Social Prejudice
Social Prejudice
Prasangka sosial (social prejudice) merupakan gejala psikologi sosial. Prasangla sosial ini
merupakan masalah yang penting dibahas di dalam intergroup relation. Prasangka sosial atau
juga prasangka kelompok yaitu suatu prasangka yang diperlihatkan anggota-anggota suatu
kelompok terhadap kelompok-kelompok lain termasuk di dalamnya para anggotanya.
Prasangka sosial adalah sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu yang hanya didasarkan
pada keanggotaan mereka dalam kelompok itu.
Prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai positif atau negative tetapi dugaan
itu lebih bersifat negative.
Prasangka adalah mempunyai ciri khas pertentangan antara kelompok yang ditandai oleh
kuatnya ingroup dan outgroup.
Prasangka sosial adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma
mereka yang pasti kepada kelompok lain beserta anggotanya.
Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut mempunyai kecenderungan bahwa prasangka sosial
adalah suatu sikap negatif yang diperlihatkan oleh individu atau kelompok terhadap individu lain
atau kelompok lain.
Prasangka sosial berhubungan dengan deskriminasi karena definisi prasangka sosial sendiri
cenderung mengarah ke hal negatif dalam suatu kelompok. Menurut Sears,dkk (1991) bahwa
deskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang berdasarkan (atau setidaknya
dipengaruhi oleh) keanggotaan kelompoknya. Deskriminasi dapat diwujudkan dalam bentuk
perlakuan yang berbeda yang didasarkan pada kelompok. Dapat juga dilakukan dengan perilaku
menyerang atau menyakiti anggota kelompok lain.
Sebuah contoh mengenai prasangka sosial adaalh attitude orang Jerman terhadap keturunan
Yahudi di negaranya sejak akhir abad ke-19 dan mencapai puncaknya pada masa Jerman-Hitler
dengan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memberantas keturunan Yahudi di sana.
Misalnya, di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat masih terdapat gejala antisemitisme
atau anti-Yahudi walaupun tindakan-tindakan diskriminatifnya tidak sekejam yang terjadi di
Jerman pada masa Hitler. Lebih nyata bahwa di Ameriaka Serikat terdapat prasangka sosial
terhadap golongan Negro, terutama di bagian selatan. Hal itu merupakan pokok perjuangan
utama kaum Negro dan bukan Negro yang telah sadar untuk menghilangkannya. Akan tetapi di
Indonesia, pernah terjadi cetusan-cetusan tidak wajar yang merupakan tindakan diskriminatif
terhadap golongan ketirunan Cina, seperti peristiwa Malari di Bandung tahun 1974.
1.1.Stereotip
Adanya prasangka sosial bergandengan pula dengan stereotip yang merupakan gambaran atau
tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak
negatif. Stereotip megenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia
mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenai
prasangka tersebut . Biasanya, stereotip terbentuk padanya berdasarkan keterangan-keterangan
yang kurang lengkap dan subjektif. Gambaran stereotip tidak mudah berubah serta cenderung
untuk dipertahankan oleh orang berprasangka. Meskipun demikian stereotip dan prasangka sosial
dapat berubah dengan usaha-usaha intensif secara langsung karena perubahan masyarakat secara
umumnya, misalnya karena peperangan atau revolusi.
Etnosentrisme merupakan manifestasi dari perasaan superior kelompok tersebut. Pemisahan ini
akan menyebabkan timbulnya favoritisme terhadap kelompok sendiri dan diskriminasi terhadap
kelompok luar. Adanya pengelompokan tersebut membuat anggota kelompok lebih banyak
berkomunikasi dengan anggota kelompok sendiri dan kurang sekali berkomunikasi dengan
anggota kelompok luar. Kurangnya komunikasi dengan kelompok luar akan menimbulkan
kesalahpahaman terhadap kelompok luar. Bentuk kesalahpahaman tersebut adalah hadirnya
stereotip dan prasangka sosial. Stereotip adalah anggapan tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh
anggota kelompok luar.Ciri ini biasanya hanyalah anggapan semata yang belum tentu sesuai
dengan hal yang sebenarnya. Prasangka adalah sesuatu yang bersifat emosional, yang akan
mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial.
Bila dua kelompok bersaing, mereka saling mengancam. Hal ini menimbulkan permusuhan
diantara mereka dan keadaan demikian menciptakan penilaian negatif yang bersifat timbal balik .
Jadi, prasangka merupakan konsekuensi dari konflik nyata yang tidak dapat dielakkan. LeVine
dan Campbell (1972) menyebutnya sebagai konflik kelompok yang realistis. Kadang-kadang dua
kelompok berada dalam situasi dimana mereka bersaing untuk memperebutkan sumber langka
yang sama.
Prasangka adalah sesuatu yang dipelajari seperti orang-orang belajar nilai-nilai sosial yang lain.
Prasangka diperoleh anak-anak melaui sosialisasi. Misalnya, sebelum remaja anak Melayu
(Malaysia) mengamati masyarakat di mana ia tinggal bahwa orang Melayu secara sosial lebih
tinggi di berbagai hal dibanding orang keturunan India.
Dalam mengamati orang lain, seseorang mencoba mengembangkan kesan yang terstruktur
tentang orang lain. Seseorang melakukan proses kategorisasi . Kategorisasi seringkali hanya
didasarkan pada isyarat yang sangat jelas dan menonjol. Warna kulit, bentuk tubuh, logat bahasa,
dijadikan dasar penggolongan. Prasangka muncul karena adanya perbedaan antara “kelompok
kami” (ingroup) dan “kelompok mereka” (outgroup).
Prasangka adalah agresi yang dialihkan. Pengalihan terjadi bila sumber frustasi tidak dapat
diserang karena rasa takut dan frustasi itu benar-benar tidak ada. Dalam kondisi semacam ini,
orang mencari kambing hitam yang dapat dipersalahkan dan dierang.
D. Ciri-Ciri Prasangka Sosial
Brighman (1991) menjelaskan prasangka sosial menjelaskan tentang ciri-ciri prasangka sosial
bahwa individu mempunyai kecenderungan untuk membuat kategori sosial (social
categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua
kelompok, yaitu “kelompok kita” (ingroup) dan “kelompok mereka” (outgroup). Ingroup adalah
kelompok sosial di mana individu merasa dirinya dimilki atau memiliki (“kelompok kami”).
Sementara outgroup adalah grup di luar grup sendiri (“kelompok mereka”).
Pertama, proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain. Jika seorang individu
dari kelompok luar berbuat hal negatif, maka akan digeneralisirkan pada semua anggota
kelompok luar. Bila anggota kelompok luar berbuat curang, maka semua anggota kelompok itu
dianggap berbuat hal yang sama. Penilaian serupa tidak terjadi pada perilaku anggota kelompok
sendiri. Bila salah seorang anggota kelompok sendiri berbuat curang, maka kecurangan tersebut
tidak akan digeneralisir pada anggota kelompok lain (Ancok & Suroso, 1995).
Ketiga, adanya penilaian yang sangat ekstrim terhadap anggota kelompok lain. Informasi yang
dimiliki individu baik yang berkaitan dengan hal yang positif maupun yang negatif terlalu
dibesar-besarkan.
Keempat, adanya pengaruh persepsi yang selektif dan pengaruh ingatan masa lalu. Apabila
seseorang memiliki stereotip yang relevan akan langsung dipersepsikan secara negatif.
Kelima, adanya perasaan frustasi atau scape goating, yaitu adanya rasa frustasi seseorang
sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuan menghadapi kegagalan
(Brigman, 1991). Adanya kekecewaan akibat persaingan antara masing-masing individu dan
kelompok menjadikan seseorang mencari mengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada
objek lain. Objek lain biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dirinya
sehingga individu mudah berprasangka.
Keenam, adanya agresi antar kelompok. Cara berpikir yang realis akan cenderung menyebabkan
munculnya perilaku agresif.
Ketujuh, adanya dogmatisme, yaitu sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan
dengan masalah tertentu, salah satunya adalah tentang kelompok lain.
Perkembangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstrem pribadi orang,
tetapi terdapat pula beberapa factor intern dari pribadi orang yang mempermudah terbentuknya
prasangka sosial padanya. Menurut beberapa penelitian psikologi, terdapat beberapa ciri pribadi
orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain pada orang-orang
yang berciri tidak toleransi, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak
merasa aman, memupuk khalayan-khalayan yang agresif dan lain-lain.
Orang tidak begitu saja secara otomatis berprasangka terhadap orang lain. Tetapi ada factor-
faktor tertentu yang menyebabkan ia berprasangka. Prasangka di sini berkisar pada masalah yang
bersifat negatif pada orang (kelompok) lain. Ada beberapa factor yang menyebabkan timbulnya
prasangka.
1) Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam. Dalam berusaha, seseorang
mengalami kegagalan atau kelemahan. Sebab dari kegagalan itu tidak dicari pada dirinya sendiri
tetapi pada orang lain. Orang lain inilah yang dijadikan kambing hitam sebagai sebab
kegagalannya.
2) Orang berprasangka, karena memang ia sudah dipersiapkan di dalam lingkungannya atau
kelompoknya untuk berprasangka.
3) Prasangka timbul karena adanya perbedaan, di mana perbedaan ini menimbulkan perasaan
superior. Perbedaan di sini bisa meliputi :
4) Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak
menyenangkan.
5) Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum atau
kebiasaan di dalam lingkungan tertentu.
Prasangka sosial tidak dibawa sejak dilahirkan tetapi terbentuk selama perkembangannya, baik
melalui didiakn maupun dengan cara identifikasi dengan orang-orang lain.Dalam beberapa
penelitian dan observasi tampak bahwa di sekolah-sekolah internasional tidak terdapat sedikitpun
prasangka sosial pada anak-anak sekolah yang berasal dari bermacam-macam golongan rasa tau
kebudayaan. Mereka baru akan memperolehnya di dalam perkembangannya apabila mereka
bergaul erat dengan orang-orang yang berprasangka sosial. Dan hal ini berlangsung secara
sendirinya dan pada taraf tidak sadar malalui proes-proses imitasi , sugesti, identifikasi dan
simpati yang memegang peranana utama di dalam interaksi itu. Sementara itu, secara tidak sadar
mereka lambat laun mungkin memperoleh sikap-sikap tertentu terhadap golongan-golongan
tertentu yang lambay laun dapat melahirkan stereotip-stereotip.
Selain itu, adapula satu factor yang dapat mempertahankan adanya prasangka sosial seperti yang
dapat berkembang secara tidak sadar itu, yaitu factor ketidaksadaran (ketidakinsyafan) akan
kerugian-kerugian masyarakat apabila prasangka itu dipupuk terus-menerus, yang mudah
terjelma dalam tindakan-tindakan diskriminatif.