Paper MSDMPNSBISNISREV
Paper MSDMPNSBISNISREV
BAB 1 PENDAHULUAN
Kepolisian Republik Indonesia, sebagai salah satu institusi “penjaga dan pemelihara’
keamanan dalam negeri selalu mendapat sorotan publik, walaupun selalu mengklaim
sebagai pengayom dan pelayanan masyarakat, Dalam UU No. 22 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara RI, kata Pelayanan disebutkan sebanyak 14 kali, Perlindungan
sebanyak 11 kali, Penegakan Hukum sebanyak 10 kali, dan Pengayoman sebanyak 7
kali. Namun sorotan masyarakat masih negatif, baik diri sisi kinerja maupun pelayanan
publiknya, selain kelambatan dalam penanganan kasus atau masalah keamanan. Akhir-
akhir ini instituse tersebut tengah diguncang sebuah dugaan adanya skandal mafia
pajak bahkan sampai melibatkan para jenderal polisi. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa polisi salah satu aparat negara yang paling korup (laporan ICW 2009), mulai dari
petugas bawahan di lapangan sampai jenderal. Gerangan apa yang terjadi? Padahal
salah satu penyebab “penyakit kepolisian” ini sudah terobati, setidaknya gaji kecil yang
dianggap sebagai salah satu penyebab perilaku korup anggota/pegawai Polri sudah
“diobati” dengan pemberian remunarasi sejak 2008. Bahkan POLRI termasuk dalam
lembaga negara pertama dan dianggap prioritas yang menikmati kebijakan remunerasi,
selain Kementerian Keuangan, BPK, dan Kesekretriatan Negara. Apakah pemberian
remunerasi masih “kurang”? atau bahkan kebijakan tersebut salah. Walaupun belum
ada evaluasi mengenai penerapan remunerasi di tubuh POLRI.
Secara teori, remunerasi adalah penataan kembali sistim penggajian yang dikaitkan
dengan sistim penilaian kinerja. Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan
proporsional. Artinya kalau kebijakan masa lalu menerapkan pola sama rata
(generalisir), sehingga dikenal adanya istilah PGPS (pinter goblok penghasilan sama).
Maka dengan kebijakan Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh
seorang pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang
disandangnya.
1
Dari sisi pengembangan Sumber Daya Manusia, di POLRI sendiri juga sudah ada
lembaga diklat khusus yang menangani (Lembaga Diklat POLRI), ada institusi
pendidikan khusus POLRI (SPN, AKPOL, SESPIM, SESPATI) dan berbagai jenis
pelatihan (terdapat lebih dari 23 jenis pelatihan).
Tapi kedua kebijakan pengembangan SDM melalui Remunerasi dan Lembaga Diklat
POLRI masih belum menunjukkan hasil menggembirakan, setidaknya dapat dilihat dari
hasil survey yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia (TII) tahun 2008
mengungkapkan bahwa Institusi Kepolisian dan Pengadilan merupakan dua Institusi
publik yang paling sering melakukan KKN. TII mencatat Kepolisian merupakan lembaga
publik yang paling sering menerima suap dengan indeks 48%. Sementara Pengadilan
merupakan institusi yang rata-rata nilai suapnya paling tinggi, mencapai 102,4 Juta
untuk sekali transaksi (Laporan TII, 22/01/09).
Menurut Emerson Yuntho (2010), wakil koordinator Indonesia Corruption Watch akar
penyebab masalah di Kepolisian RI, terutama mafia hokum dan KKN adalah merupakan
kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh dari mencukupi,
2
anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta tidak efektifnya
penjatuhan hukuman dari atasan. Dan hal tersebut terjadi secara struktural dan kultural.
3
Melalui lembaga diklat khusus yang menangani (Lembaga Diklat POLRI), ada
institusi pendidikan khusus POLRI (SPN, AKPOL, SESPIM, SESPATI) dan
berbagai jenis pelatihan (terdapat lebih dari 23 jenis pelatihan). Bahkan hal ini
didukung dari segi anggaran, dimana untuk tahun 2010 angaran POLRI
mencapai Rp 27 T dan Rp 17 T adalah untuk belanja pegawai.
Namun semua kebijakan tersebut diatas serasa dimentahkan. Paling tidak kebijakan
remunerasi kini sedang disorot dikarenakan dianggap gagal meningkatkan kinerja
aparatur birokrasi atau bahkan yang paling mendasar yang merupakan tujuan dari
reformasi birokrasi, yaitu pemberantasan Korupsi. Adalah kasus mafia pajak Gayus
Tambunan (pegawai Dirjen Pajak) yang seolah-olah meruntuhkan teori remunerasi.
Kasus yang juga diduga melibatkan para Pejabat tinggi di kepolisian ini merupakan
”pukulan” telak bagi Pemerintah, terutama Kemenkeu yang mengklaim berhasil dalam
reformasi birokrasi melalui Remunerasi. Bagaimana bisa seorang Gayus pegawai
golongan IIIa dan masa kerja lima tahun yang sudah bergaji hampir Rp. 12,1 Juta
sebulan karena ada remunerasi sebesar Rp. 8,2 Juta mampu melakukan mafia pajak
sehingga memiliki kekayaan senilai sekitar Rp 28 M.
4
BAB 2 RUMUSAN MASALAH
5
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT
3.1 Tujuan
Tujuan dari diselesaikan masalah ini adalah untuk mengetahui dan memastikan peran
ESQ training dalam pengembangan SDM POLRI sehingga dapat diambil langkah atau
solusi yang tepat bagi POLRI dalam melakukan reformasi birokrasi, yang mampu
mereformasi SDM secara fundamental. Dimana untuk memastikan hal tersbut dilakukan
melalui kajian teori dan pengalaman yang dialami oleh penulis sendiri.
3.2 Manfaat
Beberapa manfaat yang diharapkan didapat dari pembahasan masalah ini, adalah:
1. Teridentifikasi indikator apa saja yang membuat kinerja kepolisian masih
rendah, terutama dari sisi SDM.
2. Menemukan salah satu langkah tepat atau alternatif kebijakan dalam
pengembangan SDM di tubuh POLRI dalam mendukung reformasi birokrasi
3. Mencari strategi terbaik dalam implementasi kebijakan POLRI yang
memasukkan ESQ training ke dalam kurikulum di lembaga diklat kepolisian
(dengan metode SWOT Analysis)
4. Mempraktekan teori yang didapat oleh penulis sekaligus memperkaya
khasanah keilmuan dalam pengembangan SDM.
6
BAB 4 IDENTIFIKASI STAKEHOLDER
Dalam pembahasan masalah ini, Pengembangan Pegawai melalui Peningkatan
Kecerdasan Emosional-Spiritual (ESQ – Emotional Spiritual Quotient); Studi Kasus
Kebijakan MSDM Kepolisian RI memasukkan ESQ Training dalam Program
Pengembangan SDM, terdapat beberapa organisasi atau pihak yang terkait atau
berkepentingan atau stakeholder diantaranya:
1. POLRI, terutama di level pengambil keputusan (pejabat POLRI), lembaga ini
sangat berkepentingan karena masalah yang dibahas terkait dengan POLRI,
dimana dalam posisi ini mempunyai fungsi merancang, melaksanakan dan
mengevaluasi kebijakan ini;
2. ESQ Leadership Center, sebagai lembaga pelatihan profesional independen,
berfungsi sebagai training provider yang melayani program pelatihan ESQ bagi
anggota atau SDM POLRI;
3. Komite Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), sebagai salah satu ”mitra”
pemerintah dan lembaga independen pengawas kepolisian RI, agar melakukan
fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan POLRI termasuk dalam
pengembangan SDM.
4. Lembaga DIKLAT Kepolisian, sebagai lembaga yang menerapkan kebijakan ini
bagi peserta diklat.
5. Anggota POLRI, sebagai objek atau sasaran dari kebijakan ini yang
mendapatkan training ESQ ini.
6. Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti ICW melakukan fungsi
pengawasan eksternal terhadap kinerja dan kebijakan ini.
7
BAB 5 ANALISA KEBIJAKAN
Langkah yang telah ditempuh POLRI, misal Kebijakan Remunerasi, penulis anggap baru
menyentuh sisi materi atau bahkan berfokus pada materi atau dalam teori hierachy of
need-nya Maslow baru pada level 1, yaitu physical Needs atau tingkatan kebutuhan
terendah manusia. Pemberian Remunerasi dalam bentuk gaji yang di-grading dan di-
pricing yang disesuaikan dengan bobot dan kinerja pegawai seolah-olah menafikan
hakikat pegawai yang manusiawi. SDM atau pegawai atau manusia tidak hanya
”seonggok daging” yang hanya membutuhkan materi, namun juga memiliki ”hati” atau
jiwa atau spiritualitas sehingga kebijakan pemberian remunerasi yang sebatas hanya
materi tidak disertai dengan pemenuhan unsur manusiawi lainnya (jiwa) hanya akan
menciptakan pegawai yang berbudaya materialistis atau ”kasarnya” yang sering disebut
UUD (Ujung-ujungnya Duit). Sisi kejiwaan atau spiritualitas pegawai jarang atau bahkan
tidak pernah disentuh dalam pengembangan SDM organisasi, apalagi dalam teori-teori
manajemen dari barat yang materialistis oriented.
8
Selain itu dari sisi Lembaga Kediklatan, dimana ditubuh POLRI ada yang namanya
Sekolah Polisi Nasional, AKPOL, SESPIM, SESPATI, dan PTIK ditambah dengan
sekitar 23 jenis pelatihan, namun hal tersebut baru menyentuh sebatas peningkatan
pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan teknis-profesional. Diklat yang dilakukan
POLRI belum bisa membentuk sikap, kebiasan dan karakter setidaknya hal tersebut
dapat dilihat dari hasil riset IOM (International Organization for Migration) yang antara
bulan Juli 2005 dan Januari 2006, IOM memberikan pelatihan kepada para anggota dan
pejabat POLRI. Sebagian dari mereka menerima latihan di bidan Polmas (Perpolisian
Masyarakat), sedangkan sebagian lainnya di bidang hak azasi manusia. Sebelum dan
sesudah program pelatihan, 1.244 peserta diberi ujian pengetahuan sesuai dengan
bidang pelatihan mereka. Hasil ujian tersebut sebagaimana tabel di bawah
Ada sisi lain yang belum tersentuh oleh kebijakan pengembangan SDM ditubuh POLRI,
yaitu spiritualitas. Bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia sekarang ini bukanlah
semakin menipisnya lapisan ozon pada atmosfer bumi akibat pemanasan global,
9
ataupun luapan lumpur Lapindo yang tiada kunjung berhenti, bukan pula meningkatnya
angka kemiskinan akibat membubungnya harga BBM, bahaya besar itu adalah
perubahan fitrah manusia. Unsur kemanusian di dalam dirinya sedang mengalami
kehancuran sedemikian cepat, sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras
yang non manusiawi. Dengan kata lain inilah mesin yang berbentuk manusia, yang tidak
sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam yang fitrah.
Dalam dunia organisasi, sumber keunggulan kompetitif berganti dari waktu ke waktu.
Sumber daya manusia merupakan kunci utama untuk meraih keunggulan kompetitif,
karena sumber daya manusia adalah faktor yang unik yang tidak bisa disamakan
dengan sumber daya lainnya. Fungsi sumber daya manusia mempunyai peranan
penting dalam organisasi. Faktor manusia tidak lagi hanya sebagai faktor produksi,
tetapi telah dianggap sebagai asset organisasi. Sumber daya manusia mempunyai
fungsi penting dalam menentukan kesuksesan ketika organisasi menghadapi tantangan-
tantangan globalisasi.
10
(1996) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memecahkan
masalah yang berhubungan dengan situasi sosial dan hubungan antara manusia.
Penemuan konsep EQ telah mengubah pandangan para praktisi sumber daya manusia
bahwa keberhasilan kerja bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan akademik
yang diukur dengan IQ yang tinggi tetapi lebih pada kecerdasan emosinya. Peran IQ
dalam mendukung keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah
EQ. Menurut Goleman (2000) dalam Daru Asih (2009), beberapa konsep yang perlu
diperhatikan adalah:
1. Kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah.” Pada saat-saat tertentu
yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah melainkan sikap tegas.
2. Kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan perasaan untuk
berkuasa, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresi
dengan tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar
menuju sasaran bersama.
Dalam sebuah organisasi atau organisasi yang banyak mengandalkan kerja kelompok
atau tim, EQ mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung keberhasilan tim.
Menurut Druskat dan Wolf (2001) dalam Daru Asih (2009) hasil studi menunjukkan
bahwa sebuah tim akan lebih kreatif dan produktif ketika di dalam tim tersebut tercipta
suatu partisipasi, kooperasi dan kolaborasi di antara anggotanya. Akan tetapi perilaku
interaktif tersebut memerlukan tiga kondisi yang harus dipenuhi, yaitu pertama, adanya
saling percaya di antara anggota (mutual trust among member) , kedua, setiap anggota
mempunyai sense of identity, yaitu bahwa timnya adalah suatu yang unik, kemudian
yang ketiga, setiap anggota tim mempunyai sense of efficacy, yaitu suatu kepercayaan
bahwa tim akan bekerja lebih efektif jika setiap anggota bekerjasama dibandingkan
apabila setiap anggota bekerja sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang cukup baik.
Syarat tersedianya kondisi tersebut di atas adalah adanya emosi. Ketiga hal tersebut
akan muncul dalam suatu lingkungan yang dalam hal ini emosi dikelola dengan baik. EQ
sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). EQ memberi kita kesadaran
mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Goleman (2000) dalam Daru
Asih (2009) menyatakan bahwa EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan
IQ secara efektif.
Menyusul temuan tentang EQ ini, pada akhir abad kedua puluh ditemukan lagi jenis
kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan spiritual, yang melengkapi gambaran utuh
11
mengenai kecerdasan manusia. Zohar dan Marshall (2000) dalam Daru Asih (2009)
mendefinisi kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi
persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup
kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakanatau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ
merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif,
dan SQ ini merupakan kecerdasan manusia yang paling tinggi tingkatannya. SQ
digunakan untuk menghadapi masalah-masalah eksistensial, yaitu ketika orang secara
pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu
akibat penyakit dan kesedihan. SQ dapat juga menjadikan orang lebih cerdas secara
spiritual dalam beragama, artinya seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin
menjalankan agamanya tidak secara picik, eksklusif, fanatik atau prasangka. SQ juga
memungkinkan orang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan
interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain.
Seseorang yang memiliki SQ tinggi cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh
pengabdian, bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi
kepada orang lain, dan bisa memberi inspirasi kepada orang lain.
12
Selama ini IQ, EQ dan bahkan SQ yang ada hanya berorientasi pada hubungan antar
manusia, sedangkan nilai-nilai transendental (Ketuhanan) baru sebatas filosofis saja.
SQ yang dipaparkan Danah Zohar dan Ian Marshall (seorang pakar manajemen,
psikolog, dan penulis best seller, Spiritual Capital) baru membahas sebatas adanya
God-Spot pada otak manusia, tetapi tidak memiliki nilai transendental atau hubungan
dengan Tuhan. Sedangkan kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) sebagai sinergi dari EQ
dan SQ ini sudah menjangkau nilai-nilai Ketuhanan. ESQ Model yang dikembangkan ini
merupakan perangkat kerja dalam hal pengembangan karakter dan kepribadian
berdasarkan nilai-nilai Rukun Iman dan Rukun Islam, yang pada akhirnya akan
menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu
mengeksplorasi dan menginternalisasi kekayaan ruhiyah dan jasadiyah dalam hidupnya
(Ginanjar, 2001).
Konsep ESQ Model ini diyakini mampu melahirkan manusia unggul, namun bukanlah
suatu program pelatihan kilat. Hal ini memerlukan proses yang berkelanjutan dan
komitmen yang kuat. ESQ Model akan senantiasa berpusat pada prinsip atau
kebenaran yang hakiki yang bersifat universal dan abadi. Sejarah menunjukkan bahwa
orang-orang yang sukses adalah orang yang berpegang teguh pada prinsip. Prinsip
dasar adalah suatu kesadaran fitrah (awareness), yang berpegang pada Pencipta yang
Abadi, yakni prinsip akan Keesaan Tuhan.
13
Pada umumnya dampak nyata sebuah pelatihan apa pun jenisnya adalah mereka hanya
mendapatkan angin energi baru. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat, karena
setelah itu biasanya para peserta tersebut akan kembali pada kebiasaan semula saat
sebelum pelatihan. Dan hasil yang paling umum dari suatu pelatihan adalah
meningkatkan rasa percaya diri peserta, setidaknya untuk sementara waktu. Jadi,
pemahaman saja tidaklah cukup, diperlukan suatu pelatihan yang berkelanjutan
sehingga bisa menjadi suatu kebiasaan dan kemudian membentuk suatu karakter yang
diharapkan, dan dengan sendirinya kebiasaan lama yang buruk akan menghilang.
14
Matriks Analisis Eksternal Kebijakan ESQ Training di POLRI
Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Skala score
O (Peluang)
1. Reformasi birokrasi akan 0.15 3 0.45
berhasil sehingga dukungan pemerintah
meningkat
2. Nilai-nilai ESQ akan 0.20 2 0.40
menciptakan Citizen Police (Perpolisian
Masyarakat)
3. POLRI menjadi model 0.15 2 0.30
pengembangan SDM bagi lembaga
negara lainnya sehingga meningkatkan
citra.
Jumlah S 0.50 1.15
T (Tantangan)
1. Pemberitaan negatif media 0.15 3 0.45
massa terhadap institusi POLRI
2. Isu negatif tentang ESQ 0.10 3 0.30
training, missal paham pluralisme.
Jumlah W 0.25 0.75
Total 0.75 1.90
Dari tabel di atas didapat hasil bahwa ∑ S-W (3.00) > ∑ O-T (1.90) sehingga Kebijakan
ini sangat mungkin diterapkan karena dukungan dari dalam lebih besar dari pada
pengaruh eksternal.
15
BAB 6 REKOMENDASI KEBIJAKAN
Untuk mendapatkan alternatif strategi kebijakan perlu dilakukan analIsis SWOT lanjutan dengan penjabaran kemungkinan strategi
yang ditempuh. Lebih jelas sebagaimana tabel di bawah:
Langkah selanjutnya adalah memilih yang ”terbaik” dari beberapa alternatif di atas dengan menggunakan tabel prince analysis
sebagai berikut:
Matrix Prince Analisys
No Melakukan balancing Mensosialisasikan kebijakan Melibatkan partisipasi
publikasi informasi POLRI ini kepada masyarakat dalam
Kriteria yang positif, misal masyarakat, beserta pengawasan kinerja
penerbitan majalah manfaat atau dampak positif kepolisian termasuk
Kepolisian berisi apa yang akan dicapai dalam implementasi
prestasi POLRI kebijakan ini
Skala Bobot Skala Bobot skala Bobot
1 Efektifitas 20% 4 0.15 3 0.09 0.18
2 Efisiensi 15% 4 0.12 3 0.10 0.12
3 Kewajaran 15% 5 0.15 3 0.10 0.12
4 Kecukupan 15% 3 0.08 3 0.08 0.12
5 Tingkat Kesulitan 10% 5 0.10 4 0.09 0.09
6 Replikabilitas 10% 3 0.06 4 0.08 0.10
7 Kemampuan Pelaksanaan 15% 4 0.10 4 0.10 0.10
Jumlah Bobot : 100% 0.76 0.64 0.83
17
Berdasarkan matrix Prince Analisys di atas, maka strategi yang direkomendasikan Melibatkan partisipasi masyarakat dalam
pengawasan kinerja kepolisian termasuk dalam implementasi kebijakan ini. Strategi ini perlu diterapkan untuk menciptakan polisi
yang dekat dengan masyarakat (citizen police) .
18
BAB 7 STRATEGI PELAKSANAAN DAN ACTION PLAN
Pelatihan ESQ selama ini telah diberikan kepada berbagai unsur Polri seperti Kombes,
Bareskrim, Mabes, PTIK, Sespati, Sespim, AKPOL. Pelatihan ESQ dilakukan secara
berkesinambungan dan mendapat respon positif.
Irjen Pol. Edy Sunarno Deputi SDM Polri mengatakan bahwa kedepannya Polri akan
melanjutkan perbaikan kultur dan membangun peradaban Polri humanis yang dekat
dengan rakyat. Dimana Polri akan lebih dekat dengan rakyat bagaimana melayani,
mengayomi dan memberikan perlindungan dengan keikhlasan, kecerdasan emosional
yang cukup serta kecerdasan spiritual yang memadai sehingga tidak tertinggal oleh
bangsa-bangsa lain.
Untuk mewujudkan itu semua tentu dibutuhkan bantuan dari mitra-mitra Polri, salah
satunya adalah ESQ sehingga mulai tahun 2010 ESQ masuk dalam kurikulum wajib di
Akademi Kepolisian, SESPIM, dan SESPATI.
19
BAB 8 KESIMPULAN
Sumber daya manusia memiliki peran sentral dalam organisasi, sehingga kualitas
sumber daya manusia tersebut perlu diperhatikan untuk menjamin keberhasilan
organisasi. Kualitas sumber daya manusia tidak hanya dipandang dari satu sisi
kecerdasan saja, bahkan kecerdasan intelektual yang tinggi tidak menjamin
keberhasilan sumber daya manusia dalam bekerja maupun dalam kehidupan.
20