Anda di halaman 1dari 2

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini ditolak yaitu


tidak adanya perbedaan yang signifikan pada pemahaman mengenai bangun ruang
pada siswa kelas 3 SD berdasarkan metode pengajaran yang diberikan. Metode
pengajaran yang dibandingkan di sini adalah metode pengajaran dengan alat
peraga berupa miniatur bangun ruang dan metode pengajaran ceramah.
Penggunaan alat peraga dalam pengajaran bangun ruang kurang efektif bila
dibandingkan dengan metode pengajaran ceramah.
Ada beberapa faktor penyebab tidak adanya perbedaaan yang signifikan,
terutama berkaitan dengan teknis pelaksanaan, yaitu proses penyampaian
informasi, materi, individual differences, penyaji. Proses penyampaian informasi
kurang dapat diterima oleh siswa kelompok eksperimen karena siswa-siswa
terfokus pada banyaknya karton-karton yang akan dilipat bukannya pada
pembahasan yang diberikan oleh penyaji, ada baiknya pemberian karton-karton
tidak sekaligus melainkan bertahap berdasarkan jenis bahasan yang akan
diberikan. Materi yang akan diberikan oleh penyaji pada kelompok kontrol dan
penyaji pada kelompok eksperimen berasal dari sumber yang sama, namun
pengembangan dari pembahasan tersebut benar-benar tergantung pada penyaji
sendiri, sehingga ada kemungkinan pemberian materi dan penekanan materi yang
penting oleh masing-masing penyaji itu berbeda antara satu dan yang lainnya.
Penyaji yang berbeda juga mempengaruhi cara penyampaian pesan. Karakteristik
dari masing-masing subjek juga mempengaruhi kemampuan subjek dalam
menerima materi dan berkonsentrasi, ada beberapa siswa yang dapat dengan
mudah memperhatikan penyaji tanpa terganggu dengan adanya stimulus eksternal,
tetapi ada juga siswa yang sangat terpengaruh dengan stimulus eksternal. Selain
dari itu ada juga hal-hal yang mempengaruhi seperti, adanya pembangunan di
sekolah tersebut yang menyebabkan adanya kebisingan saat kegiatan belajar
mengajar.
Kami mendapati bahwa anak lebih dapat berkonsentrasi dalam belajar
ketika stimulus yang diberikan sedikit, sehingga perhatian mereka tidak mudah
terpecah. Ketika mereka menggunakan alat peraga, siswa cenderung tidak
memahami materi mengenai alat peraga tersebut, tetapi mereka memfokuskan
kepada bagaimana mereka membuat alat peraga tersebut daripada berusaha
memahami ciri-ciri dari bangun ruang yang mereka buat. Dari penelitian ini kami
mendapati bahwa siswa lebih mudah memahami bahan pelajaran dua dimensi
daripada tiga dimensi. Bahan pelajaran dua dimensi disini adalah bahan yang
digunakan dalam metode pengajaran ceramah yaitu berupa gambar-gambar bangun
ruang, sedangkan bahan pelajaran tiga dimensi adalah alat peraga miniatur bangun
ruang tersebut.
Van Hiele menjelaskan bahwa tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui
siswa dalam pembelajaran bangun ruang, adalah sebagai berikut Level 0-Tingkat
Visualisasi, Level 1-Tingkat Analisis, Level 2-Tingkat Abstraksi, Level 3-Tingkat
Deduksi Formal, Level 4-Tingkat Rigor.

Menurut Van Hiele, dalam mempelajari bangun ruang, tahap kognitif siswa
kelompok kontrol telah mencapai level kognitif 1 pada tingkat Analisis, dimana
pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun ruang berdasarkan ciri-ciri
dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa
menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat
yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sedangkan tahap kognitif siswa kelompok
eksperimen baru mencapai level 0, yaitu tahap visualisasi dimana mereka
memandang sesuatu bangun ruang sebagai suatu keseluruhan (holistic). Pada
tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing
bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama
sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Van Hiele
menjawab mengapa hal ini terjadi dengan menjelaskan bahwa ketika siswa
mempelajari konsep bangun ruang haruslah melalui tahap-tahap kognitif diatas,
namun kemampuan mencapai tahap-tahap tersebut bergantung pada pengajaran
dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa. Dari hal diatas dan dari penelitian
ini, siswa agak kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan metode pembelajaran
yang baru, yang menggunakan alat peraga tiga dimensi, sehingga siswa
membutuhkan waktu yang lama ketika harus mencerna materi pelajaran yang
dalam hal ini juga merupakan sesuatu yang baru bagi siswa-siswa, sehingga fokus
perhatian siswa terbagi untuk menyesuaikan diri dengan materi baru serta metode
baru. Sebaliknya, ketika diberikan materi pelajaran baru dengan metode lama,
metode yang biasa didapat dari guru, siswa cenderung lebih mudah dalam
menyerap materinya karena fokus perhatian siswa hanya pada materi pelajaran
yang baru. Pemberian perlakuan yang diberikan berulang-ulang kepada siswa dapat
mengoptimalkan kemampuan penyerapan materi siswa.

Anda mungkin juga menyukai