Orang yang sudah dilahirkan kembali melalui firman kebenaran (ayat 18) bukan hanya harus menerima
firman dengan lemah-lembut (ayat 19-21), tetapi juga melakukan firman tersebut (ayat 22-27). Tema
“melakukan firman” merupakan nafas dari surat Yakobus yang memang sangat menentang formalitas
keagamaan saja, misalnya iman harus disertai perbuatan (2:14-26). Tidak heran, sebagian sarjana
menganggap ayat 22 sebagai ayat inti dari keseluruhan surat Yakobus.
Pasal 1:22-27 sendiri terdiri dari dua bagian. Di ayat 22-25 Yakobus menjelaskan alasan mengapa kita harus
menjadi pelaku firman, sementara di ayat 26-27 ia memberikan beberapa contoh praktis bagaimana menjadi
pelaku firman. Beberapa contoh tersebut selanjutnya akan dibahas secara lebih mendetil di pasal-pasal
selanjutnya.
Dalam kotbah kali ini kita hanya akan membahas ayat 22-25 saja. Mengapa orang yang sudah dilahirkan
kembali melalui firman harus menjadi pelaku firman? Dalam bagian ini Yakobus memberikan 3 alasan
penting:
Karena tidak melakukan firman berarti menipu diri sendiri (ayat 22)
Beberapa versi Inggris menerjemahkan kata sambung de di ayat ini dengan “dan” (YLT/NLB), sedangkan
mayoritas versi memakai “tetapi” (KJV/ASV/RSV/NASB). Berdasarkan arti umum kata sambung de dan
penggunaannya di surat Yakobus (37 kali), de di 1:22 sebaiknya diterjemahkan “tetapi”. Pemakaian “tetapi”
di sini tidak berarti bahwa melakukan firman merupakan kontras terhadap mendengarkan (menerima) firman.
Yang sedang dibandingkan Yakobus adalah antara mendengarkan firman saja dan melakukan firman
tersebut.
Istilah “pelaku firman” (poieths logon) merupakan ungkapan yang biasa dipakai orang Yahudi pada
waktu itu. Hanya saja, orang Yahudi biasanya menggunakan istilah “pelaku Taurat” (poieths nomon).
Modifikasi dari “Taurat” menjadi “firman” merupakan hal yang bisa dipahami, karena gereja mula-mula
menganggap ajaran Yesus sebagai hukum yang baru (band. Mat 5:17-48; Yak 1:25; 2:8; 4:11).
Nasehat untuk menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar saja, juga bukanlah hal asing bagi orang
Yahudi waktu itu. Masyarakat Qumran di dekat Laut Mati, Philo dan para rabi Yahudi mengajarkan hal ini.
Yakobus kemungkinan besar mendapatkan ajaran ini dari Yesus sendiri (Mat 7:21-27; Luk 6:46-49).
Larangan untuk menjadi pendengar firman saja bisa merujuk pada formalitas kegiatan pembacaan kitab
suci/ajaran Yesus di synagoge (band. 2:2), namun Yakobus tampaknya mengaplikasikan hal ini pada segala
macam aktivitas pembelajaran firman, baik yang bersifat publik (di synagoge atau persekutuan rumah)
maupun pribadi (di rumah sendiri).
Mengapa kita tidak boleh menjadi pendengar firman saja? Karena kita menipu diri kita sendiri! Kata
“menipu” (paralogizomai) dalam PB hanya muncul di sini dan Kolose 2:4 (LAI:TB “memperdayakan”).
Dalam konteks surat Yakobus, hal ini berhubungan dengan perasaan aman yang palsu yang muncul dari
Senin, 08 Februari 2010
MENGENAL FIQIH MUAMALAT KONTEMPORER
a. Buyu’ (Jual Beli) yaitu saling menukar harta dengan harta dalam pemindahan milik
dan kepemilikan.
b. Ijarah (Sewa Menyewa) yaitu salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan
dan lain-lain.
c. Syirkah yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
d. Qiradh (Mudharabah) yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (mudharib)
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
e. Rahn yaitu menahan salah satu harta milik si peminjam sebagi jaminan atas pinjaman
yang diterimannya.
f. Kafalah yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
g. Hiwalah yaitu akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak
lain yang wajib menanggung (membayarnya).
h. Wakalah yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal
yang boleh diwakilkan.
i. Ariyah (Pinjam Meminjam), menurut ulama Malikiyah dan Imam as-Syarakhsi (tokoh
fiqih Hanafi) Ariyah adalah pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi. Sedangkan
menurut imam Syari’iyah dan Hanabilah Ariyah berarti kebolehan memanfaatkan barang
orang lain tanpa ganti rugi.
j. Muzara’ah adalah penyerahan tanah pertani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua
(petani dan pemilik tanah), dengan bibit yang akan ditanam disediakan oleh pemilik
tanah.
k. Muhkabarah adalah penyerahan tanah pertani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua
(petani dan pemilik tanah), dengan bibit yang akan ditanam berasal dari penggarap.
l. Musaqat adalah akad pemberian pohon kepada petani/penggarap agar dikelola/diurus
dan hasilnya dibagi diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.
Secara bahasa kontemporer berarti pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa
kini; dewasa ini. Sedangkan Fiqh Muamalat Kontemporer adalah aturan-aturan Allah
SWT yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
kaitannya dengan ke harta bendaan dalam bentuk transaksi-transaksi yang modern.
Hukum Bisnis Syari’ah haruslah memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
a. Hukum asal Muamalah adalah boleh
b. Tujuannya untuk kemaslahatan manusia
c. Hukum Muamalah terdiri dari hokum yang tetap (tsabat) dan berubah (murunah)
d. Objeknya haruslah halal dan tayyib
e. Terhindar dari MaGHRib
Bisnis Syari’ah memiliki kandungan nilai tauhid yang berisi:
a. Misi khalifah / istikhlaf
b. Misi ibadah
c. Keseimbangan dunia akhirat
Dan dalam berbisnis, syari’ah juga menghendaki agar para pelaku bisnis senantiasa
berakhlak yang baik dalam setiap tingkah laku dan ucapan. Akhlak baik yang dimaksud
yaitu:
a. Kejujuran
b. Keterbukaan
c. Kasih sayang
d. Kesetiakawanan
e. Persamaan
f. Tanggung jawab
g. Profesional
h. Suka sama suka
Berikut ini adalah beberapa modifikasi akad Klasik yang terjadi pada Masa Kontemporer:
a. Hak intifa’ (memanfaatkan), contohnya Wadhi’ah yad Dhamanah
b. Uang Administrasi, contohnya Qardhul Hasan
c. Ujrah (fee), contohnya L/C, transfer
d. Kredit, contohnya Murabahah
e. Muazzi (Paralel) + Kredit (Muajjal / Taqsith), contohnya Salam
f. Jaminan (Rahn + Kafalah), contohnya Mudharabah
g. Perubahan sifat akad, contohnya Wadi’ah (awalnya bersifat tidak mengikat menjadi
mengikat)
h. Janji (wa’ad), contohnya Ijarah Mutahiya bi Tamlik
i. Wakalah
Yaitu pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama
muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidakjelasan atau ketidak-pastian)
dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktik akad fasid/batil.
Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Pada dasarnya, kita masih dapat menerapkan kaidah-kaidah muamalat klasik namun tidak
semuanya dapat diterapkan pada bentuk transaksi yang ada pada saat ini. Dengan alasan
karena telah berubahnya sosio-ekonomi masyarakat. Sebagaimana kaidah yang telah
diketahui:
المحفظة بالقديم الصلح و الخذ بالجديد الصلح
Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah
Yaitu memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus
praktik yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang
mengharamkannya. Dengan kaidah di atas, kita dapat meyimpulkan bahwa transaksi
ekonomi pada masa klasik masih dapat dilaksanakan selama relevan dengan kondisi,
tempat dan waktu serta tidak bertentangan dengan apa yang diharamkan.
Dalam kaitan dengan perubahan social dan pengaruh dalam persoalan muamalah ini,
nampak tepat analisis yang dikemukakan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ketika beliau
merumuskan sebuah kaidah yang amat relevan untuk diterapkan di zaman modern dalam
mengatisipasi sebagai jenis muamalah yang berkembang. Kaidah yang dimaksud adalah:
تغير الفتوى و اختلفها بحسب تغير الزمنة والمكنة و الحوال والنيات و العوئد
Berubah dan berbedanya fatwa sesuai dengan perubahan tempat, zaman, kondisi social,
niat dan adat kebiasaan
Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai terjadinya
perubahan, yaitu faktor tempat, faktor zaman, faktor kondisi social, faktor niat, dan faktor
adat kebiasaan. Faktor-faktor ini amat berpengaruh dalam menetapkan hokum bagi para
mujtahid dalam menetapkan suatu hokum bidang muamalah. Dalam menghadapi
perubahan social yang disebabkan kelima faktor ini, yang akan dijadikan acuan dalam
menetapkan hukum suatu persolan muamalah adalah tercapainya maqashid asy-syari’ah.
Atas dasar itu, maqashid asy-syari’ah lah yang menjadi ukuran keabsahan suatu akad atau
transaksi muamalah.
DAFTAR PUSTAKA
http://muamalat kontemporer.multiply.com
Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, Modul Mengenal Fiqh Muamalat
Dr. H. Nasrun Haroen, MA Fiqh Muamalah Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.