Anda di halaman 1dari 10

c c

c
  

  

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt. dan Shalawat serta salam atas junjungan kita semua, Nabi Besar
Muhammad saw, beserta para keluarga, anak keturunan dan para shahabat beliau.

Ilmu seputar pembagian Warisan dan pembagian hak-hak setiap Ahlul Waris, adalah satu bagian dari sekian
ilmu-ilmu Diin yang kedudukannya sangat tinggi dan agung disisi Allah subhanahu wata¶ala. Ini dapat dilihat
langsung, bagaimana Allah subhanahu wata¶ala telah menetukan pembagian hak-hak ahli waris secara langsung
dan parsial dalam al-Qur¶anul Kariim, berbeda halnya dengan tata cara shalat, zakat, shiyam ( puasa ), jual beli
« yang penjelasannya didapat dari As Sunnah An Nabawiyah.

Rasulullah saw juga telah mengisyaratkan hal ini, yakni kedudukan ilmu warisan/faraidh, sejumlah hadist yang
diriwayatkan dari beliau saw telah menyebutkan keutamaan ilmu ini, dan dorongan agar setiap muslim
memahami dan mempelajarinya dikarenakan kebutuhan setiap manusia kepada ilmu inipun demikian besarnya.
bukankah kematian hal yang akan menjemput setiap manusia? Olehnya itulah mestilah setiap insan dapat
memahami dan menguasai tata cara pembagian warisan yang Islami bagi masing-masing Ahli Waris dan
memberikan hak-hak mereka sesuai tuntunan syara¶.

Demikian pula para shahabat dan Ulama Tabi¶in dan Ulama-ulama Islam setelah mereka, tidaklah mereka ini
ketinggalan dalam memberikan perhatian yang lebih mendalam dan khusus terhadap ilmu Faraidh / Warisan.
Kesemua ini tiada lain menunjukkan bagaimana pentingnya ilmu ini untuk dipelajari, dipahami dan dituangkan
dalam bentuk amal yang manifestasi sisi ilmiyahnya dan keselarasannya bersesuaian dengan hukum-hukum
Allah dan Rasul-Nya saw.

Dizaman para shahabat dan tabi¶in, mereka berpedoman dalam pengenalan ilmu ini dan dalam penerapannya
pada al-Qur`an dan as-Sunnah dan juga dengan amalan para Khalifah Rasulullah yang empat ?yang
memberikan ketetapan-ketetapan melalui ijtihad mereka serta qiyas yang sesuai dengan aturan-aturan syara¶

Adalah kewajiban bagi para ahli waris, selain mengurus, memandikan, memberi kain kafan, menshalatkan, serta
menguburkan jenazah pewaris, juga harus bertanggung jawab dalam menunaikan segala wasiat, pembayaran
hutang serta pembagian warisan secara adil diantara mereka. Allah swt. telah menetapkan tata cara pembagian
warisan ini di dalam Al-Qur¶an secara detail, agar tidak ada ahli waris yang terzhalimi dalam menerima hak
warisannya, dan agar semua ahli waris dapat menerima secara ikhlas ketetapan pembagian tersebut, karena yang
menetapkan adalah Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Adil.

Definisi Ilmu Faraidh / Al Mawarist

Al-Faraidh, merupakan bentuk plural/jama¶ dari kata ³Faridhah´ yang bermakna al-mafrudhah, merupakan kata
yang berasal dari kalimat Al fardh yang berarti kepastian dan bahagian.

Dan dalam penggunaannya juga dapat bermakna taksiran ataukah perkiraan ´ at-taqdiir ´ sebagaimana dalam
firman Allah swt.:

´ Jikalau kalian mentalak mereka (istr-istri kalian) sebelum kalian menyentuh (jima¶) dengan mereka, padahal
sebelumnya kalian telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
penaksirannya itu.´ (Al-Baqarah: 237 )

Dan juga bermakna al-Qadhiy memberikan perkiraan/taksiran bagian.

Dan juga dapat bermakna Al Bayan/penjelasan, sebagaimana dalam firman Allah swt:

´ Suatu surah yang telah Kami turunkan dan Kami Fardhu-kan ´ (An-Nur: 1)

Berkata Mujahid dan Qatadah, ³Yakni yang Kami jelaskan dalamnya tentang Halal dan Haram , Perintah dan
Larangan serta hukum-hukum.´

Dan dinamakan Ilmu ini Ilmu Faraidh, dimana tercakup didalamnya masalah Ta¶shib sebagai penamaan
bahagian fardh yang bermakna taqdiir atau kisaran bagian .

Ataukah juga dikarenakan mereka ±pada zaman-zaman awal islam ± mengatakan : Pendapat tentang faridhah-
nya demikian « dan demikian «

Berkata al-¶allamah Al-¶Aini dalam Syarh Al-Kanz : ´ Dinamakan ilmu ini Faraidh dikarenakan Allah ta¶ala
sendiri yang memberikan ketentuan bagiannya dan menjelaskan dengan terang hukum-hukum-nya dalam Kitab-
Nya (al-Qur`an), dan tidak mewakilkannya pada Malaikat terdekat disisi-Nya-pun juag dan tidak pula pada
seorang Nabi yang diutus , dan Allah swt yang menjelaskan bagian tiap-tiap Ahli Waris .´

Keutamaan Ilmu Faraidh / Ilmu Mawarist

Adapun setelah itu para Ulama Islam yang menyusun masalah-masalah fiqh dalam Kitab-kitab Fiqh ternama,
baik itu yang mendasarkan penyusunannya pada Madzhab tertentu, ataukah yang menyusunnya berdasarkan
Hadist Nabi shallallahu µalaihi wasallam tidaklah ketinggalan dalam menyebutkan serta merangkum
pembahasan Ilmu Mawarist / Ilmu Faraidh dalam Kitab ± kitab mereka.

Bahkan diantara Ulama baik itu yang terdahulu dan sekarang, telah pula menyusun suatu Kitab bahasan tertentu
yang berkaitan dengan permasalah ilmu ini, dikenal diantaranya :

- Nadhzam Ar-Rahabiyah oleh Al-Imam Abu µAbdillah Muhammad bin µAli bin Muhammad bin Husain Ar-
Rahabi

- Al-Faraidh oleh Imam As-Suhaili

- Al-Faraidh oleh Ats-Tsauri ( Kumpulan hadist ± hadist tentang Faraidh )


- µUmdah Kullu Faridh fii µIlmil Washaya wal Faraidh, yang lebih dikenal dengan Alfiyah Al-Faraidh, oleh
Asy-Syaikh Shalih bin Hasan Al-Azhari

- Syarah Nadhzam As-Sarajiyah fii µIlmil Faraidh oleh Asy-Syaikh Ali bin Muhammad bin µAli Al-Jurjani

- Kitab Al-¶Adzbul Faidh Syarh µUmdah Al-Faridh oleh Asy-Syaikh Ibrahim bin µAbdullah bin Ibrahim

- At-Tuhfatul Khairiyah µala Al-Fawaid Asy-Syansyuriyah oleh Asy-Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin
Ahmad Al-Bajuri

- Al-Fawaid Asy-Syansyuriyah µala Mandhumah Ar-Rahbiyah oleh Asy-Syaikh µAbdullah bin Baha¶ud Diin
Muhammad bin µAbdillah bin µAli Al-¶Ujmi Asy-Syansyuri

Dan masih beberapa lagi kitab-kitab yang masyhur dalam ilmu ini .

Dan kesemuanya ini menunjukkan keutamaan mengetahui dan mempelajari Ilmu Faraidh dan Mawarist, dan
diantara keutamaannya :

1. Merupakan Syari¶at yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wata¶ala dalam Al Qur¶anul Karim dan melalui
lisan Nabi dan Rasul-Nya saw.

2. Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seorang Muslim dengan muslim lainnya, dimana dalam Ilmu
Faraidh, warisan seorang mayit tidaklah diberikan melainkan kepada setiap yang bertalian darah dengan mayit
tersebut.

3. Merupakan suatu ilmu yang akan dihadapi oleh setiap muslim dalam kehidupannya, dikarenakan Ilmu ini
berkaitan dengan hak-hak seseorang dan kewajibannya setelah ia meninggal. Berkata Sufyan Ats-Tsaury,
³Adalah dinamakan ilmu Al Faraidh setengah dari Ilmu dikarenakan setiap manusia akan dibebankan
kepadanya.´

4. Berkata µAbdullah bin Mas¶ud ra?, ³Barang siapa yang tidak mempelajari Ilmu Faraidh ,Talaq., dan Haji
maka dengan apakah ia akan dibedakan dengan Ahli Badiyah ±Badui pegunungan ± ?´

Ë        c  

Dalam mengawali pembahasan Ilmu Mawarist/Faraidh, sebelumnya perlu diketahui beberapa hal yang
berkaitan erat dengan pembagian warisan, baik itu sebelum pembagian warisan dan juga pada saat pembagian
warisan.

Dalam pendahuluan ini akan dibagi menjadi empat pembahasan sebagai berikut :

A. Beberapa Kewajiban sebelum menunaikan pembagian warisan.

B. Rukun-rukun Warisan

C. Sebab-sebab adanya Warisan

D. Syarat-syarat dalam pembagian Warisan

E. Beberapa mawani¶ (yang membatalkan) klaim terhadap Warisan.


Adapun penjabarannya satu persatu, sebagaimana dibawah ini:

A. Beberapa Kewajiban sebelum menunaikan pembagian warisan

Jikalau seseorang telah meningal dunia dan meninggalkan sejumlah harta benda, ada beberapa kewajiban yang
mesti ditunaikan berhubungan dengan harta benda tersebut. Kewajiban itu ada lima hal, yang akan ditunaikan
oleh wali si mayit, yakni :

Pertama : Persiapan penguburan si mayit

Yaitu segala yang semestinya diperlakukan bagi simayit sejak dia meninggal dunia hingga di kebumikan, dari
pengadaan kafan, membayar upah memandikan, mengantar, pengurusan penguburan dan sebagainya, selama
tidak berlebih-lebihan.

Didalam Takmilah Al-Majmu¶ 14 / 489 disebutkan, ³ Jikalau seseorang meninggal dunia, maka yang awal kali
dikeluarkan dari hartanya adalah penyiapan kafan dan pengurusan penguburannya, sebagaimana diriwayatkan
dari hadist Dhabbab bin Al-Irts, ³ Sewaktu Mush¶ab bin µUmair terbunuh pada perang Uhud sedangkan beliau
tidak memiliki sesuatu kecuali sehelai kain, ketika kami menutupi kepala beliau dengan kain tersebut akan
tersingkap kedua kakinya, begitu pula ketika kami menutup kedua kaki beliau akan tersingkap kepala beliau.
Maka Rasulullah saw bersabda, ³ Tutupilah kepalanya dengan kain tersebut, dan bagi kedua kakinya kalian cari
sesuatu dari sejenis tumbuhan untuk menutupinya.³

Pada hadist ini, Nabi saw.memulai dengan persiapan penguburan beliau, sedangkan warisan adalah pengalihan
harta kepada ahli waris, olehnya itu persiapan penguburan mayit didahulukan dari pembagian warisan.³

Kedua : Hutang piutang dan sejumlah hak yang bertalian langsung dengan harta warisan.

Semisal hutang dalam bentuk barang yang di gadaikan atau dijadikan jaminan, harga penjualan barang yang
belum dibayarkan kepada penjual/pemilik barang pada suatu transaksi, dan juga seperti misalnya kredit barang
berjangka dan selainnya. Hak-hak seperti ini yang mempengaruhi nilai dan besarnya harta si mayit, oleh Imam
Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Asy-Syafi¶I dianggap lebih utama di selesaikan sebelum pengurusan
penguburan si mayit, berbeda halnya dengan Imam Ahmad. Namun keadaan ini jikalau harta mayit tidak
mencukupi untuk memenuhi kedua kewajiban ini.

Ketiga : Utang piutang yang tidak berkaitan dengan harta milik si mayit.

Yakni utang piutang yang berkenaan dengan kewajiban si mayit dalam penyalurannya. Baik itu yang berkaitan
dengan hak Allah ta¶ala, seperti pembayaran kaffarah yang tertunda, ataukah zakat maal yang belum
terbayarkan, atau yang berkaitan dengan hak hamba Allah, seperti misalnya utang yang tertagih, pelunasan upah
kerja, dan selainnya.

Utang piutang ini lebih didahulukan pembayarannya dari pada wasiat yang diamanahkan oleh si mayit, dalam
hal ini yang dimaksud dengan wasiat adalah wasiat yang berupa pemindahan harta kepada perseorangan atau
lebih, seperti hibah, waqaf, hadiah dan semisalnya.

Dalil yang menunjukkan pengutamaan pelunasan utang piutang sebelum wasiat, adalah hadist µAli bin Abi
Thalib ra. beliau berkata : Sesungguhnya Nabi saw.?mendahulukan pelunasan utang sebelum wasiat ³

( Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 2 / 16, Ibnu Majah 5 / 27, lihat dalam Irwa¶ul Ghalil 6 / 1667 )

Keempat : Wasiat
Yang berikutnya yang mesti ditunaikan sepeninggal si mayit, adalah menunaikan wasiat dia.

Dan wasiat yang dimaksud oleh para Ulama adalah suatu janji/¶azam yang bersifat khusus dan diikutkan
mengiringi wafatnya seseorang.

(Lihat dalam Fathul Bari 1/ 419 dan Nailul Authar 6 / 134).

Dan disyari¶atkannya wasiat ini diketahi dari penunjukkan Al-Qur¶an, As-Sunnah dan Ijma¶.

Adapun didalam Al-Qur¶an Al-Kariim, Allah swt?berfirman,

³ Setelah ditunaikan wasiat dan dibayarkan hutangnya,´

Dan juga firman Allah swt,

³Dan jikalau dia meninggalkan suatu kebaikan berupa wasiat yang diperuntukkan bagi kedua orang tuanya
maupun para kerabatnya.³ (Al-Baqarah: 180).

Adapun didalam As-Sunnah, Nabi saw. menyebutkan dalam hadist µAbdullah bin µUmar ra. yang dikeluarkan
oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, ³Tidaklah seorang muslim berhak atas apa yang dia miliki lantas dia
mewasiatkannya antara semalam atau dua malam, kecuali wasiat dia akan termaktub disisi-Nya.³

Para Ulama menyebutkan ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam menunaikan wasiat si mayit :

1. Wasiat tersebut ± yang berupa harta benda ± hanya boleh diberikan kepada selain ahli waris simayit.

Yakni wasiat tidaklah diperuntukkan bagi ahli waris si mayit, dan jikalau wasiat tersebut diberikan bagi ahli
waris maka wasiat tadi tidaklah sah, dan telah melanggar ketentuan Allah saw, baik itu dalam jumlah yang
banyak maupun sedikit.

2. Jumlah maksimal dari pemberian wasiat adalah sepertiga dari harta keseluruhan yang dimiliki si mayit.

Disebutkan dari hadist µAbdullah bin µAbbas ra. beliau berkata, ³Seandainya kaum manusia mengurangi ±
wasiat mereka ± dari sepertiga menjadi seper-empat, dikarenakan Nabi saw. bersabda, ³Yakni hanya sepertiga
dan sepertiga-pun sudah banyak.³

( Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim)

Setelah keempat hak-hak tersebut dipenuhi, barulah harta yang tersisa, dibagikan kepada masing-masing ahli
waris yang berhak. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt :

³Setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan dan melunasi hutang piutang tanpa memberikan mudharat,
washiat dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha santun.³

Dan pembagian warisan tersebut dimulai dengan ashhabul furudh ± yang menerima bagian dengan kadar yang
telah ditentukan syara¶ ± barulah setelah itu ashhabul µashabah ± mereka yang mengambil sisa dari pembagian
ashhabul furudh -.

Catatan penting :
Perlu diperhatikan, bahwa pemberian hak wasiat didahulukan sebelum dibagikan bagi masing-masing ahli waris
warisan yang berhak mereka peroleh. Maksudnya, bahwa hak wasiat tersebut ±yang berupa harta benda ±
dipisahkan dari keseluruhan harta warisan sebelum dibagikan. Setelah itu harta yang telah dikurangi dengan
warisan tadi, diumpamakan jumlah yang baru yang akan dibagikan kepada masing-masing ahli waris yang
berhak.

Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan dengan sebuah contoh kasus.

Seorang wanita meninggal, dan ahli waris dia adalah suami dan seorang saudari kandung. Dan wanita tersebut
juga mewasiatkan sepertiga harta bagii seseorang lainnya.

Maka, pembagiannya, wasiat besarnya 1/3 , lalu setelah itu mengandaikan harta yang tersisa setelah
mengeluarkan bagian untuk wasiat adalah 2 / 3 , dan ini dibagikan kepada suami dan saudari kandungnya.
Suami mendapatkan ½ demikian pula saudarinya mendapatkan ½. Yang mana masing masing pada
kenyataannya mendapatkan 1/3 dari harta si mayit saja.

Berbeda halnya jikalau mendahulukan wasiat tersebut dan dijadikan seumpama hak-hak ashhabul furudh.
Sebagaimana kasus diatas, maka wasiat 1/3, suami mendapatkan ½ dan saudari kandung ½ . Maka asal
penyelesaiannya sebanyak enam bagian yang akan dikembangkan menjadi delapan ± untuk mencukupi hak-hak
yang ada ± yang dikenal dengan istilah Al-µAul.

Wasiat 1/3 berarti 2 bagian, suami ½ berarti 3 bagian dan saudari kandung ½ berarti mendapatkan 3 bagian.
Yang dari gambaran akhir ini, maka kesemua yang ada akan dikurangi bagiannya yang sebenarnya. Wallahu
A¶lam.

(Silahkan dilihat dalam Kitab Tashiilul Faraidh hal 8 ± 12, dengan sedikit perubahan)

Rukun ± rukun Warisan

Rukun Warisan ada tiga : Yakni si mayit sebagai pemberi warisan, ahli waris dan harta yang hendak
diwariskan.

Yang dimaksud dengan pemberi warisan, adalah si mayit, setelah memastikan wafatnya, baik itu dengan
melihat langsung atau semisalnya ataukah dengan memperkirakan wafatnya dengan indikasi dan tanda-tanda
yang disetujui oleh syara¶. Dan telah meninggalkan sejumlah harta bagi selain dia.

Adapun ahli waris, yakni mereka yang dalam keadaan hidup ketika wafatnya si mayit, baik itu diketahui dengan
sebenar-benarnya ataukah diperkirakan keberadaannya setelah wafatnya si mayit. Dan memiliki hubungan
nasab, nikah dan sebab-sebab pewarisan lainnya.

Sedangkan harta warisan, adalah harta baik itu berupa harta benda, uang, atau kepemilikan yang memiliki nilai
dan serupa dengan itu, yang ditinggalkan oleh si mayit bagi para ahli warisnya.

Syarat- syarat pewarisan.

Syarat-syarat sah nya pewarisan yang di sebutkan oleh banyak Ulama ada tiga :

Pertama : Memastikan wafatnya si mayit.

Baik itu secara pasti, dengan melihat secara langsung ataukah dengan kabar yang telah tersebar luas. Bisa pula
menghukumi wafatnya si mayit dengan hukum yang diberikan oleh seorang hakim atau qadhi, misalnya
menghukumi wafatnya seseorang yang hilang pada tempat tertentu dan telah habis masa/waktu yang
diperkirakan dia dapat bertahan hidup pada tempat tersebut.

Dan bisa pula dengan memperkirakan wafatnya si mayit, misalnya saja, pada kasus seorang ibu yang tengah
mengandung janin-nya yang berumur 8 atau 9 bulan, lantas seseorang berbuat jinayah, hingga ibu tersebut
keguguran dalam keadaan janin itu meninggal dunia. Maka diwajibkan ± bagi pelaku jinayah tadi ± untuk
membayar sebesar satu ghurrah ± yakni seorang hamba sahaya ± jika tidak mendapatkannya, maka dia
membayar berupa lima ekor onta ± atau yang senilai ± dan diserahkan kepada ahli waris janin tersebut.

Sisi diperkirakan wafatnya simayit, yakni pada janin tersebut ketika terjadi jinayah pada ibunya, dianggap
bahwa janin tersebut dalam keadaan hidup lalu meninggal karena jinayah dan mendapatkan diyat dari perbuatan
tadi yang di bagikan kepada ahli waris si janin.

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah swt:

´ Dan ketika mereka meminta fatwa dari engkau Muhammad, katakanlah Allah telah memberikan fatwa tentang
Al kalalah. Jika seseorang yang meninggal dan tidkalah ia mempunyai anak sedangkan ia memiliki saudara
wanita, maka bagi saudaranya itu seperdua dari harta yang ia tinggalkan. Dan ia merupakan Ahli waris wanita
itu jika ia ± wanita ± tidak memiliki anak Dan jika saudaranya yang wanita itu dua maka bagi mereka berdua
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka banyak besaudara, laki-laki dan wanita maka bagi
laki-laki seukuran dua bagian dari wanita. Allah telah menjelaskan hal ini bagi kalian agar kalian tidak sesat dan
adalah Allah mengetahui segala sesuatu. ´

Kedua : Memastikan keberadaan atau hidupnya ahli waris setelah wafatnya si mayit

Baik itu mengetahui keberadaan ahli waris dengan melihat, ataukah kabar dari dua orang yang adil, walaupun
dalam waktu sekejap setelah meninggalnya si mayit, misalnya seorang anak bayi yang dilahirkan dalam
keadaan hidup dalam sekali atau dua kali tarikan nafas « Bisa juga dengan menperkirakan, seolah ahli waris itu
dalam keadaan hidup setelah meninggalnya si mayit, misalnya pada janin yang masih dalam kandungan walau
dalam bentuk nuthfah, yang mana bapaknya meninggal dunia. Namun dengan syarat janin tersebut keluar
dengan selamat walau satu hembusan nafas.

Dalilnya adalah bahwa Allah swt menisbatkan warisan dalam Al-Qur¶an Al-Karim kepada masing-masing ahli
waris diikutkan dengan ³al-laam³ yang mengisyaratkan kepemilikan, sedangkan kepemilikan hanyalah sifat
bagii seseorang yang hidup bukan bagi mayit.

Ketiga : Mengetahui jalur-jalur pewarisan dan sebab-sebab-nya.

Dimana pewarisan adalah sesuatu yang didasarkan berdasarkan sifat-sifat tertentu antara si mayit dan ahli waris,
yang merupakan pertalian kekeluargaan antara keduanya. Seperti hubungan keturunan, orang tua, saudara,
ataukah suami istri dan seterusnya. Jikalau sifat-sifat pertalian kekeluargaan itu tidak didapati pada diri
seseorang, tidaklah dikategorikan dia memperoleh hak-hak yang telah ditetapkan oleh hukum syara¶ ini.
Dikarenakan syarat ada tidaknya suatu hukum ditinjau kepada tempat kelayakan hukum, yakni mengetahui
sebab-sebabnya, syarat-syarat hukum dan yang menggugurkan hukum tersebut.

Hanya saja dalam hal ini ± pewarisan ± ada beberapa hal yang mestii diperhatikan :

1. Keadaan dimana si mayit memilik ahli waris yang sudah maklum, pada keadaan ini yang perlu di tinjau
hanyalah kaitan antara yang mengaku sebagai ahli waris mayit dan mayit sendiri dan kedudukan pertalian
kekeluargaan dia dengan si mayit, apakah dia itu saudara si mayit, pamannya-kah, atau anak saudara kandung
mayit « dan seterusnya. Apakah dia kerabat terdekat mayit atau kerabat jauh «apakah dia dari garis nasab
laki-laki ataukah wanita. Agar jangan sampai memberi atau melalaikan hak ahli waris tanpa dasar ilmu sama
sekali.

2. Jikalau si mayit, tidak diketahui memiliki ahli waris yang maklum, dalam keadaan ini cukup dengan
mengetahui bahwa seseorang tertentu adalah kerabat dekat si mayit atau dari satu qabilah dengannya dan
semisalnya.

Sebab-sebab adanya Pewarisan

Sebab-sebab terjadinya saling mewarisi, secara umum dikarenakan pertalian antara si mayit dan ahli waris. Dan
pertalian ini ada tiga bentuk : -

Nikah
Yang dimaksud dengan nikah adalah nikah yang shahih, berupa aqad nikah yang tidak dijumpai adanya hal-hal
yang membatalkan atau menggugurkan aqad tersebut. Walaupun keduanya belum melakukan hubungan suami
istri, dan walaupun keduanya belum berkumpul .

Allah swt berfirman :

´ Dan bagi setiap suami seperdua bagian yang ditinggalkan oleh para Isteri mereka, jikalau mereka ±para isteri
tersebut- tidak mempunyai anak. Dan jika mereka memiliki anak maka bagi kalian adalah seper empat bagian
dari harta yang ditinggalkan para isteri tersebut. Setelah ditunaikannya wasiat dan dibayarkan hutang merkea.
Dan bagi para Isteri seper empat bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kalian, jika kalian tidak memiliki
anak. Dan jika kalian memiliki anak maka bagi para isteri adalah seper delapan dari harta yang kalian
tinggalkan. Setelah ditunaikannya wasiat dan dibayarkan hutang kalian.´

Dan yang menggugurkan hak warisan antara suami dan istri adalah ketika jatuhnya talak. Yakni terputusnya
aqad nikah antara suami istri, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya, dan talak ada dua macam:

Pertama: Talak Rujuk, yaitu talak satu dan talak dua, yang mana suami dapat merujuk kembali istrinya. Talak
ini tidaklah menggugurkan hak pewarisan suami maupun istri selama istri masih dalam masa µiddah, dan ini
kesepakatan para Ulama.

Kedua: Talak Tiga, yang mana menggugurkan hak pewarisan bersamaan gugurnya akad/pertalian suami istri
secara keseluruhan. Namun ada tiga keadaan, dalam menghukumi gugur tidaknya pewarisan tersebut :

Talak ini dijatuhkan dalam keadaan sang suami sehat wal µafiat, ataukah sakit yang tidak membahayakan,
seperti flu, dan semisalnya. Wanita yang di talak, sama sekali tidak ada hak mewarisi harta suami, karena
dengan jatuhnya talak tiga tersebut, telah terputus pula pertalian suami istri keduanya.
Talak yang dijatuhkan dalam keadaan suami sakit keras dan mengkhawatirkan, namun tidak ada alasan yang
mungkin dituduhkan kepada suami, bahwa dia menjatuhkan talak tersebut untuk menggugurkan hak waris sang
istri dengan sengaja. Ini pula ijma¶ Ulama bahwa istri tidak ada lagi hak waris dari harta sang suami.
Talak yang dijatuhkan dalam keadaan suami sakit keras, namun dengan tujuan agar si istri tidak memperoleh
sedikitpun dari harta warisan tersebut. Dalam keadaan ini ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama, namun
yang shahih, si istri berhak mendapatkan bagian dia, selama dia ± istri ± belum menikah lagi. Suami ini dikenai
perlakuan yang merupakan kebalikandari niat dia. Dan telah pula di amalkan oleh µUtsman bin µAffan ra. dalam
memberikan hak warisan bagi istri µAbdurrahman bin µAuf ra., ketika µAbdurrahman bin µAuf ra. ?sakit keras.
Dan ini suatu yang telah masyhur kalangan shahabat dan tidak diingkari oleh seorangpun dari mereka.

Nasab
Nasab yang dimaksud dalam ilmu mawarist, adalah pertalian kekerabatan baik kerabat yang dekat maupun jauh
yang terjadi karena pertelian keturunan. Dan Nasab dalam ilmu mawarist di bagi menjadi tiga bagian :
Al-Ashl / Al-Ushul : Yakni kedua orang tua dan seterusnya keatas.

Al-Far¶u/ Al-Furu¶ : Yakni anak keturunan mereka demikian seterunya.

Al-Hawasyi : Yakni mereka yang merupakan Al Furu¶ serta keturunannya dari Al Ushul si mayit , dalam hal ini
paman dan anak-anak keturunan mereka. Dan perlu diketahui, Hawasyi adalah dari jalur nasab laki-laki, adapun
dari jalur nasab wanita, tidak ada hak waris bagi mereka dari harta si mayit kecuali saudara se-ibu.

Wala¶
Wala¶ yang disebutkan oleh para Ulama sebagai salah satu sebab terjadinya hukum waris, adalah wala¶ yang
berupa kebebasan yang diberikan oleh seorang pemilik hamba sahaya bagi hamba sahaya itu.

Dalam pembagian warisan dari harta seseorang yang disebabkan oleh Wala¶ ini, diberikan kepada yang
membebaskan si hamba, yaitu sayyid/tuan-nya terdahulu, dengan syarat tidak ada satupun ahli waris syar¶i dari
si hamba sahaya itu. Dan jikalau si tuan dia, telah tiada maka yang mewarisi harta si hamba sahaya hanyalah
ashhabul µashabah dari tuan dia, yang mengambil bagian µashabah-nya keseluruhan tanpa bersama ahli waris
lain. Yang tiada lain adalah µashabah si tuan dari keturunan laki-laki.

E. Beberapa Hal yang menggugurkan Hak-hak Pewarisan

Ada sejumlah hal atau perbuatan/amalan yang menjadikan seorang ahli waris, tidak berhak mendapatkan
warisan atau hak waris dia menjadi gugur. Diantaranya ; -

1. Jikalau ahli waris itu seorang Budak/Hamba Sahaya

Seorang Budak tidaklah berhak mendapatkan hak waris dan tidak pula mewariskan harta bagi ahli warisnya,
dan tidak meng-hajab/menghalangi hak waris ahli waris selain dirinya.

2. Talak. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

3. Membunuh si mayit, atau menjadi sebab kematian si mayit ( al-qatl ).

Bentuk pembunuhan yang menggugurkan hak pewarisan dikalangan Ulama, ada yang disepakati sebagai
penghalang hak waris namun ada juga yang diperselisihkan oleh para Ulama.

Yang di sepakati, adalah pembunuhan yang di sengaja atas dasar permusuhan. Ada penyelisihan oleh sebagian
kecil Ulama namun pendapat mereka dianggap ganjil karena menyelisihi As-Sunnah dan Ijma¶.

Nabi saw. bersabda, ³Seorang pembunuh tidak mewarisi harta yang dibunuh sedikitpun juga.³

( Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya )

Dan juga beliau saw. bersabda : ³Bagi seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan.³

( Diriwayatkan oleh An-Nasa¶i, Ibnu Majah, Ahmad dan Malik dan selain mereka )

4. Perbedaan Agama

Yang dimaksud adalah antara dua orang kerabat yang berlainan agama, tidak saling mewarisi satu sama lainnya.
Dasarnya adalah hadist Usamah bin Zaid ra. , bahwa Nabi saw. bersabda, ³Seorang muslim tidak mewarisi harta
seorang kafir dan seorang kafir bukan ahli waris seorang muslim.³
( Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim )

Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad dan At-Tirmidzi dalam As-Sunan dari hadist
Abdullah bin µAmru ra. , Rasulullah saw. bersabda,

³Dua orang yang berlainan Agama tidaklah saling mewarisi satu sama lainnya.³

Anda mungkin juga menyukai