sumber : www.gatago.com
Standar ujian nasional sedang menjadi topik diskusi hangat antara pemerintah
dan DPR. Bahkan Komisi X DPR mendesak pemerintah merevisi PP No 19/2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Pertentangan antarpasal yang tidak sesuai
dengan sistem pendidikan nasional serta adanya kesenjangan mutu pendidikan
antardaerah adalah dua alasan mendasar di
balik desakan revisi itu (Kompas Online, 11/5/2006). Perdebatan itu menambah
panjang deret ketidakstabilan sistem pendidikan nasional.
Paradigma pendidikan
Meski pemerintah harus bertanggung jawab atas mutu pendidikan nasional, pihak yang
paling tahu tentang mutu dan kemampuan anak didik adalah pendidik. Dengan demikian,
tugas dan hak pendidiklah untuk memberi penilaian. Penetapan standar nasional untuk
kelulusan mengandaikan mutu pendidikan di tiap daerah sama. Kenyataannya, masih ada
jurang perbedaan antara proses pendidikan di kota dan desa, bahkan antarprovinsi dan
pulau.
John Dewey dalam buku Education and Democracy (1916) telah mendengungkan konsep
pendidikan integral berdasarkan pada kemampuan, kebutuhan, dan pengalaman peserta
didik. Pendidikan yang berbasis realitas dan pengalaman anak didik sebenarnya bentuk
perlawanan dan kritik pada pola-pola pendidikan tradisional yang hanya memindahkan
ilmu pengetahuan masa lampau kepada tiap generasi baru.
Pendidikan tidak dimaksud sekadar mencetak orang yang pandai menghafal dan berhitung,
tetapi melahirkan orang-orang berpribadi matang. Pendidikan tidak hanya tempat
mengasah ketajaman otak, tetapi tempat menyemai nilai-nilai dasar kehidupan guna
menggapai masa depan dan hidup bermasyarakat. Bangsa Indonesia amat membutuhkan
sistem pendidikan seperti itu, terutama untuk melahirkan generasi muda yang tangguh dan
bertanggung jawab, dan mampu memperbaiki kehidupan bangsa
ini.
Maka, kengototan pemerintah untuk tetap melangsungkan ujian dengan standar nasional,
hanya karena ingin mendorong peserta didik bekerja keras, tidak akan memberi dampak
positif berkelanjutan bagi kematangan dan kemandirian peserta didik. Bahkan standar itu
tidak representatif sebagai titik acuan untuk mengetahui kualitas pendidikan bangsa ini.
Sementara revisi pasal-pasal PP No 19/2005, sebagaimana didesakkan DPR, tidak akan
berarti bila tidak ada pembaruan dan rekonstruksi terhadap paradigma pendidikan.
Tugas pemerintah
Dalam konteks pendidikan holistik, pemerintah tidak perlu mengambil alih peran pendidik
dengan menetapkan standar pendidikan sebab pemerintah tidak berhubungan langsung
dengan peserta didik. Tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi dan sistem
pendidikan yang efektif, integral, dan mengembangkan pendidik maupun peserta didik.
Ketiga, proses pendidikan yang holistik juga menuntut adanya budaya belajar di kalangan
masyarakat. Dengan demikian, proses pendidikan tidak dapat dikotakkan dalam
pendidikan formal belaka, tetapi perlu dibuat sistem pendidikan berkesinambungan antara
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ritme
kehidupan masyarakat sebab masyarakat menentukan proses pendidikan melalui nilai-
nilai dan strukturnya. Sebaliknya pendidikan menyumbangkan nilai-nilai untuk perubahan
masyarakat. Membangun budaya membaca di masyarakat bisa dijadikan titik berangkat
untuk membangun budaya belajar ini.
Berkembang tidaknya sistem pendidikan bangsa, tidak terletak pada standar ujian nasional
diberlakukan atau jadi tidaknya PP No 19/2005 direvisi, tetapi pada lahir tidaknya sistem
pendidikan baru yang mengembangkan nilai- nilai hakiki kemanusiaan. Selama proses
pendidikan tetap bermodel pengajaran, transfer ilmu, dunia pendidikan hanya melahirkan
orang-orang pintar tetapi belum tentu benar, ahli tetapi belum tentu rendah hati, cerdas
tetapi belum tentu bijaksana.
PC Siswantoko