Anda di halaman 1dari 7

Kronologis RI

By jsop • September 18, 2008


Artikel ini mengutip tulisan berjudul “Piagam Jakarta dan Dekrit Presiden” dari
zfikri.wordpress.com Banyak orang yang ‘alergi’ dan merasa perlu ‘mengalihkan
pembicaraan’ jika saya ajak berdiskusi dan melibatkan topik bahasan tersebut diatas.

Hal tersebut justru membuat saya semakin penasaran dan merasa perlu mengangkat issue
tersebut untuk kita renungkan kembali secara bersama-sama . Sama sekali tak ada
urusannya dengan “agenda” tersembunyi dibenak saya (wong cuman seniman) , namun
sekedar berupaya agar menjadikannya kembali sebagai sebuah masaalah yang jelas dan
transparan dihadapan kita semua…., apa sebenarnya yang tengah terjadi? .

Seperti apakah sebenarnya yang dianggap oleh tokoh-tokoh politik sebagai tindakan
“men-diskriminasikan” umat beragama non muslim , atau kekhawatiran bahwa Republik
ini akan menjadi “negara Islam” seperti layaknya negara-negara di Timur Tengah ,
misalnya . Benarkah ancaman tersebut akan terbukti?, sehingga sejak dari mulai pasca
kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga di era pasca reformasi ini , politisi-politisi kita
terkesan “ambivalen” dalam hal-hal tertentu yang terkait dengan masalah “Berkeyakinan
Agama” lalu bahkan juga ter-asumsi ber “improvisasi politik” tanpa konsep bernegara
yang jelas , hendak dibawa kemana sebenarnya….bangsa-bangsa di Republik ini .

Semboyan saya hanya mengacu kepada semboyan lama : “Bangsa besar adalah bangsa
yang mampu menghormati jasa para pahlawan-pahlawannya”.

Mari.., tanpa berpretensi “buruk sangka” yang berlebihan kita renungkan kembali ,
sebagai bekal menghadapi “carut-marut” situasi politik yang terjadi . Yang juga secara
nyata-nyata telah merampas arti kemerdekaan bagi sebuah bangsa dan negara Republik
Indonesia yang kita cintai bersama .

-O-

PIAGAM JAKARTA

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan
dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.

Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22 Juni 1945

Ir. Soekarno
Drs. Mohammad Hatta
Mr.A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakkir
H.A. Salim
Mr. Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin
————————————————–

Jumat, 22 Juni 2007

Menjaga Spirit Piagam Jakarta

Oleh :

M Fuad Nasar
Anggota Badan Amil Zakat Nasional

Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada tanggal
itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) tercapai sebuah konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar
negara Republik Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh
Mr Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta.

Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam kalimat, ‘negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Kalimat ini merupakan rumusan
pertama lima prinsip falsafah negara yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945
dinamakan Pancasila.

Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditandatangani oleh panitia kecil
yang dibentuk oleh BPUPKI. Anggotanya adalah Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr
AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, HA Salim, Mr
Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mr Mohammad Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno
selaku pimpinan rapat dengan segenap kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta
sebagaimana dapat dibaca dalam risalah sidang BPUPKI.

Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara


dan Sebuah Proyeksi (1970), menulis, “Timbul sekarang satu historische vraag, satu
pertanyaan sejarah, apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah
payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari
bangsa kita, kemudian di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18
Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah.”

Dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (diterbitkan 1969), Bung
Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada sore hari 17 Agustus 1945 sebagai berikut.
“Pada sore harinya saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral
Mayeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut),
karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima
sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang. Opsir itu yang saya
lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-
sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai
oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi ‘Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Mereka mengakui bahwa bagian
kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi
tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-
Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika
diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Bung Hatta yang menerima kabar penting itu, masih punya waktu semalam untuk
berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia
Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula semboyan yang selama ini didengung-
dengungkan ‘bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh
juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25
tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka
bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18
Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagus
Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan dari
Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya
kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat
yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha
Esa.” ungkap Hatta.

Tetap hidup
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta
golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pada 18
Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, ‘dengan kewajiban
menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, setelah kata ‘ke-Tuhanan’. Ini
merupakan cermin sikap kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada
bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia.

Dalam perkembangan di kemudian hari, sehubungan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam konsiderans dekrit,
Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar. Pertanyaan yang mendasar
diajukan oleh dua orang anggota DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu
(NU) kepada pemerintah yang diwakili Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana
kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya
dalam UUD 1945. Jawaban resmi pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri
Juanda adalah bahwa pengaruh Piagam Jakarta tersebut tidak mengenai Pembukaan UUD
1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian perkataan
‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan
kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat
diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan
dengan syari’at Islam’.

Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis dan
historis tetap terpatri dalam konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali diamandemen UUD
1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir usulan amandemen kelima,
diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup dalam hati sanubari para pemimpin dan
segenap warga bangsa yang

Jumat, 22 Juni 2007

Jangan Ingkari Piagam Jakarta

Oleh :

Ahmad Sumargono
Ketua Pelaksana Harian KISDI
Tanggal 22 Juni 1945, merupakan saat yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia,
karena saat itu atau 62 tahun yang lalu telah lahir Piagam Jakarta yang merupakan ruh
dalam meletakkan landasan hukum pembangunan bangsa ini. Piagam Jakarta adalah
naskah otentik Pembukaan UUD 45. Naskah tersebut disusun oleh Panitia Sembilan
bentukan BPUPKI yang terdiri dari Ir Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis,
Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo,
Wachid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Dalam alinea keempat naskah itu tercatat
kalimat: “…. kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja….’’

Pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta sebagai gentlemen’s agreement
antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Muslim. Tapi pada 18 Agustus 1945,
tujuh kata vital tadi akhirnya didrop. Alasannya, umat Kristen di Indonesia Timur tidak
akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan bila
tujuh kata itu tetap dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45 sebagai Dasar Negara.

Mengomentari ultimatum itu, Dr M Natsir mengatakan, “Menyambut hari Proklamasi 17


Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya
Allah umat Islam tidak akan lupa.” Upaya kekuatan Islam untuk merehabilitasi Piagam
Jakarta pada Sidang Majelis Konstituante 1959 disabotase oleh Presiden Soekarno
dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Gagal lah usaha tersebut hingga
sekarang.

Meskipun demikian, tokoh Masyumi Prof Kasman Singodimedjo dalam biografinya


mengingatkan, “Piagam Jakarta sebenarnya merupakan gentlemen’s agreement dari
bangsa ini. Sayang, kalau generasi selanjutnya justru mengingkari sejarah.” memasuki
era reformasi, UUD 45 memang mengalami amandemen. Hingga ini telah diamandemen
sebanyak 4 kali, yakni pada tahun 1999 hingga yang terakhir tahun 2002.

Amandemen itu menimbulkan kontroversi. Ada yang menginginkan kembali ke UUD 45


yang asli (versi Dekrit). Sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang sudah
diamandemen yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang sudah
diamandemen ini diamandemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk yang terakhir ini,
sebagian mengusulkan amandemen terbatas, dan sebagian lagi amandemen overwhole
atau keseluruhan. Tapi dalam kenyataannya jangankan merehabilitasi Piagam Jakarta,
pembahasan amandemen UUD 45 malah sempat menggugat eksistensi Pasal 29 yang
menegaskan landasan ketuhanan bangsa.

Makin liar
Amandemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amandemen 2002 adalah kran
awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Secara umum modus operandi
imperialisme lewat jalur UU dapat dikategorikan dalam beberapa cara (Al Wa’ie No70
Tahun VI, 1-30 Juni 2006). Pertama, intervensi G2G (government to government), yakni
pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan
suatu klausul atau agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini. Contohnya
pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun
Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang
lebih ketat.

Kedua, intervensi W2G (world to government), yakni lembaga internasional (seperti


PBB, WTO, IMF) yang mengambil peran penekan. Contohnya agenda UU yang terkait
globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU perbankan, UU migas, UU tenaga
listrik, UU sumber daya air). Ketiga, intervensi B2G (bussines to government). Para
pengusaha dan investor menekan pemerintah agar meluluskan berbagai kepentingan
mereka dalam undang-undang. Contohnya agenda UU yang terkait dengan investasi,
perpajakan, dan perburuhan.

Keempat, intervensi N2G (non government organization to government). Pihak non


government organization ini dapat berupa orang asing atau lokal murni tapi disponsori
asing. Mereka bisa mendatangi para penyusun UU (teror mental) hingga demo besar-
besaran. Contoh pada UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga(UU
KDART) dan penolakan RUU antipornogarfi dan pornoaksi.

Kelima, intervensi I2G (intellectual to government). Kaum intelektual, para ilmuwan,


bahkan tokoh agama dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan suatu
agenda dalam perundangannya. Jenis ini merupakan intervensi paling rapi dan paling
sulit dideteksi. Contohnya terlihat pada agenda penyusunan UU Otonomi Daerah

LSM asing yang terlibat aktif dalam penyusunan UU adalah National Democration
Institute (NDI) yang dalam operasionalnya didukung CETRO. Mereka mempunyai
program constitutional reform. Ditengarai ada dana 4,4 miliar dolar AS dari Amerika
Serikat (AS) untuk membiayai proyek tersebut. Bahkan NDI dan CETRO mendapat
fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di
MPR.

Sebagai konsekuensinya, undang-undang yang berada di bawah UUD 45 Amandemen itu


pun bersifat liberal. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian
dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA), dan UU Kekerasan Dalam Rumah
Tangga(UU KDRT).

Pakar minyak, Qurtubi dalam diskusi bertema ‘UUD 1945 vs UUD 2002′ di kantor
Institute for Policy Studies Jakarta membenarkan masuknya paham liberalisme dalam UU
Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga disahkan UU Penanaman Modal yang
memberikan karpet merah bagi kekuatan asing untuk menguasai 100 persen kekayaan
Indonesia untuk kemudian melakukan repatriasi.

Dampaknya mulai terasa


Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina, yang
notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus
bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan
sebagainya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus
kalah melawan Exxon Mobil.
Semua ini adalah merupakan musibah nasional, karena elite politik dan para pemimpin
bangsa ini telah kehilangan rasa kebangsaan dan religiusitas. Mereka terlalu mudah
menggadaikan kepentingan bangsa untuk kepentingan kelompok dan golongan melalui
pendekatan pragmatis. Rasa idealisme dan keagamaan telah tenggelam disapu oleh badai
liberealisme, kapitalisme, dan hindonisme yang materialistis, sehingga tidak ada satu
kekuatan pun di negeri ini yang akan mampu membendung gelombang korupsi dan
manipulasi.

Piagam Jakarta seperti yang termaktub dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 ,
dengan keputusan Presiden No150 tahun 1959, sebagaimana ditempatkan dalam
Lembaran Negara No75/1959 mengakui hak tersebut. Keputusan Presiden ini sah
berlaku, dan tak dapat dibatalkan melainkan harus bertanya dahulu kepada rakyat lewat
referendum (Ridwan Saidi, Piagam Jakarta ,Tinjauan Hukum dan Sejarah, 2007).

-O-

Sepuluh tahun pasca reformasi , apapun pembenaran yang telah dilegitimasi oleh elite
politik kita . Toh..Nyatanya tak bisa dipungkiri , bahwa kedaulatan bangsa ini semakin
lama semakin tak punya arti lagi. Ataukah mungkin sudah saatnya mempertimbangkan
kembali “referendum” lewat ekstra Konstitusi ? Agar tidak semakin jauh kita ‘ngalor-
ngidul” yang akhirnya benar-benar “kusut”.

Pemilu 2009 sudah didepan mata , jangan lagi kita bermain-main dan berspekulasi
mempertaruhkan 200′an juta lebih jiwa rakyat hanya untuk sekedar meraih kepentingan
berjangka pendek semata.

Berpikir cerdas tanpa melibatkan perilaku anarkis , itu yang kita butuhkan saat ini bukan?
Semoga artikel ini memberi sumbangan pikiran untuk ber-Bangsa dan ber-Negara agar
lebih bermakna dan lebih berarti.

Anda mungkin juga menyukai