Anda di halaman 1dari 5

Mengapa LAZ harus diintegrasikan ke dalam BAZ ?

Oleh H. Muchtar Zarkasyi, SH


Ketua Dewan Pertimbangan BAZNAS

Munculnya berbagai tanggapan yang menolak rencana pengintegrasian LAZ


ke dalam BAZ yang diajukan oleh Pemerintah dalam usulan revisi Undang-Undang
No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang dimuat dalam Dialog Jum’at
Republika 11 Des. 2009, dan harian Republika Sabtu 12 Des. 2009 dan Senen 14
Des. 2009 telah mendorong penulis selaku Ketua Tim Revisi Undang-Undang yang
ditunjuk oleh Pemerintah cq. Departemen Agama untuk memberikan tanggapan dan
penjelasan sbb :

1. Pelaksanaan kewajiban menunaikan zakat.


Perintah menegakkan shalat dan menunaikan zakat selalu disebutkan
bergandengan dalam puluhan ayat Al-Qur’an. Akan tetapi untuk pelaksanaan dua
kewajiban bagi umat Islam ini berbeda. Untuk menegakkan shalat diserahkan pada
kesadaraan mereka masing-masing karena hanya menyangkut hubungan dirinya
dengan Allah, akan tetapi untuk pelaksanaan kewajiban menunaikan zakat Allah Swt
memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk memungutnya dari orang-orang kaya
(muzakki) karena menyangkut kepentingan fakir miskin, sebagaimana disebutkan
dalam surat At-Taubah ayat 103. Pasal 2 Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat
sudah mencantumkan kewajiban menunaikan zakat tersebut, akan tetapi dalam Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang tersebut petugas zakat diperankan pasif hanya menerima
dan boleh mengambil atau memungut atas dasar pemberitahuan muzakki. Pasal inilah
yang diusulkan oleh pihak Pemerintah untuk diubah agar sesuai dengan ketentuan
Allah yang tercantum dalam surat At-Taubah ayat 103 tersebut.

2. Perbedaan kedudukan BAZ dan LAZ.


BAZ adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah sejak
tingkat Nasional sampai tingkat kecamatan dan insya Allah sampai tingkat desa dan
kelurahan kalau rencana revisi yang diajukan pemerintah disetujui. Kepengurusannya
terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Rujukan atau landasan
syar’iyyahnya adalah Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 103 dan hadits Mu’adz bin
Jabal serta hadits-hadits lainnya. Sedang LAZ adalah organisasi pengelola zakat yang
sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat.
Kepengurusannya seluruhnya terdiri atas unsur masyarakat. Rujukan atau landasan
1
syar’iyyahnya tidak akan kita jumpai karena memang tidak ada dalam Al-Qur’an
maupun dalam As-Sunnah.

3. Riwayat pembentukan BAZ dan LAZ.


BAZ dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Pasal 6 UU No. 38/1999.
BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 8
Tahun 2001 dan BAZ-BAZ daerah dibentuk oleh kepala daerah setelah berlakunya
UU No. 38/1999. BAZIS yang dibentuk di beberapa provinsi seperti BAZIS DKI
Jakarta pada awal tahun 1970-an, oleh SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama No. 29 Tahun 1991 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS
dinyatakan sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Usul pembentukan BAZIS Nasional oleh peserta Mudzakarah Nasional
tentang Zakat pada bulan Maret 1992 di Jakarta diteruskan oleh Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Agama kepada Presiden. Sebelum ada tanggapan Presiden, di
beberapa instansi pemerintah tingkat pusat seperti di BUMN-BUMN, atas
permintaan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji saat itu, oleh BABINROHIS
masing-masing telah dibentuk UPZ (unit pengumpul zakat) dari BAZIS Nasional.
Setelah ternyata usul tersebut tidak disetujui oleh Presiden, UPZ-UPZ tersebut
kemudian berkiprah sendiri dan berubah menjadi lembaga pengelola zakat dengan
sebutan dan program sesuai selera masing-masing.
Fenomena inilah yang kemudian mendorong dibentuknya LAZ oleh lembaga-
lembaga lain di luar instansi pemerintah, seperti Dompet Dhuafa oleh Republika,
PKPU oleh Partai Keadilan, Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) oleh ICMI, dan
Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ) oleh Yayasan Dompet Sosial Ummul Quro
yang namanya kemudian berubah menjadi Rumah Zakat Indonesia (RZI). Sementara
itu, ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) telah memiliki LAZ sebagai bagian dari organisasinya
untuk mengumpulkan ZIS dari anggota masing-masing. LAZ-LAZ tersebut pada
tahun 1997 kemudian berhimpun dalam suatu wadah yang disebut FOZ (Forum
Zakat) yang diketuai oleh Sdr. Eri Sudewo dan sekarang oleh Sdr. Ahmad Juwaini,
Direktur Eksekutf Dompet Dhuafa Republika. Jadi, tidak benar kalau BAZNAS dan
BAZDA yang dibentuk oleh pemerintah itu dikatakan usianya lebih tua dari LAZ.
Karenanya, maka perolehan pengumpulan zakat oleh BAZNAS dan BAZDA tentu
jauh dibawah LAZ, karena hampir seluruh lahan sudah dikuasai oleh LAZ.

4. Pengukuhan LAZ oleh pemerintah.

2
Pasal 7 ayat (1) UU No. 38/1999 menyatakan bahwa LAZ dikukuhkan, dibina,
dan dilindungi oleh pemerintah, dan Pasal 7 ayat (2) UU tersebut menentukan bahwa
LAZ (yang dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah) tersebut harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Menteri Agama. Pasal 1 angka 2
Keputusan Menteri Agama No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menentukan bahwa LAZ
(yang dapat dikukuhkan oleh pemerintah) adalah yang sepenuhnya dibentuk atas
prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak di bidang da’wah,
pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam, yaitu LAZ yang dimiliki ormas
Islam.
Hal tersebut lebih ditegaskan lagi dalam tata cara pengukuhan yang ditentukan
dalam Pasal 10 ayat (3) Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.D/291
Tahun 2000, bahwa untuk mendapatkan pengukuhan, LAZ mengajukan permohonan
kepada Pemerintah sesuai dengan tingkatan ormas Islam yang memilikinya dengan
melampirkan syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam ayat (3) tersebut
sebagaimana ditentukan pula dalam Pasal 22 KMA No. 581/1999.
Berdasarkan ketentuan dalam KMA dan Keputusan Dirjen BIUH tersebut di
atas seharusnya yang dikukuhkan hanyalah LAZ yang dimiliki ormas Islam saja,
yaitu LAZ NU, LAZ Muhammadiyah, LAZ Persis, LAZ Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia (DDII), dan LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPUDT).
Sedang LAZ lainnya, setelah berlakunya UU No.38/1999 seharusnya diperlakukan
sesuai dengan ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2). Tiga
Keputusan Menteri Agama tentang pengukuhan LAZ, yaitu untuk DD, Amanah
Takaful, dan PKPU ditanda tangani untuk pertama kali oleh Menteri Agama Prof.
DR. H. Said Agil Husin Al-Munawwar, MA pada tanggal 8 Oktober 2001, dua bulan
setelah beliau diangkat dan kemungkinan beliau belum sempat mempelajari apa isi
UU No. 38/1999 dan peraturan pelaksanaannya. Penulis selaku Irjen Depag saat itu
telah mengingatkan beliau tentang kekeliruan tersebut. Beliau berjanji akan
mempelajari dan meninjau kembali, akan tetapi ternyata pengukuhan terus berlanjut.

5. LAZ harus diintegrasikan ke dalam BAZ.


Di negara yang pemerintahnya mengurusi juga kepentingan umat beragama
termasuk umat Islam seperti di Indonesia ini, maka tidak ada alasan bagi masyarakat
untuk mengangkat petugas/amil zakat. Kalau pemerintah sudah membentuk BAZ
tidak perlu lagi ada LAZ karena bukan kebaikan yang akan terjadi tapi
kesemerawutan kalau tidak mau dikatakan kekacauan. Bayangkan, BAZNAS yang
dibentuk oleh Presiden hanya satu, sementara LAZNAS (karena dikukuhkan oleh

3
Menteri Agama) ada 18 buah. Muzakki mana yang akan didatangi oleh BAZNAS
dan 18 LAZNAZ itu untuk memungut zakatnya dan mustahiq mana yang akan
diurusi oleh masing-masing ? Belum lagi di tingkat provinsi dan selanjutnya ke
bawah.
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS dan BAZ daerah
telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 38/1999 dan Pasal 25 KMA No.
581/1999 yang menjadi Pasal 25 KMA 373/2003. Ketentuan tersebut menjadi salah
satu Pasal dari RPP yang telah disiapkan Pemerintah. Ketentuan semacam itu tidak
ada untuk LAZ. Kalau Bapak Presiden SBY sudah membayar zakat dari gajinya
setiap tahun kepada BAZNAS, maka sebagai pribadi muslim yang mempunyai
kekayaan/harta, maka beliau tentu akan membayar zakat hartanya kepada BAZ
Kelurahan yang mewilayahi tempat kediaman beliau. Demikianlah contoh rencana
pengaturan yang sudah dimuat dalam RUU dan RPP yang disiapkan oleh Pemerintah.
Dalam rencana perubahan Pasal 7 Undang-Undang No. 38/1999 yang
disiapkan oleh Pemerintah, LAZ yang sudah dikukuhkan di instansi-instansi diubah
statusnya menjadi UPZ (unit pengumpul zakat) dari BAZ setempat sesuai dengan
niat awal pembentukannya dan LAZ lainnya diintegrasikan atau disalurkan
tenaga/personilnya untuk mengurusi atau bahkan memimpin BAZ-BAZ di semua
tingkatan. BAZ desa/kelurahan tidak kalah perannya dari BAZ yang lebih tinggi,
karena merekalah yang akan memungut zakat dari setiap pribadi muslim yang
mampu yang berkediaman di wilayah masing-masing dan mereka pulalah yang harus
mengurusi kepentingan fakir misikin yang berada/berkediaman di desa/kelurahan
ybs. Hasil pengumpulan zakat oleh BAZ-BAZ di atasnya harus disalurkan
melalui/bersama BAZ desa/kelurahan. Itulah konsep pengelolaan zakat bagi
kepentingan fakir miskin yang sekarang masih sekitar 35 juta orang di Republik ini.

6. Pengelolaan zakat oleh BAZ bukan sentralisasi.


Untuk kepentingan fakir miskin pengelolaan zakat oleh BAZ tidak dilakukan
secara sentralisasi hanya oleh BAZNAS, akan tetapi dilakukan secara desentralisasi
bahkan otonomi oleh BAZ-BAZ daerah, terutama oleh BAZ desa dan kelurahan
seperti telah diuraikan di atas. Merekalah yang mengumpulkan dan mereka pulalah
yang mendayagunakannya bagi kepentingan fakir miskin setempat. Kalau
pengelolaan zakat hanya oleh satu wadah BAZ sejak tingkat nasional sampai ke
tingkat desa/kelurahan bukanlah sentralisasi, tapi efisiensi bagi kepentingan fakir
miskin. Amilin (petugas zakat) tidak harus banyak karena di setiap tingkat
pemerintahan hanya ada satu BAZ. Bayangkan kalau masih ada LAZ disamping
BAZ. Di Pusat saja, sekarang ini ada 18 LAZNAS disamping 1 BAZNAS.

4
Pengurus BAZNAS berdasarkan Keputusan Presiden ada 33 orang, 75 %
unsur masyarakat dan 25 % unsur pemerintah. Berapa orang jumlah pengurus 18
LAZNAS? Tidak bisa kita bayangkan berapa banyak jumlahnya jika dibandingkan
dengan pengurus BAZNAS. Dari 3 LAZNAS saja (PKPU, Dompet Dhuafa, dan
Rumah Zakat Indonesia) mungkin tidak kurang dari 3000 orang petugas/amilin.
Berapa besar dana yang harus disediakan untuk honor atau gaji mereka? Disamping
itu, pantaskah kita mendayagunakan dana zakat untuk membangun rumah sakit,
menyelenggarakan pendidikan, membangun masjid/musholla dll, sementara jumlah
fakir miskin masih sekitar 35 juta orang ? Alokasi dana bagi pendidikan dari APBN
sekarang ini 20 % atau tidak kurang dari Rp. 200 triliyun. Dana zakat yang terkumpul
tahun ini diperkirakan baru mencapai Rp. 1 Trilihun.

Dari uraian di atas dipersilahkan masing-masing kita berfikir cara mana yang
harus ditempuh. Konsep Pemerintah atau kehendak pengurus LAZ? Kepentingan
fakir miskin atau kepentingan siapa yang harus kita bela?

Jakarta, 15 Desember 2009

Anda mungkin juga menyukai