Anda di halaman 1dari 12

Perang Terhadap Teroris Khawarij Bukan Perang Terhadap

Islam! [Bag.1]
(Sebuah Catatan Atas Tertangkapnya Abu Bakar Ba’asyir, Bag. 1)

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menganugerahkan nikmat yang sangat besar kepada
kaum muslimin di bulan Ramadhan tahun 1431 H yang penuh berkah ini, yaitu dengan tertangkapnya
seorang tokoh yang berpaham Teroris Khawarij, Abu Bakar Ba’asyir.

Ucapan terima kasih juga selayaknya diberikan kepada Pemerintah RI, khususnya POLRI melalui Densus 88
–jazaahumullahu khairan- yang telah mengerahkan segenap tenaga untuk menangkap tokoh yang satu ini
dan mengumpulkan bukti-bukti keterlibatannya dalam aksi-aksi Teroris Khawarij.

Namun ternyata, di tengah-tengah kegembiraan kaum muslimin atas tertangkapnya tokoh kesesatan tersebut,
ada sekelompok kecil orang-orang yang mengatasnamakan umat Islam yang memprotes dan menyatakan
secara terbuka ketidaksetujuan mereka, bahkan mengecam pemerintah dengan keras atas penangkapan
tersebut. Diantaranya adalah sebuah forum yang menamakan diri Forum Umat Islam (FUI), yang
mengklaim beranggotakan ormas-ormas Islam, diantaranya Front Pembela Islam (FPI), Majelis
Mujahidin, Jamaah Anshorut Tauhid, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Al Irsyad
Al Islamiyyah, Front Perjuangan Islam Solo (FPIS), Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Majelis Az
Zikra, PP Daarut Tauhid, Hidayatullah, PII dan Wahdah Islamiyah yang berpusat di Makassar.

Bahkan salah seorang kader ormas yang disebut terakhir di atas, membuat tulisan dalam blog hitamnya yang
berisi tuduhan-tuduhan keji dengan judul Bisnis Darah dan Nyawa Manusia dan Penangkapan Ustadz
Ba’asyir dan Kehancuran NKRI. Sebelumnya juga, website resmi mereka di cabang Jogya telah
menurunkan sebuah artikel untuk memprotes kebijakan pemerintah terhadap teroris dalam sebuah tulisan
berjudul Menjustifikasi Kematian Teroris. Tidak ketinggalan pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
melalui juru bicaranya Muhammad Ismail Yusanto mengecam penangkapan Abu Bakar Ba’asyir (ABB).

Seperti apakah pandangan Islam atas tertangkapnya tokoh yang berpaham Teroris Khawarij? Bagaimana
pula sikap Islam terhadap orang-orang yang membelanya? Catatan ringan ini insya Allah mencoba
menghadirkan bukti-bukti ilmiah akan benarnya tindakan yang telah diambil oleh POLRI dan sekaligus
sebagai bantahan atas kekeliruan sekelompok kecil orang-orang yang menyalahkan pemerintah atas
penangkapan ABB.

Benarkah Abu Bakar Ba’asyir berpaham Teroris Khawarij?

Sebelum kita membuktikan benarnya tindakan penangkapan atas ABB (semoga insya Allah bisa dilanjutkan
dengan penangkapan orang-orang yang semisal dengannya), tentunya kita harus membuktikan dulu bahwa
pemahaman dan ajaran yang diamalkan dan disebarkan oleh ABB, kelompoknya dan jaringannya adalah
ajaran sesat Teroris Khawarij.

Kami sebut sebagai ajaran Teroris, karena dampak dari ajaran-ajaran mereka bermuara pada aksi-aksi
terorisme. Adapun penyebutan Khawarij, inilah sebenarnya akar kesesatan mereka. Khawarij adalah satu
kelompok sesat yang akarnya telah ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan akan terus berlanjut
sampai akhir zaman, hingga generasi terakhir mereka akan bergabung bersama Dajjal –wal’iyadzu billah-.

Akar Khawarij bermula dari protes terang-terangan atas nama “amar ma’ruf nahi munkar” oleh seorang
yang bernama Dzul Khuwaisiroh terhadap kebijakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam
distribusi harta kekayaan negara, bahkan dia menuduh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak berlaku adil,
sampai dia berkata, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah”. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata, “Celaka
engkau, siapa lagi yang bisa berlaku adil jika aku tidak berlaku adil. Sungguh engkau celaka dan merugi jika
aku tidak berlaku adil.” (HR. Muslim, no. 2505)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:

‫يخرج من ضئضئ هؤالء قو ٌم يتلون كتاب هللا رطبا ً ال يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية‬

“Sesungguhnya akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dengan mudah,
namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang meleset
dari sasarannya.” (HR. Muslim, no. 2500)

Beliau juga bersabda:

‫ينشأ نشأ يقرءون القرآن ال يجاوز تراقيهم كلما خرج قرن قطع كلما خرج قرن قطع حتى يخرج في أعراضهم الدجال‬

“Akan muncul sekelompok pemuda yang (pandai) membaca Al-Qur‘an namun bacaan mereka tidak
melewati kerongkongannya. Setiap kali muncul sekelompok dari mereka pasti tertumpas”. (Dalam satu
riwayat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Saya mendengar Rasulullah mengulang kalimat,
“Setiap kali muncul sekelompok dari mereka pasti tertumpas” lebih dari 20 kali”). Hingga beliau bersabda,
“Sampai muncul Dajjal dalam barisan mereka.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahihul Jami’, no. 8171)

Hadits ini menunjukkan bahwa eksistensi kelompok Khawarij akan tetap ada sampai akhir zaman. Berikut
ini kami akan menyebutkan insya Allah, bukti-bukti ajaran ABB dan jaringannya adalah ajaran Teroris
Khawarij:

Pertama: Mengkafirkan kaum muslimin, khususnya pemerintah muslim

Tidak terhitung lagi pernyataan Abu Bakar Ba’asyir dan kelompoknya yang menganggap kafir pemerintah
muslim, bahkan sebuah web yang dibuat khusus untuk free ABB dengan tegas mengutip pernyataan jaringan
mereka bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah murtad. Demikian pula dalam khutbah Idul Adha
1430 H, ABB mengkafirkan para ulama dan penguasa-penguasa Arab dan menjuluki mereka sebagai thogut
dan antek-antek zionis.

Inilah ciri Khawarij yang paling menonjol, yaitu pemahaman takfiri, mengkafirkan kaum muslimin yang
pada zaman modern ini dihidupkan kembali oleh Sayid Qutb, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, yang
buku-bukunya banyak dikonsumsi oleh gerakan-gerakan Islam di tanah air. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menjelaskan diantara sifat Khawarij adalah, “Mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi
mereka.” (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 3/355)

Padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan bahaya gegabah dan terburu-buru dalam
mengkafirkan seorang muslim, beliau bersabda:

‫امرئ قال ألخيه كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإال رجعت عليه‬
ٍ ‫أيما‬

“Siapa saja berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka salah satu dari keduanya menjadi kafir. Jika
yang dipanggil benar-benar kafir, jika tidak maka kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma)

Adapun bimbingan ulama Ahlus Sunnah dalam menghukumi seseorang atau sebuah pemerintahan dengan
kekafiran atau murtad, adalah hak para ulama yang mendalam ilmunya, bukan anak-anak muda hasil binaan
ABB, Abu Jibril, Aman Abdurrahman dan yang semisal dengan mereka, yang hanya bermodal semangat
tanpa ilmu. Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:

“Menghukumi seseorang telah murtad atau keluar dari agama Islam adalah kewenangan para ulama yang
mendalam ilmunya, mereka adalah para qadhi di mahkamah syari’at dan para ahli fatwa yang diakui
keilmuannya. Sebagaimana pula dalam permasalahan lainnya, berbicara dalam masalah seperti ini bukanlah
hak setiap orang, bukan pula hak para penuntut ilmu atau yang menisbatkan diri kepada ilmu agama padahal
pemahamannya tentang ilmu agama masih sangat terbatas.

Bukanlah hak mereka untuk menghukumi seseorang telah murtad, karena perbuatan tersebut akan
melahirkan kerusakan. Bisa jadi mereka memvonis seseorang telah murtad padahal dia tidak murtad. Sedang
mengkafirkan seorang muslim yang tidak melakukan salah satu pembatal keislaman sangat berbahaya.
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “wahai kafir” atau “wahai fasik”, padahal dia tidak
seperti itu maka perkataan itu kembali kepada orang yang mengucapkannya. Olehnya, yang berhak
memvonis murtad hanyalah para qadhi syar’i dan ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Adapun yang
merealisasikan hukumnya adalah pemerintah kaum muslimin, selain itu hanya akan melahirkan kekacauan.”
(Lihat Min Fatawa As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, softcopy dari www.sahab.net)

Pada kesempatan lain, ketika Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah ditanya, “Apakah
masih ada di zaman ini orang yang mengusung pemikiran Khawarij?” Baliau menjawab, “Subhanallah,
mengkafirkan kaum muslimin, bukankah itu perbuatan Khawarij?! Bahkan lebih parah lagi, membunuh dan
memusuhi kaum muslimin. Ini adalah mazhab Khawarij, yang terdiri dari tiga bagian. Pertama:
Mengkafirkan kaum muslimin. Kedua: Keluar dari ketaatan kepada penguasa. Ketiga: Menumpahkan darah
kaum muslimin. Ini adalah mazhab Khawarij, meskipun seseorang hanya meyakini dalam hati tanpa
mengatakan atau melakukan aksi apa pun, dia telah menjadi seorang Khawarij dalam aqidah dan
pemikirannya.” (Muhadharah: Ya Ahlal Haramain wa ‘Askaral Islam, Asy-Syaikh Sulthon Al-‘Ied
hafizhahullah, hal. 6)

Kedua: Memahami Al-Qur’an dengan pemahaman Khawarij, bukan pemahaman Ahlus Sunnah

Inilah sebab utama penyimpangan Abu Bakar Ba’asyir dan kelompoknya yang kemudian melahirkan
pemahaman takfiri dan sejumlah kesesatan lainnya. Diantaranya kesalahan fatal mereka dalam menafsirkan
firman Allah Ta’ala:

َ‫َو َمنْ لَ ْم يَ ْح ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ فَأُولَئِ َك ُه ُم ا ْل َكافِرُون‬

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Dengan modal pemahaman yang salah terhadap ayat inilah mereka mengkafirkan kaum muslimin, Al-Imam
Al-Mufassir Al-Jasshash rahimahullah berkata:

“Khawarij mentakwikan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang meninggalkan hukum Allah meskipun dia
tidak mengingkari (hukum Allah tersebut).” (Lihat Ahkamul Qur’an, 2/534)

Adapun pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang dibina oleh beliau
dan para ulama Ahlus Sunnah setelahnya adalah sebagai berikut:

Sahabat yang mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tafsir ayat di atas adalah,
“Barangsiapa yang mengingkari hukum Allah maka dia kafir, adapun yang masih mengakuinya namun tidak
berhukum dengannya maka dia zalim lagi fasik.” [Dikeluarkan oleh Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan
(6/166), dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (6/114)]

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari
Islam (yakni kufur asghar).” (Lihat Suaalat Ibni Hani’, 2/192)

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, barangsiapa yang tidak berhukum dengan
hukum Allah disertai pengingkaran terhadapnya, padahal dia tahu bahwa itu adalah hukum Allah, seperti
yang dilakukan oleh Yahudi, maka dia kafir. Adapun orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah
karena menuruti hawa nafsu tanpa disertai pengingkaran terhadapnya, maka dia zalim lagi fasik.” (Lihat
Zadul Masir, 2/366)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Perkataan Salaf bahwa, “Bisa jadi dalam diri
seseorang terdapat keimanan dan kemunafikan”, sama dengan perkataan mereka, “Pada dirinya ada
keimanan dan kekafiran”, maka yang dimaksudkan adalah bukan kekafiran yang menyebabkan murtad,
sebagaimana perkataan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dalam menjelaskan firman Allah, “Barangsiapa
yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir” (Al-
Maidah: 44), maksud ayat ini bukanlah kekafiran yang menyebabkan murtad. Pemahaman terhadap ayat ini
kemudian diikuti oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya.” (Lihat Majmu’
Al-Fatawa, 7/312)

Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Yang benar dalam permasalahan ini adalah,
sesungguhnya berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua bentuk kekafiran, yaitu kufur asghar
(kecil) dan kufur akbar (besar), maka hukumnya tergantung keadaan pelakunya. Jika dia meyakini wajibnya
berhukum dengan hukum Allah, hanya saja dia berpaling karena mempertututkan nafsu kemaksiatannya
dengan tetap meyakini bahwa dia telah salah hingga berhak dihukum, maka yang seperti ini kufur asghar
(tidak sampai murtad). Adapun jika dia meyakini bahwa tidak wajib berhukum dengan syari’at Allah, atau
boleh memilih antara hukum syari’at dan hukum buatan manusia, padahal dia yakin bahwa itu memang
hukum Allah, maka yang seperti ini kufur akbar (menyebabkan murtad). Akan tetapi jika dia jahil dan
tersalah karena kejahilannya itu maka hukumnya sama dengan hukum kepada orang yang jahil (yakni
dimaafkan dan diajarkan).” (Lihat Madarijus Salikin, 1/336)

Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh
gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran
dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa
tersebut zalim dan fasik, sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Pemerintah Indonesia, Masihkah
Layak Ditaati?

Ketiga: Memuji dan memberi semangat kepada pelaku aksi Teroris Khawarij

Setiap kali polisi berhasil membunuh atau menangkap teroris, ABB pun berkomentar bahwa mereka itu
adalah mujahid bukan teroris. Tidak diragukan lagi, pujian-pujian ABB dan kelompoknya kepada para
pelaku terorisme sebagai “mujahid” merupakan pembakar semangat bagi anak-anak muda yang miskin ilmu.
Hal ini mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qa’adiyah, sebagaimana ABB
yang mungkin sudah uzur untuk turun langsung “berjihad” namun masih menjadi motivator ulung untuk
membakar semangat “mujahid” menjadi “pengantin surga”.

Demikian pula Al-Qa’adiyah, mereka tidak turun langsung berperang melawan pemerintah kaum muslimin,
namun kerjaan mereka adalah memprovokasi kaum muslimin untuk memberontak.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para
penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –
rahimahullah-, (hal. 459), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 20)]

Bahkan sekte Khawarij inilah sebenarnya yang paling berbahaya, karena dengan sebab ceramah-ceramah
mereka kemudian orang-orang terprovokasi untuk menentang penguasa dan melakukan aksi-aksi terosisme.
Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if rahimahullah berkata: “Kelompok Al-Qa’adiyah ini merupakan
pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271),
sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)]

Keempat: Memberontak kepada pemerintah muslim, baik dengan demonstrasi, menyebarkan aib
penguasa melalui mimbar-mimbar terbuka ataupun pernyataan di media masa, hingga membentuk
organisasi yang menyerupai negara dalam negara

ABB dalam ceramah-ceramahnya selalu mengritik pemerintah Indonesia secara terang-terangan, demikian
pula kelompok dan jaringannya tidak segan-segan untuk melakukan aksi-aksi demo melawan pemerintah.
Padahal mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan di depan khalayak dengan demonstrasi
dan orasi di mimbar-mimbar terbuka atau menulis artikel sebagai teguran kepada pemerintah di media massa
adalah bentuk pemberontakan kepada penguasa yang dicontohkan oleh kaum Khawarij. Adapun tuntunan
Islam dalam menasihati penguasa adalah dengan tidak menampakkannya kepada khalayak ramai,
sebagaimana telah kami jelaskan dalam artikel: Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa, Sebuah
Renungan Bagi Para Pencela Pemerintah.

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia
merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’,
seperti Khawarij.”

Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul–hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-
aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim,
sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.

Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan
pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim
al-Juhani, bahwa beliau berkata:

“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan
kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?”
Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau
sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.

Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan
penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada
catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang),
maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi
kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”

Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz–rahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf
menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut
mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa.
Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.”
[Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –
hafizhahullah-, softcopy dari www.sahab.net]

Terlebih lagi membentuk organisasi yang menyerupai negara dalam negara, dimana para anggota menyebut
pemimpinnya sebagai Amir, membuat aturan-aturan khusus yang harus ditaati dan anggotanya pun berjanji
atau melakukan bai’at (sumpah setia) untuk mendengar dan taat kepada pemimpin tersebut sebagaimana
layaknya ketaatan kepada seorang pemimpin negara. Lebih parah dari itu, apabila ada anggotanya keluar
atau memisahkan diri dari kelompoknya maka mereka mengatakan kepadanya, “Anda telah keluar dari
jama’ah”. Bahkan tidak jarang disertai dengan pengucilan dan pengkafiran anggota yang keluar dari jama’ah
mereka.

Hal ini terjadi karena kebodohan mereka dalam memahami makna jama’ah yang ada dalam dalil-dalil syar’i.
Mereka mengira bahwa jama’ah yang dimaksud adalah asal ngumpul lalu mengangkat seorang amir.
Padahal jama’ah yang dimaksudkan adalah pemerintah kaum muslimin yang memiliki kekuatan dan wilayah
kekuasaan. Oleh karena itu, langkah yang mereka tempuh dengan membentuk jama’ah dalam jama’ah
adalah bentuk pemberontakan kepada pemimpin kaum muslimin.

Kelima: Menyerukan slogan-slogan Khawarij, yakni perkataan yang benar namun yang diinginkan
dengannya adalah kebatilan
ABB dan kelompoknya di mana-mana selalu meneriakkan jihad dan penegakkan syari’at Islam, meskipun
hakikatnya mereka tidak menerapkan syari’at itu dalam diri dan keluarga mereka. Seruan jihad dan
penegakkan syari’at Islam adalah seruan yang mulia, namun yang mereka inginkan di balik seruan yang
mulia tersebut sebenarnya adalah kebatilan. Sebab jihad mereka bukanlah jihad yang syar’i, sebagaimana
telah kami jelaskan dalam artikel: Nasihat Kepada Teroris, Ketahuilah Beda Jihad dengan Terorisme.

Demikian pula penegakkan syari’at yang mereka serukan adalah syari’at yang sesuai manhaj Khawarij,
bukan manhaj Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Hal ini mengingatkan kita
kepada Khawarij generasi awal yang diperangi oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu. Dimana Khawarij generasi awal pun meneriakkan slogan yang sama, yakni penegakkan
syari’at Islam, seperti yang dituturkan oleh Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu berikut ini:

‫أن الحرورية لما خرجت على علي بن أبي طالب وهو معه فقالوا ال حكم إال هلل قال علي كلمة حق أريد بها باط ٌل إن رسول هللا {صلى هللا‬
‫عليه وسلم} وصف لنا ناسا ً إني ألعرف صفتهم في هؤالء يقولون الحق بألسنتهم ال يجاوز هذا منهم وأشار إلى حلقه‬

“Bahwasannya kaum Khawarij Haruriyah ketika memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu mereka mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”. Maka Ali berkata,
“Perkataan yang benar, namun yang diinginkan dengannya adalah kebatilan. Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam pernah menjelaskan  kepadaku tentang ciri-ciri sekelompok orang yang telah
aku tahu sekarang bahwa ciri-ciri tersebut ada pada mereka (Khawarij), yaitu mereka mengucapkan
perkataan yang benar hanya dengan lisan-lisan mereka, namun tidak melewati kerongkongan mereka (yakni
mereka tidak memahaminya).” (HR. Muslim, no. 2517)

Namun yang sangat mengherankan, ketika mereka butuh dengan hukum buatan manusia yang jelas-jelas
bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala, mereka pun tak segan-segan menggunakan jasa para pengacara
yang setiap harinya berkecimpung dalam hukum-hukum hasil kerajinan tangan manusia dan peninggalan
penjajah Belanda yang mereka kecam. Ini semua menunjukkan kebodohan mereka terhadap syari’at Allah
Ta’ala.

Oleh karena itu kami nasihatkan kepada kaum muslimin, khususnya para pemuda, janganlah mudah tertipu
dengan seruan-seruan jihad dan penegakkan syari’at yang selalu mereka dengung-dengungkan. Karena
hakikatnya, mereka tidak memahami jihad dan penegakkan syari’at seperti yang dipahami Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.

Demikian pula, jangan engkau tertipu dengan penampilan yang islami, seperti memelihara jenggot,
menggunakan pakaian tanpa menutupi mata kaki dan istri-istri mereka menggunakan jilbab syar’i dan
menggunakan cadar. Tidak diragukan lagi, ini semua merupakan bagian dari syari’at Islam, sebagaimana
telah kami jelaskan dalam artikel: Peringatan: Cadar, Celana Ngatung dan Jenggot bukan Ciri-ciri
Teroris.

Akan tetapi semua itu tidaklah berarti sama sekali bagi seseorang jika aqidahnya rusak, karena mengikuti
aqidah sesat Khawarij. Inilah keadaan kaum Khawarij dahulu, sangat nampak keshalihan dan kuatnya
ibadah mereka, namun sayang aqidah mereka menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah. Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam telah memperingatkan:

‫يخرج قو ٌم من أمتي يقرءون القرآن ليس قراءتكم إلى قراءتهم بشيء وال صالتكم إلى صالتهم بشيء وال صيامكم إلى صيامهم بشيء‬

“Akan keluar satu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, dimana bacaan kalian tidak ada apa-apanya
jika dibandingkan dengan bacaan mereka, demikian pula sholat kalian tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan sholat mereka, juga puasa kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
puasa mereka.” (HR. Muslim, no. 2516)

Perhatikanlah bagaimana hebatnya ibadah mereka, namun bersamaan dengan itu, Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam menyatakan mereka adalah anjing-anjing neraka, sebagaimana dalam hadits berikut ini:
‫كالب النار شر قتلى تحت أديم السماء خير قتلى من قتلوه‬

“Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit,
sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no.
3000), dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-
Misykah, (no. 3554)]

Maka jelaslah, mengikuti aqidah dan pemahaman generasi As-Salafus Shalih, yaitu generasi Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan
seorang hamba, agar selamat dari jeratan-jeratan kelompok sesat dan selamat dari adzab Allah Tabaraka wa
Ta’ala di negeri akhirat.

Wallahul Musta’an.

Bersambung insya Allah Ta’ala…

[Alhamdulillah tulisan bagian pertama ini selesai menjelang buka puasa 13 Ramadhan 1431 H di Maktabah
Asy-Syaikh Shalih bin Abdullah Al-Ghusn hafizhahullah di kota Riyadh, KSA. Kami ucapkan
jazaakumullahu khairan kepada Asy-Syaikh Shalih dan kepada Al-Akh Abu Syakir Imam Syuhada
Iskandar, murid Asy-Syaikh Shalih yang menjaga maktabah beliau. Tulisan ini sekaligus sebagai realisasi
taubat kami dari pemahaman Khawarij yang dulu sempat kami yakini ketika bergabung dengan salah satu
kelompok yang mengaku Ahlus Sunnah namun terjangkit virus Khawarij di kota Makassar, Indonesia].

Perang Terhadap Teroris Khawarij Adalah Kewajiban Pemerintah


Muslim [Bag.2]
(Sebuah Catatan Atas Tertangkapnya Abu Bakar Ba’asyir, Bag. 2)

Alhamdulillah, pada artikel sebelumnya yang berjudul PERANG


TERHADAP TERORIS KHAWARIJ BUKAN PERANG
TERHADAP ISLAM, kami telah menjelaskan bukti-bukti ilmiah
bahwa sepak terjang Abu Bakar Ba’asyir, para pembela dan
pengikutnya adalah sifat-sifat kelompok sesat Khawarij.

Pada artikel ini insya Allah kami akan menyebutkan beberapa dalil dan
penjelasan para ulama, bahkan kesepakatan (ijma’) seluruh ulama
tentang kewajiban pemerintah muslim untuk memerangi teroris
Khawarij. Sehingga makin jelas bagi kita, bahwa apa yang dilakukan
pemerintah RI melalui Densus 88 merupakan tindakan yang tepat insya
Allah Ta’ala.

Perintah dan Keutamaan Memerangi Khawarij

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

‫يأتي في آخر الزمان قوم حدثاء األسنان سفهاء األحالم يقولون من خير قول البرية يمرقون من اإلسالم كما يمرق السهم من الرمية ال‬
‫يجاوز إيمانهم حناجرهم فأينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم يوم القيامة‬

“Akan datang pada akhir zaman suatu kaum yang masih muda belia dan bodoh. Namun mereka
menyampaikan perkataan manusia terbaik (yakni Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam). Mereka keluar
dari Islam sebagaimana anak panah meleset dari sasarannya. Keimanan mereka tidak melewati
tenggorokannya. Di mana saja kalian mendapati mereka, maka perangilah mereka, karena dalam memerangi
mereka terdapat pahala pada hari Kiamat bagi siapa saja yang memeranginya.” (HR. Bukahari dan Muslim
dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu)
Pembesar ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan hadits ini,
“Perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “‫”أحداث األسنان سفهاء االحالم‬, “kaum yang masih muda belia dan
bodoh “, maknanya adalah muda usia mereka lagi pendek akalnya. Dan perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, “‫”يقولون من خير قول البرية‬, “Namun mereka menyampaikan perkataan manusia terbaik”, maknanya
adalah, hanya nampaknya saja demikian, seperti slogan mereka, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”
dan slogan-slogan semisalnya berupa ajakan kepada kitab Allah, wallahu A’lam. Perkataan Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam, “‫”فاذا لقيتموهم فاقتلوهم فان في قتلهم أجرا‬, “di mana saja kalian mendapati mereka,
maka perangilah mereka”, ini adalah penegasan wajibnya memerangi Khawarij dan bughot
(pengacau), hal ini merupakan kesepakatan (ijma’) seluruh ulama.” (Syarh Muslim, Al-Imam An-
Nawawi rahimahullah, 7/169-170)

Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seluruh ulama telah ijma’, bahwa memerangi Khawarij dan ahlul
bid’ah serta pengacau yang semisal dengan mereka, ketika mereka memberontak kepada penguasa,
menyelisihi pemerintah dan mengoyak persatuan masyarakat, maka wajib memerangi mereka setelah diberi
peringatan dan himbauan, Allah Ta’ala berfirman:

ِ‫فَقَاتِلُوا الَّتِي تَ ْب ِغى َحتَّى تَفِى َء إِلَى أَ ْم ِر هللا‬

“Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah.” (Al—Hujurat: 9).” (Syarh Muslim, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, 7/170)

Seorang tabi’in yang mulia, Abu Ghalib rahimahullah pernah menceritakan, “Ketika aku di masjid
Dimasyq, didatangkan 70 kepala kaum Khawarij Haruriyah lalu dipancangkan di jalan masjid, maka
datanglah Abu Umamah radhiyallahu’anhu, beliau melihat mereka lalu meneteskan air mata dan berkata,
“Subhanallah, apa yang telah dibuat oleh setan terhadap anak Adam”, beliau ucapkan tiga kali. Lalu beliau
berkata, “Mereka adalah anjing-anjing jahannam, anjing-anjing jahannam. Seburuk-buruknya
makhluq yang terbunuh di bawah kolong langit”, juga diucapkan tiga kali. Lalu beliau berkata, “Dan
siapa yang dibunuh oleh mereka adalah sebaik-baik yang terbunuh di bawah langit, beruntunglah
orang yang membunuh mereka atau dibunuh mereka.”

Lalu beliau melihat ke arahku dan berkata, “Wahai Abu Ghalib, bukankah engkau berasal dari negeri
mereka (Harurah)?”, aku katakan, “Ya”. Beliau berkata, “Semoga Allah melindungimu dari mereka”. Lalu
beliau berkata, “Apakah engkau membaca surat Ali Imran?”, aku katakan, “Ya”. Beliau lalu membaca ayat:

‫ب َوأُ َخ ُر ُمتَشَابِ َهاتٌ فَأ َ َّما الَّ ِذينَ في قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِ َغاء ا ْلفِ ْتنَ ِة‬
ِ ‫َاب ِم ْنهُ آيَاتٌ ُّم ْح َك َماتٌ هُنَّ أُ ُّم ا ْل ِكتَا‬
َ ‫ي أَنزَ َل َعلَيْكَ ا ْل ِكت‬
َ ‫ُه َو الَّ ِذ‬
‫س ُخونَ فِي ا ْل ِع ْلم‬ ‫ا‬ ‫ر‬
ِ َّ َ ُ‫ال‬ ‫و‬ ‫هّللا‬ َّ ‫ال‬ ‫إ‬ ‫ه‬َ ‫ل‬‫ي‬ ‫و‬ْ ‫َأ‬ ‫ت‬ ‫م‬َ
ِ ُ ِ ُ َْ َ َ ِِ ِ ‫ل‬‫ع‬‫ي‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ل‬‫ي‬ ‫و‬ْ ‫َأ‬ ‫ت‬ ‫اء‬ َ
‫غ‬ ‫ت‬ ‫ب‬
ِْ َ‫ا‬ ‫و‬

“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-
orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat
yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:
“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 7)

Mereka itulah yang di dalam hatinya ada kesesatan, mereka pun terjerumus dalam penyimpangan.

Juga firman Allah:

َ ‫س َودَّتْ ُو ُجو ُه ُه ْم أَ ْكفَ ْرتُم بَ ْع َد إِي َمانِ ُك ْم فَ ُذوقُو ْا ا ْل َع َذ‬


َ‫اب بِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْكفُرُون‬ ْ ‫س َو ُّد ُو ُجوهٌ فَأ َ َّما الَّ ِذينَ ا‬
ْ َ‫ض ُو ُجوهٌ َوت‬
ُّ َ‫يَ ْو َم تَ ْبي‬

“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun
orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu
beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (Ali Imran: 106)
Aku katakan, “Wahai Abu Umamah, lalu mengapa aku lihat mengalir air matamu?” Kata beliau, “Ya,
karena kasihan kepada mereka, karena sesungguhnya mereka dahulunya bagian dari kaum muslimin”. Lalu
beliau berkata, “Bani Israel terpecah menjadi 71 golongan, dan bertambah pada ummat ini satu golongan
lagi (jadi 72), semuanya di neraka kecuali golongan terbanyak (yakni sahabat)”.

Aku katakan, “Wahai Abu Umamah, apa pendapatmu atas apa yang telah mereka lakukan”. Beliau berkata,
bagi mereka dosa mereka;

ُ‫سو ِل إِاَّل ا ْلبَاَل ُغ ا ْل ُمبِين‬


ُ ‫َو َعلَ ْي ُك ْم َما ُح ِّم ْلتُ ْم َوإِنْ تُ ِطي ُعوهُ تَ ْهتَدُوا َو َما َعلَى ال َّر‬

“Dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang.” (An-Nuur: 54)

Ketaatan kepada pemerintah itu lebih baik dari pada memberontak dan menentang”.

Maka berkatalah seseorang kepadanya, “Wahai Abu Umamah, apakah perkataanmu tentang Khawarij itu
pendapatmu atau engkau dengarkan dari Rasulullah shallallahu’alihi wa sallam”. Beliau berkata, “Kalau aku
mengatakan itu dari pendapatku maka betapa lancangnya aku kalau begitu, bahkan hal itu aku dengarkan
dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak hanya sekali atau dua kali”, sampai beliau menyeburkan
tujuh kali.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro, no. 16560, Ath-Thobrani dalam Al-Mujamul
Kabir, no. 8035, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, no. 2654, beliau menyatakan shahih sesuai syarat Al-
Imam Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Inilah salah satu kisah perang terhadap teroris Khawarij yang menumpahkan darah kaum muslimin,
kemudian diperangi oleh pemerintah muslim ketika mereka melakukan perlawanan bersenjata.

Maka sudah sepatutnya bagi pemerintah muslim menangkap dan memerangi orang-orang yang berpaham
teroris Khawarij demi menjaga keamanan negeri dan lebih dari itu demi menjaga aqidah kaum muslimin
jangan sampai terpengaruh paham teroris Khawarij.

Oleh karenanya, sangat tidak berlebihan andaikan pemerintah juga menangkap orang-orang yang
menyebarkan paham teroris Khawarij, baik melaui ceramah-ceramah, buku-buku maupun internet dan
memutus semua jaringan penyebaran paham sesat mereka. Dan inilah sebenarnya yang lebih penting
dilakukan, sebab selama mereka masih bebas menyebarkan pemahaman sesat tersebut, selama itu pula
jaringan teroris Khawarij akan semakin luas dan berkembang di Indonesia.

Demikian pula, tidaklah berlebihan jika pemerintah menertibkan media-media, tokoh-tokoh dan ormas-
ormas yang menyuarakan pembelaan kepada tokoh-tokoh teroris Khawarij dan memprotes pemerintah
secara terang-terangan, itu semua demi menjaga persatuan dan keamanan negara serta membentengi
masyarakat dari pemahaman sesat teroris Khawarij.

Menasihati Teroris Khawarij

Termasuk kewajiban pemerintah muslim yang tidak kalah pentingnya, juga kewajiban para ulama dan da’i
untuk menasihati kaum muslimin yang terjebak ke dalam pemahaman teroris Khawarij. Karena akar
penyimpangan mereka sesungguhnya adalah kebodohan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai
dengan pemahaman generasi Salaf, sehingga perlu adanya nasihat untuk menjelaskan kepada mereka
hakikat penyimpangan mereka.

Syaikhunasy Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Diantara contoh buruknya
pemahaman agama adalah apa yang terjadi pada kaum Khawarij yang memberontak kepada Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu’anhu dan memerangi beliau.
Hal itu terjadi karena mereka memahami teks-teks syari’at ini dengan pemahaman yang salah, menyelisihi
pemahaman para sahabat radhiyallahu’anhum. Oleh karena itu, ketika Abdullah bin Abbas
radhiyallahu’anhuma menasihati mereka dengan menjelaskan kepada mereka pemahaman yang benar
terhadap teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka sebagian mereka bertaubat dan sebagian lagi tetap pada
kesesatannya.

Kisah dialog Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma dengan Khawarij terdapat dalam kitab Al-Mustadrak
karya Al-Imam Al-Hakim (2/150-152), dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Imam Muslim.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

“Aku adalah utusan sahabat Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam- dari kalangan Muhajirin dan Anshor kepada
kalian untuk menyampaikan pendapat mereka, karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan. Mereka
lebih mengetahui akan wahyu daripada kalian semua dan tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi yang
bersama kalian.”

Lalu diantara orang khawarij berkata, “Jangan kalian mendebat orang Quraisy ini, karena Allah berfirman:

“Merekalah orang-orang yang pandai berdebat.” (Az-Zukhruf: 58)

Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma berkata (menceritakan tentang kaum khawarij yang beliau
lihat), “Aku tidak pernah melihat orang yang rajin beribadah melebihi mereka, wajah-wajah mereka kusut
karena banyak shalat malam, seolah-olah tangan dan kaki mereka menyanjung mereka.”

Sebagian mereka pun berkata, “Sungguh kita akan mengajaknya (Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma) untuk
berdialog.”

Ibnu Abbas berkata, “Ceritakanlah kepadaku apa yang kalian benci dari anak paman Rasululah
shallallahu’alaihi wa sallam dan menantunya (yakni Ali bin Abi Thalib) serta kaum Muhajirin dan Anshar!”

Mereka berkata, “Ada tiga hal.”

Aku berkata, “Apa itu?”

Mereka menjawab, “Pertama, Ali bin Abi Thalib menjadikan manusia sebagai pemutus perkara dalam
hukum Allah, padahal Allah berfirman, “Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah.” (Yusuf : 67)

Sedang manusia tidak berhak untuk menentukan hukum”.

Maka aku berkata, “Ini yang pertama”.

Mereka berkata, “Kedua, Ali bin Abi Thalib berperang (melawan Aisyah radhiyallahu’anha karena
kesalahpahaman dan hasutan orang ketiga, pent) tapi dia tidak mau menawan dan tidak mengambil
rampasan perang. Padahal yang diperangi itu orang kafir, maka boleh menawan dan mengambil harta
mereka. Andaikan yang diperangi itu orang-orang mukmin, tentunya tidak halal memerangi mereka”.

Aku berkata, “Ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?”

Mereka berkata, “Ali bin Abi Thalib menghapus gelarnya sebagai Amirul Mukminin (pemimpin kaum
mukmin), kalau begitu dia pemimpin kaum kafir.”

Aku berkata, “Apa masih ada yang lain?”

Mereka berkata, “Cukup itu saja”.


Maka aku pun berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika aku membacakan Al-Qur’an kepada kalian dan
Sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang membantah perkataan kalian, apakah kalian ridho?”

Mereka berkata, “Ya, kami ridho”.

Aku berkata, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib menjadikan manusia sebagai pemutus
perkara dalam hukum Allah, maka aku akan membacakan kepada kalian ayat tentang bolehnya manusia
memutuskan perkara dalam hukum Allah dalam permasalahan 1/4 dirham, yakni dalam masalah kelinci dan
hewan buruan yang sejenis, Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.
Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu.” (Al-Maidah: 95)

Ibnu Abbas berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah, apakah hukum yang diputuskan manusia dalam
masalah kelinci dan hewan buruan sejenisnya lebih utama daripada hukum dalam masalah pertumpahan
darah dan perdamaian antara kaum muslimin!? Ketahuilah, jika Allah berkehendak, tentulah Dia akan
memutuskan hukum sendiri dan tidak menyerahkannya kepada manusia.

Begitu juga dalam masalah suami istri, Allah Ta’ala berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa: 35)

Ibnu Abbas berkata, “Allah telah menjadikan berhukum kepada manusia (dalam masalah ini) sebagai
sunnah yang terjaga, apakah kalian menerimanya?”

Mereka mengatakan, “Ya”.

Aku berkata lagi, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Thalib memerangi tapi tidak menawan dan tidak
mengambil rampasan perang, (jawabannya) apakah kalian ingin menawan ibu kalian sendiri Aisyah
radhiyallahu’anha? Kemudian kalian menghalalkan (darah dan kehormatannya) seperti orang lain? Jika
kalian melakukannya maka kalian telah kafir, karena beliau ibu kalian.

Dan jika kalian mengatakan dia bukan ibu kita, kalian juga kafir, karena Allah berfirman:

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya
adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6)

Setelah penjelasan ini kalian mengetahui, bahwa kalian berada diantara dua kesesatan, mana saja yang
kalian pilih, kalian tetap berada dalam kesesatan.” Meraka pun saling pandang.

Aku berkata, “Apakah kalian menerima hal ini?”


Mereka berkata, “Ya”.

Aku berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib menghapus gelarnya sebagai Amirul
Mukminin, maka aku akan menyebutkan orang yang kalian ridhoi, yaitu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
beliau pada perjanjian Hudaibiyyah menulis surat kepada Suhail bin ‘Amru dan Abu Sufyan bin Harb.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata kepada Amirul Mukminin, “Tulislah wahai Ali, ini
perdamaian dari Muhammad Rasulullah”. Maka orang-orang musyrikin itu membantah, “Tidak, demi Allah
seandainya kami mengetahui kamu Rasulullah tidaklah kami memerangimu.” Rasululullah shallallahu’alaihi
wa sallam berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku adalah utusan-Mu. Wahai Ali
tulislah, “Ini adalah perdamaian dari Muhammad bin Abdillah”.”

Maka demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih mulia daripada Ali bin Abi
Thalib, akan tetapi beliau tidak keluar dari kenabian ketika menghapus gelar Rasulullah”.

Abdullah bin Abbas bekata, “Maka bertaubatlah sebanyak dua ribu orang dan sisanya dibunuh di atas
kesesatan”.”

Dalam kisah ini ada dua ribu orang dari golongan khawarij yang bertaubat dari kesesatan mereka, hal itu
karena penjelasan dan keterangan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma. Maka di sini ada
pelajaran yang sangat penting, yaitu merujuk kepada ulama membuahkan keselamatan dari segala kejelekan
dan fitnah (kesesatan). Allah Ta’ala berfirman :

ِّ ‫سأَلُو ْا أَ ْه َل‬
َ‫الذ ْك ِر إِن ُكنتُ ْم الَ تَ ْعلَ ُمون‬ ْ ‫فَا‬

“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

(Bi Ayyi ‘Aqlin wa Dinin Yakunut Tafjiru wat Tadmiru Jihadan, softcopy dari www.sahab.net)

Wallahu A’la wa A’lam.

Sumber: http://nasihatonline.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai