Anda di halaman 1dari 13

Drh.

Ardilasunu Wicaksono
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

JOHNE’S DISEASE DAN CROHNE’S DISEASE

Pendahuluan

Latar belakang

Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis merupakan ancaman


baru (emerging disease) bagi kesehatan manusia yang memiliki peluang
ditularkan dari susu dan produk olahannya. Paratuberculosis atau dikenal juga
dengan Johne’s Disease (JD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
Mycobacterium avium subspesies paratoberculosis (MAP) pada hewan. Penyakit
ini merupakan salah satu permasalahan yang penting dalam industri peternakan
sapi perah hampir di seluruh dunia. Penyakit ini sangat merugikan secara
ekonomi bagi peternak akibat produktivitas yang sangat menurun pada hewan
penderita meskipun konsumsi pakannya tetap dan dalam jangka panjang hewan
mengalami kekurusan hingga kematian. Selain itu keberadaan penyakit ini
dikaitkan dengan penyakit Crohne’s Disease (CD) yaitu penyakit dengan
penyebab yang sama namun menyerang manusia.

Bakteri Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) adalah


bakteri gram positif, tahan asam dan alkohol serta memiliki daya tahan terhadap
panas. Pertumbuhan bakteri ini lambat namun kemampuan menimbulkan
penyakit sangat merugikan, infeksi MAP pada hewan menimbulkan penyakit
Johne’s Disease (JD) sedangkan pada manusia menyebabkan Crohne’s Disease
(CD), kedua penyakit tersebut memiliki ciri-ciri gejala dan patologis yang sama
yaitu menimbulkan randang kronis pada usus terutama ileum dan kolon yang
khas dengan bentuk granulomatosa. Gejala yang ditimbulkan tidak spesifik
seperti diare, muntah, demam, hingga diare berdarah sehingga sering tidak
terdiagnosis dengan segera.
Ardilasunu Wicaksono 2010

Penyakit ini ditandai dengan manifestasi peradangan usus (enteritis


granulomatosa). Selain menyerang sapi, JD juga menyerang ruminansia lain,
seperti; kerbau, kambing, domba, bison, antelop dan rusa, jarang pada babi dan
kuda.

Penyakit ini, pertama kali ditemukan pada sapi perah oleh Dr. Heinrich A.
Johne pada tahun 1895, di Jerman. Sehingga dikenal dengan nama ”Johne’s
Disease”/ JD yang hingga saat ini penyebarannya sudah meluas di berbagai
belahan dunia.

Dari aspek kesehatan masyarakat veteriner penyakit ini juga penting,


karena dapat menularkan patogen melalui produk ternak seperti susu. JD dapat
menimbulkan gangguan pada kesehatan masyarakat, yaitu penyakit Crohn
(Crohn’s disease/CD) pada manusia. Meskipun penyebab CD belum diketahui
secara pasti dan masih diperdebatkan oleh para pakar, namun diduga berkaitan
dengan JD/paratuberkulosis pada ternak ruminansia. Crohn’s disease adalah
penyakit peradangan kronik pada usus (ileum dan kolon), biasanya terjadi pada
orang yang berusia 10-20 tahun.

Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji Johne’s disease dan
Crohne’s disease ditinjau dari agen penyebab, dan dibahas mengenai
epidemiologi penyakit, patogenesa, gejala klinis dan pengobatan serta
pencegahannya.

Pembahasan

Agen penyebab

Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) merupakan


bakteri gram positif yang dapat ditemui di alam/lingkungan. Bakteri ini termasuk
dalam bakteri Mycobacterium kompleks yang memiliki 3 subpsesies, yaitu
Mycobacterium avium subspesies avium, Mycobacterium avium subspesies
silvaticum dan Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis. Bakteri ini
merupakan bakteri aerobik, non motil, tahan asam, berbentuk batang dengan
pertumbuhan yang lambat. Untuk pertumbuhannya bakteri ini memerlukan
mycobactin, senyawa hidroksamat pengikat besi sedangkan suhu pertumbuhan
Ardilasunu Wicaksono 2010

optimum berkisar 25–45 oC pada pH 5,5. Waktu pertumbuhan sehingga koloni


dapat terlihat berkisar 2 – 60 hari, koloni berwarna merah jambu, oranye, atau
kuning dengan permukaan kasar, memproduksi katalase, arylsulfatase, dan
mampu menelan lyzozym

MAP disebut juga Mycobacterium paratuberculosis atau Mycobacterium


johnei adalah bakteri berbentuk batang, tahan asam atau acid fast bacilli (AFB),
berukuran kecil (0,5-1,5 mikron) dan membentuk kelompok (3 atau lebih bacilli).
MAP dapat menyebabkan infeksi melalui usus pada hewan neonatal atau hewan
muda dengan masa inkubasi lama. Anak sapi dapat tertelan melalui puting susu
atau pakan yang tercemar kotoran induk yang terinfeksi MAP.

Karakter lain yang menonjol adalah kemampuan tahan terhadap panas


Hal ini terbukti dari masih dapat ditemukannya beberapa susu pasteurisasi di
pasaran yang mengandung MAP.

Bakteri MAP mampu bertahan dalam tanah kering yang teduh hingga 55
minggu sedangkan pada rerumputan yang tercemar feses penderita
paratuberculosis, MAP mampu bertahan hingga 24 minggu. Hendrick (2009)
menyatakan bahwa MAP merupakan bakteri yang stabil di lingkungan dimana
dapat bertahan di lingkungan kurang lebih selama satu tahun.

Epidemiologi Infeksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis

 Kejadian pada hewan

Kasus infeksi MAP pada hewan (1895) sudah lebih dahulu diketahui
dibandingkan pada manusia (1913). Kasus paratuberculosis (JD) diketahui
semakin meluas kejadiannya di wilayah Eropa, namun demikian kajian yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah baru dimulai tahun 1934 di Inggris,
pada saat itu diketahui prevalensi JD pada sapi sebesar 0,8%.

Berbagai kajian selanjutnya dilakukan di Inggris dengan mengambil


sampel sapi-sapi yang disembelih di rumah pemotongan hewan (RPH) selama
tahun 1950an memberikan angka prevalensi sebesar 11-17%, sementara di
Denmark pada tahun 1965 prevalensi JD diketahui sebesar 2,3% dan
menunjukkan kecenderungan meningkat pada tahun berikutnya sehingga pada
Ardilasunu Wicaksono 2010

tahun 1972 didapatkan angka prevalensi sebesar 9,8%. Di Belgia analisis ELISA
terhadap 300 sampel serum sapi mengindikasikan 12%-nya terinfeksi MAP,
sedangkan di Spanyol teridentifikasi 67% sapi pada peternakan terinfeksi. Pada
tahun 1980an survei nasional di AS dengan metode isolasi bakteri diketahui
1,6% dari 7000 ekor sapi yang diperiksa positif terinfeksi MAP

Tingkat kejadian pada sapi potong dan sapi perah menunjukkan


perbedaan, berdasarkan kajian di Belgia dan Belanda memperlihatkan hal
tersebut, baik pada tingkat peternakan maupun pada tingkat ternak. Berdasarkan
uji serologis, prevalensi infeksi MAP pada sapi pedaging sebesar 17,4% pada
tingkat peternakan dan 1,2% pada tingkat ternak sedangkan pada sapi perah
prevalensi tingkat peternakan sebesar 54,7% dan tingkat ternak sebesar 2,5%.
Hasil kajian tersebut menunjukan angka prevalensi sebenarnya (true
prevalence), apabila angka sensitivitas dan spesifisitas kajian ditingkatkan
menjadi 30% dan 99,5% maka prevalensi sebenarnya akan mencapai 70,6%
pada tingkat peternakan dan 6,9% pada tingkat ternak

Di beberapa negara seperti New Zealand, Australia, Inggris dan Negara


Mediterranean, penyakit ini dikenal sebagai salah satu penyakit menular penting
pada industri peternakan sapi dan domba. Di Afrika, paratuberkulosis dilaporkan
di sejumlah negara antara lain Sudan, Ethiopia, Kenya, Uganda, Tanzania,
Nigeria, Zambia dan Afrika Selatan. Di USA, penyakit tersebut dapat
menimbulkan kerugian ekonomi pada industri peternakan sekitar 1,5 milyar dollar
US per tahun.

Di Indonesia, JD dilaporkan terjadi di Jawa Barat tahun 2004 dengan


seroprevalensi rendah 1,67% (3/180) dan secara kultur feses 0,55% (1/180).
Sebelumnya pada tahun 1985/1986 juga terjadi pada sapi dan kerbau di
Sumatera Utara, didasarkan pada hasil pemeriksaan serologik (Complement
Test/CFT) yang mengandung antibodi paratuberkulosis 4% (2/50)

Pada tahun 2008, Stasiun Karantina Pertanian Kelas I di Pelabuhan


Tanjung Intan Cilacap, Jawa Tengah memusnahkan sejumlah sapi impor dari
Selandia Baru. Sapi-sapi tersebut dimusnahkan karena positif mengidap penyakit
Johne's Disease.
Ardilasunu Wicaksono 2010

 Kejadian pada manusia

Kejadian infeksi MAP pada manusia pertama kali diketahui tahun 1913
oleh Dlazil di daerah Western Infirmary, Glasgow Inggris. Semula penyakit ini
dikenal hanya terjadi pada ileum namun tahun 1960 Lockart-Mumnery dan
Marson mengidentifikasi adanya radang pada kolon dan membentuk granuloma,
karena daerah radang yang lebih banyak pada usus besar maka sering juga
disebut sebagai chronic inflamatory bowels disease (IBD).

Adanya perubahan patologis pada usus kecil yang mirip antara kasus JD
dengan kasus CD diduga keduanya ditimbulkan oleh agen penyebab yang sama.
Pada awal kasus ini dikenali, kejadian penyakit banyak dialami oleh masyarakat
Eropa Utara dan etnis Anglo-saxon dibandingkan masyarakat Eropa Selatan,
Asia dan Afrika. Perkembangan selanjutnya keberadaan imigran Asia menjadi
pembawa penyakit ini ke daerah Asia.

Kasus Crohn’s Disease merupakan penyakit yang telah menjadi masalah


di negara maju (Eropa dan Amerika), dan memiliki kecenderungan meningkat
setiap tahunnya. Di Eropa diketahui insidensi kasus ini sebesar 5,6 kasus per
10.000 orang per tahun dan hingga tahun 2000 diperkirakan telah mencapai
200.000 orang penderita. Penyebaran penyakit diduga telah terjadi di Asia
karena tingginya migrasi manusia antar benua saat ini. Pada tahun 1994 Swedia
mengeluarkan dana mencapai € 40 juta untuk pengobatan dan penanganan
kasus CD ini.

Kasus CD seringkali dikaitkan dengan produk susu dan hasil olahannya.


Penelitian melaporkan pasteurisasi susu yang diinokulasi 104 – 107 cfu/ml
dengan metode high temperatur short time (HTST) dan low temperatur long time
(LTLT) mampu mengurangi 4-50% bakteri inokulat, hal ini berarti masih ada
bakteri yang mampu bertahan dalam susu yang telah dipasteurisasi tersebut.

Tahun 1996 diketahui bahwa susu pasteurisasi yang dijual di supermarket


di Inggris dan Wales ternyata masih mengandung bakteri MAP, keadaan tersebut
juga dapat ditemukan pada susu pasteurisasi di supermarket Irlandia dan pada
produk berbasis susu seperti produk keju cheddar. Meskipun demikian belum
diperoleh bukti korelasi yang kuat antara penyakit CD dengan kasus JD pada
sapi, susu, dan produk olahannya.
Ardilasunu Wicaksono 2010

Survey yang dilakukan Advisory Committee on the Microbiologi Safety


Food pada berbagai produk susu di Inggris menunjukkan hasil seperti di bawah
ini :
Tabel 1. Prevalensi MAP pada susu di Inggris

Jenis sampel Jumlah sampel Jumlah sampel positif (%)

Susu mentah 201 4 (1,9)


Susu pasteurisasi 476 10 (2,1)
Susu utuh 191 3 (1,6)
Semi-skim 145 5 (3,4)
Skim 140 2 (1,4)
UHT 2 0 (0)
Susu seluruhnya 679 14 (2,1)

Patogenesa / cara transmisi penyakit

Penularannya pada anak sapi umumnya melalui kotoran (feses) hewan


sakit yang mengandung bakteri yang menempel pada puting susu induk atau
melalui pakan yang terkontaminasi feses yang mengandung MAP. Bakteri
diekskresikan lewat kolostrum dan susu, sehingga dapat menginfeksi anak sapi
sejak periode neonatal.

Sapi yang sudah menunjukkan gejala klinik dapat menularkan penyakit


melalui fesesnya dan sangat berbahaya bagi hewan sekelompoknya. Karena
sapi tersebut dapat menghamburkan (shedding) MAP selama 18 bulan sesudah
perkembangan gejala kliniknya. Meskipun tidak berkembang biak pada
lingkungan, namun MAP dapat hidup dalam tanah dan air selama lebih dari satu
tahun, dalam keadaan dingin atau kering. MAP tahan hidup (resisten) dalam
kotoran hewan/pupuk kandang dan air pada suhu yang rendah.

Pada Crohn’s disease faktor kualitas higiene dan sanitasi lingkungan


yang jelek berkontribusi terhadap kejadian penyakit. Umumnya manusia terpapar
pada umur 15-24 tahun dan kadang justru pada keluarga dengan kualitas higiene
yang baik

Penularan pada manusia diduga kuat berkaitan dengan produk susu sapi
dan hasil olahannya. Penelitian dengan metode PCR mendeteksi keberadaan
MAP pada susu sapi pasteurisasi yang dijual di supermarket Inggris dan Wales.
Ardilasunu Wicaksono 2010

Hasil pengujian tersebut memperlihatkan 7% (22 sampel) dari 312 sampel susu
pasteurisasi tersebut mengandung MAP dan 9 isolat bakteri dari 22 sampel
positif itu mampu bertahan selama 13-40 bulan dalam media cair dan bersaing
dengan organisme lain. Di Amerika pengujian susu segar di tingkat peternakan,
diketahui tingkat cemaran sebesar 68% dari 61 peternakan yang diuji.

Jalannya penyakit Crohn ini juga diduga melibatkan interaksi faktor


genetik dan lingkungan tetapi mekanisme utama yang bertanggungjawab
terhadap inisiasi radang kronis usus masih belum jelas. Terlepas dari agen
penyebabnya, ada 3 teori mekanisme terjadinya penyakit ini yaitu reaksi
persisten atas infeksi usus, adanya kerusakan barier mukosa usus terhadap
antigen, dan regulasi tanggap kebal sel inang yang menyimpang

Jalannya penyakit diawali dengan masuknya sejumlah bakteri dan atau


toksin yang kemudian menembus mukosa usus hingga mencapai lamina propria.
Kemampuan invasi bakteri terhadap sel inang ini diketahui dikendalikan protein
35 kDa yang bertanggung jawab terhadap protein membran mayor (MMP) yang
merupakan vaktor virulensi dari bakteri ini. Kerusakan berlanjut, dan
menyebabkan tereksposnya sel-sel pertahanan di lamina propria sehingga terjadi
mekanisme fagositosis bakteri oleh makrofag. Hasil interaksi ini adalah adanya
radang pada daerah infeksi

Kerusakan jaringan yang terjadi pada CD pada awal infeksi biasanya


berupa ulcer mukosa yang umumnya berada di bawah jaringan simpul limfa.
Terkadang lesi mengecil namun pada kasus lain peradangan berkembang dan
meluas pada seluruh lapisan usus dan menebal. Lokasi radang dapat terjadi
pada ileum dan kolon sendiri-sendiri namun lebih sering terjadi pada kedua
bagian tersebut seluruhnya. Perubahan yang khas terjadi pada lapisan
submukosa dengan ditemukannya lymphoedema dan infiltrasi sel limfotik dan
melanjut menjadi fibrosis dengan batas yang jelas atau disebut radang
granulomatosa.
Ardilasunu Wicaksono 2010

Gejala klinis

Berdasarkan tingkat gejala klinik JD terdapat empat stadia, yakni:

 Stadium I, tipe ”silent”, sub-klinik infeksi tidak dapat terdeteksi, meskipun


hewan sudah terinfeksi MAP (dalam dosis kecil) dan terjadi pada anak sapi
dan sapi dara.
 Stadium II, tipe penyebaran subklinik (sub-clinical shedders), terjadi pada
sapi dara yang lebih tua atau sapi dewasa. Hewan tampak sehat, tetapi
sebenarnya mereka adalah karier yang sewaktu-waktu dapat menularkan
atau menyebarkan banyak MAP pada kotorannya yang dapat dideteksi
melalui kultur dari fesesnya. Terjadi pencemaran lingkungan dengan bakteri
MAP.
 Stadium III, sapi memperlihatkan gejala klinik berupa diare encer (seperti
cairan) yang akut atau intermittent dan kotorannya berbau busuk, penurunan
berat badan dan produksi susu. Dengan uji serologi, positif mengandung
antibodi terhadap paratuberkulosis. Munculnya gejala klinik biasanya dipicu
oleh adanya stres.
 Stadium IV, merupakan stadium akhir paratuberkulosis, hewan menjadi
sangat kurus (emasiasio) dengan diare cair dan terlihat adanya edema pada
rahang bawah (bottlejaw) dan dapat berakibat fatal.

Gejala spesifik pada sapi berupa kehilangan bobot badan (meskipun


nafsu makannya normal), diare, produksi susu menurun. Hewan dapat terinfeksi
sebelum umur enam bulan melalui makanan atau susu yang terkontaminasi
MAP. Karena perkembangan penyakitnya yang lambat, maka gejala klinik
seringkali tidak teramati sampai umur hewan paling sedikit tiga tahun. Tanda
klinik ini muncul, seringkali dipicu oleh adanya stres seperti beranak atau
kepadatan ternak yang tinggi

Gejala klinik pada stadium akhir berupa diare kronik (persistent diarrhea)
dan kehilangan berat badan. Gejala tersebut baru muncul setelah sapi berumur
dua sampai 10 tahun, meskipun infeksinya terjadi sejak anak sapi dilahirkan
(nepnatal).

Pada kejadian infeksi yang menahun (kronis), bagian distal usus kecil
(ileum) merupakan tempat bersarangnya bakteri MAP, dengan demikian pada
bagian usus ini terdapat bakteri yang kepadatannya paling tinggi. Lokasi
Ardilasunu Wicaksono 2010

sekunder bersarangnya MAP adalah Iimfoglandula menseterika, sedangkan


sebagai lokasi tersier adalah hati, limpa dan Iimfoglandula lainnya. Secara
persisten MAP menetap pada ileum dan Iimfoglandula menseterika hingga
berbulan-bulan, meskipun belum atau sedikit mengeluarkan mycobacteria dalam
fesesnya dan selama sembilan bulan pertama infeksi, respon antibodi humoral
belum dapat dideteksi.

Ileum merupakan target utama MAP, karena pada dinding usus ileum
terkandung Peyer’s patches yang cocok untuk perkembangbiakannya. Meskipun
infeksi MAP terjadi pada periode neonatal (0-4 bulan), namun gejala klinik JD
pada sapi biasanya muncul setelah hewan berumur lebih dua tahun. Pada awal
infeksi tidak menunjukkan gajala klinik sakit (subklinis).

Lebih dari 90% hewan yang terinfeksi oleh MAP menampakkan diri
sepertinya sehat, namun berpotensi menyebarkan MAP melalui fesesnya dan
dapat menularkan MAP ke ruminansia lain dalam kelompoknya. Gejala klinik
biasanya terjadi segera setelah hewan melahirkan anak pertama atau kedua.
Anak sapi atau sapi muda lebih peka terhadap infeksi MAP dibanding dengan
sapi dewasa.

Pada sapi dapat mengakibatkan enteritis, peradangan usus kecil yang


mengakibatkan penebalan dan pelipatan dingin usus hewan yang terinfeksi.
Diagnosis penyakit didasarkan pada sejarah penyakit, pemeriksaan klinik dan
hasil nekropsi yang diperkuat dengan pemeriksaan laboratorik.

Penyakit Crohn lebih merupakan bentuk radang kronis non spesifik yang
menyerang bagian ileum dan kolon (bowel) namun demikian radang dapat juga
terjadi pada seluruh bagian sistem pencernaan. Penderitaan pasien CD dapat
berlangsung lama bahkan penyakit ini menyertai pasien selama hidupnya meski
sangat sedikit menimbulkan kematian. Karakter penyakit yang bersifat intermiten
dalam menimbulkan gejala klinis maupun keparahan, terkadang kemunculan
gejala memerlukan tindakan operasi untuk penanggulangannya. Hal ini
menggambarkan bahwa penyakit ini sangat sulit disembuhkan mirip dengan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri segenus lainnya seperti M. tuberculosis
yang menyebabkan radang paru.

Gejala klinis penyakit CD tidak mudah dikenali mengingat kejadian kasus


yang bersifat kronis. Pada umumnya gejala awal yang tampak adalah diare yang
Ardilasunu Wicaksono 2010

kronis, perut sakit terutama pada kuadran kanan bawah (seperti radang usus
buntu), demam, anoreksia, berat badan turun, konstipasi. Ada beberapa patokan
untuk mengenali penyakit ini yaitu: (1) inflamasi yang ditandai dengan rasa sakit
pada perut kuadran kanan bawah, (2) obstruksi (buntu) akibat penyempitan usus
mengakibatkan rasa sakit yang sangat pada perut (kolik), perut tegang,
konstipasi, dan muntah, (3) radang ileum yang menyeluruh (difus)
mengakibatkan malnutrisi , dan (4) fistula dan abses abdomen, kondisi yang
melanjut dapat menyebabkan usus bocor, demam, sakit perut, diare berdarah
dan memicu timbulnya kanker.

Pengobatan dan pencegahan

Pengobatan terhadap penyakit ini cukup sulit karena kemampuan bakteri


yang dapat masuk ke dalam makrofag. Beberapa obat seperti streptomycin,
isonazid dan rifampicin kurang dapat memberikan hasil yang memuaskan
dengan cara pengobatan tunggal sehingga untuk meningkatkan efektifitas dan
mencegah resistensi obat maka dapat dilakukan kombinasi pengobatan dengan
obat-obat tersebut.

Penggunaan Benzoxazin Rifamycin KRM-1648 memiliki potensi yang baik


untuk pengobatan MAP secara intermiten hanya obat ini memiliki kelarutan yang
rendah dalam darah. Linezolid juga merupakan obat antimycobacteria alternatif,
konsentrasi linezolid dalam darah yang direkomendasikan berkisar 2-32 μg/ml
didasarkan pada tingkat resistensi bakteri yang ada. Hal lain yang perlu
dipertimbangkan adalah efek samping obat ini yang dapat menekan aktivitas
sumsum tulang.

Upaya pencarian metode pengobatan juga dilakukan dengan mempelajari


mekanisme/substansi yang dapat mengangkut zat aktif obat masuk ke dalam sel
dan juga interaksi zat aktif tersebut dengan sel inang. Interaksi obat
antimycobakteria dengan aktivitas makrofag terinfeksi MAP telah dipelajari dan
berhasil mengetahui aktivitas antimycobakteria seperti rifampicin, rifobutun,
isoniazid, clofozamine, dan beberapa golongan quinolon ternyata justru
mengganggu sistem antimycobakterium sel makrofoag yang diperantari reaksi
oksigen (ROIs) namun obat-obat tersebut tidak mengganggu sistem
antimycobakterium sel inang yang diperantarai reaksi nitrogen (RNIs) maupun
Ardilasunu Wicaksono 2010

asam lemak bebas (FFAs). Pemahaman ini akan membantu pengembangan


obat-obat anti MAP atau bakteri lainnya yang mampu masuk ke dalam makrofag.

Tindakan strategi pencegahan JD pada hewan adalah dengan menjaga


higiene lingkungan peternakan, memisahkan anak sapi dari indukan, mencegah
kontaminasi manure dengan ternak, mencegah kontaminasi manure dengan
sumber air minum ternak, dapat juga dengan melakukan pasturisasi pada
kolostrum sebelum diberikan kepada anakan serta selalu menjaga kebersihan
ambing sebelum pemerahan untuk mencegah kontaminasi manure. Tindakan
pencegahan terpenting adalah dengan memberikan kolostrum yang negatif MAP
agar mencegah penularan secara vertical.

Pada penyakit CD, tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk


mengontrol penyebaran penyakit ini. secara teori manusia dapat terinfeksi
melalui kontak langsung dengan manusia ataupun hewan penderita ataupun
secara tak langsung melalui pengan tercemar. Penularan dapat melalui feses
penderita sehingga harus selalu menjaga kebersihan secara benar terutama
setelah buang air besar dengan mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
ataupun antiseptik. Tidak mengonsumsi pangan terutama susu dalam kondisi
mentah, melakukan pemanasan (pasteurisasi ataupun sterilisasi) untuk
menginkatifkan atau mematikan mikroorganisme yang ada didalamnya.

Bagi produsen keju disarankan untuk memperhatikan pH dan waktu


pemeraman yang mampu mengurangi tingkat cemaran MAP semaksimal
mungkin. Minimal waktu pemeraman yang disarankan adalah 3 bulan dengan
suhu rendah untuk menurunkan jumlah bakteri. Perebusan air secara benar
khususnya yang dikonsumsi mengingat air juga menjadi media yang berpotensi
menyebarkan bakteri ini.
Ardilasunu Wicaksono 2010

Kesimpulan

Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis merupakan ancaman


baru (emerging disease) bagi kesehatan manusia yang memiliki peluang
ditularkan dari susu dan produk olahannya. Kasus Crohn’s Disease merupakan
penyakit yang disebabkan bakteri MAP telah menjadi permasalahan besar bagi
kesehatan dan perekonomian terutama di negara maju. Kemampuan bakteri
MAP tahan terhadap panas perlu diwaspadai masyarakat dengan menjaga
kualitas higiene pangan dan sanitasi lingkungan dalam rangka pencegahan
terjadinya penyakit CD. Pengelolaan peternakan dengan selalu memantau
kesehatan ternak, sanitasi lingkungan peternakan, dan menjaga kualitas higiene
produk untuk menekan peluang pencemaran dan penyebaran MAP.

Tinjauan pustaka

Anonim .2008. Stasiun Karantina Cilacap Musnahkan Sapi Impor Selandia Baru.
http://www.vet-klinik.com/Berita-Peternakan/Stasiun-Karantina-Cilacap-
Musnahkan-Sapi-Impor-Selandia-Baru.html [22 Oktober 2010].

Carter M .2003. Johne’s Desease. River Road USA : APHIS-VS Center for
Animal Health Programs.

Cousins DV, Condron RJ, Eamens GJ, Whittington RJ, Lisle GW .2002.
Paratuberculosis. South Perth dan Upper Hutt : Australia and New
Zealand Standard Diagnostic Procedures.

Griffiths M .2002. Food-borne Pathogenes, 1st ed. Cambridge UK : Woodhead


Pub.Ltd. and CRC press LLC

Hendrick S .2009. Johne’s Desease. Saskatoon Canada : Large Animal Clinical


Sciences Disease Investigation Unit, Western College of Veterinary
Medicine.

Nugroho WS .2010a. Kejadian dan Peluang Infeksi Mycobacterium avium


subspesies paratuberculosis pada Manusia Melalui Susu Sapi dan
Produk Olahannya. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Gadjah Mada.
Ardilasunu Wicaksono 2010

Nugroho WS .2010b. Paratuberculosis dan Produksi Susu Sapi. Yogyakarta :


Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada.

Stabel JR, Wells SJ, Wagners BA. 2002. Relationships Between Fecal Culture,
ELISA, and Bulk Tank Milk Test Results for Johne’s Disease in US Dairy
Herds. J.Dairy Sci. 85:525-531

Tarmudji .2008. Johne’s Desease pada Sapi. Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 8
Oktober 2008. Bogor : Balai Besar Penelitian Veteriner.

Welsh RD, Thedford TR, Karges S, Dirato D .2010. Johne’s Disease (An
Emerging Disease of Oklahoma Cattle). Oklahoma USA : Division of
Agricultural Sciences and Natural Resources, Oklahoma State University .

Anda mungkin juga menyukai