Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita,
meskipun tidak selalu diakui demikian. Peningkatan dan perluasan pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu
usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh
wanita. Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang
tersedia tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB,
kesehatan individual dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Depkes RI, 1998).
Pelayanan Keluarga Berencana yang merupakan salah satu didalam paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial perlu
mendapatkan perhatian yang serius, karena dengan mutu pelayanan Keluarga Berencana berkualitas diharapkan akan dapat
meningkatkan tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Dengan telah berubahnya paradigma dalam pengelolaan masalah
kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang
berfokus pada kesehatan reproduksi serta hak reproduksi. Maka pelayanan Keluarga Berencana harus menjadi lebih
berkualitas serta memperhatikan hak-hak dari klien/ masyarakat dalam memilih metode kontrasepsi yang diinginkan (Prof.
dr. Abdul Bari Saifuddin, 2003).
Sebenarnya ada cara yang baik dalam pemilihan alat kontrasepsi bagi ibu. Sebelumnya ibu mencari informasi terlebih dahulu
tentang cara-cara KB berdasarkan informasi yang lengkap, akurat dan benar. Untuk itu dalam memutuskan suatu cara
kontrasepsi sebaiknya mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi yang rasional, efektif dan efisien
(http:/psikis.bkkbn.go.id/gemopria.articles.php)
KB merupakan program yang berfungsi bagi pasangan untuk menunda kelahiran anak pertama (post poning), menjarangkan
anak (spacing) atau membatasi (limiting) jumlah anak yang diinginkan sesuai dengan keamanan medis serta kemungkinan
kembalinya fase kesuburan (ferundity). (http:/psikis.bkkbn.go.id/gemapria/articles.php).
Di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah terutama di desa Pengkol, kecamatan Tanon dengan jumlah penduduk
wanita 1802, orang yang mengalami kehamilan cukup tinggi pada umur 20 – 30 tahun adalah 70%, 25% umur 31 – 40 tahun,
5% umur 40 tahun keatas.
Pada tahun 2006 penggunaan KB suntik menurun diperkirakan 10-30%, sehingga meningkatkan angka kehamilan di desa
Pengkol. Penggunaan KB pil menurun diperkirakan 10-20%.
Pada tahun 1960 angka kematian balita mencapai lebih dari 200 per 1000 orang, dua kali lebih besar dari angka kematian
balita di Filipina atau Thailand. Pada tahun 2005 angka tersebut turun hingga kurang dari 50 per 1000 orang, yang
merupakan salah satu penurunan tertinggi yang terjadi di kawasan ini. Seorang anak yang lahir pada tahun 1940 hanya
memiliki sekitar 60% kesempatan untuk mengenyam pendidikan, 40% untuk menamatkan sekolah dasar dan 15% untuk
menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama. Sebaliknya, lebih dari 90% anak-anak yang lahir sejak tahun 1980
berhasil menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama.
Sebagian besar kemajuan yang diperoleh semata-mata berkaitan dengan peningkatan pendapatan. Pendapatan perkapita
berlipat ganda antara tahun 1970 sampai dengan 1980 dan berlipat ganda lagi pada akhir tahun 1990 (sebelum terjadi krisis
ekonomi tahun 1997). Salah satu analisis tentang program Keluarga Berencana Indonesia yang sangat luas menunjukkan
bahwa sebagian besar pengurangan fertilitas berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan peningkatan jenjang
pendidikan (Gertler dan Molyneaux).
Ada beberapa kemungkinan kurang berhasilnya program KB diantaranya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu dan
faktor pendukung lainnya. Untuk mempunyai sikap yang positif tentang KB diperlukan pengetahuan yang baik, demikian
sebaliknya bila pengetahuan yang baik, demikian sebaliknya bila pengetahuan kurang maka kepatuhan menjalani program
KB berkurang (Notoatmojo, 2003).
Sehubungan dengan kondisi di atas penulis merasa perlu meneliti pengetahuan ibu terhadap KB. Desa Pengkol dipilih
sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan jumlah penduduk desa Pengkol tergolong cukup banyak dengan tingkat
pendidikan yang sangat bervariasi terutama pada ibu, mulai dari yang tidak lulus sekolah dasar sampai pada ibu yang pernah
belajar dari perguruan tinggi.
Untuk meningkatkan efektivitas KB perlu dilakukan suatu sikap dan pengetahuan yang menunjang dari ibu. Untuk
mempelajari tentang pengetahuan ibu dan KB penting untuk dilakukan suatu penelitian tentang “Hubungan antara tingkat
pengetahuan ibu dengan pemilihan alat kontrasepsi di Desa Pengkol Kabupaten Sragen”.
Pendahuluan

Pada Sarasehan Nasional Keluarga Berencana oleh Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) Komisariat
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada tanggal 6 Maret 2008, telah di bahas program Keluarga Berencana
Masa depan. Sebagian butir yang penting akan diutarakan dalam paparan berikut.

Sejarah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

Dua inti pokok mengapa BKKBN di adakan di Indonesia adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia dengan
jalan Keluarga Berencana (KB). Jadi dua kata kunci : kualitas manusia dan KB. Kualitas manusia dipengaruhi oleh
pendidikan, kesehatan, dan sosial-ekonomi. Pendidikan dapat secara formal di sekolah dan non formal di keluarga dan
masyarakat. Sekarag ini ada faktor pengaruh terhadap pendidikan yang belum dapat di kontrol adalah media masa
khususnya media elektronik. Kesehatan meliputi kesehatan lahir, spiritual, dan emosional. Kesehatan lahir tergantung pada
ketersediaan pangan, sandang dan papan.
Manusia miskin di Indonesia cukup banyak tergantung kriteria mana yang mau di pakai, kriteria BPS, kriteria Bank Dunia
atau kriteria yang lain. Dari berbagai kriteria dapat diestimasi jumlah penduduk miskin antara 20- 50 % penduduk
Indonesia..
BKKBN sukses sampai tahun 2000. Sejarah sukses ini diakui oleh seluruh dunia. Sukses paling besar adalah bukan hanya
kenaikan jumlah penduduk yang dapat dikendalikan, tetapi perubahan budaya dalam menyikapi masalah kualitas hidup
keluarga atau kualitas hidup anak.
Keberhasilan tersebut berkat kesamaan persepsi dari Presiden sampai juru kampanye KB (PPKBD) di dasawisma . Kesamaan
persepsi tersebut dituangkan dengan dukungan keputusan politik nyata bahwa KB harus di koordinasi secara nasional. Kata
sakti disini adalah koodinasi yang didukung oleh kebijakan politik yang nyata.
BKKBN menjadi organisasi yang penuh vitalitas, budaya kerja yang tinggi, dan melaksanakan tridharma yang mirip
semboyan perguruan tinggi : pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pendidikan dan pelatihan yang
terstruktur, penelitian yang menghasilkan berpuluh doktor dan master, pengabdian nyata yang dilandasi dedikasi yang
tinggi dari seluruh jajaran BKKBN dari puncak sampai desa.

Bonus demografi

Tahun 2000- 2020 ini kita memetik hasil dari kerja keras BKKBN Jumlah orang yang produktif cukup besar, usia praproduktif
terkontrol karena angka kelahiran dapat ditekan, sedang usia pasca produktif relatif lebih kecil. Masa inilah kesempatan
paling baik untuk membangun negeri ini. Masa ini yang disebut window of oportunity. Masa yang dalam sejarah demografi
hanya terjadi sekali. Masa ini akan hilang dan rusak kalau keberhasilan KB tidak diteruskan.

Sense of crisis

Masih banyak pengambil kebijakan di pemerintah menganggap KB sukses-sukses saja seperti dahulu sebelum jaman
reformasi. Padahal ada sesuatu yang gawat.
Saat ini terjadi penurunan pemahaman penerimaan program KB. Akses pelayanan KB bagi keluarga miskin yang jumlahnya
besar sekali nyaris terbengkelai. Trend pencapaian KB aktif secara keseluruhan menurun. Kecenderungan pencapaian KB
aktif di Daerah Istimewa Yogyakarta menurun dari tahun 2006 ke tahun 2007 dari 100.0% ke 99,02 % dari PPM.
Dipastikan kalau program KB gagal akan terjadi ledakan penduduk. Setiap orang memerlukan pendidikan, kesehatan
( termasuk pangan), dan energi. Sekarangpun di tahun 2007/2008 Indonesia sudah mengalami krisis energi ( listrik, minyak
tanah, bensin, solar) dan pangan ( beras, kedelai, gula, minyak goreng dll). Kualitas pendidikan di Indonesia, Asia Tenggara,
termasuk papan bawah. Oleh karena itu hasilnya manusia Indonesia di daftar Human Development Index dalam 5 tahun
terakhir berada disekitar rangking nomor 107 -111.
Ledakan penduduk di masa yang akan datang dipastikan membawa bencana bagi negara. Krisis pangan dan energi akan
menimbulkan krisis sosial ekonomi, krisis sosial ekonomi akan membawa krisis politik. Ketidak stabilan negara pasti terjadi.

Bubarnya organisasi koordinasi

Sejarah sukses itu mendadak terhenti pada jaman reformasi. Ketidaktepatan kalkulasi keberadaan BKKBN menyebabkan
kebijakan politik yang sangat fatal, BKKBN di eliminasi dan di ”buang” ke propinsi, kabupaten/ kota.
Adanya desentralisasi membawa organisasi BKKBN berantakan. Respon pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berbeda-
beda. Sebagian memasukkan dalam departemen teknis, sebagian tetap sebagai badan koordinasi.
Kekuatan dan keluwesan organisasi koordinasi waktu dimasukkan ke departemen teknis yang kaku konvensional, birokratis
dan sektoral,menjadikan BKKBN hilang kekuatan dan ”ruh” organisasinya.

Masa depan BKKBN

Masa depan organisasi BKKBN harus dikembalikan ke khittohnya, ke aslinya, yaitu organisasi koordiasi yang di dukung
keputusan politik yang nyata dari pimpinan pemerintahan baik ditingkat pusat sampai daerah. Keputusan politik ini hanya
dapat terlaksana kalau ada semangat yang pantang mundur dari semua komponen yang mempunyai sense of crisis
terhadap ledakan penduduk masa depan.
Sementara ini yang dapat dikerjakan adalah mempermudah akses pelayanan KB untuk orang miskin. Advokasi kesehatan
reproduksi merupakan prioritas jangka pendek, mengingat keterbatasan dana dan tenaga.
Internal jajaran BKKBN harus terus menerus meningkatkan budaya kerja yang baik seperti sebelum jaman reformasi.
Para ”alumni” BKKBN perlu direkrut baik tenaga atau pikiran untuk ikut memebentuk persepsi yang sama, mengembalikan
BKKBN sebagi organisasi koordinasi.

Penutup

BKKBN belum mati, dan tidak ingin mati atau dimatikan. Ini tugas mulia kita bersama untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia di masa depan. Program KB yang telah sukses dalam empat dasa warsa sebelum jaman reformasi jangan sampai
rusak, dan akibatnya menurunkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Organisasi koordinasi harus dipulihkan. Window of oprtunity harus digunakan sebaik-baiknya. Hanya ada satu kesempatan
emas dalam sejarah kependudukan.

rs. Mardiya,
Penyiap Bahan Pembinaan Ketahanan Keluarga
Dinas Dukcapilkabermas Kulonprogo
Anggota Ikatan Penulis KB DIY

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan jasa para pahlawannya” Pepatah tersebut begitu
melekat dibenak kita, saat kita berusaha berusaha merefleksi sejarah panjang negeri ini. Dari masa-masa perjuangan
merebut kemerdekaan, hingga saat kita harus berjuang mengisi kemerdekaan. Atas dasar itu, sepeninggal Jenderal (Purn)
HM Soeharto sebagai mantan Presiden RI ke-2 yang sekaligus sebagai pelaku sejarah negeri yang kita cintai ini, tidak ada
salahnya bila kita mengenang kembali jasa-jasa beliau yang bernilai positif terlepas dari segala imej negatif dan
kekurangannya sebagai manusia biasa.

Mengkaitkan nama Soeharto dengan KB (Keluarga Berencana), bagi kita dan sebagian besar masyarakat bangsa kita adalah
sesuatu yang sangat wajar, karena Soeharto yang di masa kekuasaannya dikenal sebagai “Presiden Murah Senyum” itu
memang besar sekali jasanya dalam rangka pengendalian penduduk melalui Program KB. Beberapa bukti atas besarnya jasa
Soeharto di bidang KB adalah diterimanya “Global Statement Award” dari Population Institute, Amerika Serikat pada tahun
1988. Perlu diketahui bahwa penghargaan yang kemudian diberi nama “Soeharto Award” ini pertama kali diterima oleh
Presiden Zimbabwe. Jadi Soeharto adalah orang kedua yang menerima penghargaan bernilai prestise tersebut. Satu tahun
kemudian, tepatnya di tahun 1989, atas keberhasilan Program KB di Indonesia, Soeharto menerima penghargaan tertinggi
di bidang kependudukan dan KB berupa “United Nations Population Award” dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Penghargaan ini langsung diberikan oleh Sekjen PBB Javier de Cuellar di Markas Besar PBB di New York. Sementara atas
jasanya pula, pada tanggal 21 Februari 1992, lembaga BKKBN sebagai lembaga Negara non departemen yang
bertanggungjawab terhadap sukses tidaknya Program KB dan pengendalian penduduk, menerima penghargaan
internasional dalam bidang manajemen, berupa “Management Development Award”. Penghargaan ini diberikan oleh
lembaga manajemen internasional di Manila, Majalah Executive Digest dan Japan Airlines. Penghargaan manajemen ini
sekaligus memberikan pengakuan terhadap kemampuan pemerintah (dibawah kendali Soeharto) dan masyarakat dalam
mengelola gerakan KB hingga ke tingkat desa dan pedukuhan. Tahun 1994, penghargaan serupa kembali diterima oleh
lembaga BKKBN dalam bidang manajemen operasional.

Soeharto pula yang mencetuskan ide diperingatinya “Hari Keluarga Nasional” setiap tanggal 29 Juni dan diperingati
pertama kali pada tahun 1994 di Bandar Lampung. Peringatan Hari Keluarga Nasional yang kemudian lebih dikenal dengan
“Harganas” ini hingga sekarang masih kita peringati setiap tahun. Peringatan terakhir belum lama telah di laksanakan di
Ambon Provinsi Maluku, 29 Juni 2007 lalu dan merupakan peringatan yang ke-14. Sementara peringatan Harganas ke-15
pada tanggal 29 Juni 2008 mendatang akan diselenggarakan di Kabupaten Tanjung Jabung Provinsi Jambi, Konon, ide
pencetusan Harganas adalah sebagai bentuk penghormatan para pejuang khususnya di Kota Yogyakarta yang telah
berkumpul kembali pada keluarganya setelah berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer II oleh Belanda
pada tahun 1949. Pada saat itu, keluarga telah kembali utuh karena seluruh anggota keluarga telah berkumpul dan
diharapkan secara bersama-sama dapat bahu membahu membangun bangsa menuju bangsa yang maju, adil, makmur dan
sejahtera. Sejak saat itu pula, pembangunan berwawasan penduduk dan keluarga (Population and Family Centered
Development) menjadi begitu akrab dikenal masyarakat, dan keluarga menjadi sentral dari berbagai program
pemberdayaan/pembangunan melalui kegiatan Posyandu, UPPKS, UP2K, kelompok industri dan kerajinan rumah tangga,
dan lain-lain.

Di masa pemerintahan Soeharto, Program KB memang telah mencapai hasil yang spektakuler. Dalam hal pengendalian
jumlah penduduk misalnya, Prof. Widjojo Nitisastro sebagai Ketua Bappenas saat Repelita I dirumuskan, memprediksi
bahwa jumlah penduduk Indonesia di tahun 2000 bakal mencapai 280 juta jiwa dengan angka pertumbuhan yang begitu
tinggi. Namun berkat komitmen dan konsistensi pemerintah dalam penanganan program KB dan disertai dengan usaha
yang gigih dan terus menerus serta melibatkan secara aktif masyarakat sebagai sasaran program, pada tahun 2000 jumlah
penduduk Indonesia dapat ditekan menjadi “hanya 200 juta” dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,98%. Ini
berarti, selama kurang lebih tiga dasawarsa pemerintahannya, Soeharto berhasil menekan kelahiran sekitar 80 juta jiwa.
Sebuah hasil yang begitu fantastis! Apalagi secara perlahan namun pasti, Soeharto telah berhasil mengubah persepsi
masyarakat terhadap prinsip “banyak anak banyak rezeki” menjadi “cukup dua anak, laki-laki perempuan sama saja” lewat
konsep catur warga yang hingga kini masih dijadikan dasar dan komitmen dalam penyuluhan keluarga berencana.

Keberhasilan yang spektakuler dalam bidang KB, ternyata telah membawa keberhasilan dari sisi ekonomi dan kemakmuran
rakyatnya. Pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahan Soeharto rata-rata 6,8% setahun, bahkan sempat menyentuh
angka 8,1% pada tahun 1995. Perkembangan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia juga naik drastis,
Pada tahun 1968 PDB hanya USD 70, meningkat menjadi USD 1.000 di tahun 1996. Jumlah penduduk miskin pun telah
berhasil diturunkan secara tajam. Dari 70 juta jiwa atau 60% dari jumlah penduduk di era 1970-an, menjadi 26 juta atau
14%, pada 1990-an. Keberhasilan ini yang nampaknya menarik perhatian negara-negara berkembang di Asia dan Afrika
untuk belajar KB di Indonesia. Hingga saat ini tercatat tidak kurang 4000 orang dari 40 negara di dunia yang pernah
berkunjung dan belajar KB di Indonesia melalui program ITP (International Trainning Programme)

Harus dipahami bahwa berbagai penghargaan yang diterima oleh Soeharto bukan tanpa perjuangan dan tantangan. Bisa
dibayangkan, betapa susahnya merubah imej masyarakat di awal-awal pemerintahannya yang telah terlanjur lekat dengan
prinsip “banyak anak banyak rezeki” karena sikap pemerintah sebelumnya yang pro natalis atau mendukung kelahiran itu.
Namun berkat komitmennya yang kuat dan diikuti dengan pembentukan lembaga nasional bernama BKKBN yang
pimpinannya langsung bertanggung jawab kepada presiden, imej negatif tersebut sedikit demi sedikit telah dapat diubah
dan ganti haluan mendukung Program KB. Terlebih saat BKKBN dibawah kendali Dr. Haryono Suyono yang juga memiliki
komitmen tinggi untuk mencapai keberhasilan pengendalian jumlah penduduk, keberhasilannya tidak hanya menyentuh
pada aspek pengaturan kelahiran, tetapi sudah merambah pada upaya mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera
melalui berbagai upaya pemberdayaan keluarga. Ditahun 1980 hingga 1990 an, bisa dikatakan tidak ada Gubernur, Bupati,
Walikota, Camat hingga Kepala Desa yang tidak terlibat aktif ikut mensukseskan program KB. Mereka seakan-akan
berlomba-lomba mengenalkan Program KB pada masyarakat khususnya Pasangan Usia Subur (PUS). Keberhasilan Program
KB di wilayahnya, seakan menjadi semacam “trademark” untuk dapat disegani sekaligus sebagai cara yang efektif untuk
meraih dana pembangunan yang lebih besar dari pemerintah pusat.
Kini Soeharto telah tiada, meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Minggu 27 Januari 2008 lalu tepatnya pukul 13.10
WIB, beliau dipanggil Allah SWT pada usia 86 tahun setelah sekian lama menderita sakit dan menerima hujatan, cacian dan
hinaan karena pemerintahannya dianggap sarat dengan KKN. Soeharto telah berpindah alam, menuju ke kehidupan yang
abadi. Kini saatnya kita sebagai warga yang beragama dan beradab, menunjukkan kebesaran jiwa sebagai makhluk yang
paling mulia di sisi Tuhan. Kita harus banyak belajar dari Soeharto bagaimana membangun komitmen sekaligus
menyelaraskan antara komitmen dan tindakan untuk mencapai hasil kerja yang maksimal, karena seorang Soeharto
memang telah mampu membuktikannnya. Setidaknya, Kepala BKKBN Pusat Dr. Sugiri Syarief, MPA mengakui bahwa
semasa pemerintahan Soeharto, Program KB telah dilaksanakan secara gegap gempita dan berhasil. Ini harus menjadi
bahan refleksi bagi kita semua, karena saat ini intensitas dan frekuensi pengelolaan KB telah jauh menurun.

Pertanyaannya, akankah jumlah penduduk Indonesia kembali meledak setelah satu dasawarsa Soeharto “lengser
keprabon” dari kekuasaannya dan Program KB tidak lagi menjadi program unggulan pemerintah. Pertanyaan ini, menurut
Sugiri perlu dilontarkan kembali karena ada kecenderungan secara nasional TFR naik dan menyebabkan rata-rata
pertambahan penduduk Indonesia saat ini mencapai 4 juta jiwa per tahun. Ia mengkhawatirkan prediksi Bappenas bahwa
dengan kecenderungan pengelolaan Program KB seperti sekarang ini penduduk Indonesia akan meledak menjadi 263 juta
di tahun 2025, menjadi kenyataan. Kemungkinan yang lebih buruk pun dapat saja terjadi, karena jumlah penduduk hasil
prediksi dapat membengkak menjadi 308 juta jiwa sebagaimana diprediksi oleh Population Reference Bureau (PRB)
Amerika Serikat. Bila ini menjadi kondisi senyatanya, sangat sulit bagi bangsa kita untuk bisa maju dan berkembang sejajar
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Wallahu alam.

1
Artikel
Rebranding Program KB, Menuju Budaya Kerja Baru
Ada hal yang menarik dan pantas kita cermati pada saat Rapat Kerja Nasioal
Program KB Nasional (Rakernas KB) Tahun 2009 yang diselenggarakan di Jakarta, 12
hingga 13 Februari 2009 lalu. Hal menarik yang dimaksud adalah adanya upaya Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pengampu program KB di
Indonesia untuk terus melakukan langkah-langkah yang lebih baik demi dapat diraihnya
kembali kesuksesan pelaksanaan program KB sebagaimana pernah dicapai beberapa waktu
yang lalu, dalam bentuk rebranding program KB. Rebranding program KB yang dimaknai
sebagai upaya pencitraan kembali program KB, menurut Kepala BKKBN Pusat Dr. Sugiri
Syarief, MPA diarahkan untuk merevitalisasi program KB melalui pencitraan kelembagaan,
pencitraan produk, pencitraan pengelola program dan kesinambungan serta keberadaan
program KB di seluruh wilayah.
Latar belakang dilakukannya rebranding program KB, dapat dirunut dari pernyataan
Menko Kesra Aburizal Bakrie pada saat membuka Rakernas KB yang bertema “Dengan
Semangat Kemitraan Kita Mantapkan Revitalisasi Program Keluarga Berencana untuk
Mencapai Sasaran RPJMN 2004 – 2009” dan dihadiri oleh para pejabat BKKBN Pusat,
Kepala BKKBN Provinsi, Organisasi Perangkat Daerah (OPD)-KB Provinsi dan Kabupaten
serta tamu undangan lainnya, Kamis (12/2). Menurut Aburizal Bakrie, Laju Pertumbuhan
Penduduk (LPP) Indonesia dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Jika tidak segera
diantisipasi, diperkirakan dapat mengganggu kestabilan sosial maupun ekonomi. Dalam
catatannya, Total Fertility Rate (TFR) tahun 2006 adalah 2,6. Setahun kemudian kondisi
Mardiya & Endar Sunarsih
2
tersebut tidak berubah, yang berarti jumlah anak yang dimiliki setiap Wanita Usia Subur
(WUS) mendekati tiga. Adapun rata rata laju pertumbuhan penduduk adalah 1,6 persen
setiap tahun. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan angka kelahiran ini masih
diperparah oleh pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga diperlukan langkahlangkah
strategis untuk mengatasinya, agar 10 sampai 15 tahun ke depan, Indonesia tidak
mengalami ledakan penduduk yang tidak terkendali.
Terkait dengan rebranding program KB, Sugiri Syarief memaparkan setidaknya ada
empat langkah yang akan ditempuh. Pertama, melalui perubahan logo instansi dan logo
perusahaan. Bila sebelumnya logo KB berupa gambar suami isteri dengan menggandeng
dua orang anak dalam bingkai padi dan kapas serta bertuliskan Keluarga Berencana di
atasnya, maka sekarang ini logo KB terbagi atas dua macam, yakni logo institusi dan logo
perusahaan. Logo institusi berupa gambar sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan 2
orang anak menyambut fajar baru yang berarti masa depan yang cerah. Fajar baru
disimbolkan berupa garis lengkung yang melingkar di atasnya. Sementara logo perusahaan
berupa gambar bapak ibu yang menggambarkan suami isteri yang bergerak dinamis dengan
tulisan KB dalam bingkai lingkaran biru. Logo yang tetap mengkombinasikan warna biru
muda dan biru tua tersebut dimaksudkan sebagai hasil dari adaptasi logo terdahulu yang
bertujuan untuk mempertegas eksistensi dan peran BKKBN dalam era masa kini yang penuh
perubahan. Logo ini menjadi tanda spirit baru BKKBN.
Kedua, perubahan kebijakan dan kegiatan program pembangunan kependudukan
yang diarahkan untuk mengatur pertumbuhan penduduk dan meningkatkan keluarga kecil
berkualitas melalui berbagai tahapan. Yakni program KB melalui pengaturan kelahiran,
meningkatkan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP),
meningkatkan daya tahan dan ketahanan keluarga, memperkuat lembaga dan jaringan
3
pelayanan KB. Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan program KB tahu
2009 adalah menurunnya LPP menjadi 1,14 persen, menurunnya TFR menjadi 2,2,
menurunnya Umnet Need atau PUS yang ingin ber-KB tetapi belum terlayani menjadi 6
persen (hingga akhir tahun 2008 masih 9,1 persen), meningkatnya peserta KB menjadi 4,5%
(sepanjang tahun 2008 hanya meningkat 0,7%) serta meningkatnya rata-rata usia kawin
pertama wanita menjadi 21 tahun. Indikator lainnya adalah menigkatnya partisipasi keluarga
dalam tumbuh kembang anak, meningkatnya jumlah keluarga Pra Sejahtera dan KS I yang
aktif dalam kegiatan ekonomi produktif dan meningkatnya peran institusi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan program KB.
Ketiga, perubahan visi dan misi BKKBN. Bila sebelumnya visi yang dibangun
adalah ”Keluarga Berkualitas 2015” dengan misi ” Membangun setiap keluarga Indonesia
untuk memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hakhak
reproduksiya melalui pengembanga kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi,
perlindungan, informasi kependudukan dan keluarga, serta penguatan kelembagaan dan
jejaring KB” maka sekarang ini visinya adalah ”Seluruh Keluarga Ikut KB” dengan misi
”Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera”. Perubahan visi dan misi tersebut
sebagai bentuk upaya mendukung BKKBN agar menjadi lebih efektif dan fokus pada
sasaran.
Keempat, perubahan manajemen program. Perubahan tersebut dititik beratkan pada
ukuran kinerja. Mulai saat ini seluruh BKKBN akan menggunakan basis Information
Technology (IT). Dengan berbasis TI, maka website menjadi salah satu bagian utama dalam
program KB sehingga kemampuan pimpinan hingga staf BKKBN provinsi dalam
penguasaan komputer menjadi hal yang mutlak. Dalam rangka mewujudkan perubahan
manajemen tersebut, BKKBN Pusat telah menandatangani Memorandum of Understanding
4
(MoU) dengan PT Telekomunikasi Indonesia dan Letter of Agreement (LoA) dengan PT
Microsoft Indonesia.
Melalui rebranding program KB, diharapkan akan mampu menumbuhkan budaya
kerja pada para pengelola program KB di tingkat pusat hingga daerah termasuk para
Penyuluh KB. Dalam satu dasa warsa terakhir, program KB di Indonesia terkesan loyo dan
kurang bergairah, bahkan nyaris tak terdengar. Kelesuan pengelolaan program KB ini terjadi
seiring dengan diserahkannya BKKBN Kabupaten/Kota ke daerah. Persoalan muncul karena
dalam kenyataannya sebagian besar Bupati/Walikota sebagai pimpinan tertinggi di daerah,
tidak mendukung sepenuhnya pelaksanaan program KB dengan membentuk Dinas Keluarga
Berencana secara utuh. Namun hanya menjadi bagian dari instansi atau lembaga teknis.
Akibatnya, mekanisme program KB di lini lapangan semakin melemah. Bila kondisi ini
terus dibiarkan, jelas akan sangat berbahaya, karena pertumbuhan penduduk menjadi tidak
terkendali. Apalagi indikasinya mulai nampak, yakni dengan ditemukannya sebagian PUS
yang memiliki 6 – 7 anak.
Dengan adanya budaya kerja baru yang dimulai dari spirit dan gairah baru, dipastikan
akan berdampak positif pada program KB, bukan hanya karena pengelolaan menjadi lebih
efektif dan efisien, tetapi juga akan meningkatkan outputs program seiring dengan
meningkatnya intensitas Advokasi, KIE dan Konseling pada stakeholder maupun keluarga
sasaran. Hal ini dapat dipahami, karena budaya kerja baru yang diharapkan oleh BKKBN
adalah budaya kerja yang berorientasi pada peningkatan Loyalitas, Dedikasi, Disiplin dan
Kompetensi Profesional (LDDK) sehingga dalam benak setiap personil pengelola program
KB di era sekarang dan yang akan datang, akan tumbuh semangat untuk mengabdi pada
masyarakat dan negara serta semangat untuk mendedikasikan seluruh kemampuan dan ilmu
yang dimiliki yang dilandasi sikap disiplin dan profesionalisme. Istilah pengelola program
5
KB di sini, termasuk di dalamnya adalah Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) yang terdiri
dari Koordinator Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD) yang berbasis di tingkat desa,
PPKBD di tingkat dusun dan Sub PPKBD di tingkat RT.
Sebagai lembaga yang berhubungan langsung dengan masyarakat, memang BKKBN
sudah selayaknya mempunyai semangat perubahan untuk mengikuti perkembangan
masyarakat yang dinamis dan terus berubah seiring perkem-bangan zaman. Perubahan
masyarakat yang mengarah pada berkembangnya multi-kulturalisme, keragaman komunitas,
dan pola komunikasi yang partisipatif, haruslah menjadi acuan bagi BKKBN untuk
melangkah ke era baru. Kelesuan kerja yang selama ini menimpa pada hampir semua
personil pengelola program KB harus dihapuskan. Hasil kerja yang kurang optimal harus
segera disikapi dengan kemauan kuat untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Program KB harus tetap jalan terus, karena program ini merupakan program yang sangat
urgen untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk sekaligus meningkatkan
kualitasnya. Dengan demikian, rebranding program KB merupakan strategi jitu untuk
menggugah kembali semangat dan gairah kerja baru menuju budaya kerja yang lebih baik
dengan achievment motivation yang lebih baik pula. Semoga.
Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan
Kelembagaan Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi Badan PMPD PKB Kabupaten Kulonprogo
Endar Sunarsih, SPd, Penyuluh KB Kecamatan Temon.
Catatan:
Untuk efisiesi pengetikan, naskah juga kami kirimkan melalui email pada
redaksi@kr.co.id dengan alamat pengirim nidyapena@yahoo.co.id
6

Anda mungkin juga menyukai