Anda di halaman 1dari 7

JADWAL SHALAT SUBUH DIPERMASALAHKAN

(Akar Perbedaan Tentang Fajar Shodiq, Definisi Fajar Shodiq)

Oleh
Abu Ibrohim Muhammad Ali AM Hafidzahullah

MUQODDIMAH
Salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut. Apabila shalat dilakukan sebelum waktunya
atau sesudah waktunya berlalu maka tidak sah. Allah Subha ahu wa Ta¶ala berfirman.

³Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman´ [an-Nisa 4 : 103]

Allah Subhanahu wa Ta¶ala membagi waktu-waktu shalat secara global dalam al-Qur¶an (seperti dalam al-Isra 127 :
78) dan Rasulullah Shallallahu µalaihi wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam beberapa hadits
beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1]. Tanda-tanda masuknya waktu shalat dapat dilihat dan diketahui
oleh siapapun dengan penglihatan masing-masing. Hanya saja sebagian tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat
kemudahan dalam melihatnya. Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas karena dalam hadits-hadits
disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada terbenamnya matahari. Hal ini berbeda dengan waktu Subuh,
di mana tanda masuknya (terbit fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda masuknya waktu
shalat yang lain.

Zaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu shalat sangatlah mudah. Akan tetapi
ketika zaman mulai berubah, dengan banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi
dengan banyaknya penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya
pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang tebal cukup mempengaruhi kondisi langit. Hal tersebut mempengaruhi
tingat kesulitan melihat tanda-tanda awal waktu masuk shalat terutama waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum
muslimin berijtihad (mencari jalan) untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi samar, di antaranya yaitu
dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan atas penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal
yang ada di negara-negara Islam.

Di Saudi Arabia misalnya, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk menentukan waktu shalat bagi
penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu Su¶ud hingga
hari ini. [2]

AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH[3]


Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan jadwal-jadwal waktu shalat yang
telah ada. Mereka menuduh bahwa jadwal waktu shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu
sebenarnya sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk menyaksikan secara langsung terbitnya fajar,
sebagian orang mengambil pendapatnya dan sebagian yang lain eggan mengikutinya.
Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung. Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk
meninjau ulang, melihat dan meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu shalat
pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA). Setelah diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut
berkesimpulan dan memutuskan bahwa waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal
yang dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang salah. Dengan demikian
hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.

Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul
Aziz Alu Syaikh hafidzahullah selaku Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia sepeninggal Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai kepadanya berupa saksi-saksi yang
menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-
jadwal tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah apa yang dikuatkan oleh Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan
hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah (syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh Ahli Falak Dr Shalih bin
Muhammad Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]

WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ


Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya saat terbit fajar shodiq, dan tidak ada
perbedaan dalam hal ini. Oleh karena itu shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu diperhatikan
adalah bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar kadzib, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu µalaihi wa
sallam.

ϡ΍ ω ρϝ΍ Γ ϱϑϝΡ ϱϭ Γ ΃ ϝι
ϝ΍ Γϱϑϡ έΡΕέΝ ϑϭ Γ ΃ ϝι
ϝ΍ Γ ϱϑϝΡ Εϭ ϡ ΍ ωρϝ΍ Γϱϑϡ έΡϱέΝϑ ϥ΍ έ ΝϑέΝϑϝ΍

³Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain
(kadzib) haram shalat (subuh) dan halal makanan´ [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan dishahihkan
oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah 2/314]

PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB


Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua sebagai berikut :
1). Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua membentang dari utara ke selatan.
2). Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi, sedangkan cahaya fajar kedua terus
bertambah, tidak kembali gelap lagi
3). Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh kegelapan, sedangkan fajar kedua
bersambung dengan ufuk karena tidak ada kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti¶ 2/113 oleh Syaikh
Ibnu Utsaimin].

AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ


Bila kita cermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan beberapa kalangan ketika mendefinisikan
terbitnya fajar shodiq itu sendiri.
Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan terbit kecuali jika benar-benar tampak jelas
cahaya berwarna merah, yang diketahui semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah pendapat yang
dipegang oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat Subuh akhir-akhir ini.

Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa fajar shodiq dikatakan telah terbit
jika terlihat sinar putih (permulaan cahaya fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi tidak sampai
mempengaruhi (tidak merubah) keadaan langit (yang gelap) [8]

DEFENISI FAJAR SHODIQ


Dalam Al-Qur¶an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa jelasnya benang putih dengan benang hitam.
Allah Subhanahu wa Ta¶ala berfirman.

³Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar´ [Al-Baqarah 2 : 187]

Ibnu Faris rahimahullah berkata έΝϑϝ΍ (fajar) adalah terbelahnya kegelapan malam oleh (datangnya) Subuh (awal
siang).

Ibnu Mandur rahimahullah berkata : ³Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu sinar merahnya matahari di kegelapan
malam. Dan fajar itu ada dua macam : Pertama, Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib yang
biasa disebut Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar mustathir (menyebar). Ini
adalah fajar shodiq yang menyebar di ufuk, yang dengannya haram makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan
waktu subuh tidak dikatakan masuk kecuali dengan (terbitnya) fajar shodiq´

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : ³Firman Allah Subhanahu wa Ta¶ala έΝϑ
ϝ΍ ϥϡ sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta¶ala berfirman (terbit fajar) maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam
yang mana dia adalah sebagian dari fajar, bukan keseluruhan fajar´[9]

Imam Qurthubi rahimahullah berkata : ³Dinamai fajar (shodiq) itu benang, karena yang muncul berupa warna putih
terlihat memanjang seperti benang´ [10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ³Dinamai putihnya siang dengan nama benang putih dan
hitamnya malam dengan nama benang hitam, menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna
putih yang berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan samarnya, karena benang itu adalah tipis´ [Syarhul
Umdah, Kitab As-Shiyam : 1/530]

Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : ³Yang dimaksud ν


ϱΏ΃ ϝ΍ ρϱΥ ϝ ΍ adalah awal permulaan tampaknya fajar yang
membentang di ufuk seperti benang yang dibentang´ [Al-Kasysyaf : 1/339]
Abu As-Su¶ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : ³Dan hurup ϥϡ (dalam ayat έΝϑ
ϝ΍ ϥϡ ), juga boleh bermakna
ν
ϱω ΏΕϝ΍ (sebagian), karena sesungguhnya yang muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar (bukan
keseluruhannya)´ [Tafsir Abul Su¶ud : 1/318]

Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu µalaihi wa sallam

ί ϡ Ρ΃ ϝ΍ ϡϙϝ ϯι
ίΕω ϱ ϯΕΡ ΍ ϭ ΏέΙ ΍ ϭ ΍ ϭ΍ ϙϑ

³Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah´ [HR Abu Daud : 1/69-370, At-Tirmidzi : 705, Ibnu
Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm 231, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 2031].

Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; ³Makna merah di sini adalah warna putih yang menyebar masuk kepada
awal-awal warna merah (bukan benar-benar merah).

Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis kitab Aunul Ma¶bud mengatakan :
³Makna hadits µMakan dan minumlah sampai tampak kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya
siang dari hitamnya malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)´ [Aunul Ma¶bud : 6/339]

Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang dipakai untuk menyebutkan warna putih,
sebagaimana orang Arab biasa mengatakan seorang wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit merah. [An-
Nihayah 1/437]

Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : ³Kalau dikatakan mengapa gelapnya malam diserupakan dengan benang
hitam, padahal gelapnya meliputi alam (tidak mirip benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar itu diserupakan
dengan benang, karena dia memanjang terbentang di ufuk, sedangkan gelapnya malam (yang mendominasi ufuk)
tidak ada kemiripan (dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang hitam adalah (gelapnya) malam yang ada pada
posisi benang putih sebelum muncul pada tempat tersebut, (benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih
yang muncul setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.

Kemudian beliau menambahkan : ³Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (terbitnya) fajar putih yang membentang di
ufuk sebelum munculnya merah itulah yang mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah
waktu Subuh dimulai)´.

Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.

³Dari Shal bin Sa¶d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam sebelum turun ayat (akhirnya) έΝϑϝ΍ ϥϡ yaitu fajar´ dahulu orang-orang jika hendak berpuasa, di antara
mereka mengikat kakinya dengan benang putih dan benang hitam, lalu dia terus makan (sahur) sampai benar-benar
jelas melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah menurunkan έΝϑ
ϝ΍ ϥϡ yaitu fajar, lalu mereka tahu bahwa yang
dimaksud (benang putih dan hitam itu) adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang´ [HR al-Bukhari : 4241 dan
Muslim 1091]

Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya fajar harus benar-benar jelas cahaya
Subuh itu dengan sempurna, diketahui semua orang dan menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung, karena
dua benang putih dan hitam yang diletakkan berdekatan tidak akan jelas perbedaannya kecuali ketika langit sudah
sangat terang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu µalaihi wa sallam menyalahkannya, dan menerangkan bahwa yang
dimaksud bukan demikian, tetapi sekedar terbit fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan,
maka itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan dan minum´ [12]

Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu adalah menyebar dan meluas di langit,
cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat beliau.
Lihatlah awal ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau mengatakan : ³Para penafsir firman Allah berkata «.´
Dan Ibnu Jarir menutup dengan perkataan : ³Demikian para penafsir menyebutkan pendapat ini´. Dan sebagai bukti,
ternyata beliau berpendapat sebagaiaman jumhur berpendapat dengan mengatakan : ³(terbit fajar) maksudnya ketika
jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah sebagian dari fajar semisal benang putih,
bukan keseluruhan fajar´ [13]

TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA


Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah banyaknya penerangan buatan dan
berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini
semua mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis hanya seperti benang putih,
oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak
terlihat lagi warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar. Oleh karena itu juga gambar-
gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar
yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna putih ini semakin
menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh
kamera tetapi tidak tipis seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang
lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.

Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya terang yang menerangi jalan-jalan atau harus
terlihat warna merah di ufuk, maka ini adalah pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara bahasa, dan
makna ini kurang tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya fajar dengan terbitnya fajar secara sempurna (bukan
permulaannya). Hal ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur¶an yang menyerupakan fajar dengan benang putih bersama
adanya gelap malam yang lebih dominan.

Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu µalaihi wa
sallam pernah shalat Subuh ketika baru terbit fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara sempurna, sebagaimana
dalam haditsnya.
έ Νϑ
ϝ ΍ ϕέ Ώϥϱ Ρ έΝϑϝ΍ ϯϝ˰˰ι ϡ Ι

³Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar´ [HR At-Tirmidzi 1/149, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini Hasan
Shahih dalam Shahih wa Dha¶if Sunan At-Tirmidzi 1/149]

KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]


Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta haram makan dan minum bagi orang yang
berpuasa, adalah jika tampak permulaan terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya sinar
yang berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan ayat al-Qur¶an, yaitu masuknya waktu Subuh adalah
³Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar´ [Al-Baqarah 2 : 187]

Allah Subhanahu wa Ta¶ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan benang karena sama tipisnya dan
bentuknya yang kecil. Dan Allah Subhanahu wa Ta¶ala sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan benang
ini di ufuk, karena benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa pendek.

Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda fajar terbit walaupun sangat kecil selagi
dapat dilihat mata manusia. Dan bukanlah termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan langit, akan
tetapi fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam tetap mendominasi, fajar itu dikatakan terbit dengan
adanya cahaya sebatas benang di bawah ufuk tepat di atas bumi, dan sebelum menyebarnya cahaya Subuh.

Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat ketajamannya, maka tidak semua manusia
melihatnya. Yang dapat melihat adalah orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan ketika
langit menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya fajar shodiq itu tidak dapat dilihat oleh mata [15]

« bersambung

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah 1430/2009. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma¶had
Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma¶had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_________
Footnotes
[1]. Dinukil secara ringkas dari Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin
rahimahullah hlm.7-11
[2]. Lihat Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad
ash-Shubaihi hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara langsung kepada penulis, bahkan hamper di
setiap majelis ta¶lim saat itu mempertanyakan masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah Al-Furqon, al-
Ustadz Ahamad Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk membahasnya, karena permasalahannya semakin
dirasa rumit serta membuat banyak orang bingung dan ragu akan keabasahan shalat Subuh mereka. Akhirnya kami
putuskan untuk membahasnya demi kemaslahatan bersama. Kami sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-
Ustadz Abu Ubaidah hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam masalah ini. Dan kami
sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari kitab Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-
Lughoh, karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh Mufti Umum
Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah dan Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah.
Cetakan pertama tahun 1428H. Demikian juga kami tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah
satu kampong di kota Riyadh, Saudi Arabia. (Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-Lughoh
hlm.7)
[5]. Lihat Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu Abbas, Tholq bin Ali, Atho¶ bin Abi Robbah,
al-A¶masy, dan Masruq. (Lihat Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini adalah pendapat jumhur para ulama,
dikuatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobari, Ibnu Zaid, dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil
Qur¶an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur¶an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-
Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu¶ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur¶an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi¶
ala Zadil Mustaqni 2/94. Demikian juga Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus pengganti
Syaikh Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya, beliau menafikan terlihatnya fajar shodiq pada zaman
sekarang kecuali dengan penelitian yang mendalam. (informasi dari al-Akh Abdul Wahhab dari kota Unaizah, KSA)

Anda mungkin juga menyukai