Anda di halaman 1dari 2

A.

Paradigma Positivisme
Perspektif Positivisme merupakan suatu model pemikiran yang muncul paling awal dalam
dunia ilmu pengetahuan. Paham ontologi realisme merupakan suatu keyakinan dasar aliran
ini. Dengan demikian aliran ini menyatakan bahwa suatu realitas merupakan sesuatu yang
berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam.
Ada dua jenis pandangan Positivme, yaitu positivme klasik dan positifme logis. Keduanya
mempunyai karakteristik atau ciri-ciri yang berbeda antara satu dan lainnya.

Positivisme Klasik :
Seperti yang tertulis di dalam buku Encyclopedia of Philosophy terbitan tahun 2000,
perspektif positivisme pertama kali ditemukan dan diperkenalkan oleh St.Simeon pada tahun
1825. Kemudian pada tahun 1970, seorang ahli filsafat perancis, Auguste Comte
mengembangkan model pemikiran positivism yang sudah ada. Dia membantah bawasanya
cabang ilmu pengetahuan harus dilalui melalui tiga tahap intelektual, yaitu theological state,
abstract state dan positive state. Hal ini menyatakan bahwa hal-hal yang berbau religius dan
terkesan mistis memiliki nilai yang lebih rendah jika dinbandingkan dengan berbagai jenis
perspektif lainnya.
Comte secara garis besar menguraikan berbagai prinsip positivisme, dan hingga hari ini
masih banyak digunakan. Oleh masyarakat. Setelah itu John Stuart Mill dari inggris
memodifikasi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran comte dalam karya Mill yang
cukup luar biasa.
Kemudian Emile Durkheim, sosiolog Perancis, menguraikan satu versi positivisme dalam
karyanya, Rules of the Sociological Methods (1985), yang kemudian jadi rujukan bagi periset
ilmu sosial yang beraliran positivism. Menurut Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi
adalah fakta sosial. Fakta sosial yang ia maksudkan mencakup bahasa, sistem hukum, sistem
politik, pendidikan dan lain-lain.
Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, akan tetapi oleh periset dalam
penelitian positivisme, informasi kebenaran itu dinyatakan pada individu yang dijadikan
responden penelitian. Untuk mencari kebenaran ini , periset sebagai seorang pencari
kebenaran harus menanyakan secaral langsung kepada objek yang diteliti, dan sang objek
dapat memberikan jawaban langsung kepada periset yang bersangkutan. Periset dituntut
untuk menggunakan metodelogi eksperimen atau metode lain yang setara. Hal itu
dimaksudkan untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam
menggambarkan masalah yang sebenarnya.

Positivisme Logis :
Gerakan positivist logis dijelmakan oleh sekelompok sarjana yang jumpai selama 1920s dan
1930s dekat Wina, Austria. Yang dikenal dengan nama ‘Lingkaran WIna’, sarjana-sarjana
tersebut adalah Moritz Shlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, Herbet Feigl, Friedrich
Waismann, Kurt Godel, dan VIktor Kraft.
Gerakan ini memulai manuvernya dengan membuat pembedaan kritis antara ilmu
pengetahuan dengan metafisika dengan “prinsip dari arti yang dapat dibuktikan”. Prinsip ini
menyatakan bawasanya, “sebuah pendapat akan dinyatakan bermakna jika pendapat tersebut
dapat dianalisis dan dapat dibuktikan secara empiris” (Ayer, 1960).

B. Paradigma Post-Positivisme
Paradigma ini menempatkan ilmu sosial seperti ilmu alam, yaitu metode yang terorganisir
untuk mengkombinasikan logika deduktif melalui observasi empiris, dengan tujuan
mendapatkan konfirmasi tentang hukum kausalitas yang dapat digunakan untuk memprediksi
suatu gejala sosial.
Tujuan awal munculnya bentuk ini adalah adanya suatu keinginan untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang ada pada paradigma positivisme yang hanya mengandalkan
pengamatan langsung atas objek yang sedang diteliti. Aliran ini mempunyai cara pandang
yang sedikit berbeda dengan aliran positivisme, kritis realis. Dengan demikian, aliran ini juga
melihat realitas sebagai hal yang benar-benar ada dalam kenyataan (hukum alam). Perspektif
ini menampilkan adanya kesamaan antara pandangan umum dan pandangan keilmuan serta
adanya pertentangan dengan paradigma positivisme.
Aliran ini berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat temporer dan penuh dengan
spekulasi yang mungkin akan terjadi bila muncul sebuah teori baru yang dapat membuktikan
adanya kesalahan di dalam ilmu tersebut.
Untuk melakukan penelitian, aliran ini melakukan pendekatan dengan subjektif. Secara
metodologis pendekatan eksperimental melalui sebuah pengamatan dipandang kurang
mencukupi, harus dilengkapi dengan metode triangulasi (penggunaan beragam metode,
sumber data, teori, dan periset). Kita dapat mendapati paradigma ini ketika mempelajari
Ekonomi Politik Liberal, atau Teori Fungsi Media.
Tokoh-tokoh yang sejalan dengan aliran ini antara lain adalah, Karl Popper, Nicholas
Reacher dan John D.

C. Perspektif Kritis
Aliran ini memandang suatu wacana atas realitas dengan muatan orientasi ideologi tertentu,
sehingga aliran ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, melainkan ‘pemeriksaan
berorientasi ideologi’.
Aliran ini juga mentakrifkan ilmu sosial sebagai proses kritis untuk mengungkap struktur
sebenarnya di balik ilusi dan kebutuhan palsu yang ditampakkan dunia materi, guna
mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki suatu kondisi sosial subjek penelitian.

Teori ini mengedepankan aspek analisis dan subjektifitas masing-masing peneliti dan
memberikan kebebasan bagi responden untuk menanggapi sesuatu sesuai dengan pemahaman
mereka. Subjektifitas yang tinggi dapat menjadi pedang bermata dua di dalam suatu
penelitian. Sehingga hendaknya perspektif kritis harus disertai dengan moral dan etika yang
kuat.
Jika dibandingkan dengan paradigma lainnya. Paradigma ini terletak diantara paradigma
positivisme dan interpretatif. Kenapa dikatakan positivisme? karena paradigma ini juga
mengakui adanya realitas empiris yang tertata, tetap, dan terpola.
Sedangkan bila dikatakan memiliki kesamaan dengan paradigma interpretatif karena,
paradigma kritis dari awal sudah menyatakan keberpihakan kepada struktur yang lemah.
Karena itulah terkadang paradigma ini dikatakan bersifat reformis.
Secara ontologis, cara pandang paradigma ini dalam menilai objek atau realitas kritis kurang
lebih sama dengan pandangan post-poitivisme.
Pada tataran metodologis aliran ini mengutamakan metode dialog untuk sarana transformasi
bagi ditemukannya kebenaran realitas yang nyata.
Secara epistimologis aliran ini memandang hubungan antara peneliti dan objek sebagai hal
yang tidak dapat dipisahkan.
Contoh teori yang menggunakan aliran ini adalah Teori Tindakan Komunikasi dan
Instrumentalisme Ekonomi Politik.
Posted by Primbul~ at 8:06 PM

Anda mungkin juga menyukai