Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MANDIRI

MUKOLITIK

Disusun Guna Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian


Ilmu Farmasi Kedokteran

Oleh:
Tias Anggani (I1A004071)

Pembimbing
dr. H. M. Bakhriansyah, M. Kes, M. Med. Ed

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
BAGIAN FARMAKOLOGI
BANJARBARU
2009
Mukolitik ialah obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas

dengan jalan hidrolisis glukosaminoglikan dan memecah rantai panjang inter

ataupun intramolekular komponen organik pembentuk mukus, yaitu mukoprotein

serta mukopolisakarida sehingga dapat menurunkan viskositas musin dari sputum.

Contoh mukolitik ialah bromheksin, asetilsistein, dan ambroksol (1,2).

A. BROMHEKSIN

Bromheksin ialah derivat sintetik dari vasicinine, suatu zat aktif dari

athoda vasica. Bromhexin diakui sebagai obat yang punya khasiat spesifik

terhadap sputum dan bermanfaat dalam klinik. Kini obat ini banyak dipakai untuk

berbagai penyakit saluran pernafasan (3-5)

Sebagai mukolitik, obat ini membuat produksi mukus menjadi serous pada

saluran nafas. Selain fungsinya sebagai mukolitik, bromheksin memberikan efek

sekretomotorik, yang membantu silia dalam transportasi mukus dari paru-paru (6).

1. Struktur kimia
Struktur kimianya ialah: N-cyclohexyl-N--methyl--(2--amino--
3,dibromobenzyl)--amonium chloride (3).

Struktur kimia Bromhexin(3)

1
2. Mekanisme Kerja

Tingginya kekentalan sputum, pada penderita asma atau bronkhitis kronis

misalnya, disebabkan oleh dua jenis jaringan benang dalam sputum, yaitu:

benang-benang DNA (deoxyribonucleic acid) dan benang mukopolisakrida (3).

Benang DNA hanya ada dalam sputum yang purulen, karena ini berasal

dari inti sel-sel mukosa yang hancur. Sedangkan benang-benang

mukopolisakarida banyak ditemukan pada sputum yang mukoid. Benang jenis

kedua ini sedikit ditemukan dalam sputum yang purulen karena telah dihancurkan

oleh enzim-enzim bakteri. Dengan terapi antibiotika yang efektif, kerusakan

mukosa dapat dicegah; sehingga benang-benang DNA akan makin sedikit. Tapi

ternyata saat itu sputum masih kental karena benang-benang mukopolisakarida

muncul kembali. Bromhexin bekerja dengan cara menghancurkan benang-benang

mukopolisakarida itu menjadi fragmen-fragmen kecil, sehingga sputum menjadi

encer. Selain itu, dengan penyelidikan mikroskop elektron diketahui bahwa

bromhexin juga menyebabkan perubahan pada granula pada kelenjar-kelenjar

penghasil mukus di mukosa bronkhial dan hidung (3).

3. Penggunaan Dalam Klinik

Dari penelitian-penelitian selama ini, terbukti bromhexin dapat

mengencerkan dan menambah volume sputum. Namun faal paru tidak selalu

bertambah baik. Meskipun demikian, semua peneliti setuju bahwa obat ini

bermanfaat, dan efek samping yang berbahaya tak ditemukan. Keuntungan lain

dari penggunaan bromhexin ialah dapat meningkatkan kadar

2
tetrasikin/oksitetrasiklin dalam sekret bronkhial. Maka kombinasi antibiotika ini

dengan bromhexin dilaporkan lebih efektif daripada tetrasiklin saia. Pada

penderita yang gawat bromhexin dapat diberikan secara parenteral. Bila ada

infeksi bakterial, antibiotika harus diberikan juga disamping bromhexin (3)

4. Indikasi (7)

a. PPOK: bronkhitis

b. asma bronkhial

c. sinusitis

d. infeksi saluran nafas pasca bedah

e. trauma toraks

f. bronkhiektasis

5. Dosis

Dosis oral untuk orang dewasa ialah 3 kali sehari 8-16 mg. Dosis oral

untuk anak-anak dibawah 5 tahun, 2 kali sehari 4 mg. Dosis oral untuk anak-anak

5-10 tahun, 4 kali sehari 4 mg (3).

6. Efek Samping

Efek samping berupa mual diare, gangguan pencernaan, perasaan penuh di

perut, sakit kepala, vertigo, berkeringat banyak, ruam kulit dan peninggian

transaminase serum. Bromheksin harus hati-hati digunakan pada pasien tukak

lambung(1,7).

3
7. Bentuk Sediaan Obat (7)

a. Tablet

b. Eliksir

c. Solution

B. AMBROKSOL

Ambroksol, suatu metabolit aktif bromheksin diduga sama cara kerja dan

penggunaannya. Ambroksol bekerja dengan cara menurunkan viskositas sekresi

mukus dengan cara memecah rantai mukopolisakarida. Ambroksol sedang diteliti

tentang kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis sika dan sebagai

perangsang produksi surfaktan pada anak lahir prematur dengan sindrom

pernapasan (1).

1. Struktur kimia
Struktur kimianya ialah: N-cyclohexyl-N--methyl--(2--amino--
3,dibromobenzyl)--amonium chloride (3).

Struktur kimia Ambroxol (3)

2. Mekanisme kerja

Ambroksol mempunyai sifat mukokinetik dan sekretolitik. Ambroksol

meningkatkan pembersihan sekresi yang tertahan pada saluran pernapasan dan

4
menghilangkan mukus statis, memudahkan pengenceran dahak. Ambroksol

dilaporkan mempunyai aktivitas penghambatan sitokin proinflamasi, menurunkan

inflamasi paru dan mempercepat proses penyembuhan paru (8,9).

3. Indikasi

Penyakit saluran napas akut dan kronis yang disertai sekresi bronkial,

antara lain: bronkiektasis, bronkhitis, bronkhitis asmatik dan asma bronkial

(8,10,11).

4. Dosis (8)

a. Dewasa: 30-120 mg/hari dibagi dalam tiga dosis.

b. Anak-anak 5-12 tahun: sehari 3 kali 15 mg.

c. Anak-anak 2 - 5 tahun: sehari 3 kali 7,5 mg.

d. Anak-anak dibawah 2 tahun : sehari 2 kali 7,5 mg.

Dosis   dapat   dikurangi   menjadi   2   kali   sehari, untuk pengobatan yang lama.

Harus diminum sesudah makan.

5. Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap ambroksol. Pemakaian   pada   kehamilan  

trimester   pertama   tidak dianjurkan. Pemakaian selama menyusui keamanannya

belum diketahui dengan pasti (8).

5
6. Efek Samping

Efek   samping   yang   ringan   pada   saluran   pencernaan: nausea dan

vomitus dilaporkan pada beberapa pasien. Reaksi hipersensitivitas. Dari

penelitian, diketahui bahwa ambroxol dapat menginduksi ALI (acute lung injury)

(8,9).

7. Interaksi Obat

Kombinasi ambroksol dengan obat-obatan lain dimungkinkan, terutama

yang berhubungan dengan sediaan yang digunakan sebagai obat standar untuk

sindroma bronkitis (glikosida jantung, kortikosteroid, bronkospasmolitik, diuretik

dan antibiotik) (8).

C. ASETILSISTEIN

Aktivitas mukolitik zat ini langsung terhadap mukoprotein dengan

melepaskan ikatan disulfidanya, sehingga menurunkan viskositas sputum.

Aktivitas mukolitik terbesar pada PH 7-9. Setelah inhalasi sputum menjadi encer

dalam waktu 1 menit, dan efek maksimal dicapai dalam waktu 5-10 menit (1).

1. Struktur kimia

Acetylcysteine S-nitroso-N-acetylcysteine dengan rumus kimia (R)-2-

acetamido-3-sulfanylpropanoic acid (C5H9NO3S) adalah derivat N-acetyl dari

asam amino L-sistein, dan merupakam prekursor pebentukan antioksidan endogen

6
glutation. Adanya gugus thiol (sulfihidril) berperan dalam efeknya sebagai

antioksidan (12,13).

Struktur kimia Asetilsistein (12)

2. Penggunaan Dalam Klinik

Di samping bersifat mukolitik, N-asetilsistein juga mempunyai fungsi

sebagai antioksidan. N-asetilsistein merupakan sumber glutathion, yaitu zat yang

bersifat antioksidan. Pemberian N-asetilsistein dapat mencegah kerusakan saluran

napas yang disebabkan oleh oksidan. Pada perokok, kerusakan saluran napas

terjadi oleh karena zat-zat oksidan dalam asap rokok mempengaruhi

keseimbangan oksidan dan antioksidan. Dengan demikian pemberian N-

asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru terhadap

efek oksidan dalan asap rokok, sehingga mencegah terjadinya emfisema. Obat ini

juga mempunyai efek antioksidan terhadap toksisitas asetaminofen. Pada

penderita Acute Respiratory Distess Syndrome (ARDS) sering terjadi edema paru

nonkardiak. Pada penderita ARDS kadar glutathion dalam plasma rendah.

Pemberian N-asetilsistein intravena meningkatkan kadar glutathion dalam darah,

sehingga memberikan perbaikan klinik, yaitu peningkatan oksigenisasi jaringan,

membaiknya compliance paru dan berkurangnya edema paru. Penelitian pada

penderita penyakit saluran napas akut dan kronik menunjukkan bahwa N-

7
asetilsistein efektif dalam mengatasi batuk, sesak napas dan pengeluaran dahak.

Perbaikan klinik pengobatan dengan N-asetilsistein lebih baik bila dibandingkan

dengan bromheksin (1,14,15).

3. Indikasi

Asetilsistein inhalasi diindikasikan sebagai terapi adjuvan pada penyakit

saluran pernafasan dengan produksi mukus yang eksesif. Penyakit saluran nafas

yang dimaksud meliputi: emfisema, brokhitis, tuberkulosis, bronkhiektasis,

amiloidosis, pneumonia dan kistik fibrosis. Asetilsistein juga digunakan sebagai

terapi post operasi, keperluan diagnostik dan trakeotomi. Asetilsistein oral dapat

digunakan sebagai terapi mukolitik pada kasus yang lebih ringan (10-12).

4. Dosis

Dosis yang efektif ialah 200 mg, 2 - 3 kali per oral. Pemberian secara

inhalasi dosisnya adalah 1-10 ml larutan 20% atau 2-20 ml larutan 10% setiap 2 -

6 jam. Pemberian langsung ke dalam saluran napas menggunakan larutan 10-20%

sebanyak 1-2 ml setiap jam. Bila diberikan sebagai aerosol harus dicampur

dengan bronkhodilator oleh karena ia mempunyai efek bronkhokonstriksi (1).

5. Cara Penggunaan

Obat ini selain diberikan secara inhalasi dan oral, juga dapat diberikan

secara intravena. Pemberian aerosol sangat efektif dalam mengencerkan mukus.

8
Bila diberikan secara oral dalam jangka waktu yang lama obat ini ditoleransi

dengan baik dan tidak mempunyai efek toksik (1).

Dalam bentuk aerosol sangat berguna untuk mengencerkan dan menambah

volume sputum. Tapi kadang-kadang sputum yang dihasilkan sedemikian banyak

sehingga harus disedot dengan alat penyedot agar tidak manghambat saluran

nafas. Selain itu reaksi febris tidak jarang terjadi. Maka obat ini kurang populer

(1).

6. Efek Samping

Efek samping yang mungkin timbul berupa spasme bronkus, terutama

pada pasien asma. Dapat juga timbul mual, muntah, stomatisis, pilek,hemoptisis,

dan terbentuknya sekret berlebihan sehingga perlu disedot (suction). Obat ini

tidak boleh diberikan bila tidak tersedia alat penyedot lendir napas (1).

Efek samping yang jarang terjadi, tapi pernah dilaporkan antara lain:

kesulitan bernafas, demam, kemerahan atau bengkak pada wajah, skin rash dan

gatal-gatal. Efek toksis sistemik tidak lazim oleh karena obat dimetabolisme

dengan cepat (1,13).

7. Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap asetilsistein (1).

8. Interaksi Obat (13)

a. Charcoal

b. Amyl nitrite

9
c. Isosorbide dinitrate

d. Isosorbide mononitrate

e. Nitroglycerin

9. Bentuk Sediaan Obat (12)

a. Solusio (larutan) untuk inhalasi (Mucomyst, Mucosil), digunakan untuk terapi

mukolotik

b. Injeksi Intravena (Parvolex, Acetadote), digunakan sebagai terapi overdosis

paracetamol/acetaminophen

c. Solusio Oral, digunakan untuk berbagai indikasi.

d. Tablet Effervescent (200 mg) – (Reolin, Mucinac).

e. Solusio Ocular, digunakan untuk terapi mukolitik.

DAFTAR PUSTAKA

10
1. Syarif A. , Estuningtyas A, Muchtar A. Farmakologi dan Terapi. edisi 5.
Jakarta: FKUI, 2007.

2. Tomkiewicz RP, App EM, Coffiner M, Fossion J, Maes P, King M. Mucolytic


treatment with N-acetylcysteine L-lysinate metered dose inhaler in dogs:
airway epithelial function changes. Eur Respir J 1994; 7:81–87.

3. Anonymous. Terapi obat: bromhexin (mucosolvan). Cermin Dunia


Kedokteran 1981; 24:35-6.

4. Schroeder K, Fahey T. Systematic review of randomised controlled trials of


over the counter cough medicines for acute cough in adults. British Med
Journ 2002; 324(329): 1-6.

5. Poole PJ, Black PN. Oral mucolytic drugs for exacerbations of chronic
reviewobstructive pulmonary disease: systematic. British Med Journ 2001;
322(1271): 1-6.

6. Anonymous. Bromhexine. Wikipedia 2009. (online).


(http://en.wikipedia.org/wiki/bromhexine, diakses 19 juni 2009).

7. Hardjasaputra SLP, Budipranoto G, Sembiring SU, Kamil I. Data obat di


Indonesia. Ed 10. Jakarta: Grafidian Medipress, 2002.

8. Anonymous. Ambroxol. Dechacare 2009. (online)


(http://www.dechacare.com/index.php, diakses 26 Juni 2009).

9. Su X, Wang L. Song Y, Bai C. Inhibition of inflammatory responses by


ambroxol, a mucolytic agent, in a murine model of acute lung injury induced
by lipopolysaccharide. Intensive Care Medicine Springer-Verlag 2003: 1-15.

10. Poole P, Black PN. Mucolytic agents for chronic bronchitis or chronic
obstructive pulmonary disease. Cochrane Database of Systematic Reviews
2006, Issue 3.

11. Kelly JS. Mucolytics in COPD: the plot thickens? J R Coll Physicians Edinb
2007; 37:91–94.

12. Anonymous. Acetylcysteine. Medline Plus 2009. (online).


(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/uspdi/500403.html, diakses 19
juni 2009).

13. Anonymous. Acetylcysteine. Wikianswer 2009. (online).


(http://www.answers.com/topic/medication, diakses 19 juni 2009).

11
14. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Pharmaceutical care untuk
pasien penyakit infeksi saluran pernafasan. Departemen Kesehatan RI
2005;h.66-7.

15. Schroeder K, Fahey T. Systematic review of randomised controlled trials of


over the counter cough medicines for acute cough in adults. British Med
Journ 2002; 324(329): 1-6.

12

Anda mungkin juga menyukai