistem pendidikan Islam tradisional akan sangat menyakitkan umat Islam.
Mengingat jasa dan pengorbanan para ulama dan santri dari trilogi sistem
pendidikan Islam tersebut di atas. Pertimbangan lainnya adalah agar umat Islam
memiliki lembaga pendidkkan khusus, sehingga mayoritas penduduk Indonesia
tidak mengalami kekecewaan yang luar biasa kepada pemerintah. Oleh karena itu,
pada masa kemerdekaan tepatnya pada 3 Januari 1946 didirikanlah Departemen
Agama yang mengurusi keperluan umat Islam. Meskipun pada dasarnya
Departemen Agama ini mengurusi keperluan seluruh umat beragama di Indonesia,
namun melihat latar belakang pendiriannya jelas untuk mengakomodasi
kepentingan dan aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini.

Dalam masalah pendidikan, kepentingan dan keinginan umat Islam juga ditampung
di Departemen ini. Namun sangat disayangkan perhatian para pemimpin negeri ini
kurang begitu besar terhadap pendidikan Islam di bawah naungan Depag ini. Hal ini
terbukti dengan anggaran yang sangat berbeda dengan saudar mudanya yaitu
pendidikan nasional. Perbedaan perhatian dengan wujud kesenjangan anggaran ini
kemudian menyebabkan munculnya perbedaan kualitas pendidikan yang berbeda.
Di satu sisi lembaga-lembaga pendidikan yang di bawah departemen pendidikan
nasional mengalami perkembangan cukup pesat sementara pendidikan Islam yang
berada di bawah payung Departemen Agama “terseok-seok” dalam mengikuti
perkembangan zaman.

Sampai pada pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pemisahan sistem dan
pengelolaan pendidikan nasional dan pendidikan Islam masih dipertahankan.
Artinya adalah bahwa pengelolaan pendidikan Islam masih mengalami nasib yang
tidak bagus dibanding dengan saudara mudanya, pendidikan nasional. Walaupun
secara substansial kedua sistem pendidikan tersebut oleh pemerintah Indonesia
sendiri juga mengalami nasib yang sama buruknya, yaitu rendahnya anggaran
pendidikan bila dibanding dengan negara-negara berkembang lain apalagi dibanding
dengan negara-negara maju.

Demikianlah nasib perjalanan pendidikan di Indonesia yang sampai saat ini masih
menduduki ranngking kurang begitu bagus dibanding negara-negara lainnya.
Kurangnya perhatian pemerintah pusat dan menitikberatkan pembangunan pada
sector ekonomi menyebabkan pembangunan jiwa dan mental bangsa menjadi
termarjinalkan. Padahal pembangunan mental, jiwa, dan moral bangsa adalah
sebuah keharusan dan keniscayaan sejarah yang tidak bisa ditawar-tawar,
khususnya bagi bangsa Indonesia. Pendidikan ekonomi tanpa didukung dengan
pendidikan moral yang kuat hanya akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang
berpenyakit kronis. (tobe continued next edition, by the title: “The Materialization in
Education, How come”?)

http://www.ditpertais.net/swara/warta16-03.asp
Gambaran Pendidikan Islam
21 August 2009

Pendekatan filosofi terhadap pendidikan adalah suatu pendekatan untuk menelaah dan
memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan methode filsafat.
Pandangan mengenai pengetahuan atau teori pendidikan yang dihasilkan dengan pendekatan
Filosofi disebut filsafat pendidikan. Menurut Henderson (1995), filsafat pendidikan adalah
filsafat yang diterapkan/diaplikasi untuk menelaah dan memecahkan mesalah-masalah
pendidikan.

Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah
dalam kehidupan, dimana pendidikan merupaka salah satu kebutuhan paling penting dalam
kehidupan manusia. Pendidikan membutuhkan filsafat disebabkan oleh pendidikan tidak
hanya menyangkut pelaksanaan saja, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam
pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan lebih mendalam, yang tidak
tebatas ole pengalaman indrawi maupun fakta-fakta faktual, yang mungkin tidak dapat
dijangkau oleh sains pendidikan (science 0f education).

Kalu kita kembali ke filsafat pendidikan islam disitu jelas digambarkan bahwa ajaran religi
yang dijadikan nilai-nilai dalam kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan
pendidikan, metode, bahkan sampai pada jenis-jenis pendidikan untuk menncapai tujuan yang
diinginkan.

Methode yang dipergunakan dalam menyusun teori/konsep pendidikan adalah tesis deduktif.
Dikatakan tesis deduktif, karena bertolak dari dalil-dalil atau aksioma-aksioma agama yang
tidak dapat kita tolak kebenaranya. Dikatakan deduktif, karena teori pendidikan disusun dari
prinsip-prisip yang berlaku umum, diterapakan untuk memikikan masala-masalah khusus.
Ajaran agama yang berlaku umum dijadikan sebagai pangkal untuk memikirkan prinsip-
prinsp pendidikan yang khusus.

Sebagai contoh teori pendidikan islam akan berangkat dari Al-Quran, sehingga ayat-ayat Al-
Quran akan dijadikan landasan dalam keseluruhan sistem pendidikan. Abdurrahman Saleh
(1991) membandingkan teori pendidikan islam dengan teori sains. Ia mengatakan bahwa teori
sains bersifat deskriptif untuk membantu para pendidik dalam mengasuh siswanya. Tetapi
tidak dapat menjadi paradigma bagi teori pandidikan, kerana dalam pendidikan, teori tidak
sekedar menerangkan bagaimanan atau mengapa suatu peristiwa terjadi. Fungsi teori dalam
pendidikan adalah menjadi petunjuk prilaku peserta didik dalam mengajar. Dalam pendidikan
islam, nilai-nilai Qurani merupakan pembentukan elemen dasar kurikulum, dan sekolah
berkepentingan membawa siswa-siswanya agar mematuhi dan menjalankan nilai-nilai
tersebut. Praktik prilaku harus dinilai para pendidik, dan dalam pemberian nilai tidak bisa
dibatasi pada penemuan-penemuan ilmiah.

Lebih jauh Salih Abdullah mengemukakan bahwa, jika kita menerima teori sains sebagai
paradigma bagi pendidikan, berarti kita harus meninggalkan seluruh fakta-fakta metafisik
(ghaib) Al-Quran. Sains hanya menerangkan kepentingan-kepentingan fakta yang dapat
diliat. Sains tidak dapat menyentuh elemen-elemen yang tidak dapat di observasi dan diukur.
Seperti yang kita ketahui bahwa indra dan rasa bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan
untuk memperoleh pengetahuan. Al-Quran yang merupaka kitab wahyu dari Allah, sains
tidak akan mampu mengujinya secara empiris, dan secara keseluruhan. Dalam surat Al-
Baqarah dijelaskan kalau tidak salah ayat 3 secara umum dapat kita golongkan bahwa
kepercayaan orang mukmin terhadap terhadap segala yang ghaib, mendahului referensi
terhadap perilaku yang dapat diobservasi. Orang -orang islam menerima sistem etika islam
yang bersumber dari Al-Quran, karena datang dari Allah Yang Maha Ghaib, yang diyakini
sebagai sistem etika terbaik, bukan hasil temuan empiris, juga bukan hasil eksperimentasi
sains.

Teori pendidikan Islam merupakan teori yang terintegratif yang berdasrkan pada prinsip-
prinsip Qurani. Jadi teori pendidikan Islam tidak akan bertentangan dengan hasil-hasil sains
bahkan dapat menerima dan memamfaatkan bagian-bagian dari sains bagi pelkasanaan
operasional pendidikan.

Sebagai contoh konsep tentang kejadian manusia sudah dijelaskan dalam Al-quran misalnya
dari surat yasin dimana dasar pengetahuan ini bisa dijadikan pijakan untuk membuktikakanya
secara empiris yang pada akhirnya apa yang dijelaskan oleh Al-Quran sesuai denga apa
yangdibuktikan oleh sains. Dan masih banyak lagi contoh-contoh gambaran ilmu yang
disebutkan dalam Al-Quran yang kebenarannya dibuktikan oleh sains.

Jadi apa yang penulis maksudkan disini adalah mari kita mengkaji ilmu dari segala aspek dan
tempat dengan tetap berpijak pada Ilmu Al-Quran, sebab masih sangat banyak kandungan-
kandungan Al-Quran yang belum mampu kita buktikan dengan ilmu pengetahuan kerana
keterbatasan ilmu kita.

Wallahu a’lam

http://umum.kompasiana.com/2009/08/21/gambaran-pendidikan-islam/
MASALAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh: A. ALDY ANWAR, BIL QALAM

1. Pendidikan merupakan proses budaya yang berlangsung menurut paradigma dan tata nilai
tertentu, serta dalam kerangka kebudayaan dan peradaban tertentu. Karena pendidikan
menyangkut manusia dan nilai, nilai dalam aneka wujudnya dan unsurnya, dengan informasi
yang berkadar nilai selaku sarana dan wahana nilai, serta energi dan materi yang selaku
sumberdaya bagi sarana dan wahana nilai. Pendidikan adalah proses alih nilai, secara
tersaring, terkendali dan terarah, dari lingkungan budaya kepada peserta didik, serta
penyerapan dan pemantapan nilai-nilai yang membentuk identitas budaya pada diri peserta
didik itu.

2. Begitu pula halnya dengan apa yang dinamakan "Pembangunan" yang juga proses budaya,
walau dalam wujudnya seperti yang di Indonesia ini lebih merupakan proses politik dengan
kadar proses ekonomi yang tinggi.

3. Tetapi keduanya, Pendidikan dan Pembangunan, ternyata dapat tidak sejalan karena
masing-masing dalam kenyataannya bertolak dari paradigma dan tata nilai yang berlainan,
dan bahkan ada dalam kerangka kebudayaan dan peradaban yang berlainan.

4. Lebih-lebih di Indonesia yang merupakan suatu lingkungan budaya majemuk, tempat


berlaku sekaligus aneka tata  nilai budaya yang berlainan, kesenjangan antara Pendidikan dan
Pembangunan dapat lebar sekali.

5. Kesenjangan ini semakin jelas karena dalam kenyataannya Pendidikan masih merupakan
proses yang berlangsung terutama "dari bawah", sedangkan Pembangunan baru merupakan
proses yang berjalan terutama "dari atas".

6. Pembangunan sebagai yang ada kini di Indonesia masih lebih merupakan proses budaya
institusional dan nasional, yang diatur oleh Pemerintah lewat institusi-institusi politik dan
birokrasi. Pemerintah jadi subyek dan rakyat jadi obyek.

7. Sedangkan Pendidikan sampai kini lebih merupakan proses budaya individual dan
komunal, disamping juga proses institusional yang semakin meningkat, yang diselenggarakan
oleh rakyat, walau yang institusional semakin mau diatur oleh Pemerintah.

8. Seharusnya proses pendidikan yang institusional itu merupakan peningkatan, perpaduan


dan pelembagaan proses budaya pendidikan yang individual dan komunal. Sedangkan proses
pendidikan yang nasional merupakan pengembangan dan perpaduan itu semua, yang
individual, komunal dan institusional.

9. Di Indonesia sekarang, proses pendidikan "dari bawah" yang institusional ternyata makin
bergeser jadi proses ekonomi yang komersial. Sedangkan proses pendidikan yang "dari atas"
masih lebih merupakan proses politik yang  ideologis dan birokratis.
10. Dialektika antara proses pendidikan "dari bawah" oleh rakyat dan yang "dari atas" oleh
Pemerintah itulah yang sebetulnya akan menghasilkan proses budaya pendidikan nasional
yang sebagai keseimbangan dan perpaduan antara proses "dari bawah" dan "dari atas" itu.

11. Dan akhirnya akan terbentuk suatu proses budaya pendidikan yang integral, sebagai
keterkaitan dan perpaduan proses yang individual, komunal, institusional dan nasional.

12. Lalu dimanakah posisi Pendidikan Ummat Islam di Indonesia kini ??

13. Ternyata Pendidikan Ummat Islam di Indonesia kini masih lebih merupakan proses
budaya "dari bawah" yang bercorak individual, komunal dan institusional oleh masyarakat
yang Muslim, disamping ada juga yang "dari atas" yang institusional oleh Pemerintah.

14. Dalam menyelenggarakan Pendidikan Ummat Islam yang berupa proses budaya
individual, komunal dan institusional itu masyarakat yang Muslim bertolak dari lingkungan
budaya Muslim, yang bersumberkan dan berindukkan lingkungan budaya Islam. Sedangkan
Pemerintah menyelenggarakan Pendidikan Ummat Islam sebagai bagian Pendidikan pada
umumnya yang bertolak dari lingkungan budaya majemuk Indonesia yang berasas tunggal
Pancasila.

15. Perlu dicatat bahwa asas Pancasila yang disebutkan sebagai asas tunggal itu dalam
kenyataannya masih merupakan asas politik dan belum asas ekonomi apalagi asas budaya.
Sebagai asas budaya, seharusnya Pancasila dapat berfungsi selaku asas bhineka tunggal ika
budaya dalam lingkungan budaya majemuk Indonesia. Ini akan memberikan peluang terbuka
yang wajar, sehat dan adil bagi kehadiran dan peranan lingkungan budaya Muslim pada
umumnya dan lingkungan budaya Islam pada khususnya dalam ikut menentukan wujud dan
wajah lingkungan budaya majemuk Indonesia.

16. Perlu kita bedakan secara jelas antara Pendidikan Islam dan Pendidikan Muslim.
Pendidikan Islam adalah proses budaya yang berlangsung dalam lingkungan budaya Islam
menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah dan bertujuan membentuk identitas budaya Islam yang
Islam Kaffah. Sedangkan Pendidikan Muslim berlangsung dalam lingkungan budaya Muslim,
yang belum utuh dan penuh mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan bertujuan membentuk
identitas budaya Muslim, yang belum Islam kaffah.

17. Ternyata dapat pula dibedakan antara 2 corak Pendidikan Muslim. Yaitu yang bertolak
dari dan bertujuan kembali kepada lingkungan budaya Islam dan identitas budaya Islam. Ini
yang ditemukan pada proses pendidikan Muslim yang "dari bawah", yang oleh masyarakat
yang Muslim, seperti contohnya oleh Jama'ah Remaja Masjid. Dan Pendidikan Muslim yang
berpangkal di dan terikat pada lingkungan budaya majemuk Indonesia dan identitas budaya
majemuk Indonesia. Ini ada pada proses pendidikan yang "dari atas", yang diselenggarakan
oleh Pemerintah, terutama lewat birokrasi Departemen Agama.

18. Perbedaan ini menyangkut perbedaan paradigma. Yaitu di satu pihak adalah paradigma
"Meng-Islamkan Indonesia" pada Pendidikan Muslim yang bertolak dari Pendidikan Islam,
dan paradigma "Meng-Indonesiakan Islam" pada yang termasuk Pendidikan Nasional yang
majemuk Indonesia.
19. Menjadi pertanyaan besar, apakah kedua corak Pendidikan Muslim itu dapat diselaraskan,
apalagi dipadukan, ataukah harus dipilih  alternatif satu saja yang paling tepat untuk
Indonesia ?

20. Akan bicara tentang yang manakah kita sekarang ini ?  Pendidikan Muslim yang manakah
yang sebenarnya kita kehendaki ?  Dan yang manakah yang selayaknya dan yang seharusnya
kita garap sekarang ini ?  Ataukah kita niatkan dan ikhtiarkan dahulu untuk mengkaji dan
mewujudkan Pendidikan Islam yang sesungguhnya ?  Yaitu Pendidikan Islam sebagai
pendidikan yang berparadigma Islam, dan bertata nilai Islam, berkebudayaan Islam,
berperadaban Islam, dan bukan yang lainnya ???  Mampukah kita ?  Sanggupkah kita ?? 
Siapkah kita ???

 http://www.buroqi.com/html/modules.php?name=Artikel&id=20

Anda mungkin juga menyukai