Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung-40391
• Karakteristik komoditas
Tabel 1 Perisabilitas relatif beberapa jenis sayuran berdasarkan persepsi dan pengamatan
petani/pedagang
Jenis Perisabilitas Jenis Perisabilitas Jenis Perisabilitas
Relatif Relatif Relatif
Kubis *** Sawi **** Broccoli **
Tomat ** Lettuce **** Wortel ***
Kentang * Cabai merah ** Bawang merah *
Kubis bunga ** Cabai rawit ** Lobak ***
Buncis ** Bawang daun **** Kacang merah **
Petsai **** Kailan ***
Note: * = rendah; **** = tinggi
Produk dengan keragaman kualitas tinggi yang dihasilkan oleh usahatani sayuran merupakan
konsekuensi alami dari sistem produksi biologis. Keragaman ini tercermin dari variasi atribut
1 Makalah disampaikan dalam Kegiatan Diseminasi Teknologi Pemupukan, Balai Penelitian Tanaman Sayuran –
PT. Johny Jaya Makmur, Lembang, 2 - 4 September 2002.
2
produk, misalnya ukuran, rasa, aroma, warna, bentuk, tektur, untuk jenis sayuran yang sama.
Dalam kondisi seperti ini, kelas dan standar (grades and standard) diperlukan sebagai bahasa
pasar yang dapat menyederhanakan proses pemasaran dan membentuk etika dasar dalam
kegiatan jual beli/transaksi. Pengkelasan dan standarisasi (grading and standardization) adalah
dua terminologi yang secara konsepsual sangat berkaitan erat dan umumnya berhubungan
dengan dimensi kualitas suatu komoditas. Terminologi standarisasi berkaitan dengan suatu
alat ukur yang telah disepakati dan berfungsi sebagai batasan (boundary) untuk pengkelasan.
Kaitannya dengan kualitas produk, standar kualitas adalah properti yang diterima secara umum
untuk membedakan nilai suatu komoditas dihadapan pembeli/konsumer. Standar kualitas ini
dapat bersifat fisiologis -- misalnya nilai nutrisi suatu komoditas, tetapi kebanyakan bersifat
sensori -- misalnya rasa, warna, atau aroma suatu komoditas. Sementara itu, pengkelasan
merupakan kegiatan sortasi untuk memilih/memilah produk berdasarkan keseragaman dalam
suatu kategori tertentu. Ketepatan dan akurasi proses pengkelasan sangat bergantung pada
keterkaitan antara standar kualitas, preferensi pembeli dan penjual, kisaran kualitas yang
disortasi, serta relevansi sortasi terhadap pilihan konsumen.
Perlakuan pertama setelah sayuran dipanen adalah sortasi yang biasanya dilakukan
berdasarkan ukuran, bentuk, tingkat kematangan atau atribut lain yang berpengaruh terhadap
nilai komersial produk. Fungsi fasilitasi lain dalam sistem pemasaran sayuran adalah
pengkelasan yang merupakan pengembangan kegiatan sortasi memilah produk ke dalam
beberapa kategori/kelas berdasarkan standar kualitas. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian
besar petani di Langensari and Margamulya melakukan sortasi produk. Pada dasarnya, petani
memilah hasil panen antara produk yang dapat dipasarkan dan tidak dapat dipasarkan
berdasarkan kriteria busuk, cacat dan kotoran (kecuali pada sistem tebasan). Sementara itu,
hanya sebagian kecil petani di Langensari melakukan pengkelasan, namun sebagian besar
petani di Margamulya melaksanakan kegiatan ini, terutama untuk kentang. Observasi lapang
selanjutnya menunjukkan bahwa petani melakukan pengkelasan kentang berdasarkan ukuran
dan keseragaman bentuk umbi. Faktor kualitas lain, misalnya tekstur, warna dan aroma tidak
digunakan sebagai dasar pengkelasan karena sukar diukur dan cenderung mengandung
subyektivitas yang tinggi.
Tabel 2 Sortasi dan pengkelasan yang dilakukan petani di Langensari (Lembang) dan Margamulya
(Pangalengan)
No Aktivitas Langensari Margamulya
(%, n=26) (%, n=27)
Sortasi
Tidak pernah 30.8 11.2
Kadang-kadang 11.5 25.9
Selalu 57.7 62.9
Pengkelasan
Tidak pernah 92.3 33.3
Kadang-kadang - 18.5
Selalu 7.7 48.2
Pengkelasan pada kentang (di Margamulya) berhubungan langsung dengan harga masing-
masing kelas, yaitu: AL (Rp. 2, 000 – Rp. 2, 300), AB (Rp. 1, 800 – Rp. 2, 000), ABC (Rp.
1, 600 - Rp. 1, 800), DN (Rp. 1, 200 – Rp. 1, 400), TO (Rp. 800 – Rp. 1, 000), and ARES (Rp.
500 – Rp. 700). Aktivitas pengkelasan ini tidak biasa dilakukan untuk jenis sayuran lainnya.
Berbagai penelitian lain mengindikasikan bahwa hanya jika petani menjual produk berbasis
3
kelas, manfaat sistem pengkelasan sebagai metode komunikasi antara produsen dan
konsumen dapat terealisasi. Semakin luas penjualan berbasis kelas dilakukan, semakin kecil
kemungkinan terjadinya transaksi yang curang atau tidak adil. Namun demikian, perlu pula
diperhatikan adanya kemungkinan bahwa tidak semua petani diuntungkan oleh penjualan
produk berbasis kelas. Petani yang memproduksi sayuran berkualitas tinggi, secara tidak
langsung akan diuntungkan atas tanggungan petani yang memproduksi sayuran berkualitas
lebih rendah. Untuk memproduksi sayuran berkualitas tinggi, biasanya dibutuhkan penanganan
yang bersifat lebih hati-hati dan seringkali memerlukan biaya lebih tinggi. Dalam beberapa hal,
biaya ekstra yang harus dikeluarkan mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan tambahan
penerimaannya. Pada kondisi seperti ini, petani tidak akan tertarik terhadap metode penjualan
produk berbasis kelas (seperti terjadi pada jenis sayuran lain).
Ditinjau dari sisi konsumen, sistem pengkelasan tidak saja dapat mengurangi ketidak-pastian
menyangkut kualitas produk, tetapi juga memberikan alternatif pilihan sesuai dengan tujuan
kegunaan produk. Pada kenyataannya, konsumen tidak selalu menentukan pilihan untuk
membeli produk yang memiliki kualitas terbaik. Sebagai contoh, konsumen akan membeli
kentang dengan kualitas berbeda jika hendak menyiapkan menu sayur (kualitas relatif lebih
rendah) atau “french fries” (kualitas relatif lebih tinggi). Walaupun berbeda, kedua kualitas
tersebut dapat memenuhi kebutuhan konsumen karena ditujukan untuk kegunaan yang
berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengkelasan diarahkan untuk memberikan
jaminan bahwa bukan hanya produk dengan kualitas terbaik yang dapat dipasarkan, tetapi juga
mempertemukan kebutuhan konsumen dengan berbagai kualitas produk yang tersedia.
Namun demikian, operasionalisasi standardisasi sayuran ini tampaknya masih belum berjalan
baik dan menjadi salah satu titik lemah sistem pemasaran sayuran di Indonesia. Beberapa
hasil penelitian memberikan konfirmasi bahwa penanganan produk yang berlaku saat ini hanya
bersifat pengkelasan (untuk jenis sayuran tertentu) yang sifatnya tidak baku/standar.
Konsekuensi dari kondisi ini adalah adanya keragaman yang tinggi dari standar kualitas
sayuran, misalnya untuk bawang merah, mentimun atau kentang.
4
• Pola konsumsi
Konsumsi sayuran di Indonesia sampai tahun 1996 baru mencapai 38 kg/kapita/ tahun yang
ternyata relatif masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rekomendasi FAO untuk
konsumsi sayuran, yaitu sebesar 65 kg/kapita/tahun. Persentase pengeluaran bulanan per
capita untuk sayuran yang mencakup periode 1987-1996 adalah sebesar 8,83% (1987); 8,86%
(1990); 8,73% (1993) dan 8,96% (1996). Berdasarkan tiga skenario elastisitas pendapatan
(0,3; 0,6 dan 0,9), pertumbuhan permintaan sayuran 2000-2005 diproyeksikan sebesar
Tabel 4 Indikator pengeluaran untuk mengkonsumsi sayuran berdasarkan berbagai data Susenas
2,7; 4,1 dan 5,5% per tahun. Permintaan sayuran diperkirakan akan meningkat dari 5 835 ribu
ton pada tahun 2000, menjadi 7 131 ribu ton pada tahun 2005. Tabel 4 memperlihatkan
perkembangan pengeluaran konsumen domestik untuk mengkonsumsi sayuran serta
elastisitas pendapatan untuk sayuran selama periode 1981-1993. Walaupun relatif lambat,
indikator di atas mengindikasikan kecenderungan peningkatan pengeluaran secara nominal
untuk sayuran dari tahun ke tahun. Namun demikian, indikator tersebut tidak dapat secara
konklusif menggambarkan adanya peningkatan konsumsi sayuran dari sisi kuantitas.
Sementara itu, indikator persentase pengeluaran justru menunjukkan penurunan dari tahun ke
tahun. Secara implisit, hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan peningkatan pendapatan
cenderung lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan peningkatan konsumsi sayuran.
Secara tidak langsung, kondisi ini juga tergambarkan dari elastisitas pendapatan yang
menunjukkan konsistensi dengan gejala umum, yaitu semakin tinggi pendapatan, semakin
berkurang porsi pendapatan tersebut yang digunakan untuk konsumsi makanan.
Tabel 5 menunjukkan bahwa volume ekspor sayuran dari tahun ke tahun, terutama dalam
bentuk segar, belum menunjukkan perkembangan yang positif. Tingkat kebersaingan produk
sayuran di pasar global tampaknya masih relatif rendah, terutama dikaitkan dengan kualitas
produk sayuran yang berorientasi keamanan pangan serta jaminan kontinuitas pasokan.
Perkembangan positif ditunjukkan oleh volume ekspor sayuran olahan. Namun demikian,
perkembangan negatif ditunjukkan baik oleh sayuran segar, maupun sayuran olahan. ditinjau
dari nilai ekspor yang diperoleh.
5
Prospek pasar sayuran domestik maupun global pada dasarnya masih cukup terbuka. Upaya
peningkatan perlu digarap secara lebih komprehensif, tidak hanya dari sisi produksi/teknis,
tetapi lebih ditekankan pada sisi pemasaran serta regulasi pendukung yang diarahkan untuk
memperbaiki kebersaingan produk.
• Situasi pasokan
Tingkat pertumbuhan rata-rata produksi sayuran dalam periode 1969-1995 berkisar antara
7,7% (terendah--terong) sampai 24,2% (tertinggi--bawang putih). Produksi kentang, tomat,
cabai, bawang merah, bawang putih, petsai, buncis, mentimun, terong dan lobak
memperlihatkan pola pertumbuhan yang bersifat meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan
kubis, bawang daun dan wortel menunjukkan pola pertumbuhan produksi yang konstan. Faktor
dominan sumber pertumbuhan produksi kentang, tomat, kubis, cabai, bawang putih, bawang
daun, wortel, buncis, terong dan lobak adalah peningkatan areal tanam dari tahun ke tahun.
Sementara itu, peningkatan produktivitas merupakan faktor dominan pertumbuhan produksi
bawang merah, petsai dan mentimun. Indikator ini memberikan gambaran perlunya strategi
pendekatan pengembangan yang lebih memberikan penekanan pada peningkatan akselerasi
pertumbuhan produksi sayuran berbasis peningkatan produktivitas atau inovasi teknologi.
Variabilitas areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan
produksi sayuran selama periode 1969-1995, dibandingkan dengan variabilitas produktivitas.
Hal ini mengindikasikan masih dominannya pengaruh berbagai faktor, misalnya profitabilitas
sayuran relatif terhadap komoditas pangan lain, kendala ketersediaan lahan siap tanam secara
kontinyu, kendala musim (iklim dan cuaca), dan respon produsen terhadap harga sayuran yang
bersifat fluktuatif terhadap realisasi areal tanam.
Disamping kota-kota besar disetiap propinsi, Jakarta masih merupakan destinasi utama
pemasaran sayuran di Jawa. Sebagian sayuran yang berasal dari Sumatera juga dipasarkan
ke Jakarta. Perdagangan antar pulau lainnya adalah dari Jawa ke Kalimantan dan Sulawesi
serta kawasan timur. Sementara itu, pasar ekspor sayuran utama adalah Singapura dan
Malaysia yang sebagian besar dipasok dari Sumatera Utara. Beberapa jenis sayuran khusus,
misalnya vegetable soybean juga diekspor ke Jepang dalam volume yang relatif kecil.
Harga merupakan acuan dari aktivitas ekonomi sayuran yang berfungsi sebagai suatu
mekanisme rasional yang mendasari kegiatan produksi sayuran dan menjadi barometer atau
ukuran kinerja pasar sayuran. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan
sayuran secara terus menerus berubah, sehingga harga sayuran juga akan menunjukkan
keragaman dari waktu ke waktu. Pada kondisi persaingan, fluktuasi harga dapat diakibatkan
oleh adanya pergeseran permintaan dan penawaran. Dalam kaitan ini, upaya membandingkan
variabilitas harga di berbagai tingkat pasar dapat memberikan indikasi lokus ketidak-stabilan
harga. Table 8 menunjukkan bahwa besaran variasi harga di tingkat petani secara konsisten
lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat pasar grosir untuk semua jenis sayuran. Hal ini
mengimplikasikan bahwa petani harus berhadapan dengan tingkat risiko yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pedagang. Ditinjau dari perspektif lain, keadaan tersebut konsisten
dengan pasar persaingan sempurna dimana dalam jangka pendek, penawaran komoditas
pertanian relatif inelastis jika dibandingkan dengan permintaan konsumen.
7
Table 8 Keragaman harga di tingkat petani dan pasar grosir untuk beberapa jenis sayuran penting di
Jawa Barat, 1995-1999
Tabel 9 Pola musiman harga beberapa jenis sayuran penting di tingkat petani di Jawa Barat, 1995-1999
Bulan
Harga di
tingkat petani J P M A M J J A S O N D
Kentang 1170 1098 1224 1350 1334 1267 1409 1215 1290 1391 1617 1681
Kubis 480 390 579 652 715 575 429.2 368.8 383.3 410 624 754
Tomat 496 448 736 697 778 528.8 274.2 284.8 369 366 649 948
Petsai 208.4 181.2 381 427 401 308 267.2 269.2 251 315 434.6 408.6
Kubis bunga 705 710 677 596 824 707 832 752 822 984 1088 1094
Kentang 0.85 0.80 0.89 0.98 0.97 0.92 1.02 0.88 0.94 1.01 1.17 1.22
Kubis 0.91 0.74 1.09 1.23 1.35 1.08 0.81 0.70 0.72 0.77 1.18 1.42
Tomat 0.91 0.82 1.34 1.27 1.42 0.96 0.50 0.52 0.67 0.67 1.18 1.73
Petsai 0.65 0.56 1.19 1.33 1.25 0.96 0.83 0.84 0.78 0.98 1.35 1.27
Kubis bunga 0.86 0.87 0.83 0.73 1.01 0.87 1.02 0.92 1.01 1.21 1.33 1.34
a Dihitung dengan membagi setiap harga bulanan rata-rata dengan harga rata-rata keseluruhan dari setiap komoditas: kentang (Rp. 1 377.22), kubis (Rp. 530.13),
tomat (Rp. 548.03), petsai (Rp. 321.08) dan kubis bunga (Rp. 816.05)
Paling sedikit terdapat empat karakteristik struktur pasar yang perlu dipelajari untuk
mengungkap berbagai tingkah laku partisipan yang terjadi di dalam suatu pasar. Keempat
karakteristik tersebut termasuk: (1) jumlah dan ukuran pelaku pasar, (2) sifat produk dari sisi
pandang pembeli, (3) kondisi yang diperlukan untuk masuk atau keluar pasar, dan (4) status,
ketersediaan serta pengetahuan partisipan pasar menyangkut informasi biaya, harga dan
kondisi pasar. Pada pemasaran sayuran, terutama yang melibatkan pelaku skala kecil, jumlah
pelaku pasar memang agak sukar diidentifikasi. Sampai saat ini, sukar diperoleh dokumentasi
akurat, misalnya jumlah pelaku yang terdaftar sebagai pedagang pengumpul, pedagang antar
daerah, dsb. Informasi ini tampaknya cenderung lebih mudah diperoleh untuk pelaku skala
besar. Lebih jauh lagi, jarang sekali ditemui pedagang yang melakukan spesialisasi untuk
sejenis sayuran saja, karena pada umumnya pedagang tersebut menangani beberapa jenis
sayuran secara sekaligus. Terlepas dari terbatasnya ketersediaan informasi tersebut,
pengamatan di lapangan menunjukkan tidak adanya pedagang tunggal yang dapat
memaksimalkan keuntungan tanpa memperhitungkan keberadaan pedagang lainnya. Dalam
kondisi seperti ini, setiap pedagang harus berusaha keras untuk mendapatkan pasar dengan
memanfaatkan berbagai strategi atau taktik penjualan.
Produk sayuran yang dipasarkan pada umumnya bersifat homogen. Hal ini mengimplikasikan
bahwa kebanyakan pembeli akan menganggap bahwa produk yang ditawarkan oleh seorang
penjual pada dasarnya tidak berbeda dengan produk yang ditawarkan penjual lainnya. Sebagai
contoh, seorang petani kentang akan menemui kesulitan untuk meyakinkan seorang pembeli
bahwa produknya lebih baik dibandingkan dengan petani lain, kecuali ada perbedaan yang
terukur (misalnya, kelas/grade atau varietas). Jika diferensiasi produk terjadi, maka
penjual/pembeli tersebut dimungkinkan untuk melakukan praktek-praktek perdagangan yang
mengarah pada sifat monopolistis/monopsonistis. Keadaan ini pada batas-batas tertentu
diduga mulai terjadi pada pemasaran kentang jenis prosesing.
Pasar sayuran pada dasarnya memungkinkan pelaku pasar untuk secara bebas masuk atau
keluar pasar. Beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap market entry/exit diantaranya
adalah kemungkinan untuk melakukan penghematan biaya absolut, kemampuan manajerial
yang bersifat unik/khusus serta kompetensi teknis yang dimiliki pelaku pasar. Sebagai contoh,
pertumbuhan perusahaan pemasaran/pengepakan sayuran di Lembang yang cukup pesat
dalam beberapa tahun terakhir, ternyata juga diikuti dengan dengan penghentian operasi
beberapa perusahaan karena tidak lagi mampu bersaing.
Pembeli dan penjual dapat mengambil keputusan yang lebih rasional jika memiliki informasi
berguna pada saat yang tepat. Di Jawa Barat, informasi harga sayuran di tingkat grosir secara
regular disebar-luaskan melalui radio atau papan pengumuman di pasar pengumpul yang ada
di sentra produksi. Namun demikian, pengetahuan pasar bagi seorang pelaku tidak cukup
hanya menyangkut informasi harga dan kualitas produk secara teknis, tetapi harus pula
mencakup kemungkinan tindakan yang akan dilakukan oleh kompetitor dan pedagang, serta
penilaian berdasar mengenai kondisi pasar ke depan. Dalam konteks pemasaran sayuran,
pada batas-batas tertentu, pengetahuan pasar yang dimiliki petani dan pedagang telah
memungkinkan keduanya mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kondisi
lingkungan pasar yang dihadapi.
Salah satu keputusan sulit yang harus dibuat petani adalah menentukan kapan menerima
harga dan kapan menunggu untuk memperoleh harga yang lebih baik. Dalam pemasaran
sayuran, hampir semua jenis komoditas diperdagangkan dan dihargai melalui negosiasi
individual, yaitu proses tawar menawar sederhana antara penjual dan pembeli pada setiap
9
transaksi. Kekuatan serta informasi pasar yang secara seimbang dimiliki oleh setiap partisipan
dalam proses transaksi merupakan prosedur implisit dari model pasar persaingan sempurna.
Peraturan resmi transaksi biasanya tidak ada. Petani berharap dapat menjual produknya pada
kemungkinan harga tertinggi, namun tidak seorangpun mengetahui pasti kapan harga tertinggi
tersebut ditawarkan (karena sebaliknya, pembeli berharap dapat memperoleh produk tersebut
pada tingkat harga terendah). Tidak ada satupun strategi pemasaran yang dapat menjamin
diperolehnya kemungkinan harga tertinggi. Strategi pemasaran yang diarahkan untuk
mendapatkan tingkat harga yang dapat diterima semua pihak memiliki peluang keberhasilan
yang lebih baik dibandingkan dengan strategi yang diarahkan untuk mencapai harga tertinggi.
Oleh karena itu, petani harus menguasai tingkat harga berapa yang konsisten dengan tingkat
keuntungan yang harus dicapai atas semua kegiatan operasional suatu usahatani. Perhatian
seksama terhadap kecenderungan pasar dapat menolong petani untuk memutuskan kapan
menerima harga dan kapan menunggu untuk harga yang lebih baik.
Sebagian petani di Lembang dan Pangalengan cukup sering menjual tanamannya secara
tebasan, misalnya untuk kubis, petsai dan kubis bunga. Satu sampai tiga minggu sebelum
waktu panen, pedagang melihat tanaman petani di kebun, mengestimasi hasil produksi,
mengosiasikan harga, membayar secara tunai atau memberikan uang muka, serta mengambil
alih semua kegiatan usahatani mulai dari kesepakatan dibuat sampai panen. Cara tebasan ini
dilakukan petani untuk memenuhi kebutuhan uang tunai yang bersifat segera dan sebagai
upaya spekulasi untuk mendapatkan tingkat harga tertinggi serta menghindarkan pengeluaran
usahatani lebih jauh. Sementara itu, petani lain lebih memilih menjual produknya dengan cara
ditimbang pada saat panen berdasarkan ekspektasi untuk memperoleh harga yang lebih tinggi
melalui proses tawar menawar.
Aliran produk sayuran dari produsen ke konsumen difasilitasi oleh berbagai proses
yang terjadi sepanjang rantai pemasaran. Pemasaran sayuran pada umumnya dicirikan oleh
beragam rantai pemasaran yang sudah mapan, walaupun bersifat informal. Berbagai rantai
tataniaga tersebut relatif sederhana dan pendek, karena jasa/pelayanan pemasaran yang
dibutuhkan ternyata tidak banyak. Beberapa jenis pedagang yang biasanya terlibat dalam
pemasaran sayuran, diantaranya adalah:
Pedagang ini berskala kecil yang secara rutin mengikuti perkembangan tanaman di
kebun petani dan melakukan transaksi. Pedagang tersebut membeli produk dari petani dan
menjualnya kepada pedagang pengumpul lokal atau bandar. Pedagang jenis ini dapat
membiayai operasinya sendiri atau bertindak sebagai komisioner. Jika bertindak sebagai
komisioner, maka pedagang ini hanya mengumpulkan produk dan meneruskannya untuk dibeli
oleh bandar dengan imbalan komisi tertentu.
2. Pedagang tebasan/kontrak
Fungsi pemasaran utama yang dilakukan oleh jenis pedagang ini adalah
mengumpulkan produk sayuran dalam volume yang relatif besar dan mengirimkannya ke
pusat-pusat konsumsi. Selain mengumpulkan dan mengirimkan produk sayuran ke pasar
konsumsi, jenis pedagang ini juga terkadang memberikan uang muka (bahkan semacam
pinjaman) kepada petani, menyewa tenaga kerja untuk melakukan sortasi dan pengkelasan
serta memasok bahan-bahan yang diperlukan untuk pengiriman produk ke pasar. Sebagian
bandar yang bermodal kuat juga biasa terlibat dalam proses produksi dengan melakukan
penanaman sendiri atau membiayai petani melalui kesepakatan bagi hasil.
Jenis pedagang ini biasanya berasal dari luar sentra produksi. Pedagang ini membeli
sayuran dan meneruskannya ke pasar-pasar grosir dan eceran. Pembelian sayuran langsung
dilakukan dengan petani atau bandar yang biasanya telah dihubungi sebelum transaksi. Jenis
pedagang ini pada umumnya telah memiliki hubungan baik dengan petani maupun bandar,
sebagai pelanggan.
5. Pedagang besar/grosir
Pedagang ini beroperasi di pasar-pasar pusat konsumsi dan menerima kiriman produk
sayuran dari petani, bandar atau pedagang antar daerah. Produk sayuran yang diterima akan
11
6. Pedagang pengecer
Jenis pedagang ini merupakan mata rantai terakhir dari pemasaran sayuran dengan
volume transaksi relatif kecil yaitu 25 kg - 100 kg per minggu. Pemenuhan pasokan biasanya
dirancang untuk meminimalkan risiko produk rusak dan kemungkinan menurunnya harga
secara drastis.
PRODUSEN
SAYURAN
KONSUMEN
Untuk sentra produksi Lembang dan Pangalengan, diperkirakan rantai pertama dan kedua
menyerap 70% dari pasokan total, sedangkan 30% sisanya diserap oleh rantai ketiga, keempat
dan kelima. Observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa pedagang pengumpul pedesaan atau
bandar memiliki peran yang sangat dominan dalam menjembatani produsen dengan
konsumen. Volume sayuran yang ditangani oleh jenis pedagang ini berkisar antara 5 - 25 ton
per hari. Secara keseluruhan, sebagai contoh, Langensari dan Margamulya memasok 15 - 50
ton (minimal) and 75 - 150 ton (maksimal) sayuran ke pasar-pasar kota besar, terutama
Bandung dan Jakarta.
Berikut ini adalah hasil observasi untuk suatu perusahaan pengepakan sayuran di Lembang
yang telah beroperasi sejak tahun 1997. Produk sayuran diperoleh dan dikumpulkan dari
petani koperator yang direkrut berdasarkan: (1) kesediaan untuk memasok jenis sayuran
tertentu sesuai pesanan secara teratur setiap hari, (2) kesepakatan sistem pembayaran, tiga
minggu pengiriman dikompensasi dengan pembayaran pada minggu berikutnya, dan (3)
kesepakatan tingkat harga yang dikaji-ulang setiap minggu dan kontrak/perjanjian yang dikaji-
ulang setiap enam bulan.
Produk sayuran yang dikumpulkan dari petani kemudian akan melewati proses
pencucian/pembersihan, sortasi, pengkelasan, penimbangan, pengepakan/pengemasan,
pelabelan dan pengiriman ke supermarket, restaurant dan hotel di Jakarta dengan
menggunakan truk pengangkut yang dilengkapi alat pendingin. Perusahaan ini setiap hari
mengirim sayuran dalam volume yang relatif kecil serta jenis yang sesuai dengan pesanan.
Berikut ini adalah contoh jenis dan volume sayuran yang dikirim ke Jakarta setiap hari.
Harga jual per unit dihitung berdasarkan harga beli ditambah dengan biaya yang harus
dikeluarkan untuk mengkompensasi kehilangan hasil, pengkelasan, sortasi, pengepakan,
transportasi dan marjin keuntungan. Berikut ini beberapa contoh penentuan harga jual untuk
beberapa jenis sayuran:
Sayuran Harga beli Susut Pengke- Sortasi Penge- Trans- Marjin keun- Harga jual
lasan masan portasi tungan
Rp/kg
Kentang 2 800 170 85 85 140 145 225 3650
Kubis bunga 4 000 240 125 125 200 200 260 5150
Tomat 2 700 168 81 81 135 135 150 3450
Lettuce 4 000 240 120 120 200 220 300 5200
Paprika hijau 8 000 480 240 240 400 400 640 10 400
Paprika merah 11 000 660 330 330 550 550 880 14 300
Paprika kuning 11 000 660 330 330 550 550 880 14 300
13
Jika terjadi kekurangan pasokan dari petani, perusahaan akan mencari sayuran dari pasar
grosir di Bandung dan secara hati-hati memilih produk yang masih memenuhi persyaratan
yang diminta konsumen. Pengelola mengindikasikan adanya trend permintaan yang semakin
meningkat untuk produk sayuran berkualitas tinggi, terutama dari supermarket dan hotel.
Dua macam ukuran yang seringkali digunakan untuk mengevaluasi keragaan pasar adalah: (1)
bagian petani atau the farmer’s share of the consumer’s expenditure, dan (2) marjin
pemasaran. Tabel 11 memberikan gambaran umum menyangkut keragaan pasar kentang,
tomat, kubis, dan petsai di Jawa Barat.
• Koefisien variasi harga kentang di tingkat petani lebih rendah dibandingkan dengan harga tomat,
kubis dan petsai. Hal ini mengindikasikan bahwa harga kentang relatif lebih stabil dibandingkan
dengan harga sayuran lainnya. Namun demikian, indikasi ini ternyata tidak terjadi di tingkat pasar
grosir.
• Variasi marjin untuk tomat dan petsai lebih rendah dibandingkan dengan variasi harga dua
komoditas bersangkutan di tingkat petani. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar cenderung
beroperasi sedemikian rupa sehingga marjin untuk tomat dan petsai bersifat lebih stabil
dibandingkan dengan harganya di tingkat petani
• Variasi marjin untuk kentang dan kubis lebih tinggi dibandingkan dengan variasi harga dua
komoditas bersangkutan di tingkat petani dan di tingkat grosir. Perbandingan ini memberikan
gambaran bahwa dalam jangka pendek, pedagang juga menyerap atau terkena dampak yang
cukup signifikan dari variasi harga kentang dan kubis. Hal ini mengindikasikan bahwa pedagang
tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat untuk membebankan pengaruh yang ditimbulkan oleh
pergeseran penawaran dan permintaan kepada produsen dan konsumen.
• Besaran variasi atau keragaman harga di tingkat grosir secara umum lebih rendah dibandingkan
dengan keragaman marjin tataniaga dan harga di tingkat petani. Dalam jangka pendek, pasar
tampaknya cenderung beroperasi untuk meningkatkan stabilitas harga di tingkat pasar grosir.
Indikasi ini memberikan acuan agar perbaikan sistem pemasaran lebih diarahkan untuk
memecahkan ketidak-stabilan harga yang relatif tinggi di tingkat petani.
• Secara umum, bagian yang diterima petani cukup tinggi untuk semua komoditas yang
mencerminkan adanya persaingan tinggi antar partisipan di dalam pasar. Besaran variasi bagian
yang diterima petani secara konsisten selalu lebih rendah dibandingkan dengan keragaman marjin
tataniaga. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek pasar cenderung bekerja
mengarah pada stabilisasi bagian petani.
Tabel 11 Bagian petani dan marjin pemasaran beberapa sayuran penting di Jawa Barat, 1995-1999
Kentang Tomat Kubis Petsai
Harga di tingkat petani (Rp/kg)
Rata-rata 1 336.2 548.0 527.9 318.2
Standar Deviasi 780.4 427.3 396.8 195.8
Koefisien Variasi (%) 58.4 77.9 75.2 61.5
Harga di tingkat grosir (Rp/kg)
Rata-rata 1 596.5 1 114.2 691.2 501.9
Standar Deviasi 881.6 602.2 471.1 201.6
Koefisien Variasi (%) 55.2 54.1 68.2 40.2
Bagian petani dari harga grosir (%)
Rata-rata 0.8287 0.4597 0.7527 0.6109
Standar Deviasi 0.1121 0.1312 0.1483 0.1831
Koefisien Variasi (%) 13.5 28.5 19.7 30.0
Marjin tataniaga (Rp/kg) (harga grosir – harga petani)
Rata-rata 260.3 566.1 163.2 183.7
Standar Deviasi 242.4 264.0 142.6 105.0
Koefisien Variasi (%) 93.1 46.6 87.4 57.2
14
Petani di Lembang dan Pangalengan bahwa faktor utama yang menjadi acuan dalam
menentukan harga produk adalah pengetahuan mengenai harga yang sedang berlaku di
pasar. Hal ini sekaligus memberikan konfirmasi mengenai petani yang berperilaku sebagai
price taker. Menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar petani memperoleh informasi harga
yang berlaku di pasar dari pedagang atau petani lainnya. Dalam konteks ini, pelayanan
informasi harga melalui media cetak dan elektronik perlu dipertanyakan efektivitasnya.
Sebagian besar petani sepakat bahwa faktor penting lain yang mempengaruhi proses
penentuan haraga adalah kualitas produk. Sementara itu, sistem pembayaran yang dominan
terjadi adalah pembayaran tunda. Paling sedikit ada dua kebiasaan pembayaran tunda yang
terjadi di lapangan: (1) pembayaran dilakukan 2-10 hari setelah transaksi dan (2) pembayaran
uang muka sebesar 20-50% dan sisanya dilunasi 2-14 hari setelah transaksi atau setelah
produk habis terjual.
Table 17 Penentuan harga dan pembayaran dalam pemasaran sayuran di Lembang dan Pangalengan
No Uraian Langensari (n=26) Margamulya (n=27)
Σ % Σ %
1 Acuan penentuan harga dalam transaksi:
Perhitungan biaya per unit dan keuntungan yang diharapkan 2 7.7 2 7.4
Pengetahuan mengenai harga yang berlaku di pasar 24 92.3 25 92.6
2 Sumber informasi harga pasar:
Media cetak atau elektronik - - - -
Petani lain 3 11.5 3 11.1
Pedagang 12 46.2 7 25.9
Petani lain dan pedagang 11 42.3 17 63.0
3 Faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan harga akhir:
Kuantitas produk 5 19.2 23 85.2
Kualitas produk 26 100.0 27 100.0
Tempat transaksi 13 50.0 8 29.6
Jenis pedagang 20 76.9 20 74.1
Hubungan baik dengan pedagang tertentu 10 38.5 6 22.2
Keterkaitan dengan pedagang pemberi kredit 1 3.8 11 40.7
4 Sistem pembayaran yang paling sering dialami:
Tunai 2 7.7 2 7.4
Dibayar kemudian 3 11.5 18 66.7
Tunai dan dibayar kemudian 21 80.8 7 25.9
Sistem pemasaran sayuran cenderung masih bersifat konvensional dan merupakan sumber
utama ketidak-pastian yang sangat berpengaruh terhadap keberlajutan usahatani. Perbaikan
sistem kelembagaan pemasaran sudah saatnya diposisikan pada urutan kepentingan yang
mendapatkan prioritas dalam program pengembangan sub-sektor hortikultura. Perbaikan
sistem pemasaran merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah. Dalam kaitan ini,
pemerintah perlu mengambil inisiatif untuk memberikan pelayanan dasar serta menciptakan
kondisi kondusif agar dapat mendorong terwujudnya sistem pemasaran yang efisien. Pada
dasarnya, terdapat beberapa alternatif tindakan yang dapat ditempuh pemerintah dalam
rangka menjalankan proses reformasi pemasaran, diantaranya:
• Mencabut subsidi dengan tindakan- tindakan yang terukur dan memiliki target yang
jelas
• Reformasi kebijakan perdagangan luar negeri
• Mendukung tumbuhnya saluran-saluran pemasaran yang baru
Persepsi kurang tepat yang mengasumsikan bahwa sistem pemasaran secara otomatis akan
berkembang untuk mengimbangi peningkatan produksi perlu segera diluruskan. Pra-kondisi
utama untuk keberhasilan perbaikan sistem pemasaran adalah pendekatan terkoordinasi
antara spesialis pemasaran dan instansi pemerintah terkait yang bertanggung jawab dalam
merancang, mengimplementasikan dan melakukan sosialisasi program perbaikan. Pendekat-
an sistematis yang dapat dilakukan dalam memperbaiki sistem pemasaran adalah sebagai
berikut:
• Mendefinisikan tujuan program perbaikan -- sasaran program perbaikan serta target
grup
• Mengidentifikasi sistem yang relevan untuk mencapai tujuan -- sistem agribisnis secara
keseluruhan atau sub-sistem pemasaran saja
• Menentukan komponen dari sistem yang akan diperbaiki -- institusi pemelihara
stabilisasi harga atau jaringan informasi pasar
• Mendefinisikan lingkungan di mana sistem bersangkutan akan beroperasi serta
berbagai faktor yang dapat menghambat dan mengkondisikan berfungsinya sistem
tersebut
16
Sesuai dengan kondisi aktual yang dihadapi, pendekatan sistematis di atas dapat pula
digunakan sebagai check list untuk menentukan langkah awal program perbaikan.
Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa perbaikan sistem pemasaran dilakukan
melalui:
• Pembangunan dan/atau perluasan pasar induk serta perbaikan fasilitas
pemasaran yang bersifat mendasar
• Perbaikan manajemen pasar dan sistem transaksi
• Penguatan koperasi pemasaran yang dioperasikan organisasi petani
• Pembuatan berbagai regulasi/peraturan pemasaran sesuai kebutuhan
• Pelatihan personil untuk spesialisasi pemasaran produk
• Pelaksanaan survai pasar dan penelitian yang berkesinambungan
Sejalan dengan perbaikan berbagai hal di atas, rekayasa sosial dan kelembagaan juga terus
digarap, terutama berkaitan dengan pemberlakuan serta penerapan berbagai regulasi pasar,
misalnya:
• Peraturan menyangkut sistem transaksi produk pertanian
• Peraturan menyangkut sistem pemasaran koperatif
• Peraturan menyangkut persetujuan kontrak produksi dan pemasaran
• Peraturan menyangkut penyusunan standarisasi dan grading produk untuk pasar
domestik dan pasar ekspor
• Peraturan menyangkut penyelenggaraan pasar-pasar pengumpul
• Peraturan menyangkut manajemen pasar induk
• Peraturan menyangkut manajemen dan supervisi pasar eceran
• Peraturan menyangkut operasionalisasi dan manajemen sistem informasi pasar
• Peraturan menyangkut pengawasan residu kimiawi
Berbagai peraturan di atas disusun untuk memberikan jaminan atas kepentingan dan hak
semua pihak yang terlibat dalam proses pemasaran. Disamping itu, peraturan tersebut
memberikan dasar hukum yang solid bagi pemerintah dalam mempromosikan perbaikan
sistem pemasaran.
• Memberikan penekanan pada hal-hal yang bersifat legislatif sebagai dasar acuan untuk
upaya perbaikan pasar
• Membentuk organisasi berbadan hukum yang bertugas untuk mengelola pasar induk
• Mendirikan pasar induk di sentra-sentra produksi utama dan pusat-pusat konsumsi
utama (kota besar)
• Meningkatkan keeratan hubungan antara koperasi pemasaran dengan pasar induk
berdasarkan fasilitasi yang diberikan pemerintah
• Membantu pasar induk dalam membangun sistem transaksi (misalnya, sistem lelang)
yang didukung oleh pemerintah serta memperkenalkan berbagai teknologi maju di
bidang pemasaran
• Mengatur imbalan bagi pelayanan yang diberikan oleh pasar induk secara layak
• Menstabilkan harga di pasar induk melalui perencanaan dini menyangkut volume
produk yang akan masuk ke pasar
• Membentuk sistem informasi pasar yang menghubungkan sentra-sentra produksi utama
dengan pasar-pasar induk
• Membentuk komisi penentuan harga yang bertanggung jawab untuk menentukan harga
minimal beberapa komoditas utama di pasar induk
• Mengatur transaksi berbasis borongan yang dilakukan di pasar induk
• Menyediakan fasilitas ruang yang cukup bagi pedagang besar dan jobber
Berbagai pengalaman dari negara lain mungkin saja diadaptasi untuk perbaikan sistem
pemasaran produk sayuran di Indonesia melalui proses perencanaan yang matang dan
terkoordinasi. Reformasi pemasaran dapat mengurangi biaya pemasaran, mengurangi beban
fiskal yang disebabkan oleh inefisiensi dalam sistem pemasaran, meningkatkan integrasi pasar
dan pada beberapa kasus dapat menimbulkan respon produksi dan pemasaran yang
signifikan. Beberapa hal yang perlu mendapat catatan berkenaan dengan kemungkinan
kegagalan reformasi pemasaran adalah: (a) kegagalan untuk menyelesaikan konflik politis dari
berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda, (b) adanya inkonsistensi kebijakan yang
dilakukan pemerintah, dan (c) adanya respon yang kurang antusias terhadap upaya reformasi.
Reformasi sistem pemasaran sayuran memang bukan merupakan tugas yang mudah, tetapi
tetap harus dilakukan, karena bukan sesuatu hal yang bersifat pilihan.