beban yang tertanggung di pundaknya sebagai khalifah, alias wakil Tuhan di bumi ini. Ia
sudah begitu jengah pada serangkaian polahnya sendiri yang jauh dari cerminan makhluk
beragama, yang notabene malah kian dekaden. Juga pada status quo dimana ia dilahirkan;
negeri sorga yang taman-tamannya kian meranggas, tandus dan gersang digunduli setan-
setan berdasi-berkrah putih di atas sana. Pun, ia juga sempat memaki dirinya sendiri
ketika menyadari ia dengan seenaknya pernah mengenakan jubah tuhan demi membabat
sesamanya yang ia anggap sebagai domba-domba sesat, hanya lantaran berbeda paham.
Kini, ia sendiri sudah muak terhadap dirinya. Meski sudah demikian sering ia
perasaan itu tetap saja bergelayut di pikirannya. Perasaan bahwa dirinya tak pantas
dilahirkan, juga perasaan bahwa dirinya hanyalah setumpuk dosa yang mengejawantah
sebagai sosok hidup bernama manusia. Ia paham benar, bahwa manusia identik dengan
kesalahan, namun premis itu tak ingin ia jadikan sebagai justifikasi untuk men-sah-kan
dirinya melakukan perbuatan-perbuatan yang tak patut dilakukan seorang makhluk waras
dan berakal, sekecil apapun dampaknya. Tapi sudah takdir ia dilahirkan sebagai manusia,
bukan sebagai keledai atau tikus got yang tak dibebani tanggung jawab sebesar dirinya,
meski sebetulnya ia tetap bersikukuh bahwa manusia tak ada beda dengan binatang jika
***
samping sebuah mesjid termegah di kotanya. Kala itu masih bulan Ramadhan, dan hari
hampir petang, ketika si bola merah tenggelam di barat horison. Diantara sekian banyak
orang yang berseliweran keluar masuk mesjid dan mereka-mereka yang usai membeli
hidangan berbuka, lamat-lamat ia dapati dua sosok dari kejauhan berjalan terburu-buru
ke arahnya dengan kepala dan badan tertutupi mantel hitam menawan, terlihat sedang
buku berwarna hitam pekat. Namun ia tak terlalu tertarik memperhatikan dua sosok itu
lebih lama, sebab toh mereka pasti hanya akan lewat begitu saja seperti orang-orang yang
lalu lalang di hadapannya. Tetapi asumsi itu berbalik seratus delapan puluh derajat
manakala kedua sosok itu lewat di hadapannya, ia dibuat tertarik pada pembicaraan
"Bukankah sudah kubilang kalau hasilnya pasti tak akan ada beda dibanding tahun
lalu?! Lihatlah bermilyar data empirik yang tertulis di catatanku ini, begitu menyedihkan.
Tak ada perubahan signifikan. Masih ada yang mau kau bantah, kawan?!"
"Aku terima keluhanmu! Tapi sudah kubilang, jangan seenaknya main pukul rata.
Hasil catatanku justru menunjukkan bahwa perubahan positif sedang terjadi secara
"Ya sudah terserah apa katamu. Yang jelas, tanganku sudah pegal menulisi amal-
Kedua sosok itu segera lenyap diantara seliweran orang-orang yang lalu lalang. Dan
kepalanya, namun tak satu pun ia dapatkan jawaban pastinya, kecuali dugaan-dugaan
tanpa bukti.
***
muktamar yang dihadiri beragam entitas yang selama ini ia kenal abstrak. Namun
keberadaannya di sana layaknya manekin, diacuhkan, seolah ia tak ada. Dan mereka-
mereka yang ia kenal abstrak itu, masih berada dalam perbincangan yang seolah tak
berkesudahan.
"Aku ini... ternyata masih menjadi tema sentral yang di bumi manusia ya...," ucap
seorang dari mereka. "Lihatlah, aku masih menjadi momok menakutkan bagi hampir
semua manusia, dimana aku pulalah representasi dari negara dunia ketiga."
"Mmm... benar, tapi jangan lupakan peranku," seorang dari mereka angkat suara.
seratus persen bahwa dirimu, Kemiskinan, adalah petaka akbar, dan membuat manusia
mencari keuntungan dengan cara-cara keji, atau justru mengakhiri hidupnya sendiri
dengan bunuh diri hanya lantaran tak tahan menghadapi hidup. Jika manusia tidak
bodoh, alias cerdas dan tahu benar hakikat dirimu, niscaya dirimu bisa dimanfaatkan
"O, maaf, ada sedikit yang ingin kuralat mengenai ucapanmu tadi, sobat!," ujar
seorang yang lain lagi menyela. "Memang betul manusia yang kadar kebodohannya sudah
begitu akut, akan melakukan hal-hal bodoh lainnya pula. Tapi justru jika dibandingkan
dengan prosentase manusia yang dianugerahi aku, dan melihat lebih jauh apa yang
manusia lakukan dengan memanfaatkan diriku, maka asumsimu menjadi tidak relevan
sebetulnya. Terbukti sudah betapa banyak manusia yang diberi kecerdasan, ternyata
sesamanya sendiri. Jadi, manusia yang memiliki aku, belum tentu semuanya bisa
"Hoo... betapa bangganya kalian," suara lain terdengar. "Namun jika dibandingkan
denganku ketika aku menimpa manusia, kenyataan klise tapi tetap menarik akan bisa kita
layaknya keluhan tipikal dalam sinetron; 'Ya Tuhan, apa salah dan dosaku hingga aku
mesti ditimpa sakit dan kesialan seperti ini?'. Padahal kita tahu betul betapa bejibunnya
"Ya. Begitu pula ketika manusia dilimpahi aku, Kesehatan,” kata seorang yang lain
lagi bersuara. “Bukankah manusia-manusia itu menjadi lupa daratan? Sebab ketika
mempertimbangkan apakah dirinya semenit ke depan masih tetap hidup atau tidak..."
"Dan kebanyakan manusia kita dapati tidak banyak bersyukur," kembali suara lain
memotong, namun suara yang satu ini terdengar lebih agung. "Bahkan aku, yang
semestinya menjadi rujukan untuk tafakur, menggali beragam hikmah, dan dijadikan
pegangan hidup, ternyata hanya diperlakukan layaknya sebuah buku murahan. Lebih
ironisnya lagi, justru manusia kerap mempreteli bagian-bagian dari diriku untuk dijadikan
tameng buat menjustifikasi kebenaran yang dianutnya. Tentulah kalian sudah sering
melihat betapa manusia memperdebatkan aku, mendistorsi dan mereduksi diriku demi
kepentingan mazhabnya. Bahkan adu mulut hingga adu jotos antar mereka pun kerap
terjadi gara-gara penafsiran subyektif mereka terhadapku. Padahal yang kuinginkan hanya
satu, yakni pesan-pesan yang terkandung dalam diriku bisa diejawantahkan dalam tataran
praksis kehidupan sosial mereka. Jika manusia bisa sadar akan urgensi hal ini, niscaya
manusia bisa membangun utopia yang nyata. Pantaslah bukan, jika dahulu para malaikat
Maka semua peserta yang hadir dalam pertemuan itu hanya bisa melongo
mendengar penuturan suara terakhir tadi. Begitu pula ia, yang sedari tadi diacuhkan.
pledoi seandainya saja suaranya bisa keluar dan tubuhnya bisa digerakkan. Namun ia
Waktu, Kebaikan, Keburukan, Maut, dan lain-lain lagi. Yang jelas, ia tak sanggup lagi
menampung beragam opini mereka dengan kedua telinganya yang seakan perih dan
terbakar ketika bulir-bulir air matanya menitik, meleleh, dan berjatuhan laksana berlian.
***
dikritik Iblis habis-habisan dengan sederet pertanyaan retoris yang menusuk. Ia sendiri
tak tahu bagaimana awal mula perjumpaannya dengan tokoh akbar sepanjang masa yang
juga kerap disebut sebagai dedengkot prahara itu, seperti halnya Adam yang tak pernah
"Tak pernahkah kau membaca karya sesamamu dimana dikisahkan betapa seorang
Haji Saleh mesti diseret dan dijebloskan ke dalam kawah candradimuka kemurkaan-Nya
"Tidakkah kau berpikir bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan dalam hidup,
bahwa setiap manusia ditakdirkan berbeda-beda? Lantas apa yang mendorongmu untuk
menyatakan klaim bahwa dirimulah satu-satunya yang berada di atas jalan kebenaran dan
keselamatan? Sedangkal dan sesempit itukah agama yang kau pahami? Ataukah
kenikmatan sorga yang ilustratif itulah yang menjadi obsesimu? Dan apakah kau masih
berpikir bahwa aku beserta para anak buahku-lah yang menjadi penyebab manusia
melakukan dosa? Maaf! Perlu kau ketahui, hai manusia! Bahwa kami tidak tertantang
sedikitpun untuk menggoda apalagi menguji kualitas iman kebanyakan kalian sekarang
yang begitu rapuh, bobrok dan penuh dengan tambal-sulam riya', 'ujub dan syirik itu. Tak
ngemis meminta suaka kepadaku lantaran sudah lelah dengan aturan-aturan dan takdir
Ilahi yang sebetulnya merupakan jalan cahaya yang semestinya diterima dengan sukacita.
Dengan jujur pula aku sampaikan, bahwa aku beserta bangsa setan, sudah jenuh dan
bosan dengan keadaan kalian. Heh! Semestinya aku gembira mendapati banyaknya bakal
kawanku di neraka. Tapi ternyata stagnasi spiritualitas dan iman kalian terlalu
ketangguhan kalian sebagai musuh bebuyutanku. Jika keadaan kalian tetap seperti ini,
maka benar sudah kesimpulanku, bahwa kalian hanyalah sekumpulan produk gagal-Nya,
yang sama sekali tak pantas menyandang gelar sebagai wakil Tuhan. Jika kau menganggap
generalisasiku terlalu kebablasan, paradoks dan tidak sepenuhnya benar, silakan benahi
dulu tingkah-polahmu, lalu tantanglah aku di kemudian hari, dan kita bertanding satu
lawan satu. Buktikan siapa yang paling berkualitas di mata-Nya. Siapa yang akan menang,
***
paradigma yang selama ini ia anut. Ingatlah ia akan sepenggal lirik Ebiet G. Ade dimana
sederetan bencana kemanusiaan dan alam yang melanda negerinya, tak lain mungkin
lantaran Tuhan pun sudah bosan melihat tingkah manusia. Ia sempat tertawa menyadari
laut, mencoba mendengarkan apa kira-kira yang bakal mereka, yakni karang, ombak, dan
matahahari katakan tentang dirinya, tentang manusia. Dan sial, untuk kali ini yang ia
dedaunan, kertas, plastik, baju, kolor, sendal jepit, sepatu, gelas, sendok, barang-barang
elektronik, sampah, kucing, ayam, kambing, tikus, bekicot, apa saja, termasuk seluruh
anggota tubuhnya, bicara tentang manusia, tentang dirinya. Entah sejak kapan mereka
memiliki mulut dan bersuara. Apakah ini semacam gejala bahwa dirinya tak lagi waras?
Ataukah ia hanya sekedar mengalami halusinasi temporer? Entahlah. Yang jelas, ia merasa
kebijakan yang mereka ambil adalah pro-rakyat. Tapi rakyat yang mana, pikirnya.
membicarakan dunia sastra yang diprediksi bakal mengalami madesu setelah diamati
bahwa generasi muda sekarang begitu banyak yang buta sastra tanpa mau mengakui
bahwa sastra hasil buah tangan mereka yang terlalu melangitlah yang menyebabkan
melemparnya pada memori Kota Kelamin. Ia menunduk disertai isak tangis kala ia tengok
lembaran sejarah hidupnya yang lalu, ketika ia pernah menjadikan syahwat sebagai
tuhannya. Diingatnya pula ketika sebagian manusia negerinya membuat malu di mata
dunia, lantas seorang Taufik Ismail melahirkan setumpuk puisi Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia, ia seketika merasa harus menjadi epigon. Itu sebabnya kini ia pun merasa malu
menjadi manusia. Sebab di luar kosmos ini, mereka-mereka yang tak dikenal pun bicara
tentang manusia, lebih tepatnya tentang dirinya. Bicara dengan ekspresif tanpa takut
rezim represif. Ia ingin berteriak, cukup sudah semua ini. Namun ternyata mulut dan
lidahnya mogok kerja. Mereka bicara tentang manusia. Mereka bicara tentang dirinya.
senang mengendap, enggan keluar, lalu berbisik, bicara tentang manusia, tentang dirinya.
Akhirnya ia pun ingin menangis dan menjerit dengan hatinya. Tapi hatinya berontak.
***
Keesokan harinya, ketika ia bangun dari tidurnya, ia dapati dirinya tak lagi memiliki
apa-apa. Mata, telinga, mulut, hidung, tangan, kaki, perut, organ-organ tubuh dan
kelaminnya, beserta otaknya, pergi dari rutinitasnya. Semuanya sedang ikut dalam
pertemuan akbar dengan tema, MEMBICARAKAN MANUSIA. Entah dengan apa lagi ia
masih bisa berpikir. Mungkin sebenarnya ia sudah tak lagi hidup, melainkan hanya
sekedar eksis. []
Tentang Penulis
ARIS SUSANTO. Lahir 28 Juli 1989 dan tinggal di Cianjur (Jl. Prof. Mohammad Yamin 56 Gg.
Sentosa 03/07 Kel. Sayang 43213 Cianjur). Di Bandung beralamat di Jl. Surapati 153B Bandung
40123.
Nomor kontak yang bisa dihubungi 085659461671 dan e-mail paradoks_2017@yahoo.com. Blog
pribadi bisa dikunjungi di http://esensi.wordpress.com