Anda di halaman 1dari 8

Kepemimpinan

Teori kepemimpinan ada tiga tingkat, sesuai dengan hakikat kepemimpinan yang dikaji:

1. Tingkat I : teori orang-orang besar dan sifat-sifat pemimpin (trait)


2. Tingkat II : teori situasi dan interaksi
3. Tingkat III : teori yang dikaitkan dengan tujuan organisasi dan langkah-langkah
untuk mencapainya (Goal setting dan attainment)

Teori kepemimpina tingkat I

Teori orang-orang besar

Filosofi Aristoteles menjelaskan bahwa ada orang tertentu yang memang dilahirkan
untuk menjadi pemimpin, sedangkan sebagian besar orang lain akan menjadi pengikut. Teori
ini berkembang di Negara-negara Eropa Barat dan Asia yang menganut system monarki.
Pemimpin ( Raja, Sultan dan Kaisar) adalah pewaris langsung (ahli waris) dari pemimpin
sebelumnya. Berdasarkan teori ini, sifat-sifat kepemimpinannya memang diwariskan. Anak
seorang raja/kaisar harus menunjukkan sifat-sifat dan kemampuannya untuk menjadi
pemimpin karena ia akan menggantikan tahta ayah atau ibunya. Untuk mempersiapkan
lahirnya seorang pemimpin, perkawinan seorang raja harus diatur sedemikian rupa agar
menjamin lahirnya manusia-manusia “super” yang kelak akan menjadi pewaris tahta negeri
tersebut.

Teori ini ada sisi positifnya. Perintah sang pemimpin diterima secara lugas
sepanjang perintah ini datang dari seorang pewaris kerajaan. Pucuk kepemimpinan diberikan
tanggung jawab untuk melestarikan system monarki (kerajaan/kesultanan/kekaisaran) di
Negara tersebut. Di dalam system ini tidak akan ada kontroversi tentang siapa yang akan
terpilih menjadi raja atau sultan. Sayangnya, teori orang-orang besar tidak dapat menjamin
semua ahi waris monarki tersebut memiliki kemampuan atau bakat menjadi seorang
pemimpin. Untuk mengatai kelemahan tersebut, calon pewaris tahta mngikuti pendidikan
khusus agar pengetahuan dan keterampilannya dapat berkembang sesuai dengan tugas
sebagai seorang pemimpin Negara.

Teori Sifat-Sifat Kepemimpinan (trait)

Berdasarkan teori orang-orang besar, seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat


khusus yang tidak dimiliki oleh orang atau kelompok lain. Sifat-sifat kepemimpinan orang-
orang besar dapat dipelajari dan disusun dalam sebuah daftar. Begitu seorang calon
pemimpin yang potensial sudah diidentifikasikan, ia kemudian dipersiapkan untuk dapat
mempelajari sifat-sifat pemimpin dan mengembangkannya sendiri melalui berbagai
pengalaman praktis.

Aspek positif teori ini terletak pada sifat-sifat kepemimpinan yang dapat dibuat
batasnya dan dibedakan mana sifat-sifat pemimpin dan mana yang bukan sifat pemimpin.
Selain itu, kepemimpinan bisa dipelajari dan diajarkan kepada seseorang. Sisi negative teori
ini adalah kurang menyeluruhnya sifat-sifat sejati seorang pemimpin yang dapat
dikembangkan pada semua kondisi (lingkungan) trutama sifat-sifat pemimpin yang muncul
karena pengaruh factor lingkungan.

Teori Kepemimpinan Tingkat II

Teori Situasi

Teori ini muncul karena kegagalan aliran teori trait. Menurut teori situasi, yang
disebut dengan pemimpin adalah mereka yang berani mengadakan perubahan drastis apabila
situasi sudah memberikan peluang kepadanya untuk mengadakan perubahan. Secara prinsip,
teori kepemimpinan berdasarkan situasi dapat diterapkan pada lingkungan budaya yang
berbeda. Teori ini menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses untuk
memengaruhi kelompok pada situasi (waktu dan ligkungan) tertentu untuk mencapai tujuan
bersama dengan cara yang memuaskan.

Sisi positif teori ini adalah digunakannya berbagai variable lingkungan untuk
mengkaji fenomena kepemimpinan yang kompleks pada diri seorang pemimpin.

Teori interaksi

Berdasarkan teori ini, bukan hanya factor sifat atau situasi saja yang menentukan
seseorang dapat dianggap sebagai pemimpin. Interaksi kedua factor tersebut justru dapat
memunculkan seorang pemimpin. Yang menjadi cirri khas teori ini adalah mulai
dipertimbangkannya kebutuhan dan tujuan kelompok yang dipimpin. Kepemimpinan akan
muncul jika ada interaksi antara perilaku seseorang dengan perilaku kelompoknya. Interaksi
diawali dengan perilaku seseorang yang memengaruhi kelompoknya. Perilaku orang ini
kemudian mendapat tanggapan dari kelompok. Interaksi seperti itu terus akan berkembang
secara timbal balik. Jika smakin sering interaksi antara calon pemimpin dan kelompoknya
dilakukan, efektivitas kepemimpinan seseorang akan meningkat.

Di dalam teori ini harus dibedakan antara situasi potensial yang dapat menumbuhkan
interaksi antara seorang pemimpin dengan kelompok pengikutnya, dan situasi yang justru
menghalangi terjadinya interaksi.kepribadian seseorang dan intensitas interaksi dengan
kelompok akan menentukan efektivitas kepemimpinan seseorang. Teori interaksi merupakan
kombinasi antara teori situasi dengan teori kepribadian (trait). Hal ini merupakan aspek
positif dari teori interaksi karena mendukung gagasan bahwa setiap orang dapat menjadi
pemimpin jika situasinya memungkinkan. Namun, teori ini tidak bisa dipakai sebagai dasar
untuk menilai keberhasilan kepemimpinan seseorang karena kepemimpinannya didasarkan
pada imteraksinya dengan kelompok yang dipimpin.

GAYA (STYLE) KEPEMIMPINAN

Gaya yang dikebangkan oleh seorang pemimpin dipengaruhi oleh tiga faktor
(kekuatan) utama. Ketiganya akan menentukan sejauh mana ia akan melakukan pengawasan
terhadap kelompok yang dipimpin. Factor kekuatan yang pertama bersumber pada dirinya
sendiri sebagai pemimpin. Factor kedua bersumber pada kelompok yang dipimpin, dan factor
ketiga tergantung pada situasi. Teori ini disebut dengan continuum leadership yang
dikembangkan oleh Tannenbaum, Wechter dan Massarik tahun 1961.

Kekuatan yang ada pada diri seseorang pemimpin dengan gaya ini atau yang
berkembang pada organisasi yang dipimpnnya terletak pada system nilai yang dianutnya,
tingkat kepercayaan yang diberikan oleh kelompoknya, dan situasi yang memberikan
kemudahan pada diri pemimpin untuk memainkan perannya. Perasaan aman (security
feeling) yang dijamin oleh seorang pemimpin pada saat menghadapi situasi lingkungan yang
berubah akan merupakan factor kekuatan pada diri seorang pemimpin. Sistem nilai yang
berkembang pada diri seseorang (kekuatan pada diri pemimpin) dapat dilihat dari
orientasinya pada saat melaksanakan tugas, kesiapannya memikul tanggung jawab, dan
kesediaannya melimpahkan wewenang kepada bawahan.

Tingkat keyakinan (perasaan aman) yang berkembang pada diri pemimpin sangat
tergantung dari kepercayaan kelompok kepadanya. Pemimpin yang merasa yakin akan
pengetahuan dan kemampuan kelompoknya, dan menganggap kelompoknya sudah mampu
memecahkan sendiri masalah yang dihadapi serta siap menerima tanggung jawab, akan
cenderung lebih banyak membagi tanggung jawab kepada anggota kelompok terutama pada
saat membuat keputusan. Beberapa pemimpin ada yang senang menerima control dari
kelompoknya, sementara pemimpin yang lain kurang nyaman menerima tanggung jawab
kelompok. Pemimpin yang lain kurang nyaman menerima tanggung jawab kelompok.
Pemimpin yang merasa nyaman memainkan peran kepemimpinannya akan senang menerima
control dari bawahannya jika diperlukan, termasuk berbagi tanggung jawab dengan kelompok
pada saat membuat keputusan. Toleransi terhadap situasi lingkungan yang cepat berubah dan
kedewasaan kelompok juga akan menjadi factor penentu gaya kepemimpinan seseorang.

Factor yang berkembang pada kelompok yang dipimpin juga akan memengaruhi
gaya kepemimpinan seseorang. Pemimpin akan memberikan kebebasan lebih banyak kepada
kelompok jika kelompok sudah dianggap “dewasa” atau sebaliknya. Kondisi yang ada pada
kelompok agar mendapat kebebasan dari pemimpinnya terdiri dari:

1. Kebutuhan untuk bebas mandiri


2. Kesiapan mengambil tanggung jawab
3. Toleransi terhadap situasi yang cepat berubah
4. Komit dengan tujuan bersama
5. Mempunyai minat tinggi menyelesaikan tugas-tugas kelompok
6. Mempunyai kemampuan menyelesaikan tugas-tugas kelompok
7. Ingin ikut mengambil tanggung jawab dalam mengambil keputusan.

Jika ketujuh kondisi ini berkembang pada kelompok, gaya kepemimpinan seseorang
akan cenderung mengurangi kebebasan kelompok. Meskipun semua kondisi tersebut sudah
berkembang pada kelompok, pengawasan juga tetap diperlukan dari pemimpin. Jika harapan
kelompok untuk berkembang bisa terpenuhi, kelompok akan lebih solid dan produktif
melaksanakan tugas-tugasnya (stogdill 1974).

Porsi kebebasan yang diberikan kepada kelompok, dan porsi pengawasan yang
dimiliki oleh pemimpin sangat ditentukan oleh situasi yang berkembang pada organisasi.
Tradisi dan system nilai yang berkembang pada sebuah organisasi akan memengaruhi
interaksi antara kelompok dan pemimpinnya. Tradisi seperti ini merupakan pedoman yang
tidak tertulis. Selain itu, semakin kompleks struktur organisasi akan semakin mengurangi
interaksi antara pemimpin dan kelompok, demikian pula dengan tingkat kepercayaan kepada
pemimpin dan lamanya seseorang bergabung di dalam organisasi. Kondisi seperti itu akan
memengaruhi peranan seorang pemimpin di dalam kelompok. Karena kerja sama kelompok
dianggap sangat penting untuk meningkatkan efektivitas kerja kelompok, pengalaman positif
seorang pemimpin di masa lalu ketika bekerja sama dengan kelompoknya akan
menumbuhkan tantangan baru utuk meningkatkan kerja sama antara kelompok dengan yang
memimpin.

Tugas-tugas dan masalah yang dihadapkan kepada pemimpin akan menentukan


apakah ia akan membagi tanggung jawab dalam membuat keputusan dengan kelompoknya.
Waktu yang terbatas akan mengurangi kemungkinan pemimpin berbagi tanggung jawab
dengan anggota kelompoknya untuk membuat keputusan. Kelompok biasanya memerlukan
waktu yang lebih lama untuk membuat consensus. Dengan waktu yang lebih panjang, tentu
akan lebih banyak input yang diperoleh dari kelompok. Gaya kepemimpinan seseorang
sangat erat kaitannya dengan porsi pengawasan terhadap bawahan dan besarnya kebebasan
yang diberikan kepada bawahan.

Berdasarkan besarnya kebebasan yang diperoleh oleh kelompok untuk menentukan


tujuan bersama, gaya kepemimpinan dapat dibagi menjadi tiga: autocratic, democratic, dan
laissez-faire (free rein). Autocratic style adalah gaya kepemimpinan yang memberikan porsi
pengawasan lebih besar kepada pemimpin sehingga semakin sempit ruang kebebasan untuk
kelompok yang dipimpin. Laissez-faire atau free rein style adalah sebaliknya. Gaya
kepemimpinan diantara keduannya adalah gaya kepemimpinan demokratis.

Kurt lewin, Lippit dan White (1939) membedakan ketiga gaya kepemimpinan sebagai berikut:

Gaya Kepemimpinan yang autocratic (authoritarian, restrictive, directive).


Pemimpin menentukan semua kebijakan, kemudian memberikan petunjuk untuk
penerapannya. Pengumuman keputusannya tanpa memerlukan feed back atau umpan balik
dari kelompok yang dipimpin. Metode untuk melaksanakan keputusan tersebut hanya
dijelaskan secara bertahap. Hanya pemimpinlah yang perlu memiliki wawasan menyeluruh
tentang apa yang perlu dilaksanakan. Pemimpinlah yang menentukan langkah-angkah dan
interaksi yang perlu dilaksanakan. Umpan balik kepada anggota hanya diberikan dalam
bentuk pujian atau kritik kepada seseorang. Memberikan umpan balik terhadap informasi dari
pemimpin akan mengembangkan figure kepemimpinan yang menjurus ke gaya paternalistis
(father knows best).

Pemimpin mempunyai hubungan interpersonal dengan yang dipimpinnya. Ia dapat


memberikan rasa aman dan penghargaan wajar kepada kelompoknya sepanjang mereka
mampu menunjukkan kesetiaan kelompok terhadap perintah. Pemimpin yang authoritarian
cenderung disebut birocrate atau autocrat yang dewasa (diplomat). Ciri gaya pemimpin
seperti ini adalah memberikan kebebasan kepada staf sesuai dengan batas-batas kebijakannya
yang cukup ketat.

Gaya democratic (participative, egalitarian). Pemimpin menyarankan kepada


anggota kelompok untuk mengembangkan keputusannya sendri. Mula-mula pemimpin
memberikan wawasan kepada anggota kelompok tentang tugas-tugas kelompok yang harus
dikerjakan dan langkah-langkah yang perlu diambil sebelum kelompok mulai melaksanakan
tugasnya. Kelompok diberikan kebebasan melakukan kegiatan dan berinteraksi satu sama
lain. Umpan balik diberikan secara objektif kepada kelompok sesuai dengan situasi yang
berkembang di lingkungannya. Versi lain dari gaya kepemimpinan democratic adalah
collaborative dan collegial democratic style.

Gaya Laissez-faire (permissive, free rein): gaya kepemimpinan ini memberikan


kebebasan penuh kepada kelompok. Dukungan fasilitas dan sumber daya sudah tersedia dan
anggota diminta bekerja secara optimal. Pemimpin hanya bertugas memberikan tanggapan
jika ada pertanyaan yang diajukan kepadanya. Upaya balik tidak pernah diberikan kepada
anggota kecuali diminta. Pemimpin dengan gaya laissez-faire disebut seorang liberator.

Dari berbagai penelitian tentang gaya kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa


kelompok yang berada di bawah gaya kepemimpinan yang autocratic akan menjadi
kelompok yang merasa tertekan, selalu membutuhkan perhatian dan persetujuan pemimpin.
Anggota kelompok di bawah gaya kepemimpinan yang democratic kurang mengalami
tekanan pada saat menghadapi tugas dan lebih kohesif dibandingkan kelompok di bawah
gaya autocratic. Namun, produktivitas kelompok akan sama jika dipimpin dengan gaya
democratic dan autocratic. Anggota kelompok dibawah kepemimpinan laissez-faire kurang
produktif, selalu merasa kurang puas dengan organisasinya dan kurang kohesif. Satu gaya,
kepemimpinan akan kurang efektif jika diterapkan pada semua situasi, maka berkembanglah
kombinasi ketiga gaya kepemimpinan tersebut. Kombinasinya akan menghasilkan gaya
kepemimpinan multicratic yaitu serangkaian perilaku pemimpin yang berkembang untuk
menghadapi berbagai jenis situasi (O’Dannovan,1975).

Teori Kepemimpinan Tingkat III


Teori ini membahas berbagai aspek kepemimpinan yang dianggap lebih efektif dari
gaya kepemimpinan yang sudah dibahas sebelumnya. Orientasi teori ini adalah pada
perumusan dan upaya pencapaian tujuan organisasi. Teori ini mengkaji pergeseran
kepemimpinan dari proses yang memengaruhi kelompok terorganisir kearah upaya
perumusan dan pencapaian tujuan (goal setting angd attainment). Dari kajian teori
kepemimpinan tingkat III ini akan meahirkan berbagai teori baru tentang kepemimpinan.

Teori Manajerial

Teori ini banyak membahas upaya manajer untuk menerapkan fungsi manajemen
(POAC) untuk menggerakkan kelompok kearah pencapaian tujuan organisasi. Pada fungsi
perencanaan dputuskan berbagai aktivitas kelompok siapa melaksanakan apa, bagaimana,
kapan dilaksanakan. Dalam fungsi pengorganisasian (organizing) ditetapkan struktur
organisasi yang mengatur hubungan antara staf, tugas dan sumber daya fisik. Fungsi ini akan
memadukan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh organisasi sehingga tercapai efisiensi
dalam pengelolaan organisasi. Fungsi pergerakan dan pelaksanaan akan mengembangkan
motivasi staf melaksanakan tugas-tugasnya sehingga produktivitas organisasi dapat lebih
ditingkatkan. Pengawasan adalah fungsi yang megatur semua aktivitas kelompok agar sesuai
dengan rencana dan mengukur kemajuan yang sudah dicapai. Aspek kepemimpinan menurut
teori ini akan terlihat pada implementasi setiap fungsi manajemen.

Teori Fungsi Eksekutif (Zalenznik, 1966)

Seorang pemimpin harus memiliki kompetensi dalam melakukan hubungan interpersonal


dengan kelompok yang dipimpin. Melalui hubungan interpersonal ini akan memengaruhi
perilaku kelompok secara terstruktur untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, pemimpin
berperan menjaga keseimbangan kehidupan organisasi (homeostatic role), atau ia akan
bertindak sebagai mediator (meditative role) dengan lingkungannya, termasuk melakukan
inovasi (protactive role). Pilihan pemimpin terhadap perannya tergantung dari orientasinya
terhadap manusia dn tugas atau kombinasi diantara keduanya (fusi). Kepribadian
seorangpemimpin juga akan memengaruhi peran mana yang akan lebih ditonjolkan 9primer
atau sekunder) selama ia memimpin organisasi.

Zalenznik beranggapan bahwa keribadian dan kebutuhan seorang pemimpin sangat


memengaruhi gaya kepemimmpinannya. Int pokok pembahasan teori ini bersumber dari
asumsi tentang motivasi manusia
Tabel 4.3

Fungsi Eksekutif dan Kegiatan Pemimpin Menurut Zalenznik (1996)

orientasi Homeostatic Mediative Proactive


Orang Primer Sekunder Dihindari
Fusi Sekunder Primer Dihindari
Tugas Dihindari Sekunder Primer

Anda mungkin juga menyukai