Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dunia berkembang begitu pesatnya. Segala sesuatu yang semula tidak bisa dikerjakan,
mendadak dikejutkan oleh orang lain yang bisa mengerjakan hal tersebut. Agar kita tidak tertinggal
dan tidak ditinggalkan oleh era yang berubah cepat, maka kita sadar bahwa pendidikan itu sangat
penting.
Banyak negara yang mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan yang
pelik. Namun semuanya merasakan bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas negara yang
amat penting. Bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan
masyarakat dan dunia tentu mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci keberhasilan suatu
bangsa.
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti
yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di masyarakat bangsa
ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang
sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kekacauan ini.
Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar.
Pembelajaran yang mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai karakteristiknya.
Hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar yang demokratis adalah reallness. Sadar
bahwa anak memiliki kekuatan disamping kelemahan, memiliki keberanian di samping rasa takut
dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa gembira .READ MORE
Realness bukan hanya harus dimiliki oleh anak, tetapi juga orang yang terlibat dalam proses
pembelajaran. Lingkungan belajar yang bebas dan didasari oleh realness dari semua pihak yang
telibat dalam proses pembelajaran akan dapat menumbuhkan sikap dan persepsi yang positif
terhadap belajar.
Bagi para guru, salah satu pertanyaan yang paling penting tentang belajar adalah : Kondisi
seperti apa yang paling efektif untuk menciptakan perubahan yang diinginkan dalam tingkah laku?
Atau dengan kata lain, bagaimana bisa apa yang kita ketahui tentang belajar diterapkan dalam
instruksi? Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihat pada penjelasan-
penjelasan psikologis tentang belajar.
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan
manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga
tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup
bersama antarmanusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam
kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu
dibarengi dengan proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan,
interaksi dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja maupun tidak
disengaja.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketidak terbatasannya akal dan keinginan manusia,
untuk itu perlu difahami secara benar mengenai pengertian proses dan interaksi belajar. Belajar dan
mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar
diartikan sebagai suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh.
Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mangarahkan
kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap
yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk
belajar antara lain sebagai berikut:
1. adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
2. adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
3. adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman;
4. adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan
koperasi maupun dengan kompetensi;
5. adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman;
6. adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar. (Frandsen, 1961, p. 216).
Secara luas teori belajar selalu dikaitkan dengan ruang lingkup bidang psikologi atau
bagaimanapun juga membicarakan masalah belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat
diartikan bahwa ada beberapa ranah yang harus mendapat perhatian. anah-ranah itu ialah ranah
kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Akan tetapi manusia sebagai makhluk yang berpikir,
berbeda dengan binatang. Binatang adalah juga makhluk yang dapat diberi pelajaran, tetapi tidak
menggunakan pikiran dan akal budi. Ivan Petrovich Pavlov, ahli psikologi Rusia berpengalaman
dalam melakukan serangkaian percobaan. Dalam percobaan itu ia melatih anjingnya untuk
mengeluarkan air liur karena stimulus yang dikaitkan dengan makanan. Proses belajar ini terdiri
atas pembentukan asosiasi (pembentukan hubungan antara gagasan, ingatan atau kegiatan
pancaindra) dengan makanan. Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut Pavlov terdiri
atas pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons refleksif.
Dasar penemuan Pavlov tersebut, menurut J.B. Watson diberi istilah behaviorisme. Watson
berpendapat bahwa perilaku manusia harus dipelajari secara objektif. la menolak gagasan
mentalistik yang bertalian dengan bawaan dan naluri. Watson menggunakan teori classical
conditioning untuk semuanya yang bertalian dengan pembelajaran. Pada umumnya ahli psikologi
mendukung proses mekanistik. Maksudnya kejadian lingkungan secara otomatis akan
menghasilkan tanggapan. Proses pembelajaran itu bergerak dengan pandangan secara menyeluruh
dari situasi menuju segmen (satuan bahasa yang diabstraksikan dari kesatuan wicara atau teks)
bahasa tertentu. Materi yang disajikan mirip dengan metode dengar ucap.
B.Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian teori belajar humanisme?
2. Apakah pengertian teori belajar Behaviorime?
3. Bagaimanakah penerapan kedua teori belajar tersebut?
4. Siapa saja tokoh-tokoh teori belajar?
5. Bagaimana implikasi teori-teori belajar tersebut?
C.Tujuan dan Manfaat penyusunan makalah
1. Agar kita memahamai tentang berbagai macam teori belajar
2. Untuk mengetahui bagaimana cara menerapkan teori-teori belajar dala pendidikan
3. Mendeskripsikan implikasi teori belajar
4. Mengkaji implikasi teori belajar
Adapun penyusunan makalah ini bermanfaat secara:
a. Teoretis, untuk mengkaji ilmu pendidikan khususnya dalam memahami implikasi pendidikan,
pembelajaran, pengajaran, prinsip-prinsip pembelajaran, dan perkembangan teori pembelajaran.
b. Praktis, bermanfaat bagi:
(1) para pendidik agar pendidik tidak salah persepsi tentang pendidikan, pembelajaran, dan
pengajaran, serta dapat menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran dan teori pembelajaran yang
sesungguhnya,
(2) mahasiswa agar memahami tentang pengertian, prinsip, dan perkembangan teori
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Teori Belajar
1. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu.
Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan
aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan,
bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum
behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme
tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional;
behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor
lingkungan.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang
individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin”
(Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil,
bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat
bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil
belajar.
1. Teori Humanistik
Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia
pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu pengertian yang
disepakati mengenai kata humanistik dala pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik
Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan
bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe
pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum
dalam psikologi humanistik.
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham
Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang
terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat
pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau
“sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian
setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk
melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi
manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya
pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat
dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat
dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami
perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya
adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang beraliran
humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk
meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi,
merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang
luas mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan
bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih baik?
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa
pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat
emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan
pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang
nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling
beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah satu potensi
terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari
pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang
menitikberatkan kognisi.
1. Tokoh-Tokoh Teori Belajar
1. Teori Behaviorisme
Beberapa tokoh besar dalam aliran behaviorisme antara lain adalah :
a. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia mengemukakan
bahwa dengan menerapkan strategi ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus
alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan,
sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar
dirinya.
Pavlov mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing
di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan
tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari
menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang
makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat
untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar
dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan
yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam
belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah
belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.
b. Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Thorndike menggambarkan proses belajar sebagai
proses pemecahan masalah. Dalam penyelidikannya tentang proses belajar, pelajar harus diberi
persoalan, dalam hal ini Thorndike melakukan eksperimen dengan sebuah puzzlebox.
Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang
apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan
tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu :
adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, ada eliminasai terhadap
berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Atas dasar percobaan di atas, Thorndike menemukan hukum-hukum belajar :
1. Hukum kesiapan (Law of Readiness)
Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus
maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi
cenderung diperkuat.
2. Hukum latihan
Hukum latihan akan menyebabkan makin kuat atau makin lemah hubungan S-R.
Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat.
Hukum ini sebenarnya tercermin dalam perkataan repetioest mater studiorum atau practice
makes perfect.
3. Hukum akibat ( Efek )
Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan
cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Rumusan tingkat hukum akibat adalah,
bahwa suatu tindakan yang disertai hasil menyenangkan cenderung untuk dipertahankan dan
pada waktu lain akan diulangi. Jadi hokum akibat menunjukkan bagaimana pengaruh hasil
suatu tindakan bagi perbuatan serupa.
c. Skinner (1904-1990)
Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar.
Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku. Pada
teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin.
Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses
penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali
atau menghilang sesuai keinginan.
Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka
guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran
dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang
diinginkan.
Prinsip belajar Skinners adalah :
• Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar
diberi penguat.
• Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan
sebagai sistem modul.
• Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan
hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
• Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
• dalam pembelajaran digunakan shapping
1. Teori Humanistik
a. Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian
pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan.
Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang
tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau
sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya
tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain
hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia
persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha
merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang
dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi
bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana
mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah
bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran
(besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari
persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu
dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang
mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
b. Abraham Maslow
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan
takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan,
takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga
memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya
semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia
dapat menerima diri sendiri(self).
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya
bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya
yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki
Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang
paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun
hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut:
• Kebutuhan fisiologis / dasar
• Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
• Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
• Kebutuhan untuk dihargai
• Kebutuhan untuk aktualisasi diri
c. Carl Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan di Oak Park, Illinois, pada tahun 1902 dan wafat di
LaJolla, California, pada tahun 1987. Semasa mudanya, Rogers tidak memiliki banyak teman
sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Dia membaca buku apa saja
yang ditemuinya termasuk kamus dan ensiklopedi, meskipun ia sebenarnya sangat menyukai
buku-buku petualangan. Ia pernah belajar di bidang agrikultural dan sejarah di University of
Wisconsin. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master di bidang psikologi dari Columbia
University dan kemudian memperoleh gelar Ph.D di dibidang psikologi klinis pada tahun 1931.
Pada tahun 1931, Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for the
prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan
kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu
anak-anak bermasalah/nakal dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939,
ia menerbitkan satu tulisan berjudul “The Clinical Treatment of the Problem Child”, yang
membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio State
University. Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai ketua dari American Psychological
Society.
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap
saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu individu
mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya
memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing
klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat
para terapist bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
• Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar
tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
• Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran
berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
• Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai
bagian yang bermakna bagi siswa.
• Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah :
• Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
• Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi
dengan maksud-maksud sendiri.
• Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
• Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
• Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara
yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
• Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
• Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab
terhadap proses belajar itu.
• Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek,
merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
• Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika
siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain
merupakan cara kedua yang penting.
• Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai
proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya
ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
1. Aplikasi Teori Belajar
Perkembangan teori belajar cukup pesat. Berikut ini adalah teori belajar dan aplikasinya
dalam kegiatan pembelajaran.
1. Teori Behaviorisme
Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang konkret atau yang non
konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Aplikasi teori belajar
behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran,
sifat meteri pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Aplikasi teori belajar behaviorisme menurut tokoh-tokoh antara lain :
a. Aplikasi Teori Pavlov
Contohnya yaitu pada awal tatap muka antara guru dan murid dalam kegiatan belajar
mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang ramah dan memberi pujian terhadap
murid-muridnya, sehingga para murid merasa terkesan dengan sikap yang ditunjukkan
gurunya.
b. Aplikasi Teori Thorndike
• Sebelum guru dalam kelas mulai mengajar, maka anak-anak disiapkan mentalnya terlebih
dahulu. Misalnya anak disuruh duduk yang rapi, tenang dan sebagainya.
• Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau sistem drill.
• Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah, pujian, bahkan bila perlu hukuman sehingga
memberikan motivasi proses belajar mengajar.
c. Aplikasi Teori Skinner
Guru mengembalikan dan mendiskusikan pekerjaan siswa yang telah diperiksa dan
dinilai sesegera mungkin.
1. Aplikasi Teori Humanistik
Belajar adalah menekankan pentingnya isi dari proses belajar bersifat eklektik,
tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori
humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berpikir induktif,
mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara
berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatny masing-masing di depan kelas.
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap
materi yang diajarkan.Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan
pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani,
perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini
adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Guru yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil,
menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar.Ruang
kelads lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak
efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah ,mudah menjadi tidak sabar ,suka
melukai perasaan siswa dengan komentsr ysng menyakitkan,bertindak agak otoriter, dan kurang
peka terhadap perubahan yang ada.
1. Perbandingan Teori Behaviorisme dengan Teori Humanisme
Beberapa perbandingan antara teori behaviorisme dengan teori humanistik yaitu :
a. Teori behaviorisme
Teori :proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulis dan respon.
Tujuan :adanya perubahan tingkah laku pada peserta didik.
Metode :dibagi dalam bagian-bagian kecil sampai kompleks. Pengulangan dan latihan digunakan
supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.berorientasi pada hasil
yang dicapai, tidak menggunakan hukuman.
Kekurangan :
• sentral,bersikap otoriter,komunikadi satu arah.
• Guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari siswa.
• Pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengarihi oleh penguatan yang diberikan oleh
guru,mendengarkan dan menghafal.
Penerapan :pada mata pelajaran yang membutuhkan praktek dan pembicaraan yang mengandung
unsur-unsur kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleks, daya tahan, dan sebagainya.
Misal dalam: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, olagraga,dll.
Guru :guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-
contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi
Murid :melakukan sendiri apa yang menjadi instruksi dan melakukannya berulang-ulang sampai
hasilnya baik.
Evaluasi :didasarkan pada perilaku yang dicapai sebagai hasil dari latihan yang dilakukan.
b. Teori humanistik
Teori :belajar untuk memenusiakan manusia.
Tujuan :menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode
yang diterapkan.
Metode :mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas ,jujur ,
dan positif.
Kekurangan :terlalu memberi kebebasan pada siswa.
Penerapan :materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan.
Guru :memberi motivasi,kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
Siswa :pelaku utama (student center) yang memaknai poses pengalaman belajar sendiri
Evaluasi :diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.
BAB III
PENUTUP
A.Simpulan
Teori belajar humanisme dan behaviorisme memiliki ciri khas masing-masing . Teori belajar
humanisme berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang perilakunya bukan sudut
pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah mambantu siswa untuk
mengembangkan dirinya yaitu membantu masing- masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia yang unik & membantu dalam mewujudkan potensi- potensi yang ada
pada diri mereka.Sedangkan teori belajar behavioristik merupakan proses perubahan tingkah laku
sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan siswa
mempunyai pengalaman baru. Aplikasinya dalam pembelajaran adalah bahwa guru memiliki
kemampuan dalam mengelola hubungan stimulus respons dalam situasi pembelajaran sehingga
hasil belajar siswa dapat optimal.
Manfaat dari beberapa teori belajar adalah :
1. Membantu guru untuk memahami bagaimana siswa belajar,
2. Membimbing guru untuk merancang dan merencanakan proses pembelajaran,
3. Memandu guru untuk mengelola kelas,
4. Membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar
siswa
5. yang telah dicapai,
6. Membantu proses belajar lebih efektif, efisien dan produktif,
7. Membantu guru dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada siswa sehingga dapat
8. mencapai hasil prestasi yang maksimal.
Implikasi perkembangan teori pembelajaran sekarang sangatlah beragam. Guru dapat
menerapkan menurut aliran-aliran teori tertentu. Seperti teori behavioristik dalam pembelajaran
guru memperhatikan tujuan belajar, karakteristik siswa, dan sebagainya.
B.Saran
Pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran hendaknya dipahami oleh para
pendidik dan diterapkan dalam dunia pendidikan dengan benar, sehingga tujuan pendidikan akan
benar-benar dapat dicapai. Dengan memahami berbagai teori belajar, prinsip-prinsip pembelajaran
dan pengajaran, pendidikan yang berkembang di bangsa kita niscaya akan menghasilkan out put-
out put yang berkualitas yang mampu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
• Budiningsih, Asri C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
• Darsono, Max. 2001. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
• http://www.freewebs.com/hijrahsaputra/catatan/TEORI%20BELAJAR%20DAN
%20PEMBELAJARAN.htm
• http://rohman-makalah.blogspot.com/2008/07/teori-belajar-akhmad-sudrajat-m.html
• Rumahbelajar psikologi.com
• Hall, Calvin S., & Lindzey, Gardner (2000), Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis),
Dr. A. Supratiknya (ed.), Jogjakarta :Kanisius .
• Novina.wordpress.com
• http://Alkohol7.wordpress.com
• http://Ahmadsudrajat.wordpress.com
• http://www.adrianusmeliala.com/files/kuliah
• Blogs.unpad.ac.id/aderusliana
• www.Fakultasluarkampus.net
• http://Neozonk.blogspot.com
• www.uny.ac.id/akademik/share file
• silabus.upi.edu
• trimanjuniarso.wordpress.com

Secara awan, guru disebut sebagai seseorang yang menguasai sebuah bidang ilmu pengetahuan dan
berkewajiban mentransfer ilmu pengetahuan tersebut. Seorang guru adalah sesosok dengan kepribadian
yang lembut, angun, santun, sopan, dan jujur (dan mungkin masih banyak lagi sifat baik lainnya).
Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada
anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja budaya (cultural workers). Guru
harus mempunyai kesadaran penuh bahwasanya pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus,
yakni sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni
dan sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk
mereproduksi status quo.
Sumber daya pendidik, guru, menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan. Di Indonesia, guru seakan-
akan menjadi satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik. Melihat kebutuhan semacam itu, guru
harus menjadi sesosok yang mumpuni dalam menjalankan segala fungsinya. Guru tidak saja berijazah
S1 ataupun D2 atau S2. Peserta didik tidak membutuhkan selembar kertas yang menyatakan guru
mereka telah lulusan dari pendidikan sarjana ataupun lainnya. Guru harus melaksanakan pendidikan
yang sempurna melalui pengajaran-pengajaran yang telah direncanakan. Bagaimana pendidikan yang
seharusnya dilaksanakan oleh seorang guru melalui sebuah pemembelajaran?
Menurut pengertian Yunani pendidikan adalah “Pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa
Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan untuk
merealisasikan potensi anak. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan
educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam
bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan,
mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
Berdasar pada istilah tersebut, guru dalam mengajar di dalam maupun di lura kelas harus memegang
teguh konsep dasar dari pendidikan tesebut karena mengajar adalah manifes nyata dari pendidikan.
Guru secara profesional melaksanakan kegiatan pengajaran. Guru harus menciptakan sebuah suasana
pembelajaran yang mampu membawa peserta didik mereka menjadi pribadi yang optimal dan bukan
memberikan pembelajaran yang membelenggu yang hanya transfer pengetahuan dari guru ke peserta
didik.
Kenyataan bahwa masih banyak guru di Indonesia yang tidak memiliki dasar yang kuat akan konsep
dasar dari pendidikan sehingga pola mengajar dari guru-guru tersebut terkesan hanya asal-asalan tidak
dapat dipungkiri lagi. Guru hanya mengejar setoran nilai ke kepala sekolah dan dinas. Hal tersebut
disebabkan karena paradigma yang salah di masyarakat Indonesia yakni keberhasilan peserta didik
hanya dilihat hanya dari potensi akademik. Kondisi tersebut membawa keadaan dimana guru hanya
menerapkan pembelajaran searah, pembelajaran yang memberlakukan guru sebagai subjek dan peserta
didik sebagai objek. Interaksi dalam proses pembelajaran adalah interaksi atasan dan bawahan.
Tidak sedikit guru di Indonesia hanya peduli untuk memasukkan pengetahuan ke peserta didik dengan
alasan mengejar nilai semata. Dengan pembelajaran yang monoton yakni ceramah dilanjutkan mencatat
kemudian drill soal dan akhirnya latihan-latihan soal mendorong peserta didik menjadi sesosok yang
pandai menghapal sesaat.
Banyak permasalahan yang menjadikan sesosok guru menjadi mesin nilai bagi sekolah, dinas, dan
negara. Guru di Idonesia tidak menjadikan pekerjaan guru sebagai sebuah profesi yang dengan penuh
iklas dijalani segala resiko dan kendalanya. Mereka memilih profesi guru sebagai sebuah profesi yang
aman dan nyaman. Kebanyakan guru di Indonesia lebih “playing save”. Dengan menjadi guru, mereka
akan dapat tunjangan hari tua (pensiun). Dengan menjadi guru, mereka dapat melakukan pekerjaan lain
karena waktu mengajar sedikit. Alasan-alasan tersebut menjadi dasar mengapa profesionalisme guru
kadangkala dan bahkan jarang ada dalam diri seorang guru. Setelah keluar dari lingkup sekolah, guru
tidak lagi berfikir bagimana perkembangan peserta didik mereka? Pendidikan hanya berhenti di dalam
sekolah dan bahkan kelas.
Berangkat dari paradigma yang salah mengenai nilai, guru hanya menyampaikan, tidak ada proses
dialog dalam pembelajaran. Sering kali, terjadi pembunuhan karakter terlebih pada pengajaran di
tingkat dasar. Kurangnya pemahaman akan hakikat anak menjadikan sebagian guru di Indonesia
membelenggu peserta didik untuk dapat mengembangkan segala potensi yang ada. Guru tidak memiliki
kesadaran bahwa semua anak yang terlahir di dunia memiliki karakteristik yang berbeda sekalipun
kembar siam. Hasilnya adalah pembelajaran yang menyeragamkan tanpa kecuali. Peserta didik lebih
diarahkan untuk memenuhi sejumlah target kurikulum.
Sebagiamana Freire menyatakan di dalam buku L’educazione come practica della libeazione (1969),
dia menawarkan model pendidikan yang lebih dialogal, yaitu guru dan murid saling mendidik.
Keduanya tidak terpaku pada buku teks, yang sudah disusun begitu tematis mengikuti
kurikulum.Sebaliknya, mereka lebih diarahkan untuk mengembangkan daya nalar dan rasa serta
kemampuan kreatif karsa dalam situasi apapun. Sudah saatnya, guru-guru di Indonesia memegang
prinsip-prinsip tersebut. Guru juga tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan
yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk
aspek manusiawinya. Pendidikan kebudayaan mengajarkan bagaiman menghubungkan pengetahuan
dengan lingkungan sekitar.
Guru Indoensia sebagian besar tidak memiliki visi yang jelas akan dibawa kemana peserta didik
mereka. Visi guru telah dibuyarkan dengan nilai ekonomis dan prestise untuk mencapai hegomoni
sesaat karena telah membawa peserta didiknya meraih nilai tertinggi. Bagaimana mungkin membentuk
karakter peserta didik jika karakter sang guru pun tidak kuat? Guru tidak memiliki visi yang jelas
kemana peserta didik meraka akan dibawa.
Satu prinsip penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan
pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru
dapat memberikan kemudahan dalam proses ini dengan memberikan kesempatan siswa untuk
menentukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa, anak tangga yang membawa siswa ke
pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak tangga tersebut.
Pada dasarnya pendidikan yang membebaskan adalah situasi dimana guru dan siswa sama-sama
memiliki perbedaan. Kenyataan yang ada di Indonesia, guru tidak memandang adanya perbedaan
diantara paeserta didik.
Seorang guru harus memiliki konsep yang kuat akan tujuan pendidikan sehingga dalam melaksanakan
tugasnya guru tersebut selalu melihat apakah mereka on the right track. Setiap saat, mereka harus
senantiasa melakukan self evaluation terhadap setiap langkah dalam pembelajaran yang mereka
jalankan. Karakter guru yang kuat harus terbangun terlebih dahulu sebelum seseorang memasuki dunia
guru. Dengan demikian, dalam menjalankan tugas, beliau akan selalu melihat landasan ontologi
memasuki dunia pendidikan. Tidak ada lagi sifat menyalahkan peserta didik ketika terjadi kegagalan
output pendidikan namun evaluasi diri lebih menjadi dasar untuk menuju perbaikan.
Pertanyaan yang (seharusnya) selalu hadir dalam seorang diri guru adalah akan dibawa kemana peserta
didik ini? Bagaimana membawanya? Kedua pertanyaan itu menjadi dasar seorang guru untuk
melangkah dalam proses pembelajaran.
Bagaimana membawanya? Pertanyaan tersebut terkait dengan metode yang akan dipakai dalam proses
pembelajaran. Bagaimana seorang guru menerapkan pembelajaran yang akan membentuk peserta didik
pada pribadi yang optimal? Guru harus memiliki teknik-teknik penyampaian pengetahuan yang tidak
membelenggu. Tidak hanya itu, guru harus juga memiliki metode-metode dalam memperlakukan
peserta didik secara berbeda mengingat peserta didik adalah pribadi yang berbeda sehingga setiap
pribadi dipertajam pisau analisisnya, diasah nuraninya, dan dikuatkan kehendaknya, agar dalam
konteks apapun mereka sanggup mengambil keputusan yang tepat. Namun, seseorang yang menguasai
ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun mengajar
adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of
teaching), selama ia tidak punya sesuatu

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM


PEMBELAJARAN
A. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
(Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa
reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi
antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru
(stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila
respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2)
Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management;
(5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie,
dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik.

a.1 Teori Belajar Menurut Thorndike


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa
yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku
akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang
tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak
dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike
ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan
(Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat
respon.
a.2 Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus
dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia
menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-
ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu
sejauh mana dapat diamati dan diukur.
a.3 Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti
halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme
tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan
dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-
macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi
biologis (Bell, Gredler, 1991).

a.4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie


Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama
(Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan
mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar
hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon
yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan
belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon
bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa
harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh
memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
a.5 Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar
stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya
perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus
memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang
mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut.
Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang
digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
B. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana
reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik
yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang
komplek (Paul, 1997)
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori
yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons
serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang
menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang
kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang
dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun
mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa
dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat
diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif
dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping,
yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk
tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi
proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat
negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa
alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila
hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia
terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal
lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama
dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus)
agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka
hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan
kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif
adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon.
Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar
memperkuat respons.
D. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang
tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan
hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini
hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada
penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-
Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku
dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge)ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah
untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan
kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran
yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau
dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang
gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya
sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang
mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan
terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan
dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau
peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus
dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan
pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper
and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab
secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan
tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran,
dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada
kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).

Anda mungkin juga menyukai