Anda di halaman 1dari 8

Mereka Bicara Tentang Manusia

© 2008 Aris Susanto

SEBENARNYA ia malu menjadi manusia. Terlebih setelah memahami lebih jauh

beban yang tertanggung di pundaknya sebagai khalifah, alias wakil Tuhan di bumi ini. Ia

sudah begitu jengah pada serangkaian polahnya sendiri yang jauh dari cerminan makhluk

beragama, yang notabene malah kian dekaden. Juga pada status quo dimana ia dilahirkan;

negeri sorga yang taman-tamannya kian meranggas, tandus dan gersang digunduli setan-

setan berdasi-berkrah putih di atas sana. Pun, ia juga sempat memaki dirinya sendiri

ketika menyadari ia dengan seenaknya pernah mengenakan jubah tuhan demi membabat

sesamanya yang ia anggap sebagai domba-domba sesat, hanya lantaran berbeda paham.

Kini, ia sendiri sudah muak terhadap dirinya. Meski sudah demikian sering ia

lantunkan sajak-sajak penyesalannya di setiap jeda ibadah dan detik-detik hidupnya,

perasaan itu tetap saja bergelayut di pikirannya. Perasaan bahwa dirinya tak pantas

dilahirkan, juga perasaan bahwa dirinya hanyalah setumpuk dosa yang mengejawantah

sebagai sosok hidup bernama manusia. Ia paham benar, bahwa manusia identik dengan

kesalahan, namun premis itu tak ingin ia jadikan sebagai justifikasi untuk men-sah-kan

dirinya melakukan perbuatan-perbuatan yang tak patut dilakukan seorang makhluk waras

dan berakal, sekecil apapun dampaknya. Tapi sudah takdir ia dilahirkan sebagai manusia,

bukan sebagai keledai atau tikus got yang tak dibebani tanggung jawab sebesar dirinya,

meski sebetulnya ia tetap bersikukuh bahwa manusia tak ada beda dengan binatang jika

akal dan nuraninya dibungkam demi kesenangan artifisial.

***

Mereka Bicara Tentang Manusia ~ Sebuah Cerpen © 2008 Aris Susanto 1


Semuanya berawal ketika ia duduk melepas lelah di bawah pohon beringin di

samping sebuah mesjid termegah di kotanya. Kala itu masih bulan Ramadhan, dan hari

hampir petang, ketika si bola merah tenggelam di barat horison. Diantara sekian banyak

orang yang berseliweran keluar masuk mesjid dan mereka-mereka yang usai membeli

hidangan berbuka, lamat-lamat ia dapati dua sosok dari kejauhan berjalan terburu-buru

ke arahnya dengan kepala dan badan tertutupi mantel hitam menawan, terlihat sedang

berada dalam pembicaraan serius. Keduanya membuka-buka lembaran kertas, sebuah

buku berwarna hitam pekat. Namun ia tak terlalu tertarik memperhatikan dua sosok itu

lebih lama, sebab toh mereka pasti hanya akan lewat begitu saja seperti orang-orang yang

lalu lalang di hadapannya. Tetapi asumsi itu berbalik seratus delapan puluh derajat

manakala kedua sosok itu lewat di hadapannya, ia dibuat tertarik pada pembicaraan

keduanya yang sempat ia dengar sepintas.

"Bukankah sudah kubilang kalau hasilnya pasti tak akan ada beda dibanding tahun

lalu?! Lihatlah bermilyar data empirik yang tertulis di catatanku ini, begitu menyedihkan.

Tak ada perubahan signifikan. Masih ada yang mau kau bantah, kawan?!"

"Aku terima keluhanmu! Tapi sudah kubilang, jangan seenaknya main pukul rata.

Hasil catatanku justru menunjukkan bahwa perubahan positif sedang terjadi secara

gradual, meskipun hanya segelintir saja."

"Ya sudah terserah apa katamu. Yang jelas, tanganku sudah pegal menulisi amal-

amal hipokrit manusia!"

Kedua sosok itu segera lenyap diantara seliweran orang-orang yang lalu lalang. Dan

ia hanya melotot, terpaku. Menggelontorlah beragam pertanyaan yang menggedor batok

kepalanya, namun tak satu pun ia dapatkan jawaban pastinya, kecuali dugaan-dugaan

tanpa bukti.

***

Mereka Bicara Tentang Manusia ~ Sebuah Cerpen © 2008 Aris Susanto 2


Lalu pada sebuah lanskap yang absurd, ia dapati dirinya berada dalam sebuah

muktamar yang dihadiri beragam entitas yang selama ini ia kenal abstrak. Namun

keberadaannya di sana layaknya manekin, diacuhkan, seolah ia tak ada. Dan mereka-

mereka yang ia kenal abstrak itu, masih berada dalam perbincangan yang seolah tak

berkesudahan.

"Aku ini... ternyata masih menjadi tema sentral yang di bumi manusia ya...," ucap

seorang dari mereka. "Lihatlah, aku masih menjadi momok menakutkan bagi hampir

semua manusia, dimana aku pulalah representasi dari negara dunia ketiga."

"Mmm... benar, tapi jangan lupakan peranku," seorang dari mereka angkat suara.

"Hanya manusia-manusia yang terserang penyakit aku-lah, Kebodohan, yang menganggap

seratus persen bahwa dirimu, Kemiskinan, adalah petaka akbar, dan membuat manusia

mencari keuntungan dengan cara-cara keji, atau justru mengakhiri hidupnya sendiri

dengan bunuh diri hanya lantaran tak tahan menghadapi hidup. Jika manusia tidak

bodoh, alias cerdas dan tahu benar hakikat dirimu, niscaya dirimu bisa dimanfaatkan

untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi, yakni rahmat Tuhan."

"O, maaf, ada sedikit yang ingin kuralat mengenai ucapanmu tadi, sobat!," ujar

seorang yang lain lagi menyela. "Memang betul manusia yang kadar kebodohannya sudah

begitu akut, akan melakukan hal-hal bodoh lainnya pula. Tapi justru jika dibandingkan

dengan prosentase manusia yang dianugerahi aku, dan melihat lebih jauh apa yang

manusia lakukan dengan memanfaatkan diriku, maka asumsimu menjadi tidak relevan

sebetulnya. Terbukti sudah betapa banyak manusia yang diberi kecerdasan, ternyata

menyalahgunakannya demi menipu, memperalat, menindas, bahkan menghancurkan

sesamanya sendiri. Jadi, manusia yang memiliki aku, belum tentu semuanya bisa

dikategorikan sebagai manusia yang bakal meraih rahmat Tuhan."

"Hoo... betapa bangganya kalian," suara lain terdengar. "Namun jika dibandingkan

denganku ketika aku menimpa manusia, kenyataan klise tapi tetap menarik akan bisa kita

Mereka Bicara Tentang Manusia ~ Sebuah Cerpen © 2008 Aris Susanto 3


saksikan. Ketika manusia ditimpa aku, manusia-manusia beragama akan mengeluh

layaknya keluhan tipikal dalam sinetron; 'Ya Tuhan, apa salah dan dosaku hingga aku

mesti ditimpa sakit dan kesialan seperti ini?'. Padahal kita tahu betul betapa bejibunnya

dosa-dosa manusia itu. Bukankah begitu?"

"Ya. Begitu pula ketika manusia dilimpahi aku, Kesehatan,” kata seorang yang lain

lagi bersuara. “Bukankah manusia-manusia itu menjadi lupa daratan? Sebab ketika

manusia memiliki diriku, kemungkaran-kemungkaran pun acapkali dilakukan tanpa

mempertimbangkan apakah dirinya semenit ke depan masih tetap hidup atau tidak..."

"Dan kebanyakan manusia kita dapati tidak banyak bersyukur," kembali suara lain

memotong, namun suara yang satu ini terdengar lebih agung. "Bahkan aku, yang

semestinya menjadi rujukan untuk tafakur, menggali beragam hikmah, dan dijadikan

pegangan hidup, ternyata hanya diperlakukan layaknya sebuah buku murahan. Lebih

ironisnya lagi, justru manusia kerap mempreteli bagian-bagian dari diriku untuk dijadikan

tameng buat menjustifikasi kebenaran yang dianutnya. Tentulah kalian sudah sering

melihat betapa manusia memperdebatkan aku, mendistorsi dan mereduksi diriku demi

kepentingan mazhabnya. Bahkan adu mulut hingga adu jotos antar mereka pun kerap

terjadi gara-gara penafsiran subyektif mereka terhadapku. Padahal yang kuinginkan hanya

satu, yakni pesan-pesan yang terkandung dalam diriku bisa diejawantahkan dalam tataran

praksis kehidupan sosial mereka. Jika manusia bisa sadar akan urgensi hal ini, niscaya

manusia bisa membangun utopia yang nyata. Pantaslah bukan, jika dahulu para malaikat

pernah mempertanyakan kehendak Tuhan kala Ia berfirman hendak menciptakan

manusia di muka bumi?"

Maka semua peserta yang hadir dalam pertemuan itu hanya bisa melongo

mendengar penuturan suara terakhir tadi. Begitu pula ia, yang sedari tadi diacuhkan.

Nuraninya membenarkan perkataan-perkataan mereka meski ingin sekali ia mengajukan

pledoi seandainya saja suaranya bisa keluar dan tubuhnya bisa digerakkan. Namun ia

Mereka Bicara Tentang Manusia ~ Sebuah Cerpen © 2008 Aris Susanto 4


terpaksa hanya bisa mendengarkan saja lanjutan semua omongan, gerutuan, umpatan,

dan kritikan mereka-mereka yang lain—yang, ia anggap abstrak itu—seperti Kekayaan,

Waktu, Kebaikan, Keburukan, Maut, dan lain-lain lagi. Yang jelas, ia tak sanggup lagi

menampung beragam opini mereka dengan kedua telinganya yang seakan perih dan

terbakar ketika bulir-bulir air matanya menitik, meleleh, dan berjatuhan laksana berlian.

***

Lalu di draft skenario hidupnya kemudian, tertulis bahwa ia ditakdirkan untuk

dikritik Iblis habis-habisan dengan sederet pertanyaan retoris yang menusuk. Ia sendiri

tak tahu bagaimana awal mula perjumpaannya dengan tokoh akbar sepanjang masa yang

juga kerap disebut sebagai dedengkot prahara itu, seperti halnya Adam yang tak pernah

menduga pertemuannya dengan Hawa.

"Tak pernahkah kau membaca karya sesamamu dimana dikisahkan betapa seorang

Haji Saleh mesti diseret dan dijebloskan ke dalam kawah candradimuka kemurkaan-Nya

hanya lantaran ia lebih suka berlama-lama menempelkan pantatnya di mesjid dan

mengacuhkan tanggung jawab sosialnya?," tanyanya untuk kali yang pertama.

"Tidakkah kau berpikir bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan dalam hidup,

bahwa setiap manusia ditakdirkan berbeda-beda? Lantas apa yang mendorongmu untuk

menyatakan klaim bahwa dirimulah satu-satunya yang berada di atas jalan kebenaran dan

keselamatan? Sedangkal dan sesempit itukah agama yang kau pahami? Ataukah

kenikmatan sorga yang ilustratif itulah yang menjadi obsesimu? Dan apakah kau masih

berpikir bahwa aku beserta para anak buahku-lah yang menjadi penyebab manusia

melakukan dosa? Maaf! Perlu kau ketahui, hai manusia! Bahwa kami tidak tertantang

sedikitpun untuk menggoda apalagi menguji kualitas iman kebanyakan kalian sekarang

yang begitu rapuh, bobrok dan penuh dengan tambal-sulam riya', 'ujub dan syirik itu. Tak

Mereka Bicara Tentang Manusia ~ Sebuah Cerpen © 2008 Aris Susanto 5


perlu aku turun tangan pun, banyak manusia-manusia diantaramu yang mengemis-

ngemis meminta suaka kepadaku lantaran sudah lelah dengan aturan-aturan dan takdir

Ilahi yang sebetulnya merupakan jalan cahaya yang semestinya diterima dengan sukacita.

Dengan jujur pula aku sampaikan, bahwa aku beserta bangsa setan, sudah jenuh dan

bosan dengan keadaan kalian. Heh! Semestinya aku gembira mendapati banyaknya bakal

kawanku di neraka. Tapi ternyata stagnasi spiritualitas dan iman kalian terlalu

berkepanjangan. Membuatku malas untuk sekedar mencoba menguji sampai dimana

ketangguhan kalian sebagai musuh bebuyutanku. Jika keadaan kalian tetap seperti ini,

maka benar sudah kesimpulanku, bahwa kalian hanyalah sekumpulan produk gagal-Nya,

yang sama sekali tak pantas menyandang gelar sebagai wakil Tuhan. Jika kau menganggap

generalisasiku terlalu kebablasan, paradoks dan tidak sepenuhnya benar, silakan benahi

dulu tingkah-polahmu, lalu tantanglah aku di kemudian hari, dan kita bertanding satu

lawan satu. Buktikan siapa yang paling berkualitas di mata-Nya. Siapa yang akan menang,

sejarahlah yang bakal menjadi saksi dan mencatatnya!”

***

Tegasnya, ia disuguhi bermacam tayangan real yang mendobrak tembok-tembok

paradigma yang selama ini ia anut. Ingatlah ia akan sepenggal lirik Ebiet G. Ade dimana

sederetan bencana kemanusiaan dan alam yang melanda negerinya, tak lain mungkin

lantaran Tuhan pun sudah bosan melihat tingkah manusia. Ia sempat tertawa menyadari

ketololannya ketika ia sebelumnya menuruti penggalan lirik Ebiet sebelumnya; pergi ke

laut, mencoba mendengarkan apa kira-kira yang bakal mereka, yakni karang, ombak, dan

matahahari katakan tentang dirinya, tentang manusia. Dan sial, untuk kali ini yang ia

dengar hanyalah hanya kebisuan.

Mereka Bicara Tentang Manusia ~ Sebuah Cerpen © 2008 Aris Susanto 6


Lalu ia dapati semua yang ia jumpai, entah itu pohon, gunung, air, semilir angin,

dedaunan, kertas, plastik, baju, kolor, sendal jepit, sepatu, gelas, sendok, barang-barang

elektronik, sampah, kucing, ayam, kambing, tikus, bekicot, apa saja, termasuk seluruh

anggota tubuhnya, bicara tentang manusia, tentang dirinya. Entah sejak kapan mereka

memiliki mulut dan bersuara. Apakah ini semacam gejala bahwa dirinya tak lagi waras?

Ataukah ia hanya sekedar mengalami halusinasi temporer? Entahlah. Yang jelas, ia merasa

dunia semakin bising. Bapak-bapak birokrat berkoar-koar menyampaikan pidato bahwa

kebijakan yang mereka ambil adalah pro-rakyat. Tapi rakyat yang mana, pikirnya.

Mahasiswa-mahasiswa meneriakkan reformasi, tapi reformasi untuk siapa, entah. Ulama

di berbagai mimbar berteriak menyerukan repetisi yang membosankan tentang perlunya

pendirian negara imperium berbasis agama. Absurdkah? Mungkin. Para sastrawan

membicarakan dunia sastra yang diprediksi bakal mengalami madesu setelah diamati

bahwa generasi muda sekarang begitu banyak yang buta sastra tanpa mau mengakui

bahwa sastra hasil buah tangan mereka yang terlalu melangitlah yang menyebabkan

lahirnya kejumudan ini. Semuanya berkata, berbicara, bersuara, berteriak.

Mendengar anggota-anggota tubuhnya berkata-kata pun, terlebih kelaminnya,

melemparnya pada memori Kota Kelamin. Ia menunduk disertai isak tangis kala ia tengok

lembaran sejarah hidupnya yang lalu, ketika ia pernah menjadikan syahwat sebagai

tuhannya. Diingatnya pula ketika sebagian manusia negerinya membuat malu di mata

dunia, lantas seorang Taufik Ismail melahirkan setumpuk puisi Malu (Aku) Jadi Orang

Indonesia, ia seketika merasa harus menjadi epigon. Itu sebabnya kini ia pun merasa malu

menjadi manusia. Sebab di luar kosmos ini, mereka-mereka yang tak dikenal pun bicara

tentang manusia, lebih tepatnya tentang dirinya. Bicara dengan ekspresif tanpa takut

rezim represif. Ia ingin berteriak, cukup sudah semua ini. Namun ternyata mulut dan

lidahnya mogok kerja. Mereka bicara tentang manusia. Mereka bicara tentang dirinya.

Mereka Bicara Tentang Manusia ~ Sebuah Cerpen © 2008 Aris Susanto 7


Ingin ia menangis lagi, tapi ternyata butiran air matanya ikut-ikutan mogok. Mereka lebih

senang mengendap, enggan keluar, lalu berbisik, bicara tentang manusia, tentang dirinya.

Akhirnya ia pun ingin menangis dan menjerit dengan hatinya. Tapi hatinya berontak.

Mogok kerja pulakah ia?

***

Keesokan harinya, ketika ia bangun dari tidurnya, ia dapati dirinya tak lagi memiliki

apa-apa. Mata, telinga, mulut, hidung, tangan, kaki, perut, organ-organ tubuh dan

kelaminnya, beserta otaknya, pergi dari rutinitasnya. Semuanya sedang ikut dalam

pertemuan akbar dengan tema, MEMBICARAKAN MANUSIA. Entah dengan apa lagi ia

masih bisa berpikir. Mungkin sebenarnya ia sudah tak lagi hidup, melainkan hanya

sekedar eksis. []

Bandung, 29 Juli 2008


Menjelang Maghrib

Tentang Penulis
ARIS SUSANTO. Lahir 28 Juli 1989 dan tinggal di Cianjur (Jl. Prof. Mohammad Yamin 56 Gg.
Sentosa 03/07 Kel. Sayang 43213 Cianjur). Di Bandung beralamat di Jl. Surapati 153B Bandung
40123.
Nomor kontak yang bisa dihubungi 085659461671 dan e-mail paradoks_2017@yahoo.com. Blog
pribadi bisa dikunjungi di http://esensi.wordpress.com

Mereka Bicara Tentang Manusia ~ Sebuah Cerpen © 2008 Aris Susanto 8

Anda mungkin juga menyukai