Anda di halaman 1dari 3

Pasupati, Kau, dan Aku

Februari 15th, 2009 by dadun

“Coba lihat,” teriakanmu seketika memisahkan kepalaku dari lamunan yang tengah aku
ciptakan bersama jendela dan atap bangunan menjulang yang nyaris sejajar dengan tinggi
kita, “ bulannya sangat indah.”

Kuikuti arah telunjukmu, menatap sesuatu yang kau sebut indah itu. Jujur, aku lebih suka
bulan sabit, jauh lebih cantik.

“Kau bayangkan, seandainya malam benar-benar menelan alam dengan hitam…”

Oh, aku tahu sesuatu yang lebih pasti. Ialah suaramu yang hilang ditelan bebunyian
kendaraan yang berlalu-lalang di belakang kita. Bagaimanapun, kita tidak sedang berada
di kafe temaram atau longue yang sangat nyaman. Kau tahu, aku sempat frustrasi saat
pertama kali kau mengajakku ke tempat ini. Dalam mimpi sekalipun, aku tak pernah
berani memikirkan diriku duduk pada pembatas sisi jalan layang sambil berbincang
dengan seseorang atau hanya sekadar menikmati malam. Terlalu berbahaya untukku.

“Kebisingan dan sedikit ketegangan di sini akan memberimu kedamaian dalam bentuk
lain,” meski kutahu kau hanya berusaha mengatasi ketakutanku waktu itu, “percayalah.”
Ya, aku percaya, bersamamu segalanya akan baik-baik saja.

Rasa percaya diriku kian bertambah ketika kulihat sepasang sejoli duduk mesra di atas
sepeda motor yang ditepikan beberapa meter dari keberadaan kita, bahkan juga beberapa
meter dari keberadaan mereka. Tiba-tiba aku teringat perkataan temanku tentang jalan
layang yang menghubungkan Pasteur – Surapati ini.

“Di sini tempat orang pacaran kan?” pertanyaanku terdengar sangat norak di telingaku
sendiri.

“Apa?” kau berteriak sambil mencondongkan telingamu ke mulutku.

Oh, terima kasih, Makhluk-makhluk beroda yang mendesau bising. Lain kali aku akan
berusaha lebih baik lagi dalam membuat pertanyaan. Dan aku perlu sedikit penyesuaian
teknik vokal untuk dapat memproduksi suara yang baik saat berbincang—tepatnya
berteriak.

Tetapi, ada saatnya kita tidak harus berteriak. Kau memberitahu, “Pertama, ketika jalanan
lengang; kedua, ketika jalanan ramai dan kita hanya perlu berbicara tanpa ingin didengar
siapa pun namun tetap mendambakan keberadaan seseorang di samping kita.” Terima
kasih, kau berhasil membuatku bingung untuk yang kedua itu.
“Ayolah, kau pasti lelah menulis diary, dan merasa semakin gila setiap berbicara dengan
dirimu sendiri di depan cermin,” paparmu sebelum akhirnya kau mendemonstrasikan
metode yang lebih baik dari kedua hal itu.

Kau menoleh, memastikan sekelompok kendaraan lewat secara bersamaan. Kemudian


kau berkata-kata seolah aku mendengarnya. Aku hanya memandangi wajah dan gerakan
bibirmu yang ajaibnya berbunyi WHUZZZ, BRMMM, NGEEENG, TIDIIID atau bahkan
BLAR!!!

“Ah, lega,” ucapmu setelah selesai. Aku mulai paham, lalu berkesimpulan: inti dari
metode yang kau maksudkan adalah mengungkapkan sesuatu yang kau anggap sangat
pribadi dan rahasia kepada seseorang tanpa perlu kehilangan arti kerahasiaannya.
Menarik. Hei, ternyata tidak semua pasangan yang datang ke tempat ini hanya untuk
berpacaran.

“Sekarang giliranmu,” kau menantangku.

Aku? Ah, orang bodoh sepertiku bukanlah penganut spontanisme yang baik. Pada
malam-malam berikutnya, aku baru menemukan banyak materi rahasia yang selama ini
hanya bergaung double stereo di ruang kedap suara dalam dadaku saja. Dari mulai
masalah perceraian kedua orang tuaku, adikku yang menderita syndroma down,
pengalaman seksual pertamaku yang mengerikan, kebohongan kecil dan besar yang
pernah kubuat, hal-hal paling konyol dan memalukan yang pernah kulakukan, hingga
penyakit-penyakit menjijikan yang sempat menyerang daerah paling sensitif di tubuhku.
Wow, tak kusangka aku se-ekstrovert itu.

“Kau tahu, hanya ketika bersamamu aku merasa menjadi seseorang yang berbeda dalam
versi aku yang sebenarnya. Maksudku, kaulah yang membantuku menemukan sisi yang
lebih aku dari diriku sendiri.”

Pada malam kesekian itu, kau menatapku dengan ekspresi sedikit bingung saat
mendengar sepenggal pengakuanku. Volume suaraku mengecil karena bising kendaraan
kembali hadir.

“Biasanya, ketika kita jatuh cinta, kita jusrtru merasa gamang dengan diri kita sendiri,”
dan suaraku benar-benar menghilang ketika kukatakan, “tetapi, jatuh cinta padamu sangat
berbeda; begitu sederhana namun istimewa.”

Sekali lagi aku berterima kasih pada makhluk beroda di belakang kita. Betapapun aku
belum siap dengan reaksimu ketika mengetahui perasaanku yang sebenarnya.

Dari sekian keuntungan yang kudapatkan, ada masanya di mana aku merasa dirugikan
bising kendaraan itu. Ialah ketika aku ingin benar-benar mendengar apa yang tengah kau
ucapkan. Siapa tahu kita memendam perasaan yang sama, mengucapkan kata-kata yang
bermakna serupa: aku jatuh cinta padamu.
Kau tahu, aku selalu mendamba kemampuan infrasonic setiap kau berbicara tanpa suara.
Menatap wajahmu dan membaca gerak bibirmu hanya hiburan pengganti atas
keingintahuanku akan banyak hal tentang dirimu. Dan kurasa, mengetahui hobi, makanan
dan musik favoritmu, juga hal-hal yang tidak kausukai, sudah lebih dari cukup untuk
status kita yang tak lebih dari sepasang kenalan yang dipertemukan sebuah situs
pertemanan. Kau pernah bilang, “aku tidak suka diselidiki”. Baiklah, kuikuti
permainanmu. Dan lama-lama aku justru melupakan keinginan itu karena ternyata
menatap wajahmu dan membaca gerak bibirmu jauh lebih menyenangkan.

Dan malam ini, aku terbuai dengan ekspresi riang wajahmu dan gerakan mulutmu yang
berkali-kali membentuk kata “bulan”. Seluruh potensi inderaku selalu tertuju penuh
padamu tatkala itu. Sesekali kau menatapku, lalu kembali menatap langit dalam waktu
yang lebih lama. Sejauh ini aku berhasil berpura-pura tidak sedang memandangimu
hingga, “… bagaimana menurutmu?”

Serta-merta kau alihkan pandanganmu secara tak terduga, menangkap-basah aku yang
tengah khusyuk memandangimu. Mata kita saling memerangkap. Dan ada mesiu tak
nampak yang menembus ke dalam jantungku. Aku beku dan nyaris tak berdetak lagi jika
napasmu tak lekas kau tiupkan lewat kecupan yang hangat dan dalam.

Oh, aku meledak dalam rasa canggung sekaligus senang yang luar biasa. Persetan dengan
apa pun. Persetan dengan siapa pun. Malam ini menjadi milik kita berdua. Sayup
kudengar bunyi klakson, desau mesin kendaraan, dan decit ban di belakang, lalu
menghilang seiring deru napas kita yang saling memburu kencang. Dinginnya angin
malam yang menusuk berhasil kau halau. Kita tidak hanya sekadar berada pada
ketinggian yang liar, melainkan benar-benar MELAYANG. Baru saja aku tahu
jawabannya. Semoga aku tidak salah.

“Kau tahu, ini ciuman terindah dalam hidupku.” Aku tak percaya telah mengucapkannya
dan kau benar-benar mendengarnya.

Tersipu, aku membalik tubuhku dan turun ke jalan menuju sepeda motormu, kemudian
menutup wajahku dengan helm full-face milikmu. Aku sungguh merah. Oh, mimpi apa
aku kemarin malam. Dan semoga malam ini aku tidak sedang bermimpi lagi.

***

Sejujurnya aku tak ingin perjalanan kita berakhir. Aku masih ingin duduk menatap langit
di pembatas jalan layang—jembatan Pasupati. Aku masih ingin memeluk punggungmu
dan menemanimu menyelinap di antara celah kendaraan di depan kita. Aku masih ingin
merasakan ketegangan yang luar biasa saat sepeda motormu meluncur gila pada
permukaan aspal yang dingin. Aku masih ingin bersamamu tanpa batas waktu.

Anda mungkin juga menyukai