A typical first year college textbook with a Keynesian bent may as a question on aggregate demand and aggregate
supply such as:
Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will
affect the equilibrium price level and real GDP:
5. Workers expect high future inflation and negotiate higher wages now
We will answer each of these questions step-by-step. First, however, we need to set up what an aggregate demand
and aggregate supply diagram looks like. We will do that in the next section.
This framework is quite similar to a supply and demand framework, but with the following changes:
Downward sloping demand curve becomes aggregate demand curve
Upward sloping supply curve becomes aggregate supply curve
Instead of "quantity" on the X-axis, we have "Real GDP", a measure of the size of the economy.
We will use the diagram below as a base case and show how events in the economy influence the price level and
Real GDP.
Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan
Pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregression
Indeks Artikel
Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan
Pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregression
TINJAUAN LITERATUR
3. METODOLOGI PENELITIAN
Semua Halaman
Luky Alfirman*
Edy Sutriono**
Abstraksi
Penelitian ini berusaha mengetahui adanya hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah
dan produk domestik bruto di Indonesia periode 1970-2003. Metode yang dipakai adalah Granger
Causality dan Vector Autoregression (VAR) dengan memperlakukan kedua variabel sebagai variabel
endogen. Hasil penelitian menyebutkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran
pemerintah dengan produk domestik bruto. Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi produk
domestik bruto karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat
kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Sementara pengeluaran pembangunan
memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap produk domestik bruto. Hal ini dapat
dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur dan transportasi serta
pendidikan terhadap produk domestik bruto dan pengaruh positif perubahan produk domestik bruto
terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi.
Kata-kata kunci: Pengeluaran pemerintah, Produk Domestik Bruto (PDB), Vector autoregression (VAR)
* Dr. Luky Alfirman saat ini bertugas di Direktorat Jenderal Pajak Departemen
Keuangan.
** Edy Sutriono, SE, MM, MSE saat ini bertugas di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen
Keuangan.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keadaan perekonomian Indonesia setelah krisis telah menunjukkan kemajuan dalam tiga tahun
terakhir. Hal ini dapat dilihat dari produk domestik bruto yang meningkat selama periode tahun 2001
hingga 2003. Berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia 2004 dari Badan Pusat Statistik (BPS) , angka
Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2002 mengalami peningkatan 3.69% dibanding tahun 2001 dan di
tahun 2003 mengalami peningkatan 4.1% dibanding tahun 2002. Akan tetapi ditengah kemajuan
tersebut, ujian terhadap fundamental perekonomian Indonesia belum kunjung usai. Peningkatan harga
minyak dunia hingga diatas $ 60 per barel dan berdampak pada peningkatan depresiasi rupiah terhadap
dollar Amerika, hingga kurs menyentuh level psikologis Rp.10.000 per US dollar menyebabkan
pelambatan terhadap besarnya produk domestik bruto di tahun 2005. Hal ini disebabkan di satu sisi
tingginya konsumsi BBM dan di sisi lain tingginya impor BBM. Kondisi lain yang ikut memperburuk
perekonomian adalah belum pulihnya stabilitas keamanan, ditandai dengan masih maraknya aksi
terorisme dan intimidasi seperti peledakan bom Bali II dan peristiwa di Poso. Kejadian ini sedikit banyak
akan mempengaruhi iklim sektor investasi terutama investasi asing, yang masih dibutuhkan untuk
menggerakkan roda ekonomi. Dampak lain yang ditimbulkan adalah berkurangnya penerimaan negara
khususnya devisa dari sektor pariwisata. Belum lagi masih maraknya praktek korupsi dan ekonomi biaya
tinggi lainnya. Hal-hal ini menunjukkan bahwa kondisi funda-mental ekonomi Indonesia khususnya
belum terlalu kuat.
Sektor swasta sangat sulit diharapkan untuk berkontribusi lebih besar dalam menggerakkan
perekono-mian dengan kondisi-kondisi diatas. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun 2006
ini dan peningkatan upah minimum propinsi/ kabupaten/kota akan memper-berat dunia usaha. Biaya
operasional perusahaan akan meningkat, sementara itu daya beli masyarakat terasa terus mengalami
penurunan. Di tengah sektor dunia usaha atau swasta yang seperti ini maka untuk memperbaiki dan
meningkatkan produk domestik bruto diperlukan peran pemerintah yang lebih besar. Sesuai dengan
pendapat Keynes, untuk mengatasi keadaan seperti ini maka sangat diperlukan campur tangan
pemerintah dengan mempengaruhi agregat demand. Kebijakan pemerintah dapat dilakukan dua cara
yaitu mempengaruhi agregat demand dan agregat supply. Kebijakan yang mempengaruhi agregat supply
dilakukan lebih untuk mempengaruhi kondisi sektor riil melalui peraturan-peraturan. Hanya saja
kebijakan ini akan efektif dalam jangka waktu yang agak lama dan akan lebih baik bila dilakukan dengan
kebijakan moneter dan sektor riil. Sementara itu kebijakan yang mempengaruhi agregat demand
dilakukan melalui pengeluaran pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara / APBN).
Kebijakan ini efektif dalam waktu yang tidak lama karena pemerintah sendiri sebagai pemberi kebijakan
dan sekaligus pelaku. Dalam perspektif lain kebijakan ini dikenal dengan kebijakan fiskal. Kebijakan lain
yang dapat dilakukan melalui kebijakan moneter. Hanya saja saat ini kebijakan moneter bersifat not by
design artinya tidak dapat dipengaruhi karena Bank Indonesia tidak dapat membantu APBN bila terjadi
defisit. Kebijakan moneter juga akan efektif dalam jangka waktu yang agak lama.
Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah dalam APBN diharapkan dapat menstimulus produk
domestik bruto. Pengeluaran pemerintah dapat menstimulus perekonomian melalui peningkatan
konsumsi dan investasi. Konsumsi dan investasi merupakan komponen Produk Domestik Bruto (PDB).
Seperti kita ketahui dalam konsep makroekonomi dan pembangunan ekonomi bahwa PDB(Y) terdiri dari
konsumsi rumah tangga(C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (X-M) atau (Y = C + I
+ G + (X-M)). Pengeluaran rutin pemerintah digunakan untuk pengeluaran yang tidak produktif dan
mengarah kepada konsumsi sedang pengeluaran pembangunan lebih bersifat investasi.
Hal ini menuntut produktivitas masing-masing komponen pengeluaran pemerintah untuk dapat
memberikan kontribusi kepada PDB untuk periode berikutnya secara berkesinambungan. Tentunya
pengeluaran komponen-komponen tersebut harus dialokasikan kepada pengeluaran-pengeluaran yang
bersifat produktif dan investasi.
Bertolak dari hal-hal tersebut diatas maka perlu diketahui hubungan pengeluaran pemerintah
terhadap produk domestik bruto. Pengeluaran pemerintah memang sebagai salah satu komponen dari
PDB, akan tetapi apakah pengeluaran pemerintah di suatu periode, katakanlah tahun 2000 mampu
memberikan stimulus baik bagi investasi, konsumsi maupun pengeluaran pemerintah sendiri di tahun itu
dan pada gilirannya akan memberikan kontribusi kepada PDB untuk tahun 2001 dan seterusnya.
Demikian sebaliknya apakah kontribusi dari komponen lain yang terakumulasi pada PDB atau singkatnya
PDB akan mempengaruhi pengeluaran pemerintah. Apakah peningkatan PDB di tahun 2000
menyebabkan membaiknya perekono-mian dan dunia usaha sehingga meningkatkan penerimaan negara
dari sektor pajak misalnya di tahun 2001, dan pada akhirnya dapat meningkatkan pengeluaran
pemerintah di tahun 2001. Demikian efek tersebut akan saling mempengaruhi antar periode secara
kesinambungan . Implikasi bagi pemerintah adalah mengetahui ada tidaknya hubungan antara
pengeluaran pemerintah dengan produk domestik bruto dan sifat dari hubungan tersebut (searah atau
timbal balik). Pengetahuan tersebut diperlukan bagi pemerintah dalam menyusun langkah-langkah dan
kebijakan fiskal berikutnya dalam meningkatkan peranannya dalam meningkatkan produk domestik
bruto.
Identifikasi Masalah
Metodologi Penelitian
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Autoregression (VAR). Vector
Autoregression merupakan alat analisis atau metode ekonometrika yang biasa digunakan untuk
menganalisis dampak dinamis dari faktor-faktor gangguan yang terdapat dalam sistem variabel.
Sedangkan Granger Causality merupakan alat analisis yang sangat berguna di dalam memahami adanya
hubungan timbal balik antara variabel-variabel ekonomi.
Keterbatasan Penelitian
Data yang digunakan adalah periode tahunan dari tahun 1970 sampai dengan 2003.Dalam hal
penetapan jenis pengeluaran ,karena periode analisisnya sampai dengan tahun 2003 maka penelitian ini
masih menggunakan jenis pengeluaran sesuai periode waktu itu yaitu pengeluaran pemerintah dibagi
rutin dan pembangunan sedang pengeluaran pembangunan dibagi per sektoral. Keterbatasan lain adalah
bahwa mulai tahun fiskal 2005 pemerintah menerapkan unified budget yang tidak lagi membagi rutin
dan pembangunan. Penelitian ini belum menggunakan sistem baru karena belum ada data yang
mendukung (belum ada konversi data sebelum 2005 ke bentuk unified budget). Sampai saat ini data
pengeluaran pemerintah yang ada baru konversi dari T-account menjadi I-account.
2. TINJAUAN LITERATUR
Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat.
Pada umumnya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan
agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena
investasi yang dilakukan para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam
perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat
penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut
diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal, moneter dan
pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan
pemerintah. Dalam masa inflasi biasanya kebijakan fiskal akan berbentuk mengurangi pengeluaran
pemerintah dan meningkatkan pajak. Sebaliknya apabila pengangguran serius maka pemerintah
berusaha menambah pengeluaran dan berusaha mengurangi pajak. Kebijakan moneter dilakukan dengan
mempengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Pengawasan langsung dilakukan dengan
membuat peraturan-peraturan.
Alasan peranan pemerintah dibutuhkan dalam perekonomian adalah:
1. untuk menyediakan legal system atau peraturan-peraturan yang tidak dapat disediakan oleh sektor
privat
2. untuk membetulkan bila terjadi kegagalan pasar. Adapun kegagalan pasar diantaranya :
a. Kompetisi tidak sempurna
Di dalam pasar yang tidak sempurna dan cenderung monopoli, harga yang terjadi biasanya lebih
tinggi dan jumlah produksi lebih sedikit. Pemerintah diharapkan dapat mengatur dan memperbaiki agar
kesejahteraan masyarakat tidak berkurang.
b. Public goods (barang publik)
Barang publik mempunyai karakteristik non exludable dan non rivalry. Dengan adanya sifat barang
publik seperti itu maka akan timbul fenomena free rider artinya orang akan berlomba-lomba untuk tidak
membayar dalam menikmati barang tersebut. Sistem penyediaan barang seperti ini tidak dapat dilakukan
oleh sektor privat, sehingga peme-rintah yang menyediakannya.
c. Ekternalitas
Market economy bersifat selfish sehingga yang dipikirkan adalah meminimalkan biaya sedangkan
dampak secara tidak langsung seperti dampak sosial tidak diperhitungkan.
d. Adanya kegagalan informasi
Dalam beberapa hal masyarakat sangat membutuh-kan informasi yang tidak dapat disediakan oleh
pihak swasta, misalnya prakiraan cuaca. Bidang pertanian dan kelautan sangat membutuhkan informasi
cuaca , akan tetapi pihak swasta tidak ada yang menyediakannya. Pemerintah yang harus menyediakan
informasi cuaca tersebut.
3. Peranan pemerintah adalah mendistribusikan pendapatan dari yang kaya kepada yang miskin secara
lebih adil
4. menyediakan merit goods. Musgrave (1959) menyebutkan merit goods adalah barang-barang yang
seharusnya disediakan meskipun masyarakat tidak memintanya. Masyarakat sering tidak bijaksana atau
tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengalokasikan sumber ekonomi yang dimiliki.
Peranan pemerintah adalah membantu masyarakat untuk mengalokasikannya untuk kebaikan
masyarakat. Contohnya adalah pemerintah menyediakan helm agar masyarakat terhindar dari bahaya
manakala terjadi kecelakaan, demikian juga pemerintah menggalakkan asuransi untuk masyarakat.
Secara umum fungsi pemerintah dalam perekonomian modern dapat dibagi menjadi :
1. Fungsi alokasi
Pemerintah mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien.
2. Fungsi distribusi
Kaldor mengatakan bahwa suatu tindakan dikatakan bermanfaat apabila golongan yang memperoleh
manfaat dari tindakan tersebut memberikan kompensasi bagi golongan yang mengalami kerugian
sehingga posisi golongan yang rugi tetap sama seperti halnya sebelum adanya tindakan yang
bersangkutan.
3. Fungsi stabilisasi
Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada sektor privat sangat peka terhadap guncangan
keadaan yang akan menimbulkan pengangguran dan inflasi.
Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 1 dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai
bentuk ekponential yang ditunjukkan oleh kurva 1 dan bukan kurva 2.
Hasil Studi Empiris Hubungan atau Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto
(Pertumbuhan Ekonomi)
Studi yang menunjukkan hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan
diantaranya: Barro dan Salla-i-Martin (1992) yang membagi pengeluaran pemerintah menjadi
pengeluaran produktif dan tidak produktif. Pengeluaran produktif apabila pengeluaran tersebut
mempunyai efek langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan studi mengenai hubungan
antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi mengasumsikan semua pengeluaran
pemerintah bersifat produktif (Barro,1990). Landau (1983) meneliti 27 negara berkembang
menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah yang besar terutama pengeluaran konsumsi justru akan
menurunkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Hasil yang sama ditemukan oleh Landau (1986)
terhadap 65 negara berkembang. Devarajan dan Vinaya (1993) menemukan hubungan negatif dan tidak
signifikan hubungan antara pengeluaran produktif dengan pertumbuhan. Sementara itu Lin (1994)
menyatakan pengeluaran non-produktif mempunyai hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap
pertumbuhan di negara industri tetapi positif dan signifikan di negara berkembang. Hal ini terjadi karena
pelayanan pemerintah yang bersifat non produktif di negara berkembang sebagian besar digunakan
untuk konsumsi. Josaphat P Kweka dan Oliver Morrisey (1999) meneliti hubungan keduanya terhadap
negara Tanzania periode 1965-1996. Hasil yang diperoleh bahwa pengeluaran pemerintah berdampak
negatif terhadap pertumbuhan. Dampak negatif disebabkan karena tidak efisiennya pengeluaran
pemerintah di Tanzania. Penelitian lain menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah
mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan (Grier dan Tullock,1989, Barro,1991). Studi terhadap
negara-negara maju juga meyimpulkan hasil yang sama seperti Hannson dan Henrekson (1994). Pada
mayoritas studi, pengeluaran pemerintah total mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan
(Romer,1990;Folster dan Henrekson,2001). Folster dan Henrekson mengatakan bahwa pada tingkat
pengeluaran pemerintah yang rendah di negara miskin terutama untuk pengeluaran produktif dan
rendah pula pajaknya, biasanya tidak efisien dalam pengumpulan pajak dan pengeluaran
pemerintahnya.
Studi yang menunjukkan hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan
diantaranya: Ram (1986) dan Grossman(1988) menemukan hubungan positif antara pengeluaran
pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. Diamond (1989) menyatakan bahwa pengeluaran sosial
mempunyai hubungan positif yang signifikan dan pengeluaran investasi mempunyai efek negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak tersebut sangat dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan dana.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder runtun waktu (time series) periode 1970 sampai dengan
2003, yang diperoleh dari berbagai laporan dan kompilasi data serta bentuk publikasi lainnya, seperti
dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Nota Keuangan dan RAPBN beberapa seri dan laporan Bappeki dari
Departemen Keuangan.
1. PDB = Produk Domestik Bruto riil. PDB yang digunakan adalah PDB atas dasar harga konstan 2000
dari tahun 1970 sampai dengan 2003.
2. TOTAL = Total pengeluaran pemerintah riil dalam APBN tahun 1970 sampai dengan 2003. Data yang
diambil adalah realisasinya (Perhitungan Anggaran Negara) , dengan tujuan untuk mengetahui
pengeluaran yang sebenarnya.
3. RTN = Realisasi pengeluaran rutin riil dalam APBN dari tahun 1970 sampai dengan 2003.
4. PEMB = Realisasi pengeluaran pembangunan riil dalam APBN setelah dilakukan dari tahun 1970
sampai dengan 2003.
5. SKTR1 = Realisasi pengeluaran pembangunan riil di sektor pertanian dan kehutanan dalam APBN dari
tahun 1970 sampai dengan 2003.
6. SKTR2 = Realisasi pengeluaran pembangunan riil di sektor transportasi,meteorologi dan geofisika
dalam APBN tahun 1970 sampai dengan 2003.
7. SKTR3 = Realisasi pengeluaran pembangunan riil di sektor pendidikan, kebudayaan nasional,
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olahraga dalam APBN setelah dilakukan
konversi ke I-account dari tahun 1970 sampai dengan 2003.
Data yang bersumber dari APBN sebelum tahun 2000 disesuaikan dengan berdasarkan tahun
kalender yaitu dari Januari sampai Desember (dimana sebelum tahun 2000, tahun fiskal dimulai dari April
sampai Maret tahun berikutnya), jumlah pengeluaran berasal dari penjumlahan realisasi tiap triwulanan.
Hal ini dilakukan karena PDB dihitung dari Januari sampai Desember.
Model yang dipakai adalah Vector Autoregression (VAR) seperti yang dilakukan oleh Wing Yuk dari
University of Victoria Canada yang melakukan studi bulan Januari 2005 tentang “Government Size and
Economic Growth: Time-Series Evidence For The United Kingdom,1980-1993.” dan dalam pengolahan
datanya menggunakan software Eviews 4.1.
Model 1 Hubungan D(PDB) dan D(TOTAL)
Model 2 Hubungan D(PDB) dan D(RTN)
Model 3 Hubungan D(PDB) dan D(PEMB)
Model 4 Hubungan D(PDB) dan D(SKTR1)
Model 5 Hubungan D(PDB) dan D(SKTR2)
Model 6 Hubungan D(PDB) dan D(SKTR3)
Keterangan :
D( ) = first difference
Model persamaan biasanya menggunakan teori ekonomi untuk menggambarkan hubungan antara
variabel yang terkait. Hasil dari model kemudian diestimasi dan digunakan untuk menguji relevansi
empiris dari teori tersebut. Sayangnya teori ekonomi mungkin tidak cukup untuk menentukan spesifikasi
yang benar. Hal ini disebabkan karena mungkin teorinya terlalu rumit sehingga sulit bagi kita untuk
menurunkan spesifikasi secara persis. Atau mungkin saja teorinya adalah sesuai dengan struktur selang
yang dibangun tetapi struktur-struktur selang ini dapat menghasilkan model dengan perilaku dinamis
yang berbeda. Atau mungkin juga terdapat perbedaan antar teori yang mendasari model tersebut.
Walhasil adakalanya kita mesti membiarkan data itu sendiri berbicara.
Stationeritas Data
Suatu series dikatakan stationer apabila rata-rata, varian dan autocovariance nilainya konstan dari
waktu ke waktu (untuk berbagai lag yang berbeda nilainya sama, tidak masalah di titik mana memulai
mengukur). Singkatnya, ketiga ukuran tersebut tidak tergantung dari waktu (t) atau dalam literatur
disebut time invariant.
Secara matematis time series (misal Y) bersifat stationer memiliki properties sbb:
Rata-rata = E(Yt) = μ
Varian = Var(Yt)= E (Yt – μ)2= σ2
Covariance = γk= E[ (Yt- μ) (Yt+k - μ)
Dalam analisis time series, informasi apakah data bersifat stationer merupakan hal yang sangat
penting. Variabel-variabel ekonomi yang terus menerus meningkat sepanjang waktu adalah contoh dari
variabel yang tidak stationer. Dalam estimasi koefisien regresi, mengikutsertakan variabel yang non
stationer dalam persamaan mengakibatkan standard error yang dihasilkan menjadi bias. Adanya bias ini
menyebabkan kriteria konvensional yang biasa digunakan untuk menjustifikasi kausalitas antara dua
variabel menjadi tidak valid. Jika suatu variabel terdapat unit root (non stationer), dalam banyak kasus
mengikutsertakan variabel non stationer dalam analisis regresi menghasilkan kesimpulan yang tidak
benar. Banyak ditemukan bahwa koefisien estimasi signifikan tetapi sesungguhnya tidak ada hubungan
sama sekali (spurious regression).
Cara untuk menguji stationeritas sering disebut uji unit root. Ada beberapa uji diantaranya Dickey
Fuller (DF) test dan Phillip Peron (PP) test.
Prosedur pengujian unit root dengan DF test sebagai berikut:
Null hypothesis :
Ho: series mempunyai unit root dan non stationer
Ha: series stationer
Jika kita menolak hipotesa nol, maka kita mempunyai series yang bersifat stationer. Bila terdapat
korelasi antar residual dalam suatu series (serial correlation), maka hasil uji DF akan menjadi bias. Karena
bias dalam pengujian merupakan masalah yang penting, maka DF test dilakukan modifikasi. Untuk itu
dikembangkan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Ide dasarnya adalah dengan mengikutsertakan
sejumlah lag variabel dependen dalam prosedur standar DF test agar korelasi antar residual dapat
dihilangkan. Kita dapat menggunakan salah satu dari beberapa teknik untuk memilih jumlah lag yang
perlu disertakan dalam pengujian ADF sedemikian rupa sehingga serial correlation dapat dihilangkan.
Cara termudah adalah dengan menggunakan kriteria seleksi secara otomatis yang telah disediakan oleh
Eviews. Prosedur ini dilakukan dengan cara memilih jumlah lag yang rasional mulai dari yang terbesar
kemudian menguji sampai semua lag tersebut signifikan.
Alternatif uji stationeritas dengan ADF test adalah dengan menggunakan Phillip Peron (PP) test. Uji ini
memodifikasi test statistik yang digunakan oleh DF test sedemikian rupa sehingga tidak perlu ada
tambahan lag variabel dependen untuk menghilangkan pengaruh serial korelasi.
Dalam memilih panjang lag, kita ingin lag yang cukup panjang untuk menangkap sepenuhnya
dinamika sistem yang dimodelkan. Namun semakin panjang lag semakin banyak jumlah parameter yang
harus diestimasi dan semakin sedikit derajat kebebasannya (jumlah total parameter yang diestimasi =
n(1+np) ,dimana n=jumlah persamaan,p=panjang lag endogenous variabel). Jadi kita menghadapi trade
off antara mempunyai jumlah lag yang memadai dan mempunyai derajat kebebasan yang cukup. Dalam
praktek kita membatasi jumlah lag menjadi lebih sedikit dari yang secara ideal diberikan pada model
dinamis (Gujarati).
Penentuan jumlah lag dapat dibantu dengan menggunakan Akaike information criteria (AIC) dan
Schwart Bayesian criterion(SBC). AIC ditentukan oleh
dimana:
T = jumlah observasi yang residual kuadrat
K = panjang lag
SSR = residual sum of squares
N = jumlah parameter yang diestimasi
Baik Akaike information criteria (AIC) atau SBC adalah ukuran baik buruknya kecocokan yang
mengoreksi karena derajat kebebasan akan berkurang jika lag-lag ditambahkan kedalam suatu model.
Statistik-statistik ini dapat digunakan untuk membantu menentukan jumlah lag yang dimasukkan
kedalam VAR.
Granger Causality
Granger Causality test dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat
diperlakukan sebagai variabel eksogen. Granger causality dilakukan bermula dari ketidaktahuan
keterpengaruhan antar variabel. Jika ada dua variabel X dan Y, maka apakah X menyebabkan Y atau Y
menyebabkan X atau berlaku keduanya atau tidak ada hubungan keduanya. Variabel X menyebabkan
variabel Y artinya berapa banyak nilai Y pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai Y pada periode
sebelumnya dan nilai X pada periode sebelumnya. Granger Causality hanya menguji hubungan diantara
variabel dan tidak melakukan estimasi terhadap model. Untuk bivariate regression :
Impulse response function menelusuri pengaruh kontemporer dari satu standar deviasi shock dari
satu inovasi terhadap nilai-nilai variabel endogen saat ini atau nilai mendatang. Suatu shock dari variabel
endogen langsung berpengaruh terhadap variabel itu sendiri dan juga diteruskan terhadap variabel
endogen lainnya melalui struktur dinamis dari VAR. Impulse response function (IRF) memberikan arah
hubungan dan besarnya pengaruh antar variabel endogen karena menunjukkan pengaruh satu standar
deviasi shock variabel endogen terhadap variabel endogen lainnya maupun variabel itu sendiri. Dengan
demikian shock atas suatu variabel dengan datangnya informasi baru akan mempengaruhi variabel itu
sendiri dan variabel-variabel lainnya dalam sistem.
Variance Decomposition
Cara lain untuk memahami karakteristik dari perilaku dinamis adalah dengan variance
decomposition. Jika impulse response functions dapat melacak pengaruh dari suatu shock yang terjadi
terhadap endogenous variabel dalam sistem, maka variance decomposition memisahkan varian yang ada
dalam variabel endogen menjadi komponen-komponen shock pada variabel endogen dalam VAR.
Variance decomposition digunakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu
seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri
sendiri maupun shock dari variabel lain atau untuk melihat pengaruh relatif variabel-variabel penelitian
terhadap variabel lainnya. Prosedurnya dengan mengukur persentase kejutan-kejutan atas masing-
masing variabel. Misalnya bila ada shock terhadap PDB, perubahan yang terjadi dapat dijelaskan berapa
persen oleh PDB sendiri dan berapa persen lagi oleh TOTAL. Lebih penting menurut Sims (1982) variance
decomposition menunjukkan kekuatan hubungan Granger causality yang mungkin ada diantara variabel-
variabel. Dengan kata lain , jika suatu variabel menjelaskan porsi yang besar dari forecast error variance
dari variabel lain atau sebaliknya, mengindikasikan hubungan Granger causality yang kuat.
Jika forecast error periode ke-n dapat dinyatakan dalam persamaan :
selanjutnya dapat dicari proporsi forecast error yang berasal dari error term dari y (εy) sendiri dan yang
berasal dari shock z(εz) ,masing-masing :
Forecast error dari variance decomposition menjelaskan tentang proporsi dari variance suatu variabel
yang terdiri atas variance dari variabel itu sendiri dan variance dari variabel lainnya.
Hasil uji unit root keenam variabel pada levelnya seperti terlihat pada Lampiran 1. Nilai ADF test
untuk semua variabel lebih besar dibandingkan nilai kritis untuk 1%, 5% maupun 10%. Kesimpulannya
tidak menolak Ho artinya nilai keenam variabel mempunyai unit root atau tidak stationer. Sedang uji ADF
terhadap first difference keenam variabel seperti Lampiran .2. Nilai ADF test untuk PDB, TOTAL, RTN,
PEMB, SKTR1, SKTR2, SKTR3 lebih kecil dibandingkan nilai kritis pada level 1%. Artinya dengan
kepercayaan 99% memberi kesimpulan untuk menolak Ho yaitu first difference dari PDB, TOTAL, RTN,
PEMB, SKTR1, SKTR2, SKTR3 tidak terdapat unit root atau stationer.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan panjang lag adalah : Akaike information critetion (AIC)
dan Schwartz information criterion (SC).Pemilihan lag ditentukan dengan nilai terkecil dari masing-
masing kriteria. Dengan bantuan Eviews 4.1 dan dengan menggunakan panjang lag tertentu diperoleh
nilai-nilai dari masing-masing kriteria. Dengan lag sebesar 8 diperoleh angka untuk masing-masing
kriteria sebagai berikut:
Dalam mencari jumlah lag yang optimal untuk kelima model diatas, pertimbangan mengikutsertakan
jumlah lag yang berbeda:
1. Untuk model 1, 2, 3, 4 dan 5 mengikutsertakan sampai 6 lag untuk memilih lag optimal adalah
dengan asumsi prioritas kebijakan fiskal yaitu pengeluaran pemerintah yang berlainan dalam suatu
pemerintahan (setiap 5 tahun masa pemerintahan), berkaitan dengan Propenas.
2. Untuk model 6 mengikutsertakan sampai 9 lag karena pendidikan biasanya mempunyai dampak yang
lebih lama. Berdasarkan pemilihan lag optimal diatas maka disimpulkan penggunaan lag untuk masing-
masing model cenderung menggunakan AIC (karena lebih stabil) yaitu untuk model 1 menggunakan
sampai lag 2, model 2 dengan 3 lag , model 3 dengan 6 lag, model 4 dengan 3 lag , model 5 dengan 3 lag
dan model 6 dengan 9 lag. (Dalam praktek, kita membatasi lag menjadi lebih sedikit dari pada yang
secara ideal diberikan pada model dinamis (Gujarati) (1995))
Granger Causality
Hasil pengujian Granger causality dengan Eviews 4.1 ditunjukkan Lampiran 3. Secara ringkas dapat
disarikan dalam Tabel berikut ini
Berdasarkan hasil Granger Causality dan penentuan jumlah lag maka langkah selanjutnya adalah
melakukan estimasi terhadap model-model yang mempunyai hubungan. Masing-masing persamaan
dalam VAR terdiri dari variabel-variabel yang sama di sisi sebelah kanan dan ordinary least square (OLS)
merupakan estimator yang paling efisien (Pindyck & Rubinfeld,1998). Dari persamaan diatas terlihat
hanya sebagian lag yang signifikan pada setiap persamaan. Hasil estimasi VAR ditunjukkan dalam
Lampiran 4. Keadaan ini merupakan tipikal dalam VAR (Pindyck,1998).
Impulse Respon
Hasil dari perhitungan impulse response antara D(PDB) dan D(TOTAL) disarikan dalam Lampiran 5
dan Gambar A. Tes dilakukan 2 tahap, pertama untuk mengetahui pengaruh kontemporer dari variabel
D(PDB) terhadap variabel D(TOTAL) dan kedua digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari
variabel D(TOTAL) terhadap variabel D(PDB). Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada periode pertama,
satu standar deviasi dari D(PDB) sebesar 53421.11 tidak membawa dampak apapun terhadap variabel
D(TOTAL) (standar deviasinya sama dengan nol = tidak ada kejutan). Setelah satu periode ,standar deviasi
dari D(PDB) menjadi 16232.48 diatas rata-ratanya, membawa pengaruh terhadap penurunan standar
deviasi dari variabel D(TOTAL) sebesar 3258.578 dibawah rata-rata. Dilain pihak satu standar deviasi dari
variabel D(TOTAL) sebesar 15430.81 menyebabkan dampak negatif terhadap variabel D(PDB) sebesar
1183.898. Setelah periode kedua , penurunan standar deviasi dari variabel D(TOTAL) sebesar 1629.230
menyebabkan kenaikan standar deviasi dari variabel D(PDB) menjadi 3870.209 diatas rata-ratanya. Jika
dikaji lebih dalam , kejutan-kejutan yang terjadi dengan datangnya informasi baru dalam D(PDB) akan
berpengaruh baik terhadap D(PDB) sendiri maupun terhadap D(TOTAL). Demikan juga kejutan-kejutan
yang terjadi dengan datangnya informasi baru dalam D(TOTAL) akan berpengaruh baik terhadap
D(TOTAL) sendiri maupun terhadap D(PDB). Bila dilihat gambar A di lampiran bahwa shock terhadap PDB
akan membawa pengaruh terhadap TOTAL dan akan konvergen lagi setelah periode ke tujuh, sedangkan
shock terhadap TOTAL akan membawa pengaruh terhadap PDB dan akan konvergen setelah periode
keenam.
Hasil dari perhitungan impulse response antara D(PDB) dan D(RTN) ditunjukkan dalam Lampiran 5.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada periode pertama, satu standar deviasi dari D(PDB) sebesar
55926.34 tidak membawa dampak apapun terhadap variabel D(RTN) (standar deviasinya sama dengan
nol = tidak ada kejutan). Setelah satu periode, standar deviasi dari D(PDB) menjadi 15318.51 diatas rata-
ratanya, membawa pengaruh terhadap penurunan standar deviasi dari variabel D(RTN) sebesar
1632.650 dibawah rata-rata. Apabila ada shock terhadap PDB maka akan direspon oleh RTN.
Demikian pula hubungan D(PDB) dengan D(PEMB) maupun dengan D(SKTR1) , D(SKTR2) dan D(SKTR3)
, setiap shock terhadap D(PDB) akan direspon oleh masing-masing variabel, demikian pula shock
terhadap D(PEMB) dan D(SKTR2) akan direspon oleh D(PDB). Dari gambar impulse response function
pada Lampiran 5 terlihat bahwa impulse respon tersebut akan menuju keseimbangan (konvergen) dan
tidak eksplosif.
Variance Decomposition
Dalam lampiran 6 ditunjukkan tabel variance decomposition hasil pengolahan menggunakan Eviews
4.1 D(PDB) dan D(TOTAL). Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada periode pertama forecast error
variance dari D(PDB) yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sendiri sebesar 100% sedangkan yang dapat
dijelaskan oleh D(TOTAL) sebesar 0%. Pada periode kedua forecast error variance dari D(PDB) yang dapat
dijelaskan oleh D(PDB) sendiri sebesar 99.66053% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(TOTAL)
sebesar 0.339469%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan
oleh D(PDB) menurun menjadi 93.52448% dan yang dapat dijelaskan oleh D(TOTAL) hanya sebesar
6.475518%. Hasil ini menyimpulkan bahwa fluktuasi dari D(PDB) dipengaruhi oleh D(PDB) dan D(TOTAL)
meskipun tidak signifikan (cateris paribus).
Sementara itu pada periode pertama forecast error variance dari D(TOTAL) yang dapat dijelaskan oleh
D(TOTAL) sendiri sebesar 99.41480% dan sudah terpengaruh oleh D(PDB) sebesar 0.585197%. Pada
periode kedua forecast error variance dari D(TOTAL) yang dapat dijelaskan oleh D(TOTAL) sendiri
menurun menjadi sebesar 93.62999% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) meningkat menjadi
sebesar 6.370010%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan
oleh D(TOTAL) menurun menjadi 80.92555% dan yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sebesar 19.07445%.
Hasil ini menyimpulkan bahwa fluktuasi dari D(TOTAL) dipengaruhi oleh D(PDB) dan D(TOTAL) (cateris
paribus).
Sementara pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa pada periode pertama forecast error variance dari
D(PDB) yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sendiri sebesar 100% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh
D(RTN) sebesar 0%. Pada periode kedua forecast error variance dari D(PDB) yang dapat dijelaskan oleh
D(PDB) sendiri sebesar 99.92079% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) hanya sebesar
0.079212%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan oleh
D(PDB) sebesar 99.90216% dan yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) sebesar 0.097839%. Hasil ini
menyimpulkan bahwa fluktuasi dari D(PDB) lebih banyak dipengaruhi oleh D(PDB) sendiri dan D(RTN)
hampir tidak mempunyai pengaruh .
Sementara itu pada periode pertama forecast error variance dari D(RTN) yang dapat dijelaskan oleh
D(RTN) sendiri sebesar 81.60653% dan sudah terpengaruh oleh D(PDB) sebesar 18.39347%. Pada periode
kedua forecast error variance dari D(RTN) yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) sendiri menurun menjadi
sebesar 79.51457% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) meningkat menjadi sebesar 2048543%.
Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) menjadi
56.52548% dan yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sebesar 43.47452%. Hasil ini menyimpulkan bahwa
fluktuasi dari D(RTN) dipengaruhi oleh D(PDB) dan D(RTN) (cateris paribus).
Sedangkan pada Lampiran 6 juga menunjukkan bahwa bila ada shock terhadap D(PDB) maka dampak
dari shock tersebut dapat dijelaskan oleh D(PDB) sendiri dengan porsi yang semakin menurun dengan
bertambahnya periode dan semakin besarnya dampak yang dapat dijelaskan oleh D(PEMB). Pada
sepuluh periode mendatang yang dapat dijelaskan D(PDB) sebesar 90.63020% dan oleh D(PEMB) sebesar
9.369801%. Demikian sebaliknya apabila ada shock D(PEMB) maka efek dari shock tersebut dapat
dijelaskan baik oleh D(PDB) maupun oleh D(PEMB).
Pada Lampiran 6 , baik shock terhadap D(PDB) maupun D(SKTR1) masing-masing lebih banyak
dijelaskan oleh variabel itu sendiri. Pada sepuluh periode mendatang shock terhadap D(PDB) hanya
dapat dijelaskan oleh D(SKTR1) sebesar 2.433968%. Sementara variance decomposition D(PDB) dengan
D(SKTR2), shock terhadap masing-masing variabel dapat dijelaskan baik oleh variabel itu sendiri maupun
oleh variabel yang lain. Demikian pula untuk D(PDB) dengan D(SKTR3).
PEMBAHASAN
Granger causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara produk domestik
bruto dengan total pengeluaran pemerintah. Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara signifikan produk
domestik bruto berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dan total pengeluaran
pemerintah tidak signifikan berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto.
Granger causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan searah antara produk domestik bruto
dengan pengeluaran rutin pemerintah. Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara signifikan produk
domestik bruto berpengaruh positif terhadap pengeluaran rutin pemerintah.
Hubungan Pengeluaran Pembangunan Pemerintah dan tiga sektor pembangunan dengan produk
domestik bruto.
Sejalan dengan alasan-alasan diatas maka pada dasarnya peningkatan produk domestik akan
memberi dampak kepada peningkatan pengeluaran pemerintah tak terkecuali pengeluaran
pembangunan, tergantung periode waktu pengaruhnya. Peningkatan pengeluaran pembangunan akan
memberikan dampak terhadap peningkatan produk domestik bruto setelah tiga periode ( tiga tahun).
Sedangkan peningkatan produk domestik bruto akan memberikan efek terhadap peningkatan
pengeluaran pembangunan setelah satu dan dua periode.
Secara umum pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran investasi pemerintah. Tentunya
tidak cepat memberikan pengaruh terhadap produk domestik bruto. Sebagai contoh pembangunan jalan
akan memberikan dampak setelah melewati beberapa periode. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
pengeluaran pembangunan mempunyai dampak setelah tiga periode.
Penelitian ini menggunakan data dari tahun 1970 sampai 2003, sehingga wajar bahwa dalam
penelitian ini sektor pertanian memberikan dampak atau pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
produk domestik bruto. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama periode tersebut secara rata-rata sektor
pertanian memiliki sumbangan yang besar dalam produk domestik bruto. Hal ini mendukung penelitian
Shergen Fan & Nertha Rao (2003) yang menyatakan bahwa sektor pertanian memberikan hasil positif
dan signifikan terhadap pertambahan output. Varina Hisbah (2000) dalam penelitiannya menggunakan
Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) 1998 memberikan hasil bahwa pengeluaran pemerintah ke sektor
pertanian memberikan dampak yang lebih baik.
Sebaliknya porsi pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian makin menurun sejalan
berkembangnya sektor manufaktur dan semakin berkurangnya nilai tambah dari sektor pertanian yang
disebabkan tidak efisien. Hal ini dibuktikan dari hasil uji kausalitas bahwa pengeluaran pembangunan
tidak banyak berpengaruh terhadap sektor pertanian. Bustanul Arifin dalam tulisannya Ekonomi Politik
menyatakan bahwa merupakan fenomena biasa dimana pendapatan negara yang semakin meningkat
maka alokasi untuk sektor yang berhubungan dengan bahan pokok akan berkurang (Engle Law).
Sektor infrastruktur dan transportasi merupakan sektor penting dalam pertumbuhan investasi.
Dengan infrastruktur dan transportasi yang kondusif maka akan meningkatkan perdagangan dan
investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan sektor
infrastruktur sangat dibutuhkan khususnya di luar Jawa. Akses ke sumber bahan baku maupun ke pasar
tujuan tidak dapat dilepaskan dari peranan sektor infrastruktur dan transportasi. Infrastruktur berfungsi
memfasilitasi sirkulasi barang, menyebarkan penduduk, memperluas perdagangan, mengurangi
kemiskinan dan memperbaiki kondisi lingkungan.
Menurut Mauritz H.M.Sibarani dalam penelitiannya berjudul “Kontribusi Infrastruktur terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Industri (26 Propinsi di Indonesia Tahun 1983-1997)” menyatakan bahwa
infrastruktur (jalan,listrik dan telepon) memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
agregat output yang diwakili oleh variabel pendapatan per kapita. Sementara menurut Munnel (1992)
pengeluaran publik (infrastruktur) mempunyai pengaruh timbal balik dengan pertumbuhan ekonomi.
Hanya saja menurut Munnel infrastruktur terjadi sebelum adanya aktifitas ekonomi.
Peningkatan produk domestik bruto akan membawa dampak kepada peningkatan secara signifikan
dan positif terhadap pengeluaran pembangunan merupakan hal yang logis. Pemerintah bahkan pada
tahun-tahun ke depan akan meningkatkan anggaran pembangunan khususnya infrastruktur.
Pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan akan memberikan dampak yang positif dan signifikan
setelah sembilan periode (tahun). Hal ini disebabkan sektor pendidikan merupakan investasi jangka
panjang, yang tidak secara cepat mempengaruhi perekonomian. Sektor pendidikan akan mempengaruhi
produk domestik bruto melalui peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana teori
pertumbuhan endogen bahwa pertumbuhan yang berkesinambungan dapat terjadi dengan teknologi
melalui investasi pemerintah dan swasta dengan R & D. Dengan teknologi maka akan terjadi perbaikan
proses produksi yang lebih efektif dan efisien. Elizabeth Tiur Manurung dalam penelitiannya “Peranan
Pendidikan dalam Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia 1969- 1993” mengatakan bahwa peran pendidikan
dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui :
1) peningkatan kualitas dan produktivitas
2) dalam proses adopsi dan pengembangan teknologi.
Berdasarkan hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa di Indonesia alokasi untuk sektor pendidikan
relatif masih kecil sehingga pertumbuhan ekonomi tidak begitu berpengaruh terhadap pengeluaran
pembangunan di sektor pendidikan. Hal ini mengingat pemerintah masih mempunyai masalah utang dan
hal lain yang lebih mendesak seperti subsidi BBM yang lebih diprioritaskan.
Kesimpulan
1. Granger causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara produk domestik
bruto dengan total pengeluaran pemerintah. Artinya fluktuasi dan dinamika produk domestik bruto
dapat dijelaskan oleh total pengeluaran pemerintah, demikian sebaliknya. Hal ini juga ditunjukkan oleh
impulse response function dan variance decomposition. Hanya saja berdasarkan estimasi VAR dampak
total pengeluaran pemerintah ternyata tidak signifikan terhadap produk domestik bruto. Hal ini banyak
dijelaskan oleh besarnya pengeluaran rutin sementara pengeluaran rutin banyak tidak produktif dan
bersifat kontraksi seperti pembayaran bunga utang.
2. Granger causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan searah antara produk domestik bruto
dengan pengeluaran rutin pemerintah. Fluktuasi dan dinamika pengeluaran rutin dapat dijelaskan oleh
produk domestik bruto. Hal ini juga ditunjukkan oleh impulse response function dan variance
decomposition.
3. Granger Causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara pengeluaran
pembangunan dan produk domestik bruto. Hal ini dapat dijelaskan karena pengeluaran pembangunan
pemerintah merupakan pengeluaran investasi dan lebih produktif. Hasil estimasi VAR dari ketiga sektor
pengeluaran pembangunan yang dipilih, menyimpulkan bahwa alokasi ke ketiga sektor tersebut
memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap produk domestik bruto. Sementara itu produk
domestik bruto lebih banyak memberikan dampak terhadap pengeluaran pemerintah di sektor
infrastruktur dan transportasi.
Attachments:
lampiran-lampiran 84 Kb
MENU UTAMA
Serambi
Profil BPPK
o Profil Organisasi
o Struktur Organisasi
o Kegiatan BPPK
o Dukungan SDM
Unit Organisasi
o Sekretariat BPPK
o Pusdiklat
o STAN
Hubungi Kami
Download
o Buku Digital
o Peraturan
o Research Paper
o Surat Edaran
o Tesis
o Majalah Digital
Galeri
Link Situs
Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan
Bapepam-LK
Ditjen Anggaran
Ditjen Pajak
Ditjen Perbendaharaan
Inspektorat Jenderal
Bank Indonesia
Bank Indonesia
Bappenas
Bappenas
Intranet BPPK
Pengunjung
Kemarin 4978
Seluruhnya 1834482
Hakcipta © 2010 Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Semua Hak Dilindungi.
Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will
affect the equilibrium price level and real GDP:
Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will
affect the equilibrium price level and real GDP:
Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will
affect the equilibrium price level and real GDP:
Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will
affect the equilibrium price level and real GDP:
Government spending increases
This is where the Keynesian framework differs radically from others. Under this framework this increase in
government spending is an increase in aggregate demand, as the government is now demanding more goods and
services. So we should see Real GDP rise as well as the price level.
This is generally all that is expected in a 1st year college answer. There are larger issues here, though, such as how
is the government paying for these expenditures (higher taxes? deficit spending?) and how much government
spending chaces away private spending. Both those are isAggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question
- Part 5
Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will
affect the equilibrium price level and real GDP:
Workers expect high future inflation and negotiate higher wages now
If the cost of hiring workers has gone up, then companies will not want to hire as many workers. Thus we should
expect to see the aggregate supply shrink, which is shown as a shift to the left. When the aggregate supply gets
smaller, we see a reduction in Real GDP as well as an increase in the price level. Note that the expectation of future
inflation has caused the price level to increase today. Thus if consumers expect inflation tomorrow, they will end up
seeing it today.
Now you should be able to answer aggregate supply and aggregate demand questions on a test or exam. Good luck!