jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi
adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi
oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan
oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi
jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll, yang disebabkan
karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi:
• pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi.
Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah
terutama pada pembuluh kecil.
• aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah.
• kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan
sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal
sebagai ekstravasasi.
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan
agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih
luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki
atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono,
1973).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti
oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu
(panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-
zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini
menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera
jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan,
pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan
dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang
disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses
fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Rukmono, 1973).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland,
2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi
belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang
meradang (Abrams, 1995).
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang
didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan
berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan
nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu
perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari
leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh
darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan
sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan
emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran,
2003).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului
oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran
darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya
anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca
kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian,
mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali
pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada
tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan
intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah
terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi
waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul
dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak
setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di
atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah
putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat
peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma
dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan
serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins &
Kumar, 1995).
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar
dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-
sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi
leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel
endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins & Kumar, 1995).
2. Radang kronis
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul
menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan
radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak
dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat
gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak
awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas
rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut.
Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten
oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema
palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak
dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang
berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena
banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka
batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik
sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai
penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa
cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan
kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera
mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh.
Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang
dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai
macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis
jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator
kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa mediator dapat bekerja
bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator.
Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang
cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
1. Amina vasoaktif
2. Protease plasma
Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan
penting dalam imunitas maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi
biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat
terjadi oleh apa yang disebut ”jalur klasik” yang tercetus oleh pengikatan C1
pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang
dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks,
atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk
properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya
sistem komplemen akan memakai urutan efektor akhir bersama yang
menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor
yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell &
Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
b. Produk leukosit
c. Mediator lainnya
Daftar Pustaka
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja,
A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku
asli diterbitkan 2000).
2. Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
3. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I.,
Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).
4. Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson,
Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P.,
penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
5. Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L.
Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia:
Elsevier Saunders.
6. Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar
laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli
diterbitkan 1987).
Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang, dan
bersifat pilang membahayakan inang. Organisme penginfeksi, atau patogen, menggunakan
sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan
inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik,
gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian. Respons inang terhadap infeksi disebut
peradangan. Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik,
walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan
viroid.
Simbiosis antara parasit dan inang, di mana satu pihak diuntungkan dan satu pihak dirugikan,
digolongkan sebagai parasitisme. Cabang kedokteran yang menitikberatkan infeksi dan patogen
adalah cabang penyakit infeksi.
• Infeksi yang terjadi karena terpapar oleh antigen dari luar tubuh
• Infeksi yang terjadi karena difusi cairan tubuh atau jaringan, seperti virus HIV, karena
virus tersebut tidak dapat hidup di luar tubuh.
Infeksi awal
Setelah menembus jaringan, patogen dapat berkembang pada di luar sel tubuh (ekstraselular)
atau menggunakan sel tubuh sebagai inangnya (intraselular). Patogen intraselular lebih lanjut
dapat diklasifikasikan lebih lanjut:
• patogen yang berkembang biak dengan bebas di dalam sel, seperti : virus dan beberapa
bakteri (Chlamydia, Rickettsia, Listeria).
• patogen yang berkembang biak di dalam vesikel, seperti Mycobacteria.
Jaringan yang tertembus dapat mengalami kerusakan oleh karena infeksi patogen, misalnya oleh
eksotoksin yang disekresi pada permukaan sel, atau sekresi endotoksin yang memicu sekresi
sitokina oleh makrofaga, dan mengakibatkan gejala-gejala lokal maupun sistemik.[2]
Patogen yang dapat bertahan hanya patogen yang telah mengembangkan mekanisme untuk
menghindari terpicunya sistem kekebalan.
Variasi serotipe
Salah satu cara yang digunakan patogen untuk menghindari sistem kekebalan adalah dengan
mengubah struktur permukaan selnya. Banyak patogen ekstraselular mempunyai tipe antigenik
yang sangat beragam. Salah satu contoh adalah streptococcus pneumoniae, penyebab
pneumonia, yang mempunyai banyak tipe antigenik dan baru diketahui 84 macam. Setiap macam
mempunyai stuktur pelapis polisakarida yang berbeda. Tipe-tipe tersebut dibedakan berdasarkan
uji serologi, sehingga disebut juga serotipe. Infeksi yang dilakukan oleh satu serotipe tertentu
dapat memicu sistem kekebalan tiruan terhadapnya, tetapi tidak terhadap infeksi ulang yang
dilakukan oleh serotipe yang berbeda, oleh karena sistem kekebalan tiruan melihat satu serotipe
sebagai satu jenis organisme yang berbeda. Infeksi akut berulang dari antigen yang sama dapat
terjadi karena hal ini.
Penggunaan kapsul pelindung yang mencegah lisis oleh sistem komplemen dan fagosit juga
dilakukan Mycobacterium tuberculosis. Spesies bacterioides umumnya bakteri komensal yang
berdiam di usus buntu mamalia. Beberapa spesies seperti Bacterioides fragilis adalah patogen
oportunistik penyebab infeksi pada lapisan peritoneum. Spesies ini menghindari sistem
kekebalan dengan mempengaruhi pencerap yang digunakan fagosit untuk menelan bakteri atau
dengan menyamar sebagai sel organisme tersebut sehingga sistem kekebalan tidak mengenali
mereka sebagai patogen.
Bakteri dan jamur mungkin juga membentuk lapisan bio kompleks, menyediakan perlindungan
dari sel dan protein dari sistem kekebalan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lapisan bio
muncul di infeksi yang berhasil, termasuk infeksi kronis Pseudomonas aeruginosa dan
Burkholderia cenocepacia, ciri utama dari cystic fibrosis.
Mutasi genetik
Deteksi trypanosome oleh antibodi akan memicu pergantian gen VSG pada DNA, sehingga
dihasilkan protein VSG yang berbeda pula. Tubuh kemudian akan membuat antibodi baru
dengan cara yang sama, tetapi setiap antibodi yang baru dibuat mengenali trypanosome, gen
VSG akan berubah lagi sebelum sistem kekebalan terpicu. Dengan demikian trypanosome berada
satu langkah lebih cepat dari sistem kekebalan, sehingga meskipun berupa protozoa yang
berkembangbiak ekstraselular, fokus infeksinya bersifat kronik dan membentuk kompleks imun
dan peradangan, hingga berakhir pada kerusakan saraf dan koma. Hal ini yang menyebabkan
African trypanosomiasis mendapatkan julukan penyakit "tidur". Malaria adalah contoh lain
penyakit yang disebabkan parasit protozoa dengan kemampuan tata-ulang DNA, yang sangat
sulit diatasi oleh sistem kekebalan.
Metode kedua yang lebih dinamis ditunjukkan oleh virus influensa. Virus influensa dikenali oleh
sistem kekebalan melalui hemaglutinin yang terdapat pada permukaan virus.
• Mutasi genetik yang pertama disebut antigenic drift yang mengubah notasi gen ekspresi
dari hemaglutinin, sebagai respon dari protein yang berada pada permukaan,
neuraminidase. Mutasi yang lain mengubah epitop agar tidak dikenali oleh sel T,
khususnya yang mempunyai pencerap CD8.[4]
• Mutasi genetik yang kedua disebut antigenic shift yang terjadi karena tertukarnya RNA
antara virus baru dengan virus yang telah lama berada dalam tubuh inang.
• Mekanisme ketiga melibatkan tata-ulang DNA terprogram. African trypanosome
mempunyai kemampuan untuk mengubah major surface antigen berkali-kali dengan satu
kali infeksi. Trypanosome terbalut sebuah tipe glikoprotein yang disebut variant-specific
glycoprotein (VSG), yang dengan mudah dapat dikenali oleh sistem kekebalan. Meskipun
demikian, DNA trypanosome mengandung lebih dari 1000 gen VSG dengan ekspresi
antigenik yang berlainan.
o Pada tingkat bakteri, kemampuan tata-ulang DNA juga dijumpai pada Salmonella
typhimurium dan Neisseria gonorrhoeae.
Fokus infeksi laten
Dalam fisiologi, laten didefinisikan sebagai jedah waktu antara stimulus dan respon yang terpicu
di dalam suatu organisme. Virus umumnya segera akan mengkoordinir sintesis protein viral yang
dibutuhkan untuk proliferasi, setelah berhasil melakukan infeksi terhadap sebuah sel. Mekanisme
semacam ini akan mengakibatkan kondisi akut yang akan segera direspon oleh sistem kekebalan
tiruan. Sel T akan dengan mudah memindai fragmen dari protein viral yang tertera pada
permukaan molekul MHC dan memadamkan infeksi.
Meskipun demikian, masih terdapat jenis virus yang lain yang mampu menunda proses sintesis
protein viral di dalam sel. Kondisi ini disebut kondisi laten, saat tidak terjadi replikasi virus di
dalam sel. Infeksi laten tidak menimbulkan penyakit dan keberadaan virus tidak terdeteksi oleh
karena tidak terdapat fragmen viral pada molekul MHC. Salah satu contoh adalah virus Herpes
Simplex, yang melakukan infeksi epitelia dengan fokus berupa sel saraf di daerah tersebut.
Setelah sistem kekebalan mengatasi infeksi pada epitelia, virus HS tetap berada dalam kondisi
laten di dalam neuron saraf. Beberapa faktor seperti sinar matahari, infeksi bakteri dan
perubahan hormonal akan mengaktivasi virus ini untuk bermigrasi melalui akson dan melakukan
infeksi ulang pada jaringan epitelial. Fokus infeksi berupa neuron memiliki dua keunggulan:
• peptida viral yang dihasilkan sangat sedikit, menghasilkan fragmen yang tidak menyolok
• neuron mempunyai molekul MHC kelas I, yang kecil, sehingga sulit dideteksi sel T CD8.
Contoh lain adalah virus Epstein-Barr (EBV), sebuah tipe virus herpes yang lain, memiliki
kondisi laten di dalam sel B. Proliferasi sel B akan menghasilkan sel baru dengan EBV di
dalamnya.
Evolusi fitur
Beberapa bakteri yang biasanya dicerna oleh makrofaga dengan proses fagositosis, telah
berevolusi dan berhasil membuat makrofaga sebagai fokus infeksi. Salah satu contoh adalah
Mycobacterium tuberculosis yang tertelan oleh makrofaga, akan menghalangi pencairan lisosom
ke dalam fagosom dan melindunginya dari sitokina di dalam lisosom.
Listeria monocytogenes, bahkan dapat keluar dari fagosom dan masuk ke dalam sitoplasma dan
membuat replikasi di dalamnya. Kemudian menginfeksi sel yang berdekatan, tanpa keluar dari
ruang intraselularnya.
Sebuah parasit protozoa toxoplasma gondii, dapat membuat vesikel sendiri yang memisahkannya
dari bagian sel yang lain. Hal ini memungkinkan T. gondii untuk membuat peptida dengan
fragmen yang tidak termuat pada molekul MHC, sehingga keberadaannya tidak terdeteksi sistem
kekebalan.
Staphylococci aureus, salah satu penyebab mastitis pada ternak sapi. Kapsul yang besar
melindung organisme ini dari sistem kekebalan sapi, sebagai inangnya. Citra ini diambil dengan
50.000x pembesaran dari substrat replikasi yang kering dan beku.
Respon patogen dalam menghadapi sistem kekebalan juga berlainan. Selain dengan berbagai
cara untuk menghindar, beberapa patogen melakukan perlawanan. Staphylococci aureus
melepaskan dua macam toksin yaitu staphylococcal enterotoxin dan toxic shock syndrome toxin-
1 yang berperan sebagai superantigen.
Superantigen adalah protein yang mengikat sejumlah pencerap antigen dari sel T.
“ Ikatan ini menyebabkan sel T mengalamai apoptosis dengan sangat cepat.
”
Organisme lain seperti Streptococcus pyogenes, dan Bacillus anthracis memiliki mekanisme
untuk membunuh langsung fagosit.
Banyak patogen melakukan perlawanan dalam rentang waktu infeksi akut. Hal merupakan
tekanan terhadap sistem kekebalan (bahasa Inggris: immunosuppression) dan menyebabkan
tubuh inang menjadi rentan terhadap infeksi susulan oleh patogen jenis lain. Contoh-contoh
penting meliputi trauma, luka bakar dan operasi bedah besar. Pasien dengan luka bakar tidak
dapat merespon infeksi, sehingga infeksi ringan pun dapat menyebabkan kematian.
Infeksi virus measles juga merupakan salah satu contoh tekanan terhadap sistem kekebalan.
Banyak anak-anak yang menderita malnutrisi menjadi korban, hingga meninggal dunia, karena
infeksi susulan pada saat sistem kekebalan tertekan oleh infeksi virus measles. Infeksi susulan
biasanya berupa bakteri penyebab pneumonia. Virus measles mempunyai fokus infeksi pada sel
dendritik sehingga mempengaruhi kinerja sel T dan sel B dalam sistem kekebalan, dan aktivasi
makrofaga oleh sel TH1.
Selain itu, modus yang digunakan oleh virus HIV adalah pemotongan jalur informasi selular
dengan menempel pada pencerap kemokina CCR5 dan CXCR4, selain pada CD4.[9] Pencerap
CCR5 merupakan ekspresi dari sel dendritik, makrofaga dan sel T CD4. Ekspresi CXCR4 adalah
pencerap pada sel T CD4 setelah teraktivasi.
Kompetisi pada area pencerap CCR5 oleh sekresi kemokina RANTES, MIP-1α, and MIP-1β
menunjukkan respon kekebalan terhadap infeksi HIV.[10]