Anda di halaman 1dari 15

Maximillian

Pharmacy Business; an
overview of pharmacy
related and healthcare
industry
 Editor's Profile|
 Arsip|
 Pengumpan RSS

Arsip untuk ‘Supply Chain’ Kategori


Ethical, Kongkalikong Dokter Farmasi, Obat Resep, OTC, Pemasaran Obat Resep

The Unethical of Ethical


Di Market Review, Service Area, Supply Chain, Uncategorized dalam April 26, 2010 pada 00:00
<!--[endif]-->

So, you still thinking that the pharmacist as good as medical doctor, huh ? Get out from the
position pleasee…I just want to share my point of view which is come from the “body of real
business” in pharmacy industry. Here is the copy of interview between Businessweek Indonesia
and Francis Wanandi, Marketing Director of PT. Combiphar Indonesia :

[?] Kalau di negara maju, kategori mana yang lebih lebih banyak, obat ethical atau obat bebas
( OTC : Over The Counter ) ?

[+] Tetap lebih besar obat ethical, bahkan hingga 80%.

[?] Obat ethical itu kerap disebut unethical…Kenapa bisa begitu ?

[+] Di bisnis farmasi, ada satu moral isu ketika kami harus memberikan ketenangan pada pasien
bahwa obat yang kami produksi bisa memberikan kesembuhan. Tapi di sisi lain kami juga harus
melihat profitabilitas dan adanya persaingan di antara mereka yang bergerak di industri farmasi.
Persaingan inilah yang kerap menyebabkan industriawan farmasi melakukan berbagai cara agar
produk mereka diperhatikan.

[?] Lalu, kunci suksesnya apa ?

[+] Karena obat ethical ini tidak bersentuhan langsung dengan konsumen tapi harus melalui
dokter, kunci sukses pemasaran obat ethical ada di dokter. Karena kuncinya hanya dokter, kerap
terjadi bermacam cara untuk meyakinkan sang dokter agar mau menggunakan obat tersebut.

[?] Cara yang paling manjur yang pernah Anda lakukan apa ?

[+] Salah satunya menjadi sponsor bagi dokter. Misalnya untuk edukasi, trip visit, biaya liburan
keluarga, dan lain sebagainya. Read the rest of this entry »
▶ View 9 Comments

Apoteker, bisnis apotek, distribusi obat, Manajemen Apotek, Menjalankan Apotek, Pelayanan
Apotek, Retail Obat

Manajemen Bisnis Apotek
Di Supply Chain dalam Mei 17, 2009 pada 01:10

Indikator Kinerja Ritel Apotek

Mengevaluasi komentar pengunjung pada tulisan Apotek Bisnis Basah di Samudera Biru, Max
memutuskan untuk melakukan pembahasan seputar indikator kinerja ritel apotek dengan
menggunakan pembandingan  manajerial ritel dan  sistem pelayanan klinik.

Optimasi bisnis pelayanan kesehatan ( Healthcare Business) pada apotek di Indonesia terbilang
unik, kenapa ? Tulang punggung pemasaran obat di Indonesia bukan pada jejaring distributor
ritel via apoteker, melainkan justru menggunakan tenaga dokter yang memiliki jam interaksi dan
tingkat kepercayaan lebih tinggi dibanding sosok profesi apoteker. Terlepas dari aspek legalitas
profesi, strategi ini adalah model optimal dengan pangsa pasar ethical : OTC adalah 80:20.
Pasien akan patuh pada resep yang diberikan oleh dokter ( obat ethical), dan bukan pada
rekomendasi apoteker, ditambah pada sosok apoteker sendiri yang tidak optimal menjalankan
fungsi profesi pada bisnis apotek ( tidak signifikan eksistensinya secara profitabilitas maupun
produktifitas apotek). Alokasi investasi sponsor untuk dokter  ( edukasi, bonus, wisata) di
internal perusahaan farmasi  nilainya bisa mencapai 40- 50% dari harga obatnya itu sendiri.
Dalam pembahasan ini, faktor dominan variabel dokter dalam pola pemasaran obat masuk dalam
pertimbangan utama, disamping faktor lain yang tentunya memiliki pengaruh. Dimensi penilaian
bisnis pelayanan ( Service Business) yang ritel apotek masuk ke dalam kategori ini, meliputi lima
hal, yaitu :

Read the rest of this entry »

▶ View 13 Comments

Bahan Baku Farmasi; 90% Impor


Di Pharmaceutical Technology, Supply Chain dalam Oktober 13, 2008 pada 04:05
Demand Projection for Pharmaceuticals

The market of pharmaceuticals in the country is expected to continue increasing by some 15-18
% a year within the next five years. . There were three factors contributing to optimistic
expectation . First and the most important factor was rupiah stability hovering around 9,000 per
U.S. dollar. The rupiah stability is important as imported basic materials accounted for 85%-
90% of the cost of good sold for pharmaceutical products in the country. The 5% hike in the
prices of medicines had no much effect on the sales as the consumers have been used to 8%-10%
inflation rate.

Second, was the growing awareness of the people of health as indicated by the fast growing
consumption of health drinks (energy drink) since 2002, and an increase in per capita sales.

Third, was per capita consumption, which was still among the lowest in Asean. Per capita
consumption of pharmaceuticals was about US$ 8 a year as against US$ 15 in Malaysia, the
Philippines and Thailand and about US$ 25 in Singapore.

Pasar obat Indonesia potensial, namun data lapangan menunjukkan bahwa penyerapan pasar
sangat kecil, bahkan paling kecil di Asia Tenggara. Denga ukuran jumlah penduduk Indonesia
yang besar, ini memang aneh.

Banyak variabel irasional yang terbentuk dari konstruksi budaya lokal, terutama pandangan
bahwa kesehatan bukan hak orang yang tidak memiliki penghasilan layak.

Dari data penjualan obat di Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa berbisnis bahan baku
sintetik akan sangat tidak menguntungkan, terlihat dari penyerapan produk obat sintetik pada
sektor hilir farmasi.
Hampir 90% bahan baku yang digunakan di industri farmasi Indonesia adalah impor.
Ketergantungan yang teramat tinggi pada bahan baku impor menjadikan industri farmasi
Indonesia sangat rawan, apalagi dengan keadaan kurs rupiah yang tidak stabil, manakala rupiah
anjlok, perusahaan akan ikut goyah.

Mengenai impor bahan baku sebenarnya semua negara di dunia juga melakukannya, bahkan AS
pun sekitar 50% bahan baku obatnya juga diimpor,namun yang menyebabkan mereka terus
tumbuh dan seimbang antara neraca impor dengan ekpornya adalah karena bahan baku lokalnya
pun diekspor. Lain dengan Indonesia, meski 90% bahan bakunya impor dengan bahan baku lokal
sejumlah 10 %, bahan baku lokal ini belum bisa diekspor.

by : Maximillian

▶ View 8 Comments

Naturalife Greenworld

( Konspirasi ) Dokter dan Perusahaan Farmasi


Di Service Area, Supply Chain dalam Juli 21, 2008 pada 15:09

Perusahaan farmasi adalah sebuah ”bisnis”, paham ? Jadi, ini adalah masalah profitabilitas,
penguasaan pasar, pengaturan kapital, investasi riset -inovasi teknologi, dan pertumbuhan bisnis. Obat, adalah
”produk” yang membutuhkan pasar- Dan pastikan juga bahwa pasar memang butuh produk, walaupun dengan
”dipaksa- merasa- butuh”-. Dan pasarnya adalah pasien, ya ? Anda butuh konsumen untuk membeli produk Anda,
jika Anda ingin profitabilitas perusahaan Anda sehat, ya kan ? Dan, jika produk perusahaan Anda adalah obat,
maka Anda membutuhkan jejaring pemasar yang dipercaya konsumen alias pasien, yaitu dokter ( Dokter punya
merek personal yang dipercaya secara emosional oleh pasien dan secara kognitif-kompetensi oleh perusahaan
obat ). Mutualisme yang positif secara bisnis, namun ilegal di mata hukum positif negara, ini ada aturan yang
membatasi.

Likuiditas pasar obat, sangat terbatas, apalagi jika menyasar hanya pada konsumen kuratif
( penyembuhan), beda cerita jika produk bersegmen konsumen promotif ( pertahanan) dan preventif
( pencegahan), semacam makanan fungsional, vitamin, dan suplemen energi. Ketiga produk tersebut, sama masuk
ke kategori standar produksi farmasi, tetapi pasarnya sangat likuid, dan yang pasti profitabilitasnya ”basah kuyup”,
tidak aneh jika raksasa Pfizer, Merck, Bayer, Glaxo Smith-Kline, , IMS Health, dan Takeda- produk Takeda yang
Vitamin C walaupun dosis tinggi dan melebihi kadar yang sebaiknya dikonsumsi harian konsumen, ternyata laku
juga. Endorser memanfaatkan Miss Universe- yang perempuan itu- yang ”enak dipandang” itu memang efektif
membujuk konsumen ( contohnya penulis blog ini- yang laki- laki ini- sendiri)- selalu punya derivasi produk yang
menyumbang kas signifikan bagi profitabilitas korporasi. ( Kalau mau contoh yang lebih luar biasa, Red Bull
( KratingDaeng) bisa dijadikan contoh bagus)

Investasi riset yang biasanya masuk pada angka 10% sudah tinggi, bisa lebih tinggi untuk perusahaan farmasi,
belum lagi faktor uji klinik hingga tiga tahap serta uji bioekivalensi produk kompetitor yang membutuhkan investasi
SDM dan teknologi tidak murah. Sangat wajar jika perusahaan farmasi membutuhkan kapital besar, berikut
pemasaran agresif untuk kesehatan profitabilitas dan pertumbuhan perusahaan yang positif.

Kasus berikut adalah yang masih hangat dibicarakan di Amerika Serikat, hingga Juli 2008 ini :

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]--><!--[if gte
mso 9]> <![endif]-->

Penggunaan obat anti rokok dari Pfizer memicu debat tentang apakah pasien seharusnya diberi tahu soal ikatan
antara perusahaan farmasi dan para dokter. Pada April 2008, empat pakar menerbitkan makalah untuk
mengusulkan bahwa perokok dirawat analog dengan pasien penyakit kronis semacam diabetes. Artikel yang
diterbitkan dalam jurnal prestisius Annals of Internal Medicine ini mungkin akan menyelinap secara sembunyi-
sembunyi ke dalam tumpukan literatur anti merokok lain apabila dua paragraf terakhirnya tidak dibaca dengan
seksama.

Disitu, para penulis, Dr. Michael B. Steimberg dan Dr. Jonathan Foulds, mengaku telah menerima bayaran dari
pembuat produk- produk anti merokok. Salah satunya adalah Pfizer. Obat kontroversial dari perusahaan itu,
Chantix, mendapat tanggapan positif dari para dokter. Padahal, penggunaan Chantix secara berlebihan dapat
menimbulkan pemikiran untuk bunuh diri dan gejala penyakit kejiwaan lainnya.

Pengakuan ini memperkuat kecurigaan adanya dokter yang ’bermain mata” untuk mendongkrak penjualan
produsen farmasi. ” Ada keuntungan tersendiri bagi perusahaan obat yang menjual produk mereka kepada para
perokok seumur hidup- dan bukan hanya selama enam minggu-,” ujar Adriane J Fugh- Berman, ahli dari
Georgetown University yang turut menulis serangan internet terhadap makalah itu untuk The Hastings Center,
kelompok riset etika kesehatan dari Garrison ( New York). ” Obat- obatan dapat menjadi tambahan yang berguna
bagi mereka yang ingin berhenti merokok. Tapi, tujuan utamanya haruslah penghentian ( kebiasaan merokok) itu
sendiri,” katanya.

Makalah di Annals muncul hampir bersamaan dengan dipertegasnya tanda peringatan pada label Chantix oleh
Pfizer atas desakan Food and Drug Administration ( FDA) atau POM-nya AS. Adanya tanda peringatan ini justru
menimbulkan kekhawatiran bahwa ada dokter yang dibayar oleh industri farmasi untuk melindungi obat itu, yang
penjualannya di AS bernilai lebih dari $ 680 juta pada 2007.

”Kalau Chantix mempunyai cacat, akibatnya bisa sangat besar,” ujar Dr. Daniel Seidman, direktur klinik yang
bertugas menangani pasien yang ingin berhenti merokok di Columbia University. ” Orang- orang itu mungkin
berpikir uang dari industri tidak mempengaruhi pendapat mereka mengenai obat tersebut. Tapi kenyataan berkata
sebaliknya. Jika ada seseorang yang menggaji Anda, akan ada bias,” katanya. Dalam menjalankan praktek,
Seidman mengaku tidak menerima bayaran sepeser pun dari para produsen. Read the rest of this entry »

▶ View 13 Comments

apotek, bisnis apotek, bisnis farmasi, distribusi obat, marketing farmasi, Naturalife Greenworld

Strategi Marketing dan Distribusi Obat


Di Supply Chain dalam Maret 16, 2008 pada 15:49

a little bit of writer’s stupid talk!….

Menilik dari sejarahnya, sebenarnya industri farmasi kita berasal dari berkembangnya Pedagang Besar Farmasi
( PBF ) dan Importir di masa lalu. Jadi, kalau kita menyaksikan industri farmasi yang memiliki fasilitas manufaktur
seperti sekarang ini, sebenarnya hal itu baru berkembang sekitar tahun 1970-an.

Sekarang tantangan berat yang dialami industri pada saat


yang bersamaan juga mengimbas ke perusahaan-perusahaan
distributor farmasi atau distributor obat, terutama dihadapi
oleh kalangan distributor lokal yang memiliki daya saing
rendah. Pasalnya, ketimpangan yang tajam antara jumlah
perusahaan farmasi dengan jumlah distributor obat, apotek
dan toko obat, semakin kurang kondusif bagi perkembangan
usaha jika dilihat dari sisi skala ekonominya.
Kondisi industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang. Betapa tidak, dengan hanya 196 pabrik obat,
jumlah distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata
berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan dengan 2,3 apotek. Ketimpangan
tersebut bagaikan sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai skala ekonomi atau efisiensi, seharusnya
jumlah distributor nasional jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pabriknya. Dengan begitu, akan diperoleh rasio
dimana 1 distributor obat dapat melayani puluhan pabrik, tidak seperti sekarang ini dimana 1 pabrik obat dilayani
oleh beberapa puluh distributor. Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak memiliki
bentuk kerjasama, misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak lagi mampu bersaing.

Ketidakseimbangan ini semakin mendorong tidak efisiennya biaya operasional pendistribusian obat. Kecilnya
volume yang didistribusikan oleh satu PBF, bukan saja tidak efisien, juga tidak ekonomis, sehingga tidak dapat
bersaing secara baik. Dampaknya, obat-obat yang telah diproduksi mengikuti CPOB (cara pembuatan obat yang
baik) tidak dapat disimpan dan didistribusikan dengan baik. Begitu juga kualitas obatnya pun tidak lagi terjamin
oleh distributor, karena PBF tersebut tidak sanggup melaksanakan GDP (good distribution practice).

Berdasarkan regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk obatnya harus menggunakan
jalur PBF. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 2.250 distributor. Sedang jumlah retailer-nya: sekitar 5.695 apotek
dan 5.513 toko obat – besar dan kecil.

Selain itu, dari 196 perusahaan farmasi, sekitar 60 pabrik obat


menguasai lebih dari 80% total pasar, sedangkan 20% sisanya
diperebutkan oleh 140 parik obat lainnya. Dari jumlah itu
perbandingan antara perusahaan lokal dan multinasional masih 60
berbanding 40. Gambaran ini menunjukkan betapa lemahnya
persaingan industri farmasi di Indonesia, termasuk lemahnya skala
ekonomi distributornya, sehingga tak heran bila harga obat di
Indonesia bisa begitu melangit.

Peningkatan jumlah PBF yang sangat dramatis, selain karena rata-rata


pabrik obat mendirikan PBF sendiri, juga lebih dikarenakan regulasi
pemerintah yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang tidak
berbasis industri farmasi untuk mendirikan PBF. Jadi, meski jumlah pabrik obat tidak bertambah, sebaliknya malah
berkurang, namun jumlah PBF terus meningkat.

Perusahaan-perusahaan distributor dari negara- negara maju, yang memang telah terdukung oleh aplikasi TI,
mereka dapat lebih efisien. Selain itu, skala ekonomisnya sangat baik terpenuhi, karena volumenya sangat besar,
sehingga meski mendapatkan margin penjualan yang tipis, yakni antara 3-4% dari penjualan, hal itu masih sangat
menguntungkan.Di Indonesia rata-rata besar marginnya masih antara 11-12% dan tergantung pada beberapa
faktor lainnya, sehingga dalam konteks ini kemampuan distributor nasional untuk bersaing semakin kecil alias tak
mampu bersaing dengan baik.Pada tahun 2003, pasar produk-produk farmasi diperkirakan tumbuh sekitar 20%,
namun daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Produk obat-obatan yang selama ini diproduksi oleh 196

pabrik obat, 4 di antaranya merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN. Read the rest
of this entry »

▶ View 12 Comments

Peluang Ekspor Tumbuhan Obat Indonesia


Di Phytopharmacy, Supply Chain dalam Januari 5, 2008 pada 13:12

Pada tahun 2004, pemimpin eksportir tumbuhan obat dan tanaman aromatik dari negara berkembang
dengan tujuan Uni Eropa adalah Cina, India, Nigeria, Kenya, Bosnia- Herzegovina, Uzbekistan, dan
Afrika Selatan. Kurang lebih senilai 75 % dari impor ekstrak dan tanaman alkaloid berasal dari Cina dan
Madagaskar. Cina memasok senilai 36 % dari keseluruhan alkaloid negara berkembang, diikuti oleh India
( 25 % ) dan Brasil ( 19 %).

Pada 2004, nilai impor Uni Eropa untuk tumbuhan obat stabil pada
angka 375 milyar Euro, sedangkan nilai untuk kategori ekstrak dan
getah tumbuhan obat adalah 101 milyar Euro, serta tanaman alkaloid
senilai 521 milyar Euro, menurun jika dibanding tahun 2000. Untuk
tumbuhan obat dan tanaman aromatik, serta ekstrak dan getah
tanaman obat secara volume menunjukkan perkembangan positif,
dan ini mengindikasikan adanya penurunan secara umum dari segi harga.

Harga untuk kategori bahan alam di industri farmasi mengalami penurunan secara global. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya presentasi spesies strategis yang diproses dalam bentuk ekstrak atau
tanaman alkaloid mulai dibudidayakan secara masal. Pengembangan produk berkorelasi dengan akses
menuju bahan mentahnya. Saat produksi bahan mentah beralih dari tanaman liar menuju kultivasi
masal, maka harga bahan mentah akan mengalami penurunan secara bertahap juga.

Peluang Untuk Eksportir

Tidak mudah sebenarnya untuk melakukan pemastian prospek produk yang positif dari negara
berkembang. Kenapa ? Karena dalam hal ini terjadi transfer dalam jumlah besar bahan alam dari
negara berkembang ke industri farmasi untuk kepentingan riset. Industri farmasi berkepentingan
melakukan eksplorasi kekayaan alam hayati ( terutama variabilitas) untuk kepentingan komersial dan
sumber bahan biokimia. Tipe perdagangan semacam ini adalah perdagangan yang dikendalikan oleh
penelitian ( research driven trading). Perusahaan farmasi melakukan studi penelitian kandungan dan
efek pada spesies tanaman obat yang spesifik untuk kemudian pengembangan dilanjutkan dalam rangka
menemukan obat baru, lalu dipatenkan.

Riset semacam ini membutuhkan sumber daya yang sangat besar, baik dari segi pengetahuan,
teknologi, peralatan, hingga sokongan dana dimana hanya industri- industri farmasi skala besar yang
mampu melaksanakan. Eksportir dari negara berkembang sebaiknya mengambil peluang dari bahan
alam yang sudah diketahui kandungan dan efeknya, yang belum dipatenkan serta masih dapat
diperdagangkan secara bebas.

Sebanyak 2000 tumbuhan obat dan tanaman aromatik digunakan di Eropa untuk kebutuhan komersial.
Beberapa spesies botani secara konsisten dibutuhkan oleh banyak industri di US dan Eropa hingga
setidaknya lima tahun kedepan. ( Laird et al., 2002). Salah satunya adalah Echinacea, dan beberapa
tumbuhan yang paling banyak dibutuhkan adalah Gingko, Ginseng, Valerian, Goldenseal, dan Bawang
Putih.

Nilai impor Uni Eropa terhadap beberapa negara berkembang yang selama ini memasok tumbuhan obat
dan tanaman aromatik adalah :
Nilai perbandingan komoditas dan negara pengekspor tumbuhan obat dan tanaman aromatik adalah
sebagai berikut :

Ekspor Negara berkembang ke negara Uni Eropa cenderung menurun. Terutama untuk kategori
tumbuhan alkaloid, impor dari negara berkembang menunjukkan penurunan sebanyak 17% setiap
tahunnya antara tahun 2000 dan 2004. Namun, jika dilihat dari pangsa total keseluruhan impor di Uni
Eropa, negara berkembang memiliki posisi stabil pada perdagangan bahan baku alami untuk farmasi.

Pada 2004, negara berkembang kuat pada sisi pemasok tumbuhan obat dan tanaman aromatik, secara
nilai sekitar 39% dari total impor anggota Uni Eropa, dan 50 % secara volume dari total impor Uni Eropa.
Selama beberapa tahun terakhir, pangsa impor ke Uni Eropa dari negara berkembang selalu
berfluktuasi pada level ini.

Cina dan India adalah negara yang memiliki sejarah panjang dalam pengobatan bahan alam dan dengan
lahan mereka yang sangat luas, memposisikan diri sebagai pemimpin produsen bahan alam untuk
farmasi. Namun ekspor India untuk tumbuhan obat dan tanaman aromatik mengalami penurunan
sebesar 28 % pada sekitar tahun 2000 dan 2004. Negara berkembang yang mengalami peningkatan
ekspor untuk komoditas tumbuhan obat dan tanaman aromatik antara tahun 2000 dan 2004 adalah
Nigeria, Kenya, Bosnia- Herzegovina, Uzbekistan, dan Afrika Selatan. Sedangkan negara berkembang
yang mengalami penurunan ekspor adalah Brasil, Sudan, Argentina, India, Chile, Albania, dan
Masedonia.
Source : CBI ( Euro)

by : Maximillian

▶ View 5 Comments

Pasar Tumbuhan Obat dan Aromatik Dunia


Di Phytopharmacy, Supply Chain dalam Januari 4, 2008 pada 14:08

Selama tiga dekade terakhir telah terjadi pertumbuhan pengobatan bahan alam yang cukup substansial di berbagai
belahan dunia Saat ini, 80 % populasi di negara berkembang menggunakan obat berbasis bahan alam untuk
kebutuhan pelayanan kesehatan, dengan alasan pengobatan semacam ini tersedia secara luas dan mudah untuk
mendapatkannya. WHO telah memprediksikan bahwa pada dekade yang akan datang, persentase yang sama dari
penduduk dunia tetap akan menggunakan obat bahan alam. Pada banyak negara berkembang, penggunaan obat
bahan alam didukung oleh efek samping dari obat bahan kimia, berikut semakin besarnya akses publik tentang
informasi kesehatan ( WHO, 2005). Saat ini, pengobatan berbasis tanaman memiliki pangsa pasar sekitar 30 %
( FNR, Agency of Renewable Resources, 2005).

Prakiraan nilai keseluruhan dari farmasi bahan alam sangat bervariasi. Laird dan Pierce memperkirakan bahwa
market obat bahan alam berada pada angka 18,2 milyar Euro pada 1999 ( 1 Euro = 1,066 Dolar AS). Eropa memiliki
pangsa pasar sebesar 36 %, Asia 26 %, Amerika Utara 21 %, dan Jepang sebesar 11 %. Sisanya dari seluruh dunia
sekitar 7 % ( Lard and Pierce, 2002). Laporan nasional IENICA untuk Jerman memperkirakan tingkat turn over untuk
tanaman obat dan makanan fungsional sekitar 17, 9 milyar Euro ( 1 euro = 1,13 dolar AS) pada 2003, dengan
keseluruhan Eropa pada angka sekitar 6 milyar euro ( IENICA 2004).

Pada 2002, market dunia untuk bahan alam diperkirakan mencapai


angka 80 milyar euro pada 2010, dengan tumbuhan obat mencapai nilai
80% dari pasar ini ( LatinPharma, 2003). Hampir senilai 3,7 milyar euro (
dari harga produsen manufaktur hingga pedagang besar) berputar pada
obat herbal kategori OTC di semua negara Eropa di tahun 2003.

Di Eropa, kebutuhan farmasi bahan alam selalu meningkat senilai 10 %


setiap tahunnya, sebagian karena pertumbuhan popularitas metode
pengobatan alternatif dan sebagian juga karena semakin dikenalnya kemanfaatan dari sistem pengobatan
tradisional ( World Wildlife Fund). Namun, manakala pertumbuhan pasar suplemen herbal dan obat herbal
menurun pada angka moderat 4- 6 %, peningkatan pertumbuhan terlihat pada area makanan fungsional.
Diperkirakan penjualan ekstrak ke industri makanan, untuk kebutuhan produk makanan fungsional meningkat
sekitar 20 % per tahun ( Nutraingredients Europe 2006), sementara angka konsumsi meningkat pada angka 6- 7 %
per tahunnya, dengan pertumbuhan terbesar pada produk untuk kesehatan pencernaan dan sistem kekebalan
tubuh ( Foodtechnology, 2005)

Walaupun peningkatan pertumbuhan pasar di Eropa semakin menurun pada tahun terakhir, namun angka
pertumbuhan pasar obat bahan alam tetap ada. Pasar terbesar untuk fitofarmaka di Eropa adalah Jerman dan
Perancis, sekitar dua pertiga dari pasar Eropa pada angka 6 milyar Euro pada 2003 ( IENICA, 2004). Jerman
menguasai 39 % pangsa pasar, sementara Perancis, Italia, Polandia, Britania Raya, dan Spanyol mengitkuti pada
angka 29, 7, 6, 6, dan 4 %.

Selain informasi di atas, fakta di bawah ini mengindikasikan prospek obat bahan alam dan penggunaan bahan alam
di industri farmasi :

- Penerimaan obat yang mengandung ekstrak tumbuhan dalam jumlah yang sangat tinggi diantara pasien. Untuk
kategori obat semacam ini dapat digunakan sebagai obat psikiatri, penenang, kerusakan hati, atau sistem
kekebalan tubuh ( FNR, Agency of Renewable Resources, 2005)

- Pada 2001, market global untuk suplemen yang berhubungan dengan makanan berada pada angka 56,5 milyar
euro. Eropa pada angka 16,7 milyar euro. Suplemen herbal memiliki pangsa pasar 39 % dari total penjualan
( Grunwald and Herzberg, 2002). Untuk suplemen herbal tunggal, termasuk Echinacea, bawang [utih, ginseng,
goldenseal, saw palmetto, dan St John’s Wort, penjualannya di bawah performa yang seharusnya ( Nutraceuticals
World). Pasar suplemen herbal mengalami hambatan yang disebabkan oleh pasokan bahan baku, dalam hal ini
adalah dengan kualitasnya. Rata- rata pertumbuhan global berada pada angka 8,7 % ((Grünwald and Herzberg,
2002).

- Pada februari 2006, Institut Federal Jerman untuk Obat dan Peralatan Kesehatan ( BfArM) melaporkan total
jumlah obat herbal yang mendapatkan lisensi dan terregistrasi pada pasar Jerman. Terdapat total sejumlah 2454
produk obat bahan alam yang memiliki otoritas pemasaran atau telah melengkapi prosedur registrasi. Ini berarti
telah terjadi pertumbuhan sebesar 8 % sejak Agustus 2004. 1952 ( 79,5%) adalah tumbuhan tunggal dan 437
( 20,4%) merupakan kombinasi lebih dari satu tumbuhan atau ekstrak. BfArM juga melaporkan jumlah keseluruhan
anthroposophic dan obat homeopath terregistrasi, sebagian besar berbasis tumbuhan bahan alam ( BfArM, 2006)
by : Maximillian

Anda mungkin juga menyukai