Bab2 2
Bab2 2
BY : VASHTI NUGROHO
BUDAYA DEMOKRASI
Demokrasi adalah pilihan masyarakat modern untuk menyelenggarakan kehidupan
bersama. Demokrasi merupakan hasil pengalaman berabadabad berbagai peradaban
dalam mengelola kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya dalam kerangka kontrak
sosial.
Demokrasi menjadi sistem karena di dalam demokrasilah kepentingan kehidupan
bersama dikelola. Sebagai sistem, demokrasi memiliki tiga elemen utama,
yaitu: input,proses, dan output.
Input dari demokrasi tentulah aspirasi, partisipasi publik dan, dalam bentuk yang formal,
suara (vote). Input inilah yang diolah dalam proses demokrasi politik yang berupa
agregasi dan kondensasi informasi, pilihan serta preferensi induvidu. Proses tersebut akan
menghasilkan output berupa pengelolaan kehidupan bersama yang memberi manfaat
untuk semua.
Proses demokrasi ini harus dijaga dari distorsi serta harus dipastikan dapat menghasilkan
output sesuai dengan yang diharapkan. Proses yang terdistorsi atau proses demokrasi
yang gagal dapat berujung pada dua (2) skenario:
(1) tidak ada output, seperti yang terjadi di jaman Presiden Soekarno, dimana
dinamika politik ideologi gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat;
Dengan kerangka tersebut, saya ingin menggulirkan suatu diskusi tentang demokrasi
yang produktif, sebagai hasil dari pengelolaan input, proses dan output yang terjaga, baik
oleh sistem, maupun oleh etika politik. Demokrasi yang produktif adalah demokrasi yang
mampi memecahkan masalah.
Partai politik merupakan pilar penting dalam mewujudkan demokrasi yang produktif.
Partai politik menjadi kanal aspirasi publik ke dalam sistem dan saluran informasi dari
sistem politik ke ranah masyarakat.
Partai politik adalah lini terdepan dari sistem politik yang berhadapan dengan publik.
Sudah waktunya partai politik memberi porsi yang seimbang antara masalahmasalah
nasional dan lokal. Justru partai politik mesti makin tertarik untuk merespon kebutuhan
kebutuhan lokal. Harusnya ada insentif ketika partai politik mampu menyelesaikan
masalah lokal, tapi sekarang kita kerap menyaksikan betapa yang mampu menyelesaikan
keinginan elitelah yang diberi insentif
BAB II : BUDAYA DEMOKRASI
BY : VASHTI NUGROHO
Contohnya, dalam perumusan kebijakan publik. Partai politik seharusnya menjadi kanal
aspirasi publik dan memberikan informasi, bukannya malah menjadi kasino tempat
kebijakan publik dirumuskan di ruang tertutup dan rentan terhadap intervensi vested
interest.
Partai politik dengan komitmen untuk mengembangkan kemampuan permasalahan lokal
akan memberi ruang bagi tumbuhnya pemimpinpemimpin politik yang “berkeringat,”
berakar dan merintis dari bawah. Dengan kesadaran itu, partai politik juga akan
mengembangkan meritokrasi sebagai pilihan rasional untuk mewujudkan demokrasi yang
produktif.
Beranjak dari kerangka itu pula, pemimpin politik dalam demokrasi yang produktif harus
memiliki dua (2) klasifikasi, yaitu
(1) kualifikasi politis, ini adalah kualifikasi dimana seorang pemimpin politik harus
akseptabel. Akseptabilitas kepemimpinan merupakan hasil yang didapat dari integritas,
moralitas, kompetensi dan penerimaan terhadap pluralitas bangsa. Pemimpin politik
haruslah memiliki catatan moralitas yang baik, integritas yang tidak cacat, kompetensi
yang dapat diandalkan, danyang tidak kalah pentingkesadaran akan fakta bahwa
Indonesia adalah sebuah negara dengan keragaman dalam hampir seluruh aspek
kehidupannya. Kualifikasi politis ini akan membangun legitimasi politik seorang
pemimpin;
(2) kualifikasi teknis, berkaitan dengan begaimana kepercayaan publik dikelola dan
diwujudkan dalam kinerja nyata kepemimpinan politik. Kemampuan teknis adalah
kapabilitas manajerial untuk menggerakan sumber daya yang dimilikinya dan dalam
bentuknya yang formal, mampu mengelola organisasi partai hingga pemerintahan.
Pengalaman berorganisasi yang melatih kemampuan seseorang untuk mengomunikasikan
visi, menyinergikan kekuatan dan memediasi konflik sangat relevan di sini.
Dua kualifikasi di atas tidak terpisahkan dan komplementer. Tanpa kualifikasi teknis,
kualifikasi politis seorang pemimpin akan tergerus karena kegagalan mewujudkan kinerja
yang efektif. Namun, kecakapan memimpin dan mengelola organisasi tidak bermakna
jika pemimpin tersebut tidak menunjukan integritas dan tidak memiliki akseptabilitas.
Tidak mungkin sebuah kepemimpinan politik berjalan tanpa kepercayaan dari
konstituennya.
Pemimpin dengan dua kualifikasi di atas hanya lahir dari proses yang panjang, bukan
“karbitan.” Kematangan kualifikasi politis baru bisa dimiliki setelah melalui proses
pembuktian legitimasi dalam dimensi integritas, moralitas, kompetensi dan kapabilitas
politik.
Kualifikasi teknis, meski dapat dipelajari, juga tidak bisa diperoleh secara instan.
Kemampunan menata dan mengelola politik tidak hanya mengacu pada aspek teoretik.
Dibutuhkan pengalaman langsung di lapangan untuk menguji kapabilitas seorang calon
pemimpin.
BAB II : BUDAYA DEMOKRASI
BY : VASHTI NUGROHO
Itulah kerangka besar dari demokrasi yang modern yang produktif, demokrasi yang
mampu menyelesaikan masalah dan mewujudkan kesejahteraan, yang bersendikan pada
partai politik yang berkomitmen untuk merespon permasalahan lokal yang mampu
melahirkan pemimpin yang berakar dengan kualifikasi teknis dan politis yang memadai.
Budaya Demokrasi
Saya akan melengkapi pembahasan mengenai demokrasi sebagai sistem dengan urgensi
membangun budaya politik. Lebih jauh lagi, saya mengusulkan masalah perubahan
budaya sebagai agenda perubahan dan perbaikan politik Indonesia ke depan.
Perubahan politik tidak boleh berhenti hanya dalam dimensi perubahan struktur politik,
apalagi semata perubahan elit. Perubahan struktur, apalagi dalam tataran formal, adalah
perubahan yang dapat dengan cepat dilakukan. Perubahan elit juga memiliki dimensi
waktu yang dapat diprediksi. Namun, tanpa perubahan budaya, kurva belajar perpolitikan
Indonesia akan mandek.
Dalam literatur ilmu politik, istilah “budaya politik” terutama mengacu pada: orientasi
politik, sikap terhadap sistem politik dan bagianbagiannya, serta sikap terhadap peranan
individu (diri kita sendiri) dalam sistem tersebut. Pengertian budaya politik juga mengacu
pada dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.
Budaya politik suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh struktur politik, sedangkan daya
operasional suatu struktur politik sangat ditentukan oleh konteks kultural tempat struktur
itu berada.
Saya membaca blog teman saya Philips J. Vermonte¸ peneliti CSIS yang sedang
menempuh studi doktoral di Northern Illinois University, AS. Dalam salah satu posting
nya yang membahas budaya politik Philips menjelaskan betapa dalam bidangcomparative
politics, kajian budaya politik memang sempat tertinggal. Padahal, di masa jaya bidang
studi comparative politics tahun 1950an dan 1960an, penekanan kajiannya lebih banyak
pada budaya politik. Agaknya karena di masamasa itu kajian comparative politics amat
di dominasi paradigma modernisasi, dimana persoalan budaya politik dianggap
merupakan bagian inheren dari proyek modernisasi.
Menurut Philips, kajian budaya politik kemudian ditinggalkan karena beberapa sebab.
Sebab pertama, konsep budaya politik terlalu abstrak. Persoalan yang ditimbulkan dari
abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit
analisa. Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu,
kelompok atau negara? Jika pada tingkatan individu, apakah dia bisa digeneralisasi? Jika
pada level negara, apakah dia mencerminkan individu? Apabila diletakkan dalam konteks
kelompok (etnis atau religius, misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok
yang satu dengan yang lainnya? Persoalan kedua yang ditimbulkan karena sifatnya yang
terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu.
Artinya, variabel kultur menjadi the last resort, kalau variabel lain tidak mampu
BAB II : BUDAYA DEMOKRASI
BY : VASHTI NUGROHO
menjelaskan sebuah fenomena. Alias, jika sudah mentok dan otak sudah malas berpikir,
tinggal bilang: “yah, memang sudah budayanya begitu.”
Sebab kedua ia ditinggalkan adalah karena budaya politik selalu dikaitkan
denganpolitical correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk
menyalahkan keadaan. Misalnya, bila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi,
maka budaya dijadikan kambing hitam latar belakang gagalnya demokrasi itu.
Philips kemudian menjelaskan bahwa sejak tahun 1990an, kajian budaya politik kembali
mendapat perhatian dari para comparativists. Ada beberapa penyebabnya, diantaranya
adalah mulai tersedianya data set global mengenai budaya, seperti data dari World Value
Survey. Tersedianya data set ini memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih
saintifik dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi
menjadi kajian yang vague dan abstrak.
Dari ranah pembahasan akademik di atas, saya ingin membawanya ke dalam ranah
praktis politik di Indonesia. Pertanyaannya: Mengapa budaya?
Dalam kesempatan ini saya menggunakan sebuah analogi: budaya adalah adalah kotak
perkakas (toolbox) yang dimiliki oleh sebuah masyarakat untuk menyelesaikan masalah.
Jika ingin memasang paku kita menggunakan palu, jika ingin memasang sekerup kita
menggunakan obeng. Semua perkakas itu ada di dalam toolbox kita. Kesatuan instrumen
pemecahan masalah dalam suatu kelompok atau masyarakat inilah yang saya tempatkan
sebagai budaya.
Dalam konteks politik, kita tentu menginginkan agar kotak itu berisi perkakas yang
sesuai dengan kebutuhan dan kepercayaan kita. Kita ingin agar kotak itu berisi instrumen
yang sejalan dengan nilainilai demokrasi. Sebaliknya, kita tidak menginginkan
instrumen tersebut berwujud paternalisme, kekerasan, politik uang, atau nilainilai lain
yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusiaan dan demokrasi.
Jika kita merunut sejarah politik, kita dapat membandingkan isi kotak perkakas bangsa
dalam menyelesaikan permasalahannya. Dulu, pada masa kerajaan nusantara,
paternalisme, atau bahkan feodalisme, adalah perkakas yang efektif, karena hubungan
pemimpin dan rakyat ditundukkan di bawah klaimklaim irasional, seperti keturunan
hingga wakil Tuhan. Di masa yang lain, kita menyaksikan koersi dan hegemoni menjadi
perangkat politik yang beroperasi dalam menyelesaikan masalah politik.
Perjalanan waktu membuktikan bahwa instrumeninstrumen tersebut, dalam contoh ini
saya pilih paternalisme dan kekerasan, bukan saja secara normatif absolut kedua hal
tersebut buruk, karena mensubordinasikan kemanusiaan yang hakiki, namun juga terbukti
tidak mampu menyelesaikan masalah di dalam masyarakat.
Masalahmasalah yang dihadapi Indonesia kontemporer sudah berkembang menjadi
begitu kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan perkakasperkakas lama. Masalah
keragaman bangsa kita, misalnya, tidak bisa diselesaikan dengan koersi dan kekerasan,
BAB II : BUDAYA DEMOKRASI
BY : VASHTI NUGROHO
sementara paternalism dan budaya oligarkis terbukti menghasilkan ketimpangan dan
sumbatan aspirasi.
Seringkali kita terjebak dalam sikap “taken for granted” ketika berhadapan dengan
budaya politik. Dalam menghadapi korupsi dan ketidakefektifan birokrasi, misalnya,
dengan cepat kita menuding budaya. Persis seperti yang diuraikan Philips tentang budaya
sebagai “variabel residu” ketika menjelaskan suatu fenomena politik.
Budaya, yang kita ambil dari kata dalam bahasa Sanskerta, memiliki dua elemen penting,
yaitu “budi” (akal) dan “daya” (kemampuan melakukan tindakan). Jadi, bisa kita
simpulkan bahwa, budaya demokrasi adalah hasil dari suatu proses dimana setiap
manusia memiliki pemikiran dan kemampuan melakukan tindakan politik yang
didasarkan pada penghargaan terhadap persamaan hak, kebebasan, keteraturan bersama
dan keragaman.
Budaya demokrasi akan memungkinkan semua orang berkontribusi menjaga
kelangsungan hidup sistem. Dalam mengkaji dan mengembangkan budaya demokrasi,
kita harus memasukan unsur kearifan lokal tempat demokrasi tersebut berkembang. Kita
mencatat betapa para bapak bangsa kita, Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, Sjahrir, Tan
Malaka, begitu intens mendialogkan narasinarasi besar universal dengan kondisi dan
konteks lokal. Persentuhan mereka dengan filsafat politik Barat, dan perenungan atas
kondisi bangsa yang terjajah, tidak saja melahirkan gerakan nasionalisme yang bermuara
perjuangan kemerdekaan, namun juga merupakan manuskrip filsafat politik yang
berharga dari sisi intelektual.
Satu hal yang bisa dibaca dari berbagai studi penelusuran terminologi demokrasi adalah
bahwa ia tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Semakin
tinggi tingkat kompleksitas masyarakat, maka akan semakin kompleks pula demokrasi
didefinisikan.
Penelusuran lebih jauh mengenai budaya demokrasi akan membimbing kita untuk
menemukan model demokrasi yang sejalan dengan cara pandang dunia dan kearifan
bangsa Indonesia. Dengan demikian tidak akan ada lagi resistensi atau penolakan
terhadap demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai satu gagasan yang berasal dari
“Barat.”
Tantangan Membangun Budaya Demokrasi
Ada beberapa masalah yang harus kita petakan sebagai tantangan membangun budaya
demokrasi.
(1) Politik uang saya tempatkan sebagai tantangan utama dalam membangun budaya
demokrasi. Politik uang merusak budaya demokrasi dan menggerus kultur organisasi.
Bahkan, politik uang akan menjerumuskan kita ke dalam pragmatisme negatif dalam
bentuknya yang paling telanjang. Politik uang, yang menihilkan meritokrasi, akan
mengubur semangat berprestasi.
BAB II : BUDAYA DEMOKRASI
BY : VASHTI NUGROHO
(2) Patronase merupakan bom waktu karena kepentingan dan kelangsungan hidup orang
banyak ditumpukan semata kepada figur yang kuat. Tidak perlu diingkari adanya
kelompok yang meraup keuntungan dari situasi paternalistik di dalam suatu kelompok
atau organisasi. Masyarakat perlu diajak dan dididik untuk percaya pada sistem dan cita
cita, bukan sematasemata pada orang. Figur yang kuat harus secara sadar dilembagakan
menjadi kekuatan sistem. Pada saat yang sama, figur yang besar dan kuat mesti didorong
untuk membangun sistem yang mapan.
(3) Kita juga masih melihat adanya semangat subnasionalisme yang begitu kuat. Saya
beri nama “subnasionalisme” karena masalahnya bukan semata semangat kedaerahan
sempit, fanatisme beragama, atau identitas kelompok kepentingan yang begitu kuat,
namun kecenderungan untuk mengaktualkan identitas dan kepentingan entitas yang lebih
kecil atas ongkos identitas dan kepentingan bangsa. Sejalan dengan perlunya membangun
sistem dan meritokrasi, ke depan sudah tidak perlu lagi ada prasangka primordialitas
dalam pengelolaan kehidupan politik. Siapa saja bisa jadi gubernur Jakarta, atau jadi
bupati di kampung saya, Blitar, dan bukan tidak mungkin saudara kita dari Papua akan
menjadi presiden Indonesia. Dalam sosiologi kita mengenal berbagai jenis status yang
menentukan posisi seseorang dalam suatu bagunan struktur dan interaksi sosial. Dua di
antaranya adalah“ascribed status” dan “achieved status.” Ascribed status adalah status
sosial yang melekat pada seseorang karena kelahiran atau afiliasi keturunan. Status ini
tidak dapat dipilih atau diraih oleh seseorang namun “terberi” oleh keadaan.
Sebaliknya, achieved status adalah posisi sosial yang diperoleh melalui usaha dan
kemampuan seseorang (merit). Kedua kategori status tersebut akan terus hadir dalam
masyarakat. Yang menjadi tantangan bagi budaya demokrasi adalah ketika ascribed
status menjadi lebih penting dan determinan dibanding achieved status dalam masalah
masalah yang membutuhkan akuntabilitas. Lagilagi, ini masalah yang akan
mengerdilkan meritokrasi dan kompetisi.
(5) Tantangan terhadap budaya demokrasi yang tidak kalah pentingnya adalah adanya
kecenderungan “zero sum game” di dalam persaingan politik. Dalam pemikiran kalah
menang dan “winner takes all” yang hitam putih seperti itu, yang menang tidak bisa atau
tidak mau menerima yang kalah; dan yang kalah tidak mampu menghormati yang
menang. Yang dirugikan dari situasi ini adalah hilangnya potensi sinergi dari dua pihak
yang tentu memiliki kemampuan dan sumber daya yang patut diperhitungkan.
Melihat peta pemasalahan di atas, maka saya menempatkan meritokrasi sebagai sebagai
agenda terpenting dalam membangun budaya demokrasi. Meritokrasi harus dijaga dari
polusi politik uang dan, sebaliknya, meritokrasi yang kokoh akan membentengi suatu
organisasi dari politik uang.
BAB II : BUDAYA DEMOKRASI
BY : VASHTI NUGROHO
Meritokrasi juga akan melahirkan sejumlah pemimpin yang kompeten setelah ditempa
oleh proses dan memiliki akar dan penerimaan publik. Meritokrasi tidak akan melahirkan
orang kuat yang melampaui sistem dan institusi karena pemimpin yang dihasilkan oleh
sistem meritokratis adalah “primus interpares” atau “yang utama dari yang setara”
sehingga check and balance, baik secara formal maupun kultural, dapat berlangsung
dengan efektif.
Membangun meritokrasi membutuhkan komitmen dari semua pihak. Konflik dan
kompetisi yang timbul harus bisa diserap dan diakumulasi sebagai pembelajaran bagi
sistem politik itu sendiri. Meritokrasi tidak akan membunuh pemimpin, malah menjadi
ladang persemaian kepemimpinan. Bahkan mampu melakukan reproduksi
kepemimpinan.
* * *
Itulah rangkuman observasi dan perenungan saya. Saya menawarkan suatu pemetaan
dimana tantangan dan agenda kita ke depan adalah membangun budaya demokrasi baru
sebagai prasyarat untuk mewujudkan demokrasi yang produktif.
Saya memilih meritokrasi sebagai pilar utama dalam membangun budaya politik. Tentu
meritokrasi tidak akan menjadi satusatunya obat bagi masalah budaya politik; juga
bukan karena yang lain tidak penting, namun karena kita harus punya prioritas dan
urgensi dalam melakukan perubahan.
Rakyat yang mampu untuk melakukan tindakan politik yang didasarkan pada
penghargaan terhadap persamaan hak, kebebasan, keteraturan bersama dan keragaman
adalah kondisi yang kita capai. Untuk menuju ke arah itu, partai politik harus berhasil
memainkan peranannya sebagai sarana agregasi kepentingan publik ke dalam sistem
politik dan menjadi saluran informasi.
Partai politik harus didorong untuk menyelesaikan masalahmasalah kongkrit dan lokal
sesuai dengan lingkupnya. Partai politik yang terbiasa merespon masalah lokal juga akan
menjadi tempat persemaian bagi tumbuhnya kepemimpinan politik yang berakar dan
memiliki kualifikasi politis dan teknis.
Semua itu dibutuhkan untuk menjaga demokrasi sebagai sistem dapat tetap produktif,
yaitu menghasilkan output keputusan yang memberi manfaat bagi rakyat.