Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan ’3 Idiots’

Dalam Today’s Dialogue, Metrotv membahas tema pendidikan. Anis Baswedan yang
menjadi host pada acara tersebut mengkorelasikan antara pendidikan dan guru. Ada sebab-akibat
yang signifikan antara mutu pendidikan dengan mutu guru. Kualitas maupun kuantitas. Maka dia
menyoroti bahwa banyaknya jumlah siswa yang tidak lulus UN, salahsatunya karena kualitas dan
kuantitas guru yang kurang memadai. Mulai dari gaji, pengangkatan dari honorer menjadi PNS,
hingga pemerataan tenaga pengajar di daerah-daerah terisolasi. Lain lagi dengan Redaksi Trans
TV, dalam liputannya mereka menyoroti bahwa banyaknya siswa yang tidak lulus UN karena
sistem pendidikan yang tidak terintegrasi. Masa belajar tiga tahun harus dilotere
‘keberhasilannya’ dengan tiga mata pelajaran saja. Maka jangan heran ketika ada siswa yang
stress, ada yang melempari sekolahnya, memukul gurunya, bahkan gantung diri. Karena segala
macam pengorbanan mereka, baik waktu maupun biaya — terlebih lagi harga diri — sirna begitu
saja.
Tapi menurut saya, pendidikan bukan sekadar tentang guru, atau sistem yang
menggaulinya. Pendidikan adalah sebuah filosofi kehidupan. Sebuah gairah yang seharusnya
muncul dalam setiap jiwa anak manusia. Gairah untuk mencari tahu, gairah untuk memakmurkan
semesta.
Gairah tingkat tinggi biasanya muncul saat mahasiswa. Karena begitu banyak
kesempatan, banyak pengaruh, terlalu banyak darah muda yang belum teralirkan. Maka ada
beberapa yang terus mengkritisi pemerintah, ada yang jadi entrepreneur, ada yang mengasah
softskill di organisasi, bahkan ada yang melatih dirinya di jalanan sambil melempar batu, bom
molotov, balok, bakar mobil polisi, memblokir jalan.
Entah siapa yang memulai, ada sebuah pernyataan bahwa katanya suara mahasiswa
adalah suara rakyat, dan suara rakyat adalah suara tuhan. Maka tidak berlebihan memang jika
mereka ‘berbuat seenaknya’. Demi demokrasi, katanya. Tapi, apakah gairah-gairah itu sudah
menjadi bagian dari solusi, bagian dari langkah memakmurkan semesta.
Ketika saya mahasiswa, seorang teman saya sering mencemooh mahasiswa lain yang
hanya beredar di lab, di perpustakaan, dan membuat penelitian. Menurut mereka, mahasiswa
seperti itu SO, study oriented. Harusnya mahasiswa itu berorganisasi, beraktivitas di luar,
katanya. Menjadi aib rasanya jika seorang mahasiswa menyandang status SO.
Baiklah, SO adalah aib buat mahasiswa. Lantas, apa namanya jika seorang mahasiswa
yang sudah diberi ilmu, tapi tidak memberikan manfaat atas ilmu itu. Apa sebutannya seorang
mahasiswa yang selalu sibuk dengan urusan kampusnya, sementara dia tidak kenal dengan
tetangga tempat kostnya. Bahkan tidak terdaftar di ketua RT.
Pada posisi inilah saya mulai gerah. Mutu dosen, lab yang terakreditasi, referensi literatur
yang lengkap, berapa nikmat lagi yang harus tidak disyukuri. Tidak ada lagi alasan untuk tidak
membuat suatu karya nyata. Lucu, ketika sebuah himpunan mahasiswa mengadakan acara bakti
sosial ke sebuah desa, dengan berbekal sapu, pengki, trash bag, dan sebungkus sembako. Tidak
salah memang. Tapi bukankah sebuah kemunduran ketika kemampuan yang tinggi tidak
diimbangi dengan hasil pemikiran dan karya yang sebanding.
Disini saya tidak men-judge bahwa Anda yang berbisnis saat kuliah, yang menjadi ketua
BEM, yang aktif di Pecinta Alam, sebagai mahasiswa yang premature. Semakin banyak kita
beraktivitas, maka pengenalan terhadap diri sendiri pun semakin tajam. Karena ia tahu
kemampuannya bukan di akademik, misalnya, tapi di bidang lain, maka ia terus dalami bidang
itu hingga menjadi sebuah nafas, atau bahkan sebuah identitas, menuju manusia paripurna.
Masalahnya, tidak semua bisa mencerna proses (metamorfosa) ini. Dengan alasan semangat
mahasiswa, semangat dakwah, ia dengan sengaja membunuh amanah yang diberikan orang tua
kepadanya. Ia dengan gagah membunuh potensi terpendamnya. Ia sudah mengumumkan dirinya
sebagai entrepreneur, misalnya, tanpa sempat melihat potensi sebenarnya. Bisa jadi hanya karena
malas belajar, malas buat tugas, ia mangkir dari kursi kuliah dengan alasan kegiatan
kemahasiswaan jauh lebih penting. Kerja untuk rakyat, katanya.
Ingat film 3 Idiots? Seperti itulah filosofi pendidikan, menurut saya. Rancho suka
engineering. Ia bergairah, bernafsu, dan berambisi memakmurkan kehidupannya dengan
rekayasa teknologi. Raju, ia yakin bahwa dengan kejujuran, orang bisa sukses, dimanapun. Dan
Farhan, yang sangat mencintai fotografer. Ia yakin kemampuannya di sana. Maka itulah yang ia
kejar. Rancho menyadarkan, bahwa universitas bukan mencetak bibit-bibit kapitalis yang tunduk
mengikuti sistem. Dan juga bukan brandalan yang saling melempar batu, yang membuat
pengguna jalan geram. Tapi manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Minimal untuk dirinya
sendiri dan keluarga.
Begitu saja. Saya juga bukan Rancho, hanya bermimpi jadi Rancho. Saya juga bukan
Farhan, tapi ingiiinn banget punya kamera SLR. Dan Raju, saya juga belum bisa sejujur dia.
Maka yang menjadi penting di sini ialah pengenalan jati diri, bermimpi, dan bersungguh-
sungguh. Tools untuk menjalani proses itu semua ialah pendidikan. Mau tidak mau, suka tidak
suka, Anda harus belajar, harus mencari tahu, harus mengeksplor. Karena sudah tertinggal
puluhan tahun rasanya jika Anda tidak mengakses informasi.

Anda mungkin juga menyukai