Anda di halaman 1dari 20

KEBIJAKAN MSDM KEPOLISIAN RI MEMASUKKAN ESQ TRAINING DALAM

KURIKULUM LEMBAGA PENDIDIKAN POLRI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kepolisian Republik Indonesia, sebagai salah satu institusi “penjaga dan pemelihara’
keamanan dalam negeri selalu mendapat sorotan publik, walaupun selalu mengklaim
sebagai pengayom dan pelayanan masyarakat, Dalam UU No. 22 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara RI, kata Pelayanan disebutkan sebanyak 14 kali, Perlindungan
sebanyak 11 kali, Penegakan Hukum sebanyak 10 kali, dan Pengayoman sebanyak 7
kali. Namun sorotan masyarakat masih negatif, baik diri sisi kinerja maupun pelayanan
publiknya, selain kelambatan dalam penanganan kasus atau masalah keamanan. Akhir-
akhir ini instituse tersebut tengah diguncang sebuah dugaan adanya skandal mafia
pajak bahkan sampai melibatkan para jenderal polisi. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa polisi salah satu aparat negara yang paling korup (laporan ICW 2009), mulai dari
petugas bawahan di lapangan sampai jenderal. Gerangan apa yang terjadi? Padahal
salah satu penyebab “penyakit kepolisian” ini sudah terobati, setidaknya gaji kecil yang
dianggap sebagai salah satu penyebab perilaku korup anggota/pegawai Polri sudah
“diobati” dengan pemberian remunarasi sejak 2008. Bahkan POLRI termasuk dalam
lembaga negara pertama dan dianggap prioritas yang menikmati kebijakan remunerasi,
selain Kementerian Keuangan, BPK, dan Kesekretriatan Negara. Apakah pemberian
remunerasi masih “kurang”? atau bahkan kebijakan tersebut salah. Walaupun belum
ada evaluasi mengenai penerapan remunerasi di tubuh POLRI.

Secara teori, remunerasi adalah penataan kembali sistim penggajian yang dikaitkan
dengan sistim penilaian kinerja. Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan
proporsional. Artinya kalau kebijakan masa lalu menerapkan pola sama rata
(generalisir), sehingga dikenal adanya istilah PGPS (pinter goblok penghasilan sama).
Maka dengan kebijakan Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh
seorang pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang
disandangnya.

1
Dari sisi pengembangan Sumber Daya Manusia, di POLRI sendiri juga sudah ada
lembaga diklat khusus yang menangani (Lembaga Diklat POLRI), ada institusi
pendidikan khusus POLRI (SPN, AKPOL, SESPIM, SESPATI) dan berbagai jenis
pelatihan (terdapat lebih dari 23 jenis pelatihan).

Tapi kedua kebijakan pengembangan SDM melalui Remunerasi dan Lembaga Diklat
POLRI masih belum menunjukkan hasil menggembirakan, setidaknya dapat dilihat dari
hasil survey yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia (TII) tahun 2008
mengungkapkan bahwa Institusi Kepolisian dan Pengadilan merupakan dua Institusi
publik yang paling sering melakukan KKN. TII mencatat Kepolisian merupakan lembaga
publik yang paling sering menerima suap dengan indeks 48%. Sementara Pengadilan
merupakan institusi yang rata-rata nilai suapnya paling tinggi, mencapai 102,4 Juta
untuk sekali transaksi (Laporan TII, 22/01/09).

1.2 Deskripsi Permasalahan


Permasalahan di tubuh POLRI adalah terletak pada pengembangan Sumber Daya
Manusia, karena selama ini kinerja kepolisian selalu dianggap rendah. Sedangkan
kinerja organisasi adalah cerminan dari kinerja anggota atau individu-individu organisasi.
Adapun beberapa indikator mengenai kinerja kepolisian yang masih kurang yaitu:
a. Buruknya kualitas pelayanan publik (lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum,
berbelit belit, arogan, minta dilayani atau feodal style dsb.)
b. Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme)
c. Masih banyaknya ancaman keamanan masyarakat dan negara misal aksi
terorisme, tindak kriminal dan kekerasan.
d. Rendahnya kualitas disiplin dan etos kerja pegawai negeri.
e. Kualitas.manajemen pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak
efisien.
f. Kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan.

Menurut Emerson Yuntho (2010), wakil koordinator Indonesia Corruption Watch akar
penyebab masalah di Kepolisian RI, terutama mafia hokum dan KKN adalah merupakan
kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh dari mencukupi,

2
anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta tidak efektifnya
penjatuhan hukuman dari atasan. Dan hal tersebut terjadi secara struktural dan kultural.

1.3 Langkah Kebijakan yang Telah Ditempuh


Visi POLRI, yaitu mampu menjadi pelindung Pengayom dan Pelayan Masyarakat
yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang
profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak
azasi manusia, Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan
dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang
sejahtera. Untuk mencapai visi tersebut sekaligus memperbaiki kinerja kepolisian atau
setidaknya citra kepolisian di mata masyarakat berbagai langkah telah dilakukan
diantaranya
1. Menambah jumlah anggota POLRI
Dalam teori Rasio Polisi (Rasio Polisi adalah jumlah polisi dibandingkan dengan
jumlah penduduk suatu wilayah atau negara). Menurut PBB Rasio Polisi yang
ideal adalah 1 : 400 (1 polisi melayani 400 warga). Besar kecilnya Rasio Polisi
menentukan efektivitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Logikanya
semakin kecil Rasio Polisi semakin efektif pelayanan kepolisian kepada
masyarakat. Dan untuk di Indonesia sendiri, jika pada akhir Program
Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 - 2004 Rasio Polisi mencapai 1 : 750,
maka sampai dengan akhir tahun 2008 Polisi Rasio telah mencapai 1 : 578.
Diharapkan pada akhir tahun 2009, sasaran Rasio Polisi 1 : 500 dapat tercapai
sehingga dilakukanlan penambahan jumlah anggota POLRI.
2. Pembentukan KOMPOLNAS (Komisi Kepolisian Nasional) untuk memperkuat
fungsi pengawasan kepolisian RI secara eksternal dan independen.
3. Remunerasi bagi seluruh pegawai Kepolisian (termasuk PNS-nya). Remunerasi
dilingkungan Polri adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Kebijakan Reformasi birokrasi. Dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus
komitmen pemerintah untuk mewujudkan clean and good governance. Dan
remunerasi dalam hal ini termasuk dalam pengembangan SDM, jika dilihat dari
defenisi yang dikemukakan oleh Prasetya Irawan (2000) bahwa pengembangan
SDM adalah proses merubah SDM yang dimiliki oleh organisasi dari suatu
keadaan ke keadaan yang lebih baik.
4. Pengembangan Kualitas SDM

3
Melalui lembaga diklat khusus yang menangani (Lembaga Diklat POLRI), ada
institusi pendidikan khusus POLRI (SPN, AKPOL, SESPIM, SESPATI) dan
berbagai jenis pelatihan (terdapat lebih dari 23 jenis pelatihan). Bahkan hal ini
didukung dari segi anggaran, dimana untuk tahun 2010 angaran POLRI
mencapai Rp 27 T dan Rp 17 T adalah untuk belanja pegawai.

Namun semua kebijakan tersebut diatas serasa dimentahkan. Paling tidak kebijakan
remunerasi kini sedang disorot dikarenakan dianggap gagal meningkatkan kinerja
aparatur birokrasi atau bahkan yang paling mendasar yang merupakan tujuan dari
reformasi birokrasi, yaitu pemberantasan Korupsi. Adalah kasus mafia pajak Gayus
Tambunan (pegawai Dirjen Pajak) yang seolah-olah meruntuhkan teori remunerasi.
Kasus yang juga diduga melibatkan para Pejabat tinggi di kepolisian ini merupakan
”pukulan” telak bagi Pemerintah, terutama Kemenkeu yang mengklaim berhasil dalam
reformasi birokrasi melalui Remunerasi. Bagaimana bisa seorang Gayus pegawai
golongan IIIa dan masa kerja lima tahun yang sudah bergaji hampir Rp. 12,1 Juta
sebulan karena ada remunerasi sebesar Rp. 8,2 Juta mampu melakukan mafia pajak
sehingga memiliki kekayaan senilai sekitar Rp 28 M.

4
BAB 2 RUMUSAN MASALAH

2.1 Cara Pendekatan Masalah (Batasan Permasalahan)


Bertitik tolak dari uraian di atas, maka cara pendekatan masalah atau batasan masalah
yang akan dibahas dalam paper ini adalah mengenai kajian teori reformasi SDM Polri
melalui ESQ (Emotional dan Spiritual Quotien) sebagai langkah komplementer atau
pelengkap dalam reformasi birokrasi di tubuh POLRI. Kajian teori sendiri dilakukan
melalui beberapa pembahasan teori yang sudah ada dan pengalaman penulis yang
telah mengikuti ESQ Training.

2.2 Formal Problem Statement


Yang menjadi pertanyaan masalah dalam paper ini, melalui kajian teori dan
pengalaman, adalah Bagaimana peran Emotional and Spiritual Quotien training dalam
pengembangan Sumber Daya Manusia di Kepolisian Negara Republik Indonesia?
Bagaimana strategi implementasi kebijakan POLRI yang memasukkan ESQ training ke
dalam kurikulum di lembaga diklat kepolisian?

5
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT

3.1 Tujuan
Tujuan dari diselesaikan masalah ini adalah untuk mengetahui dan memastikan peran
ESQ training dalam pengembangan SDM POLRI sehingga dapat diambil langkah atau
solusi yang tepat bagi POLRI dalam melakukan reformasi birokrasi, yang mampu
mereformasi SDM secara fundamental. Dimana untuk memastikan hal tersbut dilakukan
melalui kajian teori dan pengalaman yang dialami oleh penulis sendiri.

3.2 Manfaat
Beberapa manfaat yang diharapkan didapat dari pembahasan masalah ini, adalah:
1. Teridentifikasi indikator apa saja yang membuat kinerja kepolisian masih
rendah, terutama dari sisi SDM.
2. Menemukan salah satu langkah tepat atau alternatif kebijakan dalam
pengembangan SDM di tubuh POLRI dalam mendukung reformasi birokrasi
3. Mencari strategi terbaik dalam implementasi kebijakan POLRI yang
memasukkan ESQ training ke dalam kurikulum di lembaga diklat kepolisian
(dengan metode SWOT Analysis)
4. Mempraktekan teori yang didapat oleh penulis sekaligus memperkaya
khasanah keilmuan dalam pengembangan SDM.

6
BAB 4 IDENTIFIKASI STAKEHOLDER
Dalam pembahasan masalah ini, Pengembangan Pegawai melalui Peningkatan
Kecerdasan Emosional-Spiritual (ESQ – Emotional Spiritual Quotient); Studi Kasus
Kebijakan MSDM Kepolisian RI memasukkan ESQ Training dalam Program
Pengembangan SDM, terdapat beberapa organisasi atau pihak yang terkait atau
berkepentingan atau stakeholder diantaranya:
1. POLRI, terutama di level pengambil keputusan (pejabat POLRI), lembaga ini
sangat berkepentingan karena masalah yang dibahas terkait dengan POLRI,
dimana dalam posisi ini mempunyai fungsi merancang, melaksanakan dan
mengevaluasi kebijakan ini;
2. ESQ Leadership Center, sebagai lembaga pelatihan profesional independen,
berfungsi sebagai training provider yang melayani program pelatihan ESQ bagi
anggota atau SDM POLRI;
3. Komite Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), sebagai salah satu ”mitra”
pemerintah dan lembaga independen pengawas kepolisian RI, agar melakukan
fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan POLRI termasuk dalam
pengembangan SDM.
4. Lembaga DIKLAT Kepolisian, sebagai lembaga yang menerapkan kebijakan ini
bagi peserta diklat.
5. Anggota POLRI, sebagai objek atau sasaran dari kebijakan ini yang
mendapatkan training ESQ ini.
6. Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti ICW melakukan fungsi
pengawasan eksternal terhadap kinerja dan kebijakan ini.

7
BAB 5 ANALISA KEBIJAKAN

5.1 Alternatif Kebijakan


5.1.1 Deskripsi Alternatif
Dalam pengembangan SDM banyak cara dilakukan oleh organisasi, mulai kompensasi,
promosi, demosi, diklat, dan sebagainya. Nadler (1980) dalam Prasetya Irawan (2000)
mengatakan bahwa ”That term human resources development mean those learning
experience which to about the possibility of behaviour change”. Dari defenisi ini
dipahamai bahwa Pengembangan SDM melibatkan proses perilaku (behaviour
engeenering). Salah satu cara yang sedang populer dilakukan oleh pemerintah adalah
Remunerasi, sistem penggajian berdasarkan, bobot kerja dan kinerja pegawai.
Kebijakan ini salah satunya bertujuan menghilangkan praktek KKN atau ”kerennya”
disebut Good and Clean Governance. Namun dari kasus-kasus yang akhir-akhir ini
terjadi, dari mulai mafia pajak Gayus, sampai pada eskalasi teror dan tindak kriminal di
tanah air. Menjadi pertanyaan besar, setidaknya bagi POLRI yang merupakan salah
satu lembaga pemerintah penerap Remunerasi.

Langkah yang telah ditempuh POLRI, misal Kebijakan Remunerasi, penulis anggap baru
menyentuh sisi materi atau bahkan berfokus pada materi atau dalam teori hierachy of
need-nya Maslow baru pada level 1, yaitu physical Needs atau tingkatan kebutuhan
terendah manusia. Pemberian Remunerasi dalam bentuk gaji yang di-grading dan di-
pricing yang disesuaikan dengan bobot dan kinerja pegawai seolah-olah menafikan
hakikat pegawai yang manusiawi. SDM atau pegawai atau manusia tidak hanya
”seonggok daging” yang hanya membutuhkan materi, namun juga memiliki ”hati” atau
jiwa atau spiritualitas sehingga kebijakan pemberian remunerasi yang sebatas hanya
materi tidak disertai dengan pemenuhan unsur manusiawi lainnya (jiwa) hanya akan
menciptakan pegawai yang berbudaya materialistis atau ”kasarnya” yang sering disebut
UUD (Ujung-ujungnya Duit). Sisi kejiwaan atau spiritualitas pegawai jarang atau bahkan
tidak pernah disentuh dalam pengembangan SDM organisasi, apalagi dalam teori-teori
manajemen dari barat yang materialistis oriented.

8
Selain itu dari sisi Lembaga Kediklatan, dimana ditubuh POLRI ada yang namanya
Sekolah Polisi Nasional, AKPOL, SESPIM, SESPATI, dan PTIK ditambah dengan
sekitar 23 jenis pelatihan, namun hal tersebut baru menyentuh sebatas peningkatan
pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan teknis-profesional. Diklat yang dilakukan
POLRI belum bisa membentuk sikap, kebiasan dan karakter setidaknya hal tersebut
dapat dilihat dari hasil riset IOM (International Organization for Migration) yang antara
bulan Juli 2005 dan Januari 2006, IOM memberikan pelatihan kepada para anggota dan
pejabat POLRI. Sebagian dari mereka menerima latihan di bidan Polmas (Perpolisian
Masyarakat), sedangkan sebagian lainnya di bidang hak azasi manusia. Sebelum dan
sesudah program pelatihan, 1.244 peserta diberi ujian pengetahuan sesuai dengan
bidang pelatihan mereka. Hasil ujian tersebut sebagaimana tabel di bawah

Sumber: International Organization for Migration (Maret 2006)


menunjukkan bahwa pelatihan telah meningkatkan pengetahuan peserta secara
signifikan, tapi itu baru sebatas perubahan terhadap pengetahuan, Bagaimana dengan
perubahan sikap, kebiasan dan karakternya? Fakta berbicara lain, misal terjadinya
kasus penganiayan yang dilakukan oleh Oknum POLRI (Polsek Beji Depok pertengahan
2010) terhadap salah satu anggota ICW (Indonesia Corruption Watch).

Ada sisi lain yang belum tersentuh oleh kebijakan pengembangan SDM ditubuh POLRI,
yaitu spiritualitas. Bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia sekarang ini bukanlah
semakin menipisnya lapisan ozon pada atmosfer bumi akibat pemanasan global,

9
ataupun luapan lumpur Lapindo yang tiada kunjung berhenti, bukan pula meningkatnya
angka kemiskinan akibat membubungnya harga BBM, bahaya besar itu adalah
perubahan fitrah manusia. Unsur kemanusian di dalam dirinya sedang mengalami
kehancuran sedemikian cepat, sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras
yang non manusiawi. Dengan kata lain inilah mesin yang berbentuk manusia, yang tidak
sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah.

Dalam dunia organisasi, sumber keunggulan kompetitif berganti dari waktu ke waktu.
Sumber daya manusia merupakan kunci utama untuk meraih keunggulan kompetitif,
karena sumber daya manusia adalah faktor yang unik yang tidak bisa disamakan
dengan sumber daya lainnya. Fungsi sumber daya manusia mempunyai peranan
penting dalam organisasi. Faktor manusia tidak lagi hanya sebagai faktor produksi,
tetapi telah dianggap sebagai asset organisasi. Sumber daya manusia mempunyai
fungsi penting dalam menentukan kesuksesan ketika organisasi menghadapi tantangan-
tantangan globalisasi.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu psikologi dan


perkembangan dalam mengelola sumber daya manusia, diketahui bahwa kesuksesan
seseorang bekerja bukan semata-mata didasarkan keterampilan dan kecerdasan
intelektual (IQ) yang tinggi, tetapi didasarkan juga pada kecerdasan emosional
(Emotional Quotient/EQ). EQ memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk
kesuksesan sumber daya manusia baik secara individu maupun kelompok dalam
menghadapi tantangan-tantangan globalisasi.

a. Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ)


Menurut Derk dalam Scott (1996) dalam Daru Asih (2009), kecerdasan adalah
kemampuan memproses informasi dan memecahkan masalah. Kecerdasan emosi
(EQ) adalah suatu kecerdasan yang merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan
diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya
dengan orang lain (Goleman, 2000 dalam Daru Asih, 2009). Sedangkan Salovey dan
Mayer dalam Goleman (2000) mendefinisi kecerdasan emosi sebagai kemampuan
memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan
perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dan secara lebih praktis, Scott

10
(1996) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memecahkan
masalah yang berhubungan dengan situasi sosial dan hubungan antara manusia.
Penemuan konsep EQ telah mengubah pandangan para praktisi sumber daya manusia
bahwa keberhasilan kerja bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan akademik
yang diukur dengan IQ yang tinggi tetapi lebih pada kecerdasan emosinya. Peran IQ
dalam mendukung keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah
EQ. Menurut Goleman (2000) dalam Daru Asih (2009), beberapa konsep yang perlu
diperhatikan adalah:
1. Kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah.” Pada saat-saat tertentu
yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah melainkan sikap tegas.
2. Kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan perasaan untuk
berkuasa, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresi
dengan tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar
menuju sasaran bersama.
Dalam sebuah organisasi atau organisasi yang banyak mengandalkan kerja kelompok
atau tim, EQ mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung keberhasilan tim.
Menurut Druskat dan Wolf (2001) dalam Daru Asih (2009) hasil studi menunjukkan
bahwa sebuah tim akan lebih kreatif dan produktif ketika di dalam tim tersebut tercipta
suatu partisipasi, kooperasi dan kolaborasi di antara anggotanya. Akan tetapi perilaku
interaktif tersebut memerlukan tiga kondisi yang harus dipenuhi, yaitu pertama, adanya
saling percaya di antara anggota (mutual trust among member) , kedua, setiap anggota
mempunyai sense of identity, yaitu bahwa timnya adalah suatu yang unik, kemudian
yang ketiga, setiap anggota tim mempunyai sense of efficacy, yaitu suatu kepercayaan
bahwa tim akan bekerja lebih efektif jika setiap anggota bekerjasama dibandingkan
apabila setiap anggota bekerja sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang cukup baik.
Syarat tersedianya kondisi tersebut di atas adalah adanya emosi. Ketiga hal tersebut
akan muncul dalam suatu lingkungan yang dalam hal ini emosi dikelola dengan baik. EQ
sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). EQ memberi kita kesadaran
mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Goleman (2000) dalam Daru
Asih (2009) menyatakan bahwa EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan
IQ secara efektif.

Menyusul temuan tentang EQ ini, pada akhir abad kedua puluh ditemukan lagi jenis
kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan spiritual, yang melengkapi gambaran utuh

11
mengenai kecerdasan manusia. Zohar dan Marshall (2000) dalam Daru Asih (2009)
mendefinisi kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi
persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup
kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakanatau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ
merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif,
dan SQ ini merupakan kecerdasan manusia yang paling tinggi tingkatannya. SQ
digunakan untuk menghadapi masalah-masalah eksistensial, yaitu ketika orang secara
pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu
akibat penyakit dan kesedihan. SQ dapat juga menjadikan orang lebih cerdas secara
spiritual dalam beragama, artinya seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin
menjalankan agamanya tidak secara picik, eksklusif, fanatik atau prasangka. SQ juga
memungkinkan orang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan
interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain.
Seseorang yang memiliki SQ tinggi cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh
pengabdian, bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi
kepada orang lain, dan bisa memberi inspirasi kepada orang lain.

b. Kecerdasan Emosi-Spiritual (ESQ)


Kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) merupakan sinergi dari EQ dan SQ yang pertama kali
digagas oleh Ary Ginanjar Agustian (2001) sebagai penggabungan antara kepentingan
dunia (EQ) dan kepentingan spiritual (SQ). Kecerdasan emosi-spiritual merupakan dasar
mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri dan juga
perasaan serta suara hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar kecerdasan
emosispiritual dalam membangun ketangguhan pribadi sekaligus membangun
ketangguhan sosial (Ginanjar, 2001). Kecerdasan emosi-spiritual juga merupakan
kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya
kepekaan emosi sebagai informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi untuk
mencapai sinergi, yakni saling menjalin kerjasama antara seseorang atau kelompok
orang dengan orang lain atau kelompok lain dan saling menghargai berbagai
perbedaan, yang bersumber dari suara hati manusia sebagai dasar mengenali dan
memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri, juga perasaan serta suara hati
orang lain.

12
Selama ini IQ, EQ dan bahkan SQ yang ada hanya berorientasi pada hubungan antar
manusia, sedangkan nilai-nilai transendental (Ketuhanan) baru sebatas filosofis saja.
SQ yang dipaparkan Danah Zohar dan Ian Marshall (seorang pakar manajemen,
psikolog, dan penulis best seller, Spiritual Capital) baru membahas sebatas adanya
God-Spot pada otak manusia, tetapi tidak memiliki nilai transendental atau hubungan
dengan Tuhan. Sedangkan kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) sebagai sinergi dari EQ
dan SQ ini sudah menjangkau nilai-nilai Ketuhanan. ESQ Model yang dikembangkan ini
merupakan perangkat kerja dalam hal pengembangan karakter dan kepribadian
berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman dan Rukun Islam, yang pada akhirnya akan
menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu
mengeksplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhiyah dan jasadiyah dalam hidupnya
(Ginanjar, 2001).

5.1.2 Hasil yang Akan Dicapai


Hasil yang dicapai dalam ESQ training adalah sebuah tahapan pengembangan diri
melalui penghayatan nilai-nilai fitarh manusia, yaitu Kecerdasan emosi-spiritual
senantiasa berpusat pada prinsip atau kebenaran yang hakiki yang bersifat universal
dan abadi, yiatu Sumber Daya Manusia yang memiliki 7 Budi Utama, Jujur, Tanggung
Jawab, Visioner, Disiplin. Kerja Sama, Adil, dan Peduli.

Konsep ESQ Model ini diyakini mampu melahirkan manusia unggul, namun bukanlah
suatu program pelatihan kilat. Hal ini memerlukan proses yang berkelanjutan dan
komitmen yang kuat. ESQ Model akan senantiasa berpusat pada prinsip atau
kebenaran yang hakiki yang bersifat universal dan abadi. Sejarah menunjukkan bahwa
orang-orang yang sukses adalah orang yang berpegang teguh pada prinsip. Prinsip
dasar adalah suatu kesadaran fitrah (awareness), yang berpegang pada Pencipta yang
Abadi, yakni prinsip akan Keesaan Tuhan.

5.2 Penilaian Alternatif Kebijakan


Kebanyakan program pelatihan selama ini telah berpegang pada suatu model akademis,
dan ini merupakan kekeliruan terbesar dan telah menghamburkan waktu dan dana yang
tak terhitung jumlahnya. Yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia sekarang ini adalah cara berpikir yang sama sekali baru tentang apa saja yang
dapat membantu orang mengembangkan kecerdasan emosional (Ginanjar, 2001).

13
Pada umumnya dampak nyata sebuah pelatihan apa pun jenisnya adalah mereka hanya
mendapatkan angin energi baru. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat, karena
setelah itu biasanya para peserta tersebut akan kembali pada kebiasaan semula saat
sebelum pelatihan. Dan hasil yang paling umum dari suatu pelatihan adalah
meningkatkan rasa percaya diri peserta, setidaknya untuk sementara waktu. Jadi,
pemahaman saja tidaklah cukup, diperlukan suatu pelatihan yang berkelanjutan
sehingga bisa menjadi suatu kebiasaan dan kemudian membentuk suatu karakter yang
diharapkan, dan dengan sendirinya kebiasaan lama yang buruk akan menghilang.

5.2.1 Analisis SWOT


Untuk menganalisis kebijakan POLRI yang memasukkan ESQ training ke dalam
kurikulum di lembaga diklat kepolisian, dilakukan melalui SWOT Analysis, yang
mencakup analisis lingkungan Internasl (S-Strength dan W-Weakness) dan Analisis
lingkungan Eksternal (O-Opportunity dan T-Threats). Hasil analisis dituangkan dalam
matriks sebagaimana dibawah:
Matriks Analisis Internal Kebijakan ESQ Training di POLRI
Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Skala score
S (kekuatan)
1. Dukungan anggaran besar 0.20 4 0.80
2. Komitmen pimpinan tinggi 0.20 4 0.80
3. Hubungan dengan training provider 0.10 3 0.30
sudah terikat MoU
4. Terdapat lembaga Diklat Internal 0.10 2 0.20
(SPN, AKPOL, SESPATI dan SESPIM)
Jumlah S 0.60 2.10
W (Kelemahan)
1. Belum didukung aturan resmi, baru 0.15 3 0.45
sebatas kebijakan internal
2. Besarnya Jumlah SDM Polri yang 0.15 3 0.45
harus dilatih (sekitar 360.000
personel)
Jumlah W 0.30 0.90
Total 0.90 3.00

14
Matriks Analisis Eksternal Kebijakan ESQ Training di POLRI
Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Skala score
O (Peluang)
1. Reformasi birokrasi akan 0.15 3 0.45
berhasil sehingga dukungan pemerintah
meningkat
2. Nilai-nilai ESQ akan 0.20 2 0.40
menciptakan Citizen Police (Perpolisian
Masyarakat)
3. POLRI menjadi model 0.15 2 0.30
pengembangan SDM bagi lembaga
negara lainnya sehingga meningkatkan
citra.
Jumlah S 0.50 1.15
T (Tantangan)
1. Pemberitaan negatif media 0.15 3 0.45
massa terhadap institusi POLRI
2. Isu negatif tentang ESQ 0.10 3 0.30
training, missal paham pluralisme.
Jumlah W 0.25 0.75
Total 0.75 1.90

Dari tabel di atas didapat hasil bahwa ∑ S-W (3.00) > ∑ O-T (1.90) sehingga Kebijakan
ini sangat mungkin diterapkan karena dukungan dari dalam lebih besar dari pada
pengaruh eksternal.

15
BAB 6 REKOMENDASI KEBIJAKAN
Untuk mendapatkan alternatif strategi kebijakan perlu dilakukan analIsis SWOT lanjutan dengan penjabaran kemungkinan strategi
yang ditempuh. Lebih jelas sebagaimana tabel di bawah:

S (Kekuatan) 2.10 W (Kelemahan) 0.90


1. Dukungan anggaran besar 1. Belum didukung aturan resmi, baru
2. Komitmen pimpinan tinggi sebatas kebijakan internal
3. Hubungan dengan training provider 2. Besarnya Jumlah SDM Polri yang
ANALISIS SWOT
sudah terikat MoU harus dilatih (sekitar 360.000 personel)
4. Terdapat lembaga Diklat Internal
(SPN, AKPOL, SESPATI dan SESPIM)
O (Peluang) 1,15 Strategi S-O (3.25) Strategi W-O (2.05)
1. Reformasi birokrasi 1. Pengalokasian anggaran dan 1. Menyusun aturan resmi tertulis, jika
akan berhasil sehingga komitmen pimpinan untuk keberhasilan perlu disebutkan dalam peraturan kepala
dukungan pemerintah kebijakan ini (tahun 2010, 62% POLRI
meningkat anggaran untuk belanja pegawai) 2. Mempersiapkan anggota POLRI agar
2. Nilai-nilai ESQ akan 2. Pengintegrasian nilai-nilai ESQ ke bisa menjadi kader-kader trainer dalam
menciptakan Citizen Police dalam Tri brata kepolisian dan pelatihan ESQ
(Perpolisian Masyarakat) keseharian
3. POLRI menjadi model 3. Mengembangkan kebijakan ini
pengembangan SDM bagi sebagai pilot project nasional
lembaga negara lainnya
sehingga meningkatkan citra.
T (Tantangan) 1,90 Strategi S-T (4.00) Strategi W-T (2.80)
1. Pemberitaan negatif 1. Melakukan publikasi informasi internal 1. Pengembangan sikap positif kepada
media massa terhadap agar berimbang seluruh anggota POLRI bahwa kritik
institusi POLRI 2. Mensosialisasikan kebijakan POLRI ini itu menyehatkan
2. Isu negatif tentang kepada masyarakat, beserta manfaat atau 2. Menjadikan setiap anggota POLRI
ESQ training, missal paham dampak positif apa yang akan dicapai layaknya PR (Public Relation)
pluralisme. 3. Melibatkan partisipasi masyarakat dalam
16
pengawasan kinerja kepolisian termasuk
dalam implementasi kebijakan ini.
Berdasarkan tabel Analisis SWOT di atas didapat beberapa alternatif strategi dalam rangka penerapan Kebijakan ini, yaitu:
1. Melakukan balancing publikasi informasi yang positif, misal penerbitan majalah Kepolisian berisi prestasi POLRI
2. Mensosialisasikan kebijakan POLRI ini kepada masyarakat, beserta manfaat atau dampak positif apa yang akan dicapai
3. Melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan kinerja kepolisian termasuk dalam implementasi kebijakan ini.

Langkah selanjutnya adalah memilih yang ”terbaik” dari beberapa alternatif di atas dengan menggunakan tabel prince analysis
sebagai berikut:
Matrix Prince Analisys
No Melakukan balancing Mensosialisasikan kebijakan Melibatkan partisipasi
publikasi informasi POLRI ini kepada masyarakat dalam
Kriteria yang positif, misal masyarakat, beserta pengawasan kinerja
penerbitan majalah manfaat atau dampak positif kepolisian termasuk
Kepolisian berisi apa yang akan dicapai dalam implementasi
prestasi POLRI kebijakan ini
Skala Bobot Skala Bobot skala Bobot
1 Efektifitas 20% 4 0.15 3 0.09 0.18
2 Efisiensi 15% 4 0.12 3 0.10 0.12
3 Kewajaran 15% 5 0.15 3 0.10 0.12
4 Kecukupan 15% 3 0.08 3 0.08 0.12
5 Tingkat Kesulitan 10% 5 0.10 4 0.09 0.09
6 Replikabilitas 10% 3 0.06 4 0.08 0.10
7 Kemampuan Pelaksanaan 15% 4 0.10 4 0.10 0.10
Jumlah Bobot : 100% 0.76 0.64 0.83

17
Berdasarkan matrix Prince Analisys di atas, maka strategi yang direkomendasikan Melibatkan partisipasi masyarakat dalam
pengawasan kinerja kepolisian termasuk dalam implementasi kebijakan ini. Strategi ini perlu diterapkan untuk menciptakan polisi
yang dekat dengan masyarakat (citizen police) .

18
BAB 7 STRATEGI PELAKSANAAN DAN ACTION PLAN

Berdasarkan matrix Prince Analisys di atas, maka strategi yang direkomendasikan


Melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan kinerja kepolisian termasuk
dalam implementasi kebijakan ini. Strategi ini perlu diterapkan untuk menciptakan polisi
yang dekat dengan masyarakat (citizen police).

KAPOLRI, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri dalam peringatan hari


Bayangkara ke- ke-64 di hadapan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil
presiden Boediono di halaman Gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada
tanggal 6 Juli 2010 mengatakan bahwa Program ESQ kami masukan ke dalam
kurikulum di lembaga pendidikan Polri. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengelola mind
set dan cultur set semua anggota Polri sehingga tidak akan melakukan perbuatan yang
dapat mencederai kemuliaan profesi kepolisian.

Pelatihan ESQ selama ini telah diberikan kepada berbagai unsur Polri seperti Kombes,
Bareskrim, Mabes, PTIK, Sespati, Sespim, AKPOL. Pelatihan ESQ dilakukan secara
berkesinambungan dan mendapat respon positif.

Irjen Pol. Edy Sunarno Deputi SDM Polri mengatakan bahwa kedepannya Polri akan
melanjutkan perbaikan kultur dan membangun peradaban Polri humanis yang dekat
dengan rakyat. Dimana Polri akan lebih dekat dengan rakyat bagaimana melayani,
mengayomi dan memberikan perlindungan dengan keikhlasan, kecerdasan emosional
yang cukup serta kecerdasan spiritual yang memadai sehingga tidak tertinggal oleh
bangsa-bangsa lain.

Untuk mewujudkan itu semua tentu dibutuhkan bantuan dari mitra-mitra Polri, salah
satunya adalah ESQ sehingga mulai tahun 2010 ESQ masuk dalam kurikulum wajib di
Akademi Kepolisian, SESPIM, dan SESPATI.

19
BAB 8 KESIMPULAN

Sumber daya manusia memiliki peran sentral dalam organisasi, sehingga kualitas
sumber daya manusia tersebut perlu diperhatikan untuk menjamin keberhasilan
organisasi. Kualitas sumber daya manusia tidak hanya dipandang dari satu sisi
kecerdasan saja, bahkan kecerdasan intelektual yang tinggi tidak menjamin
keberhasilan sumber daya manusia dalam bekerja maupun dalam kehidupan.

Kecerdasan emosi-spiritual memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas


sumber daya manusia, karena seseorang yang memiliki kecerdasan emosi-spiritual
tinggi akan memiliki pula daya kreativitas, visi, komitmen, integritas dan kemampuan
bersinergi dengan orang lain serta daya tahan mental untuk menghadapi tantangan.
Kecerdasan emosi-spiritual mampu mengintegrasi antara akal dan emosi dalam praktek
kehidupan dengan menyertakan unsur spiritual sehingga tercipta integrasi antara IQ, EQ
dan SQ, yang merupakan syarat utama suatu keberhasilan. Orang yang berhasil secara
lahir dan bathin adalah orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosi dan spiritual yang
tinggi secara seimbang, di samping kemampuan intelektualitasnya.

20

Anda mungkin juga menyukai