Anda di halaman 1dari 20

Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat

jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi
adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi
oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan
oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi
jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.

Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi:[1]

• memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk


meningkatkan performa makrofaga
• menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi
• mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.

Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll, yang disebabkan
karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi:

• pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi.
Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah
terutama pada pembuluh kecil.
• aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah.
• kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan
sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal
sebagai ekstravasasi.

Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut:

• tumor atau membengkak


• calor atau menghangat
• dolor atau nyeri
• rubor atau memerah
• functio laesa atau daya pergerakan menurun

dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan.


Definisi

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh


cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
(Dorland, 2002).

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan
agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih
luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki
atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono,
1973).

Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti
oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu
(panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-
zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini
menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera
jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan,
pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan
dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang
disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses
fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Rukmono, 1973).

Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh


darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah
besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam
jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang
menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem
pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang
dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).

Tanda-tanda radang (makroskopis)

Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang


lampau. Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup
pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang
utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda
radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor
(pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu
functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran,
2003).

Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di


daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi
pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih
banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat
terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995;
Rukmono, 1973).

Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.


Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang
memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih
banyak daripada ke daerah normal (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang


ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat
merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat
pembengkakan jaringan yang meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar


ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-
jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah
peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).

Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland,
2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi
belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang
meradang (Abrams, 1995).

Mekanisme radang

1. Radang akut

Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang
didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan
berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan
nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu
perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari
leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh
darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan
sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan
emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran,
2003).

Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului
oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran
darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya
anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca
kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian,
mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali
pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada
tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan
intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah
terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi
waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul
dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak
setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).

Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma


dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan
gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri
dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-
cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis
yang berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).

Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak


cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal
ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan
tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada
pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit
cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui
saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan
sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar, 1995).

Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di
atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah
putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat
peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma
dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan
serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins &
Kumar, 1995).

Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada


lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih
mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-
sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu
pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih
merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan
kerusakan jaringan yang berarti (Robbins & Kumar, 1995).
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan
sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih
besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah
merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah
putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak
dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang
tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi
permukaan endotel (Robbins & Kumar, 1995).

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar
dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-
sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi
leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel
endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins & Kumar, 1995).

Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke


arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh
pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir
semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam
derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap
rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor
kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya
bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor
kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya
produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.


Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa
didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan
sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat
dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi
melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi
partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini
terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut
fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup
lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan
melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi.
Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah
dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme.
Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit
(Robbins & Kumar, 1995).

2. Radang kronis

Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang


(berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan
dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan
radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan
infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh
infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi
jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis
dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).

Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul
menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan
radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak
dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat
gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak
awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas
rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut.
Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten
oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema
palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak
dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang
berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena
banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka
batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik
sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan

Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai
penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa
cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan
kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera
mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh.
Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang
dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai
macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis
jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator
kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa mediator dapat bekerja
bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator.
Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang
cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).

Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal


sebagai mediator dari respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan.
Walaupun daftar mediator yang diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator
yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin
dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen, dan koagulasi
fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk
leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal,
radikal bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit)
(Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).

1. Amina vasoaktif

Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar


histamin disimpan dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel
mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel
basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan histamin yang tidak
aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang
dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma
atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap
reseptor Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut
anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan histamin, neuropeptida
(misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran,
2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).

Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan


permeabilitas venula, dan pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin
bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor histamin jenis H-1
yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam fenomena
vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk
eosinofil. Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi
inaktif oleh histaminase. Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk
menghambat efek mediator dari histamin. Perlu diketahui bahwa obat
antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas
vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan
pada peningkatan permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar,
1995; Abrams, 1995).

Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator


vaasoaktif. Serotonin ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat
granula (bersama dengan histamin, adenosin difosfat, dan kalsium). Serotonin
dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada binatang pengerat
memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai
mediator pada manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins &
Kumar, 1995).

2. Protease plasma

Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga


faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan
komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor
Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik). Faktor XII
adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk
inaktif hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di
lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight
kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII kemudian
mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat
membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein
(Mitchell & Cotran, 2003).

Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan


bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai
prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim
proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu
prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin
menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan
kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis untuk
leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit.
Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah
antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat
dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan
permeabilitas pembuluh darah (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar,
1995).

Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan


aktivasi trombin yang kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam
sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Faktor Xa menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan emigrasi leukosit. Trombin memperkuat perlekatan
leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida (selama
pembelahan fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan
sebagai kemotaksis leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).

Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi


sistem fibrinolitik. Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan
dengan cara memecah fibrin kemudian melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa
adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus terjadi sistem pembekuan dan
mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen
activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein
adalah protein plasma yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin.
Produk hasil dari keduanya yaitu plasmin, merupakan protease multifungsi yang
memecah fibrin (Mitchell & Cotran, 2003).

Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan
penting dalam imunitas maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi
biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat
terjadi oleh apa yang disebut ”jalur klasik” yang tercetus oleh pengikatan C1
pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang
dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks,
atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk
properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya
sistem komplemen akan memakai urutan efektor akhir bersama yang
menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor
yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell &
Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).

Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena


radang akut, yaitu pada fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a
dan C5a (disebut juga anafilaktosin) meningkatkan permeabilitas vaskular dan
menyebabkan vasodilatasi dengan cara menginduksi sel mast untuk
mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme
asam arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi
neutrofil pada endotel dan kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil dan
neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel
bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan memudahkan fagositosis neutrofil
dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell &
Cotran, 2003).

a. Metabolit asam arakidonat

Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon


polyunsaturated fatty acid) yang utamanya berasal dari asupan asam
linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai
komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari
fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik,
kimia, atau fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti C5a.
Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur
utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase
dan lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid)
dapat memperantarai setiap langkah inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).

Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2),


PGD2, PGF2?, PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk
tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2
sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi aktif jalur
siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu.
Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga
produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit
yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium kekurangan dalam
hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin sintetase yang
membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat
agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama dari jalur
siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan PGF2?, PGD2
menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat
dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran,
2003).

Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk


bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim
metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya
memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-
hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam
arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-
hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah
menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE
adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan
agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC 4, LTD4,
dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan
permeabilitas vaskular (Mitchell & Cotran, 2003).
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis
menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk
lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit dari
intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi baik
pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan
antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya
menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi
perlekatan monosit (Mitchell & Cotran, 2003).

b. Produk leukosit

Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit


mengandung molekul mediator inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah
kematian sel oleh karena peluruhan selama pembentukan vakuola fagosit
atau oleh fagositosis yang terhalang karena ukurannya besar dan
permukaan yang tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom
menyebabkan pembentukan bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber
fosfolipase yang diperlukan untuk sintesis asam arakidonat (Robbins &
Kumar, 1995).

Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung


bahan yang aktif untuk proses radang. Pelepasannya penting pada radang
akut dan radang kronik. Limfosit yang telah peka terhadap antigen
melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor yang menyebabkan
penimbunan dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin
penting pada radang kronik (Robbins & Kumar).

c. Mediator lainnya

Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat


fagositosis dapat luruh memasuki lingkungan ekstrasel. Diduga bahwa
radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan permeabilitas
vaskular dengan cara merusak endotel kapiler. Selain itu, ion-ion
superoksida dan hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam
arakidonat tanpa enzim. Akibatnya, akan dapat terbentuk lipid-lipid
kemotaksis (Robbins & Kumar, 1995).

Aseter-PAF merupakan mediator lipid yang menggiatkan trombosit.


Hal ini karena menyebabkan agregasi trombosit ketika dilepaskan oleh sel
mast. Selain sel mast, neutrofil dan makrofag juga dapat mensintesis
aseter-PAF. Aseter-PAF meningkatkan permeabilitas vaskular, adhesi
leukosit dan merangsang neutrofil dan makrofag (Robbins & Kumar, 1995).

Daftar Pustaka
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja,
A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku
asli diterbitkan 2000).
2. Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
3. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I.,
Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).
4. Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson,
Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P.,
penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
5. Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L.
Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia:
Elsevier Saunders.
6. Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar
laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli
diterbitkan 1987).
Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang, dan
bersifat pilang membahayakan inang. Organisme penginfeksi, atau patogen, menggunakan
sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan
inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik,
gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian. Respons inang terhadap infeksi disebut
peradangan. Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik,
walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan
viroid.

Simbiosis antara parasit dan inang, di mana satu pihak diuntungkan dan satu pihak dirugikan,
digolongkan sebagai parasitisme. Cabang kedokteran yang menitikberatkan infeksi dan patogen
adalah cabang penyakit infeksi.

Secara umum infeksi terbagi menjadi dua golongan besar:[1]

• Infeksi yang terjadi karena terpapar oleh antigen dari luar tubuh
• Infeksi yang terjadi karena difusi cairan tubuh atau jaringan, seperti virus HIV, karena
virus tersebut tidak dapat hidup di luar tubuh.

Infeksi awal
Setelah menembus jaringan, patogen dapat berkembang pada di luar sel tubuh (ekstraselular)
atau menggunakan sel tubuh sebagai inangnya (intraselular). Patogen intraselular lebih lanjut
dapat diklasifikasikan lebih lanjut:

• patogen yang berkembang biak dengan bebas di dalam sel, seperti : virus dan beberapa
bakteri (Chlamydia, Rickettsia, Listeria).
• patogen yang berkembang biak di dalam vesikel, seperti Mycobacteria.

Jaringan yang tertembus dapat mengalami kerusakan oleh karena infeksi patogen, misalnya oleh
eksotoksin yang disekresi pada permukaan sel, atau sekresi endotoksin yang memicu sekresi
sitokina oleh makrofaga, dan mengakibatkan gejala-gejala lokal maupun sistemik.[2]

terpuruknya mekanisme sistem kekebalan


Pada tahapan umum sebuah infeksi, antigen selalu akan memicu sistem kekebalan turunan, dan
kemudian sistem kekebalan tiruan pada saat akut. Tetapi lintasan infeksi tidak selalu demikian,
sistem kekebalan dapat gagal memadamkan infeksi, karena terjadi fokus infeksi berupa:[3]

• subversi sistem kekebalan oleh patogen


• kelainan bawaan yang disebabkan gen
• tidak terkendalinya mekanisme sistem kekebalan
Perambatan perkembangan patogen bergantung pada kemampuan replikasi di dalam inangnya
dan kemudian menyebar ke dalam inang yang baru dengan proses infeksi. Untuk itu, patogen
diharuskan untuk berkembangbiak tanpa memicu sistem kekebalan, atau dengan kata lain,
patogen diharuskan untuk tidak menggerogoti inangnya terlalu cepat.

Patogen yang dapat bertahan hanya patogen yang telah mengembangkan mekanisme untuk
menghindari terpicunya sistem kekebalan.

Variasi serotipe

Salah satu cara yang digunakan patogen untuk menghindari sistem kekebalan adalah dengan
mengubah struktur permukaan selnya. Banyak patogen ekstraselular mempunyai tipe antigenik
yang sangat beragam. Salah satu contoh adalah streptococcus pneumoniae, penyebab
pneumonia, yang mempunyai banyak tipe antigenik dan baru diketahui 84 macam. Setiap macam
mempunyai stuktur pelapis polisakarida yang berbeda. Tipe-tipe tersebut dibedakan berdasarkan
uji serologi, sehingga disebut juga serotipe. Infeksi yang dilakukan oleh satu serotipe tertentu
dapat memicu sistem kekebalan tiruan terhadapnya, tetapi tidak terhadap infeksi ulang yang
dilakukan oleh serotipe yang berbeda, oleh karena sistem kekebalan tiruan melihat satu serotipe
sebagai satu jenis organisme yang berbeda. Infeksi akut berulang dari antigen yang sama dapat
terjadi karena hal ini.

Penggunaan kapsul pelindung yang mencegah lisis oleh sistem komplemen dan fagosit juga
dilakukan Mycobacterium tuberculosis. Spesies bacterioides umumnya bakteri komensal yang
berdiam di usus buntu mamalia. Beberapa spesies seperti Bacterioides fragilis adalah patogen
oportunistik penyebab infeksi pada lapisan peritoneum. Spesies ini menghindari sistem
kekebalan dengan mempengaruhi pencerap yang digunakan fagosit untuk menelan bakteri atau
dengan menyamar sebagai sel organisme tersebut sehingga sistem kekebalan tidak mengenali
mereka sebagai patogen.

Bakteri dan jamur mungkin juga membentuk lapisan bio kompleks, menyediakan perlindungan
dari sel dan protein dari sistem kekebalan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lapisan bio
muncul di infeksi yang berhasil, termasuk infeksi kronis Pseudomonas aeruginosa dan
Burkholderia cenocepacia, ciri utama dari cystic fibrosis.

Mutasi genetik
Deteksi trypanosome oleh antibodi akan memicu pergantian gen VSG pada DNA, sehingga
dihasilkan protein VSG yang berbeda pula. Tubuh kemudian akan membuat antibodi baru
dengan cara yang sama, tetapi setiap antibodi yang baru dibuat mengenali trypanosome, gen
VSG akan berubah lagi sebelum sistem kekebalan terpicu. Dengan demikian trypanosome berada
satu langkah lebih cepat dari sistem kekebalan, sehingga meskipun berupa protozoa yang
berkembangbiak ekstraselular, fokus infeksinya bersifat kronik dan membentuk kompleks imun
dan peradangan, hingga berakhir pada kerusakan saraf dan koma. Hal ini yang menyebabkan
African trypanosomiasis mendapatkan julukan penyakit "tidur". Malaria adalah contoh lain
penyakit yang disebabkan parasit protozoa dengan kemampuan tata-ulang DNA, yang sangat
sulit diatasi oleh sistem kekebalan.

Metode kedua yang lebih dinamis ditunjukkan oleh virus influensa. Virus influensa dikenali oleh
sistem kekebalan melalui hemaglutinin yang terdapat pada permukaan virus.

• Mutasi genetik yang pertama disebut antigenic drift yang mengubah notasi gen ekspresi
dari hemaglutinin, sebagai respon dari protein yang berada pada permukaan,
neuraminidase. Mutasi yang lain mengubah epitop agar tidak dikenali oleh sel T,
khususnya yang mempunyai pencerap CD8.[4]

• Mutasi genetik yang kedua disebut antigenic shift yang terjadi karena tertukarnya RNA
antara virus baru dengan virus yang telah lama berada dalam tubuh inang.
• Mekanisme ketiga melibatkan tata-ulang DNA terprogram. African trypanosome
mempunyai kemampuan untuk mengubah major surface antigen berkali-kali dengan satu
kali infeksi. Trypanosome terbalut sebuah tipe glikoprotein yang disebut variant-specific
glycoprotein (VSG), yang dengan mudah dapat dikenali oleh sistem kekebalan. Meskipun
demikian, DNA trypanosome mengandung lebih dari 1000 gen VSG dengan ekspresi
antigenik yang berlainan.
o Pada tingkat bakteri, kemampuan tata-ulang DNA juga dijumpai pada Salmonella
typhimurium dan Neisseria gonorrhoeae.
Fokus infeksi laten

Dalam fisiologi, laten didefinisikan sebagai jedah waktu antara stimulus dan respon yang terpicu
di dalam suatu organisme. Virus umumnya segera akan mengkoordinir sintesis protein viral yang
dibutuhkan untuk proliferasi, setelah berhasil melakukan infeksi terhadap sebuah sel. Mekanisme
semacam ini akan mengakibatkan kondisi akut yang akan segera direspon oleh sistem kekebalan
tiruan. Sel T akan dengan mudah memindai fragmen dari protein viral yang tertera pada
permukaan molekul MHC dan memadamkan infeksi.

Meskipun demikian, masih terdapat jenis virus yang lain yang mampu menunda proses sintesis
protein viral di dalam sel. Kondisi ini disebut kondisi laten, saat tidak terjadi replikasi virus di
dalam sel. Infeksi laten tidak menimbulkan penyakit dan keberadaan virus tidak terdeteksi oleh
karena tidak terdapat fragmen viral pada molekul MHC. Salah satu contoh adalah virus Herpes
Simplex, yang melakukan infeksi epitelia dengan fokus berupa sel saraf di daerah tersebut.

Setelah sistem kekebalan mengatasi infeksi pada epitelia, virus HS tetap berada dalam kondisi
laten di dalam neuron saraf. Beberapa faktor seperti sinar matahari, infeksi bakteri dan
perubahan hormonal akan mengaktivasi virus ini untuk bermigrasi melalui akson dan melakukan
infeksi ulang pada jaringan epitelial. Fokus infeksi berupa neuron memiliki dua keunggulan:

• peptida viral yang dihasilkan sangat sedikit, menghasilkan fragmen yang tidak menyolok
• neuron mempunyai molekul MHC kelas I, yang kecil, sehingga sulit dideteksi sel T CD8.

Contoh lain adalah virus Epstein-Barr (EBV), sebuah tipe virus herpes yang lain, memiliki
kondisi laten di dalam sel B. Proliferasi sel B akan menghasilkan sel baru dengan EBV di
dalamnya.

Evolusi fitur

Beberapa bakteri yang biasanya dicerna oleh makrofaga dengan proses fagositosis, telah
berevolusi dan berhasil membuat makrofaga sebagai fokus infeksi. Salah satu contoh adalah
Mycobacterium tuberculosis yang tertelan oleh makrofaga, akan menghalangi pencairan lisosom
ke dalam fagosom dan melindunginya dari sitokina di dalam lisosom.
Listeria monocytogenes, bahkan dapat keluar dari fagosom dan masuk ke dalam sitoplasma dan
membuat replikasi di dalamnya. Kemudian menginfeksi sel yang berdekatan, tanpa keluar dari
ruang intraselularnya.

Sebuah parasit protozoa toxoplasma gondii, dapat membuat vesikel sendiri yang memisahkannya
dari bagian sel yang lain. Hal ini memungkinkan T. gondii untuk membuat peptida dengan
fragmen yang tidak termuat pada molekul MHC, sehingga keberadaannya tidak terdeteksi sistem
kekebalan.

[sunting] Perlawanan patogen

Staphylococci aureus, salah satu penyebab mastitis pada ternak sapi. Kapsul yang besar
melindung organisme ini dari sistem kekebalan sapi, sebagai inangnya. Citra ini diambil dengan
50.000x pembesaran dari substrat replikasi yang kering dan beku.

Respon patogen dalam menghadapi sistem kekebalan juga berlainan. Selain dengan berbagai
cara untuk menghindar, beberapa patogen melakukan perlawanan. Staphylococci aureus
melepaskan dua macam toksin yaitu staphylococcal enterotoxin dan toxic shock syndrome toxin-
1 yang berperan sebagai superantigen.

Superantigen adalah protein yang mengikat sejumlah pencerap antigen dari sel T.
“ Ikatan ini menyebabkan sel T mengalamai apoptosis dengan sangat cepat.

Organisme lain seperti Streptococcus pyogenes, dan Bacillus anthracis memiliki mekanisme
untuk membunuh langsung fagosit.

Banyak patogen melakukan perlawanan dalam rentang waktu infeksi akut. Hal merupakan
tekanan terhadap sistem kekebalan (bahasa Inggris: immunosuppression) dan menyebabkan
tubuh inang menjadi rentan terhadap infeksi susulan oleh patogen jenis lain. Contoh-contoh
penting meliputi trauma, luka bakar dan operasi bedah besar. Pasien dengan luka bakar tidak
dapat merespon infeksi, sehingga infeksi ringan pun dapat menyebabkan kematian.

Infeksi virus measles juga merupakan salah satu contoh tekanan terhadap sistem kekebalan.
Banyak anak-anak yang menderita malnutrisi menjadi korban, hingga meninggal dunia, karena
infeksi susulan pada saat sistem kekebalan tertekan oleh infeksi virus measles. Infeksi susulan
biasanya berupa bakteri penyebab pneumonia. Virus measles mempunyai fokus infeksi pada sel
dendritik sehingga mempengaruhi kinerja sel T dan sel B dalam sistem kekebalan, dan aktivasi
makrofaga oleh sel TH1.

[sunting] Fokus infeksi


Salah satu contoh terbaik dari topik ini adalah fokus infeksi yang dimiliki oleh virus HIV, berupa
putusnya mata rantai sistem kekebalan selular[5] karena padamnya kemampuan sel T CD4 untuk
teraktivasi dan terdiferensiasi menjadi sel T pembantu. Terputusnya mata rantai tersebut terjadi
perlahan tanpa memantik sistem kekebalan oleh sebab sifat laten retrovirus. Sejumlah kecil PSK
Gambia dan Kenya yang selalu terpapar infeksi HIV selama 5 tahun melalui fluida reproduksi[6][7]
justru menunjukkan respon kekebalan tiruan sel T CD8 dan sel TH1[8] yang merespon berbagai
macam epitop HIV tanpa disertai respon antibodi.

Selain itu, modus yang digunakan oleh virus HIV adalah pemotongan jalur informasi selular
dengan menempel pada pencerap kemokina CCR5 dan CXCR4, selain pada CD4.[9] Pencerap
CCR5 merupakan ekspresi dari sel dendritik, makrofaga dan sel T CD4. Ekspresi CXCR4 adalah
pencerap pada sel T CD4 setelah teraktivasi.

Kompetisi pada area pencerap CCR5 oleh sekresi kemokina RANTES, MIP-1α, and MIP-1β
menunjukkan respon kekebalan terhadap infeksi HIV.[10]

Anda mungkin juga menyukai