Kepemimpinan
Kepemimpinan
Teori kepemimpinan ada tiga tingkat, sesuai dengan hakikat kepemimpinan yang dikaji:
Filosofi Aristoteles menjelaskan bahwa ada orang tertentu yang memang dilahirkan
untuk menjadi pemimpin, sedangkan sebagian besar orang lain akan menjadi pengikut. Teori
ini berkembang di Negara-negara Eropa Barat dan Asia yang menganut system monarki.
Pemimpin ( Raja, Sultan dan Kaisar) adalah pewaris langsung (ahli waris) dari pemimpin
sebelumnya. Berdasarkan teori ini, sifat-sifat kepemimpinannya memang diwariskan. Anak
seorang raja/kaisar harus menunjukkan sifat-sifat dan kemampuannya untuk menjadi
pemimpin karena ia akan menggantikan tahta ayah atau ibunya. Untuk mempersiapkan
lahirnya seorang pemimpin, perkawinan seorang raja harus diatur sedemikian rupa agar
menjamin lahirnya manusia-manusia “super” yang kelak akan menjadi pewaris tahta negeri
tersebut.
Teori ini ada sisi positifnya. Perintah sang pemimpin diterima secara lugas
sepanjang perintah ini datang dari seorang pewaris kerajaan. Pucuk kepemimpinan diberikan
tanggung jawab untuk melestarikan system monarki (kerajaan/kesultanan/kekaisaran) di
Negara tersebut. Di dalam system ini tidak akan ada kontroversi tentang siapa yang akan
terpilih menjadi raja atau sultan. Sayangnya, teori orang-orang besar tidak dapat menjamin
semua ahi waris monarki tersebut memiliki kemampuan atau bakat menjadi seorang
pemimpin. Untuk mengatai kelemahan tersebut, calon pewaris tahta mngikuti pendidikan
khusus agar pengetahuan dan keterampilannya dapat berkembang sesuai dengan tugas
sebagai seorang pemimpin Negara.
Aspek positif teori ini terletak pada sifat-sifat kepemimpinan yang dapat dibuat
batasnya dan dibedakan mana sifat-sifat pemimpin dan mana yang bukan sifat pemimpin.
Selain itu, kepemimpinan bisa dipelajari dan diajarkan kepada seseorang. Sisi negative teori
ini adalah kurang menyeluruhnya sifat-sifat sejati seorang pemimpin yang dapat
dikembangkan pada semua kondisi (lingkungan) trutama sifat-sifat pemimpin yang muncul
karena pengaruh factor lingkungan.
Teori Situasi
Teori ini muncul karena kegagalan aliran teori trait. Menurut teori situasi, yang
disebut dengan pemimpin adalah mereka yang berani mengadakan perubahan drastis apabila
situasi sudah memberikan peluang kepadanya untuk mengadakan perubahan. Secara prinsip,
teori kepemimpinan berdasarkan situasi dapat diterapkan pada lingkungan budaya yang
berbeda. Teori ini menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses untuk
memengaruhi kelompok pada situasi (waktu dan ligkungan) tertentu untuk mencapai tujuan
bersama dengan cara yang memuaskan.
Sisi positif teori ini adalah digunakannya berbagai variable lingkungan untuk
mengkaji fenomena kepemimpinan yang kompleks pada diri seorang pemimpin.
Teori interaksi
Berdasarkan teori ini, bukan hanya factor sifat atau situasi saja yang menentukan
seseorang dapat dianggap sebagai pemimpin. Interaksi kedua factor tersebut justru dapat
memunculkan seorang pemimpin. Yang menjadi cirri khas teori ini adalah mulai
dipertimbangkannya kebutuhan dan tujuan kelompok yang dipimpin. Kepemimpinan akan
muncul jika ada interaksi antara perilaku seseorang dengan perilaku kelompoknya. Interaksi
diawali dengan perilaku seseorang yang memengaruhi kelompoknya. Perilaku orang ini
kemudian mendapat tanggapan dari kelompok. Interaksi seperti itu terus akan berkembang
secara timbal balik. Jika smakin sering interaksi antara calon pemimpin dan kelompoknya
dilakukan, efektivitas kepemimpinan seseorang akan meningkat.
Di dalam teori ini harus dibedakan antara situasi potensial yang dapat menumbuhkan
interaksi antara seorang pemimpin dengan kelompok pengikutnya, dan situasi yang justru
menghalangi terjadinya interaksi.kepribadian seseorang dan intensitas interaksi dengan
kelompok akan menentukan efektivitas kepemimpinan seseorang. Teori interaksi merupakan
kombinasi antara teori situasi dengan teori kepribadian (trait). Hal ini merupakan aspek
positif dari teori interaksi karena mendukung gagasan bahwa setiap orang dapat menjadi
pemimpin jika situasinya memungkinkan. Namun, teori ini tidak bisa dipakai sebagai dasar
untuk menilai keberhasilan kepemimpinan seseorang karena kepemimpinannya didasarkan
pada imteraksinya dengan kelompok yang dipimpin.
Gaya yang dikebangkan oleh seorang pemimpin dipengaruhi oleh tiga faktor
(kekuatan) utama. Ketiganya akan menentukan sejauh mana ia akan melakukan pengawasan
terhadap kelompok yang dipimpin. Factor kekuatan yang pertama bersumber pada dirinya
sendiri sebagai pemimpin. Factor kedua bersumber pada kelompok yang dipimpin, dan factor
ketiga tergantung pada situasi. Teori ini disebut dengan continuum leadership yang
dikembangkan oleh Tannenbaum, Wechter dan Massarik tahun 1961.
Kekuatan yang ada pada diri seseorang pemimpin dengan gaya ini atau yang
berkembang pada organisasi yang dipimpnnya terletak pada system nilai yang dianutnya,
tingkat kepercayaan yang diberikan oleh kelompoknya, dan situasi yang memberikan
kemudahan pada diri pemimpin untuk memainkan perannya. Perasaan aman (security
feeling) yang dijamin oleh seorang pemimpin pada saat menghadapi situasi lingkungan yang
berubah akan merupakan factor kekuatan pada diri seorang pemimpin. Sistem nilai yang
berkembang pada diri seseorang (kekuatan pada diri pemimpin) dapat dilihat dari
orientasinya pada saat melaksanakan tugas, kesiapannya memikul tanggung jawab, dan
kesediaannya melimpahkan wewenang kepada bawahan.
Tingkat keyakinan (perasaan aman) yang berkembang pada diri pemimpin sangat
tergantung dari kepercayaan kelompok kepadanya. Pemimpin yang merasa yakin akan
pengetahuan dan kemampuan kelompoknya, dan menganggap kelompoknya sudah mampu
memecahkan sendiri masalah yang dihadapi serta siap menerima tanggung jawab, akan
cenderung lebih banyak membagi tanggung jawab kepada anggota kelompok terutama pada
saat membuat keputusan. Beberapa pemimpin ada yang senang menerima control dari
kelompoknya, sementara pemimpin yang lain kurang nyaman menerima tanggung jawab
kelompok. Pemimpin yang lain kurang nyaman menerima tanggung jawab kelompok.
Pemimpin yang merasa nyaman memainkan peran kepemimpinannya akan senang menerima
control dari bawahannya jika diperlukan, termasuk berbagi tanggung jawab dengan kelompok
pada saat membuat keputusan. Toleransi terhadap situasi lingkungan yang cepat berubah dan
kedewasaan kelompok juga akan menjadi factor penentu gaya kepemimpinan seseorang.
Factor yang berkembang pada kelompok yang dipimpin juga akan memengaruhi
gaya kepemimpinan seseorang. Pemimpin akan memberikan kebebasan lebih banyak kepada
kelompok jika kelompok sudah dianggap “dewasa” atau sebaliknya. Kondisi yang ada pada
kelompok agar mendapat kebebasan dari pemimpinnya terdiri dari:
Jika ketujuh kondisi ini berkembang pada kelompok, gaya kepemimpinan seseorang
akan cenderung mengurangi kebebasan kelompok. Meskipun semua kondisi tersebut sudah
berkembang pada kelompok, pengawasan juga tetap diperlukan dari pemimpin. Jika harapan
kelompok untuk berkembang bisa terpenuhi, kelompok akan lebih solid dan produktif
melaksanakan tugas-tugasnya (stogdill 1974).
Porsi kebebasan yang diberikan kepada kelompok, dan porsi pengawasan yang
dimiliki oleh pemimpin sangat ditentukan oleh situasi yang berkembang pada organisasi.
Tradisi dan system nilai yang berkembang pada sebuah organisasi akan memengaruhi
interaksi antara kelompok dan pemimpinnya. Tradisi seperti ini merupakan pedoman yang
tidak tertulis. Selain itu, semakin kompleks struktur organisasi akan semakin mengurangi
interaksi antara pemimpin dan kelompok, demikian pula dengan tingkat kepercayaan kepada
pemimpin dan lamanya seseorang bergabung di dalam organisasi. Kondisi seperti itu akan
memengaruhi peranan seorang pemimpin di dalam kelompok. Karena kerja sama kelompok
dianggap sangat penting untuk meningkatkan efektivitas kerja kelompok, pengalaman positif
seorang pemimpin di masa lalu ketika bekerja sama dengan kelompoknya akan
menumbuhkan tantangan baru utuk meningkatkan kerja sama antara kelompok dengan yang
memimpin.
Kurt lewin, Lippit dan White (1939) membedakan ketiga gaya kepemimpinan sebagai berikut:
Teori Manajerial
Teori ini banyak membahas upaya manajer untuk menerapkan fungsi manajemen
(POAC) untuk menggerakkan kelompok kearah pencapaian tujuan organisasi. Pada fungsi
perencanaan dputuskan berbagai aktivitas kelompok siapa melaksanakan apa, bagaimana,
kapan dilaksanakan. Dalam fungsi pengorganisasian (organizing) ditetapkan struktur
organisasi yang mengatur hubungan antara staf, tugas dan sumber daya fisik. Fungsi ini akan
memadukan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh organisasi sehingga tercapai efisiensi
dalam pengelolaan organisasi. Fungsi pergerakan dan pelaksanaan akan mengembangkan
motivasi staf melaksanakan tugas-tugasnya sehingga produktivitas organisasi dapat lebih
ditingkatkan. Pengawasan adalah fungsi yang megatur semua aktivitas kelompok agar sesuai
dengan rencana dan mengukur kemajuan yang sudah dicapai. Aspek kepemimpinan menurut
teori ini akan terlihat pada implementasi setiap fungsi manajemen.