Anda di halaman 1dari 3

KEANEKARAGAMAN HAYATI

VS
KEANEKARAGAMAN KEPENTINGAN

Bolehlah ikut berbangga jika membaca di artikel-artikel kehutanan, Indonesia


selalu disebut-sebut sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi.
Ataupun ada juga yang menyebut negara dengan biodiversitas tertinggi nomer dua di
dunia setelah Brasilia. Ada lagi yang mengatakan Indonesia adalah negara
megabiodiversity, dengan kekayaan alam flora fauna yang sangat besar. Memang benar,
entah dengan perhitungan matematis seperti apa, keanekaragaman hayati Indonesia
menunjukkan prosen angka yang cukup tinggi dalam menambah kekayaan sumberdaya
alam kita.
Luas permukaan daratan Indonesia sebenarnya hanya 1,3 % dari luas seluruh
permukaan bumi, namun tidak kurang 17 % dari seluruh spesies dunia hidup di
Indonesia. Tambahan lagi banyak sekali spesies endemik yang tidak dijumpai di belahan
bumi manapun di dunia. Indonesia merupakan negara tropis kepulauan yang berada di
antara dua benua besar yang memiliki spesies dengan karakteristik sama sekali berbeda.
Hal inilah salah satu faktor pendukung banyaknya keanekaragam spesies di Indonesia
dan sebagai daerah peralihan yang memunculkan spesies yang khas atau endemik.
Namun, apakah dengan jumlah spesies yang banyak dan beragam tersebut dapat
terus menjamin bahwa kekayaan sumberdaya alam kita tidak akan habis? Padahal setiap
harinya pemanfaatan sumberdaya alam terus berlanjut tanpa pernah beristirahat,
keanekaragaman hayati Indonesia semakin hari semakin menipis jumlah spesiesnya dan
menjadi semakin rentan tiap individunya terhadap tekanan yang berasal tak lain adalah
dari manusia dan kepentingannya.
Sebenarnya apakah itu keanekaragaman hayati ? keanekaragaman hayati atau
sering disebut sebagai biodiversity, karena awalnya memang istilah ini muncul bukan
sebagai “produk dalam negeri”, akan tetapi pada pertengahan tahun 1980-an istilah
tersebut muncul dalam bahasan internasional dan buntutnya sampai sekarang kita selalu
menjumpai bahkan sampai berurusan dengan hal itu. Akan ada banyak versi jika kita
mengartikan istilah keanekaragaman hayati, yang saat ini tidaklah tepat jika masih
berkutat pada apakah keanekaragaman hayati itu dan ber-euforia bahwa kita adalah
negara dengan megabiodiversity-nya. Sudah sedikit terlambat atau malah sudah terlambat
sama sekali karena setelah sadar, kita telah kehilangan beberapa spesies yang tidak
mungkin dapat exist kembali. Tidak sedikit spesies flora fauna yang telah masuk pada
daftar extinction IUCN, yang tidak mungkin lagi dapat ditemui baik di alam maupun di
manapun dalam keadaan hidup. Kita masih bisa jumpai dalam bentuk awetan, apakah
pengawetan macam ini yang nantinya harus mereka dapatkan? Selain masuk dalam daftar
kepunahan, masih banyak spesies kita yang mengantri punah dengan masuk dalam daftar
endangered, vulnerable, rare, insufficiently known dan Red-List lainnya. Jika ingin
melihat angka, maka di dunia fauna 77 spesies mamalia, 21 spesies reptilia dan 126
spesies burung serta di dunia flora 36 spesies kayu merupakan angka yang sangat rapuh,
yang tiap saat dapat terus bertambah dan membutuhkan perlindungan. Di Indonesia
sendiri peraturan mengenai jenis tumbuhan dan satwa dilindungi didasarkan pada
Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa. Apakah dengan memasukkan mereka ke dalam daftar dilindungi dapat menjamin
kelestarian hidup mereka ?
Dalam kurun waktu 27 tahun ini semakin banyak jenis satwa yang dimasukkan
daftar dilindungi di Indonesia. Tahun 1970 tidak lebih dari 10 jenis satwa liar yang
dilindungi, tetapi tahun 1997 sampai tahun 2005 ini sudah 200 lebih satwa yang kita
dilindungi (Wiratno, 2000). Belum diketahui secara pasti tetapi baru sekitar 50-an jenis
tumbuhan yang masuk dalam daftar dilindungi. Inikah keberhasilan yang kita inginkan ?
Apakah dengan memasukkan sebanyak mungkin spesies yang dilindungi ke dalam daftar
maka kita akan dapat menyelamatkan lebih banyak keanekaragaman hayati kita ?
Demi kepentingan manusia, kita telah ikut menyumbangkan angka dalam daftar
laju kepunahan spesies. Laju kepunahan spesies begitu tinggi dan terjadi dalam waktu
yang sangat singkat. Peristiwa kepunahan yang tercatat sejak tahun 1600, menunjukkan
bahwa telah punah 491 spesies satwa. Untuk dunia satwa, tiap tahunnya diperkirakan tiga
spesies punah. Entah berapa spesies tumbuhan yang juga ikut hilang akibat kerusakan
hutan. Laju kerusakan hutan untuk industri, konversi untuk lahan pertanian dan
perkebunan serta transmigrasi mencapai 1,3 juta ha per tahun (World Bank, 1994),
menjadi bukti kalau selama ini kepentingan kita, manusia lebih diutamakan. Satu
individu pohon dapat menjadi penyokong bagi kehidupan makhluk lainnya. Eksploitasi
hutan secara berlebihan telah mengacaukan habitat serta ekosistem kita. Jika hal ini terus
berlanjut daftar spesies terancam punah akan semakin panjang, melebihi panjang daftar
keanekaragaman hayati kita. Apakah ini suatu bentuk keseimbangan ?
Kondisi krisis keanekaragaman hayati kita selama ini disebabkan oleh konsep
pembangunan yang justru melahirkan ketidakmerataan yang dibarengi dengan perusakan
lingkungan secara sistematis yang buntutnya ketidakseimbangan pun terjadi di alam. Pola
pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi belaka adalah bentuk
kapitalisasi yang ditengarai menjadi aktor utama eksploitasi sumberdaya alam.
Manusia telah terjebak dalam sistem ini. Masyarakat lokal yang dikenal lebih arif
dan bijaksana dalam memanfaatkan alam, tidak dapat berbuat banyak ketika menerima
dampak buruk dari terganggunya keseimbangan ekosistem akibat praktek pengelolaan
sumberdaya alam oleh kepentingan sektor-sektor dalam pemerintahan. Dalam
pengelolaan keanekaragaman hayati, kepentingan sektor-sektor pemerintah, swasta dan
masyarakat sering tidak sejalan, bahkan di kawasan pelestarian pun kepentingan
lingkungan hanya menjadi objek, sedangkan yang menjadi subjek tetaplah manusia.
Pemanfaatan keanekaragaman hayati secara langsung sudah dilakukan secara
tradisional oleh masyarakat. Baru sekitar 6.000 spesies tumbuhan, 1.000 spesies hewan,
dan 100 spesies jasad renik yang telah diketahui potensinya dan telah dimanfaatkan dari
total keanekaragaman hayati kita yang tinggi (KPPNN, 1992). Walaupun demikian, kita
tetap tidak boleh takabur dengan kekayaan alam kita yang melimpah. Sewaktu-waktu
krisis dapat terjadi dan menjadi semakin kritis. Suatu jenis burung yang pernah
menggelapkan langit Amerika berakhir pada 1 September 1914, ketika Martha, merpati
kelana terakhir, mati di kebun binatang Cincinnati. Tubuhnya kini berada di Museum
Nasional Washington. Kepunahan merpati ini terjadi lebih cepat dan misterius. Pada awal
abad ke-19 Amerika Utara masih memangku tiga sampai lima milyar ekor, dan
jumlahnya jauh melebihi jenis manapun di daratan itu. Burung tersebut dihargai karena
kelezatannya dan mudah diburu serta dijaring secara besar-besaran. Pada tahun 1880
orang sudah terlambat untuk menyelamatkannya. Merpati kelana liar terakhir ditembak
pada tahun 1900, warganya yang terakhir semua menemui ajalnya dalam kurungan di
kebun binatang. Inilah peringatan yang menyedihkan bahwa sekali suatu jenis mulai
punah, kepunahannya melaju dan tak terhentikan oleh khalayak yang bangkit sekalipun.
Kita harus menyisihkan sebagian dari keanekaragaman hayati. Jangan sampai
sejarah buruk kehutanan kita terulang kembali. Saat kita baru menyadari bahwa
keanekaragaman hayati terkaya itu di lowland, kemudian mempersiapkan kawasan
konservasi, ternyata lowland sudah habis oleh pemegang HPH.
Ada banyak tragedi yang telah terjadi di dunia hayati kita. Tidak perlu menunggu
satu tragedi lagi untuk mulai memperbaiki tatanan.
Sebenarnya jika mau belajar dari alam, ada banyak hal yang dapat diperoleh.
Memanfaatkan sumberdaya alam memang bukan suatu kejahatan. Akan tetapi
pemanfaatan secara berkelanjutan dan bijaksana, hendaknya dapat segera jadi gaya hidup.
Tidak perlu menunggu suatu kebijakan yang dibuat oleh policy maker untuk hidup lebih
bijak. Di alam semua yang terjadi adalah suatu siklus. Roda kehidupan terus berputar.
Apa yang kita berikan kepada alam itulah yang nantinya akan kita peroleh kembali.
Ada banyak cara untuk melakukan upaya konservasi. Upaya tersebut dapat
dimulai dari diri sendiri, tidak perlu menunggu kebijakan dari pemerintah. Sekecil
apapun , sesepele apapun, sesederhana apapun, dimanapun dan kapanpun itu, yang
penting lakukanlah sedini mungkin. Jangan menunda atau malu untuk membuat sedikit
perubahan asalkan itu untuk berubah menjadi lebih baik , make a little space for them,
make a better place for you and me…conservation any way and any how.

Oleh : Q2
Dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai