Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Makalah disampaikan untuk materi diskusi kelompok pada “Rapat Kerja Penyusunan Prioritas dan Desain
Penelitian Hortikultura”, 20-22 Desember 1999, Segunung.
2
MT 1998/1999 MT 1999
Realisasi (Rp) 3.012.871.000 40.817.432.000
Luas Areal (ha) 293, 955 2.155,800
Jumlah Kelompok Tani (kelompok) 27 144
Jumlah Petani (orang) 480 2.832
Perkembangan realisasi KUT yang sangat drastis antar musim tanam ini memberikan
gambaran bahwa aspek utama yang mendapat perhatian dalam proses penyaluran adalah
besarnya kredit yang terserap. Berbagai ekses, misalnya penerima kredit fiktif dan penyalah-
gunaan kredit, tampaknya kurang mendapat perhatian. Lebih jauh lagi, aspek perencanaan
yang bersifat antisipatif berkenaan dengan kapasitas pasar dalam menyerap output juga sama
sekali tidak diperhitungkan.
Menurunnya harga sayuran mulai bulan September 1999, terutama untuk jenis
sayuran yang memiliki nilai ekonomis tinggi, misalnya bawang merah, cabai dan kentang,
pada dasarnya merupakan akibat dari kelebihan pasokan. Harga beberapa jenis sayuran
bahkan sampai turun jauh di bawah titik impas, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa
petani akan mengalami kesulitan dalam mengembalikan kredit KUT. Jika kemungkinan tingkat
pengembalian yang rendah ini (jatuh tempo 31 Maret 2000 dan 30 September 2000)
3
digunakan sebagai salah satu pertimbangan penghentian KUT hortikultura, maka secara tidak
langsung terdapat semacam kecenderungan untuk membebankan semua kesalahan kepada
pihak petani. Sementara itu, kekurang-telitian pengelola KUT yang cenderung memandang
penyaluran kredit dari sisi target penyerapannya saja, sebenarnya juga memiliki andil cukup
besar terhadap terjadinya kelebihan penawaran komoditas hortikultura. Berdasarkan
argumentasi ini, justifikasi distribusi dan tingkat pengembalian kredit yang melandasi
penghentian KUT hortikultura juga patut dipertanyakan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penghentian penyaluran KUT hortikultura
sebenarnya bukan alternatif satu-satunya yang dapat ditempuh. Kebijaksanaan lain sebagai
suatu alternatif yang patut dipertimbangkan adalah meneruskan penyaluran KUT hortikultura
secara lebih selektif, terarah dan terencana. Fenomena pasar yang terjadi serta potensi
pengembangan komoditas hortikultura perlu dicermati secara seimbang dan terpadu dalam
merespon kebutuhan bantuan modal.
Beberapa usulan perbaikan skim penyaluran KUT hortikultura yang patut dikaji secara
lebih teliti adalah:
• Karakterisasi dan seleksi petani penerima kredit harus dilakukan secara lebih teliti,
misalkan berdasarkan kriteria prioritas klasifikasi petani menengah ke bawah (lahan
garapan < 1 ha), pengalaman bertani dan/atau jenis pekerjaan pokok/utama.
• Pemilihan LSM sebagai pendamping/pembina koperasi perlu lebih selektif dan
diprioritaskan untuk LSM yang beroperasi di sekitar daerah penyaluran kredit.
• Jenis komoditas hortikultura serta areal tanam yang akan didanai harus dipilih dan
ditetapkan sesuai dengan: (a) pola tanam dominan di wilayah tertentu, (b) elastisitas
permintaan komoditas bersangkutan, serta (c) estimasi kapasitas pasar dalam menyerap
hasil panen.
• Perlu perbaikan mekanisme seleksi, pelaksanaan dan monitoring yang terlepas dari
adanya kesan bahwa pihak-pihak yang terkait berusaha mencapai target semata-mata
karena dimotivasi oleh korelasi positif antara target pencapaian dengan fee yang akan
diterima.
• Perlu pengelolaan terpadu serta koordinasi yang kuat antar instansi terkait tanpa harus
memberikan kesan pemerataan pekerjaan yang justru menambah kompleksitas
pengelolaan. Sebagai ilustrasi, bunga kredit sebesar 10,5% pada MT 1998/1999
didistribusikan kepada: bank pelaksana (2%), koperasi/LSM (5%), Perum PKK (1,5%),
PPL (1%) dan dana titipan pemerintah (1%), sedangkan pada MT 1999/2000 bahkan
menjadi lebih kompleks, yaitu bank pelaksana (2%), PPL (0,5%), Satgrak Kecamatan
(0,2%), Satgrak Desa (0,3%), Operasional Koperasi/LSM (2,5%), Kelompok Tani (0,5%),
Marjin Koperasi/LSM (1%), Tim KUT Pusat (0,2%), Tim KUT Propinsi (0,3%), Tim KUT
Kabupaten (0,5%) dan dana cadangan risiko KUT (2,5%). Semakin banyaknya pihak
yang terlibat ini diharapkan bukan menambah rantai birokrasi, tetapi memperketat
pelaksanaan seleksi calon penerima KUT dan memperkuat pemantauan penggunaan
serta pengembalian kredit.
Mengacu pada kenyataan empiris bahwa bantuan kredit sangat diperlukan dalam proses
jangka panjang formasi kapital petani hortikultura, kemungkinan membuka kembali penyaluran
KUT hortikultura secara lebih selektif, terarah dan terencana, tampaknya merupakan alternatif
pemecahan masalah yang perlu mendapat perhatian lebih serius.