Anda di halaman 1dari 4

Anton A Setyawan-Artikel Ekonomi&Bisnis

PENGANGGURAN TERDIDIK VS KUALITAS


PERGURUAN TINGGI

Anton A. Setyawan, SE, MSi


Dosen Fak. Ekonomi UMS, saat ini sedang studi lanjut di
Program Doktor Ilmu-ilmu Ekonomi UGM
Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta 57102
HP 08156718444
e-mail:agussetyawan-a@mailcity.comdan rmb_anton@yahoo.com

Hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan


(PPK) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PPM) UNS
menyatakakan pada tahun 2004 jumlah pengangguran terbuka di kota
Surakarta mencapai 11.530 orang. Dari jumlah tersebut 17 persen
diantaranya adalah pengangguran terdidik dengan pendidikan sarjana atau
ahli madya (Solo Pos, 21 Agustus 2005). Angka 17 persen ini berarti
sejumlah 2000 orang lebih. Dibandingkan dengan angka pengangguran
terbuka nasional, komposisi pengangguran terbuka untuk sarjana jauh lebih
kecil. Data tahun 2004, menunjukkan dari total pengangguran terbuka
sebanyak 10,2 juta orang, pengangguran terdidik “hanya” 1 persen atau 1
juta orang. Namun demikian, angka pengangguran terdidik di kota Solo ini
cukup mengkhawatirkan. Data dari PPM UNS ini belum termasuk setengah
pengangguran yang biasanya muncul di negara-negara berkembang.

Saat ini berbagai Universitas sedang memulai kegiatan perkuliahan


bagi mahasiswa baru. Puluhan universitas yang ada di Surakarta ini berebut
meraih mahasiswa sebanyak-banyaknya. PTS maupun PTN masing-masing
berlomba menawarkan program studi bagi calon mahasiswa dengan biaya
dari yang termurah sampai paling mahal. Impian setiap calon mahasiswa
yang masuk kuliah adalah pada saat lulus nanti ia akan bekerja di kantor
yang bergengsi dengan gaji jutaan Rupiah. Menjadi sarjana adalah salah satu
jalan menjadi orang kaya atau terhormat. Sama sekali tidak terlintas di benak
mereka bahwa pada saat lulus nanti mereka harus menjadi pengangguran.

Kondisi perekonomian yang masih lesu menjadi picu utama besarnya


pengangguran terdidik di Indonesia. Industri besar yang memerlukan banyak
tenaga terampil dan terdidik (termasuk lulusan sarjana) saat ini dalam
kondisi yang mengkhawatirkan karena naiknya harga minyak mentah dunia
dan juga karena daya saing ekspor yang rendah. Oleh karena itu berharap

1
Fak Ekonomi UMS-September 2005
Anton A Setyawan-Artikel Ekonomi&Bisnis

banyak dari kondisi ekonomi makro bisa memerlukan waktu lama, padahal
masalah lapangan pekerjaan harus diatasi segera karena menyangkut hajat
hidup utama. Menjadi seorang sarjana seharusnya mempunyai kemampuan
lebih dibandingkan dengan mereka yang bukan sarjana. Seorang sarjana
harus mampu berpikir konstruktif, kreatif dan inovatif. Sarjana harus
menjadi pelopor, tidak menunggu kesempatan. Namun tidak semua sarjana
mempunyai pemikiran seperti ini. Proses pembentukan sarjana dalam
pendidikannya di perguruan tinggi memberikan pengaruh cukup besar
terhadap kualitas seorang sarjana.

Proses Pendidikan

Ada semacam dilemma dalam penyelenggaraan pendidikan di


perguruan tinggi, yaitu antara memenuhi permintaan pasar atau bertahan
dalam proses pendidikan tinggi yang ideal. Permintaan pasar dipenuhi oleh
perguruan tinggi dengan membuka program studi yang “laku” di pasar
tenaga kerja. Berdasarkan pengamatan penulis saat ini program studi yang
permintaannya cukup tinggi adalah manajemen informatika, teknologi
informasi dan komunikasi serta broadcasting. Maka perguruan tinggi
berlomba-lomba membuka jurusan/program studi tersebut. Namun
demikian, terkadang perguruan tinggi mengabaikan kompetensinya.
Misalnya, sebuah perguruan tinggi berani membuka program studi teknologi
informasi, padahal tidak mempunyai tenaga ahli tetap untuk bidang tersebut.
Hal ini banyak terjadi di berbagai perguruan tinggi. Alhasil, lulusan dari
program studi itu tidak memiliki bekal ilmu yang cukup, sehingga menjadi
sarjana yang tidak berkualitas. Alasan utama sebuah perguruan tinggi
melakukan jalan pintas seperti itu adalah demi bertahan hidup dan
memperluas bisnisnya. Perguruan tinggi sekarang mempunyai paradigma
sebagai unit bisnis yang harus menghasilkan keuntungan. Maka orientasinya
adalah menghasilkan keuntungan dalam artian jumlah mahasiswa harus
banyak. Mereka berbuat demikian karena dituntut bisa mandiri dalam
memenuhi kebutuhan operasionalnya.

Profit orientation yang dilakukan sebuah perguruan tinggi masih


dapat diterima selama berbanding lurus dengan kualitasnya. Artinya
mahasiswa yang berasal dari kalangan menengah ke atas rela membayar
mahal asalkan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Pada
kenyataannya perguruan tinggi belum memaksimalkan kualitas
penyelenggaraan pendidikannya. Kritik yang dilakukan dunia industri
terhadap pendidikan tinggi di Indonesia sejak dulu adalah ketidakmampuan
2
Fak Ekonomi UMS-September 2005
Anton A Setyawan-Artikel Ekonomi&Bisnis

perguruan tinggi dalam menyediakan tenaga kerja siap pakai. Perguruan


tinggi beralasan bahwa tugas mereka adalah mencetak sarjana bukan
“tukang”. Debat ini berlangsung terus-menerus tanpa ada kejelasan solusi.

Perguruan tinggi dan industri mempunyai hubungan yang hangat di


negara-negara maju. Riset-riset di perguruan tinggi dibiayai perusahaan
karena hasilnya akan dimanfaatkan oleh perusahaan. Setiap kali ada
peluncuran produk baru perusahaan pasti sudah berdasarkan riset perguruan
tinggi. Maka di negara maju, kurikulum perguruan tinggi tidak pernah
ketinggalan dengan perkembangan industri. Di Indonesia kepercayaan
industri terhadap perguruan tinggi dalam menghasilkan penelitian
berkualitas belum ada sehingga seolah-olah selalu ada “gap komunikasi”
antara peguruan tinggi dan industri.

Jiwa Wirausaha

Perekonomian saat ini yang cenderung memburuk bukan merupakan


iklim yang baik untuk mengatasi masalah pengangguran terdidik. Maka
harus ada terobosan alternatif untuk mengatasi masalah ini. Pengangguran
terdidik memerlukan solusi khusus karena jenis pekerjaan yang diinginkan
harus sesuai dengan tingkat pendidikan. Ada dua cara yang bisa dilakukan,
pertama, melakukan pelatihan kewirausahaan. Pelatihan kewirausahaan bisa
dilakukan oleh pemkot Solo dengan fasilitas dari perguruan tinggi di kota
Solo. Di kota ini ada dua peguruan tinggi besar yang mempunyai fasilitas
lengkap yaitu Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS). Pemkot Solo bisa melakukan kerjasama
dengan dua institusi ini untuk melakukan pelatihan tenaga kerja. Selain
perguruan tinggi, pemkot Solo bisa bekerjasam dengan insitusi keuangan
dalam penyediaan modal usaha bagi mereka yang telah lulus dari pelatihan.

Kedua,mengubah kurikulum di perguruan tinggi dengan


memperbanyak aspek kewirausahaan. Hal ini bisa dilakukan dengan
mengubah imej bahwa menjadi wiraswastawan adalah sesuatu yang sulit dan
tidak bergengsi. Anggapan itu sudah saatnya berubah. Masalah
pengangguran terdidik ini memberikan peringatan kepada perguruan tinggi,
bahwa tanggung jawab penyelenggaraan perguruan tinggi tidak berhenti
setelah mahasiswa diwisuda tetapi sampai dengan lulusan tersebut mandiri.
Artinya kurikulum di perguruan tinggi harus menyiapkan lulusannya untuk
mandiri. Pemkot Solo diharapkan segera mengambil langkah yang pro aktif
dalam menyelesaikan masalah ini. Terakhir, pelajaran berharga bisa
3
Fak Ekonomi UMS-September 2005
Anton A Setyawan-Artikel Ekonomi&Bisnis

didapatkan para sarjana dan mahasiswa dari masalah pengangguran terdidik


in, yaitu sarjana harus mampu bertindak dan berpikir kreatif dan inovatif.

4
Fak Ekonomi UMS-September 2005

Anda mungkin juga menyukai