Anda di halaman 1dari 11

MANAJEMEN KEWIRAUSAHAAN

TOKOH – TOKOH WIRAUSAHA

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas Manajemen Kewirausahaan

Nama : Umar Imanuddin

NIM : 2450407025

Rombel : 310 - 312

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


2009 / 2010
PROFIL TOKOH WIRAUSAHA

Pak Bagyo - Kebun Asri - Cangkringan Sleman DIY

Pak Bagyo merupakan pensiunan BRI. Selama 30an tahun beliau bergelut dengan
bidang perbankan terutama konsentrasi bidang pelunasan kredit dan pembukuan.
Kedua bidang ini konon paling tidak diminati peniti karier di bank, tapi malah
beliau menganggap ini peluang untuk melejitkan kariernya.

Tahun 2000an menjelang pensiun, beliau berkomitmen terjun ke dunia wirausaha.


Pintu mulai terbuka ketika ada order (peluang). Dengan tanpa basa-basi
mengatakan "sanggup" untuk menangkap peluang itu. Kemudian jeli memanfaatkan
setiap peluang untuk mengembangkan usahanya. Bidang usaha yang digeluti ada 4,
sbb.:

1. Rental Tanaman
Tanaman di sewakan berdasar per titik (pot). Sewa tanaman sekitar Rp
30.000/bulan. Tiap 2 minggu, tanaman ditukar dengan tanaman baru yang masih
segar. Tanaman yang 2 minggu dalam ruangan dipanaskan lagi di kebun selama 3
minggu. Demikian rotasinya, agar tanaman tetap segar dan berkecukupan terhadap
kebutuhan sinar matahari (fotosintesa).
Kata beliau, bisnis ini yang paling rendah resikonya karena hanya konsentrasi
pada tenaga dan transportasi penempatan-pemulangan barang. Instansi biasanya
juga tidak siap untuk merawat tanaman, sehingga lebih senang rental saja.
Bisnis beliau ini merupakan leader di Yogya dan saat ini lebih dari 20 instansi
menjadi pelanggannya.

2. Pemasok sayuran di supermarket


Saat ini beliau adalah pelanggan tetap untuk memasuk sayuran di beberapa
supermarket di Yogya, Solo, dan Semarang. Sayur kebanyakan berasal dari sekitar
wilayah tinggalnya di Kecamatan Cangkringan Sleman. Namun karena kebutuhan yang
banyak, beliau mendatangkan sayur dari sekitar Dukun - Muntilan - Magelang.
Bahkan ada beberapa sayuran tertentu yang didatangkan dari Jakarta apabila
tidak musimnya.
Yang menarik, aktifitas bisnis ini mulai malam sampai pagi hari. Karena barang
harus sudah disetorkan ke supermarket jam 5 pagi. Jadi pengemasan sering
dilakukan tengah malam sampai dini hari.

3. Dekorasi Manten dengan tanaman/bunga asli


Keuntungan di bisnis ini mencapai 100%. Jadi bila harga order 10 juta,
keuntungan bersih 5 jt. Namun pekerjaan ini memerlukan ritme kerja yang berpacu
dengan waktu. Seperti kita tahu, gedung pernikahan biasanya dibagi menjadi 3
sesi, yaitu pagi-siang, siang-sore, dan petang-malam. Tiap sesi hampir pasti
bukan dari pemesan yang sama dan nuansa desainnya selalu berbeda. Padahal
pelaksanaan dekorasi harus dilaksanakan di tempat itu juga. Sehingga dalam
waktu yang singkat harus sudah selesai.
Tanaman/bunga asli sebagian berasal dari kebunnya, namun kebanyakan masih pesan
di Bandung atau bahkan dari luar negeri.

4. Pemancingan
Wilayah Cangkringan merupakan kaki gunung merapi yang melimpah mata airnya.
Sumber mata air ini sering dimanfaatkan untuk kolam ikan. Beliau juga membuka
bisnis pemancingan untuk para pemancing, warung dan pendidikan lingkungan.

Di samping bisnisnya ini, beliau melakukan 'subsidi silang' apabila melakukan


kegiatan sosial (gratis) seperti pendidikan lingkungan untuk anak sekolah,
ceramah wirausaha di kampus, dan melayani kunjungan studi banding dari
siswa/mahasiswa.
Beliau juga kadang melakukan pemberdayaan dengan masyarakat petani di
sekitarnya, namun kadang terkendala besar untuk mengangkat ke arah mental
wirausaha yang mengikuti kemauan pasar.
Beliau juga sering diundang mengisi pelatihan wirausaha untuk pegawai instansi
yang menjelang purna tugas (pensiun) di berbagai hotel di beberapa kota di
Indonesia.

Penemuan beliau yang paling fenomenal adalah Cangkokan model RS (Rahman


Subagyo), yaitu dengan cara menyayat kulit pohon (sampai kekayunya) dari bawah
ke atas, satu bagian saja. Sayatan itu dibungkus dengan tanah/kompos yang
dimasukkan ke dala plastik (ukuran wadah es lilin). sebulan kemudian akan
tumbuh akar.

Kalau kita mau ngangsu kawruh (belajar) ke sana, jangan sungkan dan ragu,
beliau sangat 'welcome' pada siapa saja yang mau sharing ilmu.

Slogan beliau : temukan peluang dulu, baru membuat barang sesuai pesanan.
Jangan sebaliknya, asyik membuat produk tapi tidak tahu dipasarkan dimana.

Semoga reportase ini bermanfaat.....

M Kundarto
http://mkundarto.wordpress.com

Bob Sadino : Pengusaha Berdinas Celana Pendek

Nama :
Bob Sadino
Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam

Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)
Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)

Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp: 793981

Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618

Sumber:
Antara lain, entrepreneur-university.com dan PDAT

Pria berpakaian ''dinas'' celana pendek jin dan kemeja lengan pendek yang ujung lengannya
tidak dijahit, ini adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai usahanya benar-
benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Pendiri dan pemilik tunggal Kem
Chicks (supermarket), ini mantan sopir taksi dan karyawan Unilever yang kemudian menjadi
pengusaha sukses.

Titik balik yang getir menimpa keluarga Bob Sadino. Bob rindu pulang kampung setelah
merantau sembilan tahun di Amsterdam, Belanda dan Hamburg, Jerman, sejak tahun 1958. Ia
membawa pulang istrinya, mengajaknya hidup serba kekurangan. Padahal mereka tadinya
hidup mapan dengan gaji yang cukup besar.

Sekembalinya di tanah air, Bob bertekad tidak ingin lagi jadi karyawan yang diperintah atasan.
Karena itu ia harus kerja apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya. Ia pernah jadi sopir
taksi. Mobilnya tabrakan dan hancur. Lantas beralih jadi kuli bangunan dengan upah harian Rp
100.

Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang
dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob
memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang
untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam
tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing,
karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta,
di mana terdapat banyak menetap orang asing.

Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka
mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri
Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak,
menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana
dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.
Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura,
mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia
juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan.
Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya
uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan
menangkap peluang.

Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku
dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan.
Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak
segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke


lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan
Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi
trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih,
arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan
pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan
pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu
ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem
Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.

Anak Guru

Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir
sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima
bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi
guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk
membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih
terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.

Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan
yang menghancurkan mobilnya. ''Hati saya ikut hancur,'' kata Bob. Kehilangan sumber
penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami
Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan.
Tetapi, Bob bersikeras, ''Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.''

Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri
Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks
dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan
daging di Pulogadung, dan sebuah ''warung'' shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta.
Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50
ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.

''Saya hidup dari fantasi,'' kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini
lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ''Di
mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,'' kata Bob.

Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan.
Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin
berkhayal yang macam-macam.

Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang
paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya. ►e-ti/sh

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/b/bob-sadino/index.shtml

Ir Ciputra Pengusaha Sukses, Sebuah Inspirasi

Profil dan Otobiografi Singkat Ir. Ciputra

Ir. Ciputra (lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931; umur 77 tahun) adalah seorang
insinyur dan pengusaha di Indonesia. Ciputra menghabiskan masa kecil hingga remajanya di
sebuah desa terpencil di pojokan Sulawesi Utara. Begitu jauhnya sehingga desa itu sudah
nyaris berada di Sulawesi Tengah. Jauh dari Manado, jauh pula dari Palu. Sejak kecil Ciputra
sudah merasakan kesulitan dan kepahitan hidup. Terutama saat bapaknya ditangkap dan
diseret dihadapannya oleh pasukan tak dikenal, dituduh sebagai mata-mata Belanda/ Jepang
dan tidak pernah kembali lagi (pada tahun 1944). Ketika remaja sekolah di SMP Frater
Donbosco Manado.

Ketika tamat SMA, kira-kira saat dia berusia 17 tahun, dia meninggalkan desanya menuju Jawa,
lambang kemajuan saat itu. Dia ingin memasuki perguruan tinggi di Jawa. Maka, masuklah dia
ke ITB (Institut Teknologi Bandung). Keputusan Ciputra untuk merantau ke Jawa tersebut
merupakan salah satu momentum terpenting dalam hidupnya yang pada akhirnya menjadikan
Ciputra orang sukses. Keputusan Ciputra untuk merantau ketika tamat SMA merupakan
keputusan yang tepat, karena pada usia tersebut muncul adanya keinginan untuk bebas yang
disertai rasa tanggung jawab pada diri individu. Ciputra adalah perantau yang sempurna. Dia
mendapatkan kebebasan, tapi juga memunculkan rasa tanggung jawab pada dirinya.

Bagi Ciputra, perintis pengembang properti nasional sekaligus pembangun 20 kota satelit di
seluruh Indonesia, pengalaman hidup susah sejak kecil adalah pemicu kesuksesannya. Ciputra
yang lahir di Parigi, Sulawesi Tengah 77 tahun lalu, harus merasakan kerasnya hidup sejak usia
12 tahun, tanpa ayah. Sang ayah ditangkap tentara pendudukan Jepang dan akhirnya
meninggal di penjara.

Sebagai bungsu dari 3 bersaudara, Ciputra kecil harus bergelut dengan berbagai pekerjaan
untuk mencari uang membantu sang ibu yang berjualan kue. Ciputra yang mengaku sangat
bandel dan nakal sejak kecil, juga harus berjalan kaki tanpa alas kaki sejauh 7 kilometer ke
sekolah setiap hari. Kenakalan Ciputra terlihat dari sifatnya yang seenaknya sendiri. Saat
disuruh belajar bahasa Belanda, Jepang atau China, dia malas. Dia hanya mau belajar bahasa
yang dianggapnya akan berguna baginya, yaitu bahasa Indonesia. Akibatnya, saat usia 12
tahun dia masih di kelas 2 SD karena berkali-kali tinggal kelas.

Pasca ditinggal sang ayah, barulah Ciputra bangkit dan mau belajar giat hingga selalu menjadi
nomor 1 di sekolah. Kegemilangan prestasi Ciputra terus berlanjut hingga mampu menamatkan
kuliah di jurusan arsitektur ITB. Setelah lulus kuliah, jiwa wirausaha Ciputra mengantarkannya
menjadi raksasa pengembang properti di tanah air lewat PT Pembangunan Jaya saat itu, dan
akhirnya menjadi grup Ciputra. Dan hingga kini, berbagai bangunan properti yang menghiasi
wajah Jakarta, tak bisa dilepaskan dari campur tangan seorang Ciputra.

CIPUTRA, Pengusaha asal Sulawesi Tengah

Ketika mula didirikan, PT Pembangunan Jaya cuma dikelola oleh lima orang. Kantornya
menumpang di sebuah kamar kerja Pemda DKI Jakarta Raya. Kini, 20-an tahun kemudian,
Pembangunan Jaya Group memiliki sedikitnya 20 anak perusahaan dengan 14.000 karyawan.
Namun, Ir. Ciputra, sang pendiri, belum merasa sukses. ``Kalau sudah merasa berhasil,
biasanya kreativitas akan mandek,`` kata Dirut PT Pembangunan Jaya itu.

Ciputra memang hampir tidak pernah mandek. Untuk melengkapi 11 unit fasilitas hiburan
Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), Jakarta -- proyek usaha Jaya Group yang cukup
menguntungkan -- telah dibangun "Taman Impian Dunia". Di dalamnya termasuk "Dunia
Fantasi", "Dunia Dongeng", "Dunia Sejarah", "Dunia Petualangan", dan "Dunia Harapan".
Sekitar 137 ha areal TIJA yang tersedia, karenanya, dinilai tidak memadai lagi. Sehingga,
melalui pengurukan laut (reklamasi) diharapkan dapat memperpanjang garis pantai Ancol dari
3,5 km menjadi 10,5 km.

Masa kanak Ciputra sendiri cukup sengsara. Lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi,
Sulawesi Tengah, ia anak bungsu dari tiga bersaudara. Dari usia enam sampai delapan tahun,
Ci diasuh oleh tante-tantenya yang "bengis". Ia selalu kebagian pekerjaan yang berat atau
menjijikkan, misalnya membersihkan tempat ludah. Tetapi, tiba menikmati es gundul (hancuran
es diberi sirop), tante-tantenyalah yang lebih dahulu mengecap rasa manisnya. Belakangan, ia
menilainya sebagai hikmah tersembunyi. "Justru karena asuhan yang keras itu, jiwa dan pribadi
saya seperti digembleng," kata Ciputra.

Pada usia 12 tahun, Ciputra menjadi yatim. Oleh tentara pendudukan Jepang, ayahnya, Tjie
Siem Poe, dituduh anti-Jepang, ditangkap, dan meninggal dalam penjara. "Lambaian tangan
Ayah masih terbayang di pelupuk mata, dan jerit Ibu tetap terngiang di telinga," tuturnya sendu.
Sejak itu, ibunyalah yang mengasuhnya penuh kasih. Sejak itu pula Ci harus bangun pagi- pagi
untuk mengurus sapi piaraan, sebelum berangkat ke sekolah -- dengan berjalan kaki sejauh 7
km. Mereka hidup dari penjualan kue ibunya.

Atas jerih payah ibunya, Ciputra berhasil masuk ke ITB dan memilih Jurusan Arsitektur. Pada
tingkat IV, ia, bersama dua temannya, mendirikan usaha konsultan arsitektur bangunan --
berkantor di sebuah garasi. Saat itu, ia sudah menikahi Dian Sumeler, yang dikenalnya ketika
masih sekolah SMA di Manado. Setelah Ciputra meraih gelar insinyur, 1960, mereka pindah ke
Jakarta, tepatnya di Kebayoran Baru. ``Kami belum punya rumah. Kami berpindah-pindah dari
losmen ke losmen,`` tutur Nyonya Dian, ibu empat anak. Tetapi dari sinilah awal sukses
Ciputra.

Pada tahun 1997 terjadilah krisis ekonomi. Krisis tersebut menimpa tiga group yang dipimpin
Ciputra: Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group. Namun dengan prinsip hidup
yang kuat Ciputra mampu melewati masa itu dengan baik. Ciputra selalu berprinsip bahwa jika
kita bekerja keras dan berbuat dengan benar, Tuhan pasti buka jalan. Dan banyak mukjizat
terjadi, seperti adanya kebijakan moneter dari pemerintah, diskon bunga dari beberapa bank
sehingga ia mendapat kesempatan untuk merestrukturisasi utang-utangnya. Akhirnya ketiga
group tersebut dapat bangkit kembali dan kini Group Ciputra telah mampu melakukan ekspansi
usaha di dalam dan ke luar negeri.

Ciputra telah sukses melampaui semua orde; orde lama, orde baru, maupun orde reformasi.
Dia sukses membawa perusahaan daerah maju, membawa perusahaan sesama koleganya
maju, dan akhirnya juga membawa perusahaan keluarganya sendiri maju. Dia sukses menjadi
contoh kehidupan sebagai seorang manusia. Memang, dia tidak menjadi konglomerat nomor
satu atau nomor dua di Indonesia, tapi dia adalah yang TERBAIK di bidangnya: realestate.

Pada usianya yang ke-75, ketika akhirnya dia harus memikirkan pengabdian masyarakat apa
yang akan ia kembangkan, dia memilih bidang pendidikan. Kemudian didirikanlah sekolah dan
universitas Ciputra. Bukan sekolah biasa. Sekolah ini menitikberatkan pada enterpreneurship.
Dengan sekolah kewirausahaan ini Ciputra ingin menyiapkan bangsa Indonesia menjadi
bangsa pengusaha.

Ir. Ciputra Menghadapi Krisis Ekonomi

Keran KPR yang mulai mengucur, membuat aktivitas PT Ciputra Development terdengar lagi.
Kelompok usaha ini semakin giat beriklan. Akankah Ciputra segera berjaya kembali? Akibat
krisis ekonomi yang melanda negeri ini, sebagaimana kebanyakan pengusaha properti lainnya,
Ciputra pun harus melewati masa krisis dengan kepahitan. Padahal, serangkaian langkah
penghematan telah dilakukan. Grup Ciputa (GC), misalnya, terpaksa harus memangkas 7 ribu
karyawannya, dan yang tersisa cuma sekitar 35%.

Lantas, semua departemen perencanaan di masing-masing anak perusahaan segera ditutup


dan digantikan satu design center yang bertugas memberikan servis desain kepada seluruh
proyek. Jenjang komando 9 tingkat pun dipotong menjadi 5. Akibatnya, banyak manajer
kehilangan pekerjaan. Lebih pahit lagi: kantor pusat GC yang semula berada di Gedung Jaya,
Thamrin, Jakarta Pusat, terpaksa pindah ke Jl. Satrio -- kompleks perkantoran milik GC. Paling
tidak, dengan cara semacam itu, GC bisa menghemat Rp 4 miliar/tahun.

Sementara Harun dan tim keuangannya -- setelah susut menjadi 7 orang dan gajinya dipotong
hingga 40% -- hengkang ke salah satu lantai Hotel Ciputra, Grogol, Jakarta Barat. Di tempat itu,
mereka menyewa beberapa ruangan. Selebihnya, kabar yang menjadi rahasia umum: utang
GC macet total.

Menurut Harun, para petinggi CD waktu itu sadar betul kondisi yang ada tidak bakalan berubah
secepat yang dibayangkan. Soalnya, berlalunya krisis moneter yang belakangan
bermetamorfosis menjadi krisis multidimensional sejatinya berada di luar kendali mereka. Celah
yang masih terbuka hanyalah konsolidasi internal dan restrukturisasi perusahaan.

Maka, selain memangkas biaya operasional secara drastis, CD pun segera menerapkan
strategi pemasaran baru: menjual kapling siap bangun. Kata Harun, selain CD kala itu hanya
menyimpan sedikit stok rumah siap huni, perubahan strategi pemasaran ini juga dilakukan
untuk membidik konsumen berkantong tebal. Maklumlah, mengharapkan KPR ibarat pungguk
merindukan bulan. Adapun yang tersisa, ya itu tadi, pasar kalangan kelas menengah-atas.
Mereka biasanya lebih suka membeli kapling karena dapat menentukan sendiri desain
rumahnya.

Keuntungan lain menjual kapling tanah: berkurangnya biaya operasional. Masih menurut Harun,
dengan menjual kapling siap bangun, CD cuma berkewajiban menyediakan infrastruktur seperti
telepon, air, listrik dan jalan. Memang, ketimbang membangun rumah siap huni, biaya
penyediaan infrastruktur relatif jauh lebih murah. Dalam perhitungan Harun, biaya yang
dikeluarkan per m2-nya cuma Rp 90 ribu.

Sementara itu, bila membangun rumah siap huni, CD mesti siap menerima kenyataan jika
harga bahan-bahan bangunan meningkat pesat. Besi, misalnya. Setelah kurs rupiah terhadap
US$, harganya naik 60%. Sementara semen dan keramik, masing-masing meningkat menjadi
40% dan 30%. Jadi, "Tak ada alasan tidak menerapkan strategi itu," ujar Harun. Kebijakan itu
berlaku di Jakarta dan di Surabaya.

Guna mendukung strategi di atas, program-program above the line juga tak luput dikoreksi.
Hasilnya, dari monitoring yang dilakukan, para petinggi CD akhirnya berkesimpulan, mubazir
bila beriklan gencar di masa krisis. "Seperti membunuh tikus dengan memakai bom," jelas
Harun. Alhasil, pilihan kemudian jatuh pada penjualan langsung. Bahannya diolah dari database
konsumen milik CD. Dan supaya lebih terarah, database diolah lewat pembentukan klub-klub
penjualan, di Jakarta maupun Surabaya.

Namun, apa daya, meski harga kapling siap bangun belum dinaikkan dan tim pemasaran
bekerja sekeras mungkin, toh strategi itu tidak langsung membuahkan hasil yang memuaskan.
Lebih dari Tiga bulan, konsumen yang tertarik dengan ratusan hektare tanah matang milik CD
yang dijual dalam bentuk kapling siap bangun -- dari total 1.800 har landbank (tanah mentah)
CD yang tersebar di Jakarta dan Surabaya -- bisa dihitung dengan jari.

Kata Harun, petinggi CD lagi-lagi sadar para pemilik uang sesungguhnya lebih memilih
mendepositokan uangnya ketimbang membeli kaping siap bangun. Maka, "Tahun 1998 adalah
tahun yang paling sulit yang pernah dilalui CD," kenangnya. Masalahnya, uang yang masuk
selama setahun cuma Rp 40 miliar.

Itulah nilai total hasil penjualan lima proyek perumahan di Jakarta dan Surabaya milik CD.
Jelas, ketimbang tahun-tahun sebelumnya, saat kondisi ekonomi masih normal, kenyataan
tersebut benar-benar menyakitkan. Sebelum krisis, dari satu proyek saja, CD bisa meraup uang
sebanyak Rp 10 miliar/bulan. Artinya, angka Rp 40 miliar tersebut biasanya dicapai hanya
dalam sebulan.
Yang lebih menyesakkan, menurut sumber SWA, Pak Ci ikut-ikutan menambah beban
psikologis pasukannya. Hampir setiap hari CEO GC itu uring-uringan tanpa sebab yang jelas.
Seingatnya,waktu itu Pak Ci jarang bertanya kepada anak buahnya bagaimana sebenarnya
kondisi di lapangan. "Ia malah seperti tak habis-habisnya melakukan pressure kepada timnya,"
jelas si sumber.

Dan lucunya lagi, bahkan di luar dugaan banyak orang -- sang sumber sendiri kaget luar biasa
-- Pak Ci sampai-sampai "menodong" seorang pemuka agama agar jemaat gerejanya membeli
kapling siap bangun di salah satu proyek perumahan CD. "Benar-benar tidak masuk akal,"
ungkap sumber. Benarkah? "Bohong. Kalau stres, siapa yang tidak stres waktu itu," bantah
Harun.

Untunglah, bersamaan turunnya suku bunga deposito di awal 1999, strategi itu mulai
menampakkan hasil. Kecil memang, tapi, "Kami sudah mulai sibuk," ujar Harun. Ia menunjuk
aktivitas penjualan kapling siap bangun, khususnya yang di Surabaya. "Di kota ini,
penjualannya cukup bagus."

Sayang, Harun tak bersedia menyebutkan nilai transaksi di Kota Buaya. Yang jelas, tidak
seperti di Jakarta, jumlah item kapling siap bangun yang ditawarkan CD di Surabaya lumayan
variatif. Dari segi luas contohnya, 1.200-2.000 m2 dengan harga jual minimal: Rp 600
ribu/meter2. Selain itu, ada pula kapling golf -- posisinya berhadapan atau di sekitar lapangan
golf. "Kapling jenis ini, sekalipun lebih mahal, tampak paling disukai," jelas Harun.

Bagaimana dengan Jakarta? Kendati kapling yang dijual hanya berukuran 200-500 m2, angka
penjualannya tidak sebagus di Surabaya. Dan kapling yang disukai konsumen kebanyakan
yang berukuran 400 m2 seharga Rp 225-500 ribu/m2. Menurut Harun, hal itu terjadi karena
tingkat persaingan di Jakarta lebih ketat ketimbang di Surabaya. Soalnya, "Ada banyak proyek
serupa di sini," ujarnya. Dan, yang lebih penting, kapling golf bukanlah hal yang istimewa bagi
banyak konsumen metropolitan. "Jadi, penawaran kami sama seperti yang lain. Karena itu pula,
bisa jadi konsumen mencari yang lebih murah."

Seperti yang sudah-sudah, tutur menantu Ciputra itu, kebutuhan konsumen di Jakarta sejatinya
adalah rumah siap huni yang dilengkapi fasilitas KPR. Karena itu, bermodalkan pendapatan
hasil penjualan kapling siap bangun plus tersedianya sarana KPR, CD pun mulai menggiatkan
pembangunan rumah siap huni, di Citra Raya Tangerang, Citra Indah Jonggol, Citra Grand
Cibubur ataupun Citra Cengkareng.

Bersamaan waktunya, CD pun kembali rajin beriklan. Namun, tidak seperti tiga tahun lalu, kini
belanja iklannya diatur ketat. Indikator pertama yang dihitung sebelum mengeluarkan uang
untuk berpromosi di berbagai media cetak adalah jumlah total hari libur dalam setiap bulan.
Yang jelas, sebulan CD beriklan tak lebih dari tiga kali. "Bukan apa-apa. Kami hanya ingin iklan
itu bisa efektif mencapai sasaran," katanya. Ia menambahkan, klub-klub penjualan yang dulu
sempat dibentuk tetap diteruskan.

Hanya saja, lagi-lagi sayang, Harun mengaku tidak ingat persis jumlah uang yang masuk ke
kocek CD setelah perusahaan properti yang dipimpinnya itu kembali rajin beriklan. Ia hanya
mengatakan, "Cash flow kami cukup aman." Ditambah semakin membaiknya daya beli
konsumen, Harun pun optimistis, CD dan GC bisa berkibar kembali. Namun, tentu saja, ia
mengaku, "Tidak seperti dulu lagi."

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Ir%20Ciputra%20Pengusaha%20Sukses,
%20Sebuah%20Inspirasi&&nomorurut_artikel=314

Anda mungkin juga menyukai