Anda di halaman 1dari 7

Kerajaan Mataram

Islam
Disusun Oleh :
Prayoga Hady
Bestari G Pratiwi
Novia Dila Rohimah
Mirah Delima
Joseph Subastian
Gilang A Kananda
Azlimsyah Rambun P
Fadil Adam
Kerajaan Mataram
Ada dua kerajaan Mataram dalam sejarah:
-Kerajaan Mataram (Hindu) yang berbasiskan agama Hindu.
-Kesultanan Mataram yang berbasiskan agama Islam.

 Kerajaan Wedang
Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno
atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang
berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa
Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan
bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu
maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-
11
Kesultanan Mataram
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah
berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan
Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu
cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah
suatu keadipatian di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi
Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah
atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan
Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah
Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi
VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu,
namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa
akhir menjelang keruntuhannya.
Masa Awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal
Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu
wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah
Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah
yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar
Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja)
pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke
Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan
diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar
Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena
beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak.
Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan
Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu
tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang
bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita
penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsang.
Sultan Agung

Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung


Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan
Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk
mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup
Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah,
DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi
kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula
"Mataram Kerta"). Akibat terjadi gesekan dalam
penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC
yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan
Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat
dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan
VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan
oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram

Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu,
ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan
pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya
dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika
mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat
Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan
pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680),
sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I
(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger)
sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan
internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di
Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta
tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama
diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah).
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian
sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
TERIMAKASIH ATAS
PERHATIANYA 

Anda mungkin juga menyukai