Anda di halaman 1dari 5

TUGAS PERPAJAKAN

OLEH : ANTHON

Soal 1 :

Penjelasan :
1. Analisa Resiko
Adalah analisa mengenai kemungkinan penyalahgunaan pajak. Kunci pelaksanaannya
terletak pada ketersediaan data dan kemampuan analisa atas kegiatan ekonomi kena
pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. .
2. Analisa IDLP
Adalah analisa yang dilakukan berdasarkan Informasi Data Laporan Pengaduan.
Informasi ini bisa diperoleh dari masyarakat yang mengadukan sesuatu yang menyangkut
kecurangan pajak.
3. Himbauan/Konseling
Dalam hal seorang wajib pajak terindikasi melakukan kecurangan pajak, maka langkah
pertama yang dilakukan adalah dengan memberikan himbauan/konseling terlebih dahulu
kepada Wajib Pajak tersebut.
4. Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah Serangkaian kegiatan untuk menghimpun lalu kemudian mengolah
Data, Keterangan dan/ atau Bukti, secara objektif dan profesional sesuai standar
pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dengan cara menelusuri kebenaran SPT, pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan
kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan/kegiatan usaha sebenarnya
dari WP.
Tujuan lain dari pemeriksaan adalah dalam rangka melaksanakan Ketentuan peraturan
Perundang-Undangan perpajakan, yaitu :
1. Pemberian NPWP secara jabatan;
2. Penghapusan NPWP;
3. Pengukuhan dan Pencabutan PKP;
4. WP mengajukan keberatan;
5. Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan netto;
6. Pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. Penentuan WP berlokasi di wilayah terpencil;
8. Penentuan 1 atau lebih tempat terutang PPN;
9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan;
10. Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan;
11. Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra P3B

5. Pengamatan
Pengamatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pengamat untuk
mencocokkan data, informasi, laporan, dan atau pengaduan dengan fakta, dan membahas
serta mengembangkan data, informasi, laporan, dan atau pengaduan tersebut untuk
memperoleh petunjuk adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Pengamatan dilaksanakan oleh Pengamat dengan Surat Perintah Pengamatan.
Pengamat adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
ditugaskan untuk melakukan Pengamatan. Laporan Pengamatan disebut laporan hasil
pengamatan.
Laporan Pengamatan dapat digunakan sebagai dasar untuk dilakukannya Pemeriksaan
atau Pemeriksaan Bukti Permulaan.
6. Pemeriksaan Bukti Permulaan
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan atau bukti-bukti lain baik berupa
keterangan, tulisan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan
kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang
dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan Pajak untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan
Pemeriksa Bukti Permulaan adalah pemeriksa pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Pemeriksaan Bukti Permulaan
dilaksanakan oleh pemeriksa pajak dengan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak.
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah laporan hasil pemeriksaan pajak yang
memuat bukti permulaan tentang adanya dugaan kuat terjadinya tindak pidana di bidang
perpajakan.
Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilaporkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data,
informasi, laporan, pengaduan, laporan pengamatan atau laporan pemeriksaan pajak.
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun
untuk satu jenis pajak.
Pemeriksaan Bukti Permulaan harus diselesaikan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan
sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu yang disesuaikan dengan keadaan.
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Pejabat yang berwenang
yang menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
7. Penyidikan
Penyidik Pajak adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak, yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Penyidikan tidak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan Penyidik
Pajak untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,
serta mengetahui besarnya kerugian pada pendapatan negara.
Bahan bukti adalah benda berupa buku, catatan, dokumen, atau benda lainnya yang
menjadi dasar dan atau sarana pembukuan, pencatatan, atau pembuatan dokumen lainnya
yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan usaha atau pekerjaan wajib
pajak atau orang lain untuk diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penggeledahan adalah tindakan Penyidik Pajak untuk melakukan pemeriksaan tempat
atau ruangan tertentu untuk mendapatkan bahan bukti dalam rangka tindakan Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan oleh Penyidik Pajak
berdasarkan Surat Perintah Penyidikan.

8. Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya bahan bukti untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Soal 2 :
Menurut pendapat saya pada prinsipnya penerapan Tax Law Enforcement di Indonesia sudah
cukup baik. Namun, umumnya sebaik apapun sebuah aturan ataupun kebijakan pasti selalu
saja ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung
jawab.
Dalam hal ini yang paling saya sorot adalah penerapan tax law enforcement terhadap petugas
pajak itu sendiri. Kasus Gayus contohnya. Menurut saya, kasus ini sangat memukul Dirjen
Pajak yang sedang gencar berusaha meningkatkan pendapatan pemerintah dari sektor
perpajakan dengan semboyannya yang terkenal, “hari gini ga bayar pajak, apa kata
dunia???”.
Bagi masyarakat, gencarnya iklan ini cukup membangkitkan kesadaran mereka dalam
pembayaran pajak. Namun tiba-tiba kasus Gayus mencuat, masyarakat kembali terbenam
dalam pemikiran bahwa mereka membayar pajak hanya untuk mengenyangkan segelintir
orang terutama petugas pajak. Hal ini benar-benar sangat kita sesalkan. Apalagi setelah kasus
tersebut, muncul pula berita-berita lain mengenai dugaan tindak pidana perpajakan yang juga
ikut melibatkan oknum pajak sendiri. Akhirnya dalam masyarakat timbul pemikiran bahwa
jangan-jangan mungkin masih banyak Gayus-Gayus yang lain di dalam tubuh Dirjen Pajak.
Dengan kata lain, penerapan Tax Law Enforcement di Indonesia alangkah baiknya apabila
dilakukan secara selaras baik didalam maupun diluar tubuh Dirjen Pajak. Satu usul lagi,
alangkah baiknya apabila terjadi kasus-kasus yang menyangkut intern dirjen pajak ditutup
rapat-rapat di dalam. Jangan sampai terekspos media. Memang konsekuensinya adalah kita
terkesan cenderung kurang tidak transparan. Namun menurut saya, kebebasan berinformasi
yang berlebihan juga dapat menyebabkan apa yang telah direncanakan dengan matang demi
kemajuan bersama dapat tersandung hanya oleh sebuah masalah kecil.
Demikian menurut pendapat saya, mohon maaf apabila kurang berkenan.
Soal No.3 :
Pajak Internasional.
Dalam Pajak internasional mengenal azas-azas :
1. Domicily Country / Home Country
Apabila didasarkan pada negara tempat tinggal Wajib Pajak.
2. Source Country / House Country.
Apabila didasarkan pada dimana Wajib Pajak melakukan transaksi dan memperoleh laba.
Penerapan Azas ini memungkinkan WP untuk terkena pajak dua kali (double taxation/pajak
berganda).
Pajak berganda dapat dibedakan menjadi :
1. Pajak berganda internal (internal double taxation)
Adalah pengenaan pajak atas Subjek dan Objek Pajak yang sama dalam suatu negara.
2. Pajak berganda internasional (international double taxation);
Adalah pengenaan pajak dua kali (atau lebih) terhadap Subjek dan Objek Pajak yang
sama oleh dua negara; atau dua negara atau lebih mengenakan pengenaan pajak atas
Objek Pajak yang sama dan Subjek Pajak yang sama.
Menurut Knechtle dalam bukunya berjudul Basic problem in international fiscal law (1979)
memberikan pengertian pajak berganda sebagai berikut :
1. Secara luas (wider sense)
Diartikan sebagai setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu
kali, dapat dalam bentuk berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation)
terhadap suatu fakta fiskal.
2. Secara sempit (narrower sense).
Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap
suatu subjek dan atau objek pajak dalam satu administrasi perpajakan yang sama. Pajak
berganda seperti ini sering disebut sebagai pajak berganda ekonomis (economic double
taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat pula terjadi secara vertikal
(pemerintah pusat dan daerah, atau secara diagonal (pemerintah daerah kota/kabupaten,
propinsi X dan Y).

Dari isi Pasal 32A UU PPh disebutkan bahwa dilakukannya perundingan dengan negara lain
untuk membuat perjanjian perpajakan memiliki dua tujuan utama yaitu
1. Menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of double taxation)
2. Mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal evasion).
Metode pencegahan pajak berganda :
1. Secara unilateral
Adalah metode yang dilakukan oleh suatu negara melalui undang-undang perpajakan
dalam negeri sendiri atau national tax law atau domestic tax law.
2. Secara bilateral
Adalah pencegahan pajak berganda dan penghindaran lolos pajak yang disepakati
bersama antara dua negara melalui suatu pernjanjian khusus yang disebut sebagai
Convention atau Agreement. Pencegahan Pajak Berganda ini biasa disebut perjanjian
perpajakan (tax treaty) ataupun Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Dengan berlakunya tax treaty yang dibuat antar negara, maka dalam suatu negara terdapat
dua sumber hukum perpajakan. Yang pertama adalah ketentuan yang ada dalam tax treaty
dan yang kedua adalah ketentuan yang ada dalam undang-undang perpajakan domestik.

P3B lebih superior daripada undang-undang domestik. Dalam hal terjadi benturan antara P3B
dan undang-undang domestik, maka yang superior adalah ketentuan dalam P3B. Misalnya
dalam Pasal 26 UU PPh disebutkan, bahwa atas pembayaran dividen ke luar negeri terutang
PPh pasal 26 sebesar 20% dari bruto. Sedangkan dalam Pasal 10 P3B tarifnya adalah 10%.
Maka yang berlaku adalah tarif dalam P3B yakni yang 10%.

P3B tidak menciptakan pajak baru. Jika dalam pasal-pasal dalam P3B tercantum jenis pajak
lain selain yang telah mempunyai dasar hukum dalam bentuk undang-undang di Indonesia,
maka pajak tersebut tidak berlaku bagi Indonesia. Jenis pajak itu hanya berlaku bagi negara
mitra penjanji saja.

Soal No.4 :

Manfaat Tax Treaty Bagi Indonesia :


1. WP Indonesia memperoleh kemudahan perpajakan atau fasilitas perpajakan.
Dengan ditandatangani suatu tax treaty antara Indonesia dengan negara lain, maka
kemudahan dan fasilitas perpajakan yang dapat dinikmati oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri antara lain :
- Fasilitas yang berhubungan dengan Subjek Pajak;
- Fasilitas sebagai Bentuk Usaha Tetap;
- Fasilitas Berkenaan dengan Harta Tak Gerak;
- Fasilitas Penghasilan dari Usaha;
- Fasilitas dalam sektor Perkapalan dan Penerbangan;
- Fasilitas Penurunan Tarif;
- Fasilitas berkenaan Penghasilan Pengalihan Harta;
- Fasilitas berkenaan Penghasilan dari Pekerjaan Bebas
- Fasilitas di negara domisili untuk meniadakan pajak ganda.
2. Mendorong arus modal, teknologi, dan keahlian datang ke Indonesia.
3. Memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak
4. Memperlancar transaksi ekonomi antar Indonesia dengan negara yang menandatangani
tax treaty
5. Meningkatkan kerjasama antar negara, termasuk pertukaran informasi mengenai
perpajakan.
Pertukaran informasi ini penting sekali untuk mencegah terjadinya penghindaran dan
pengelakan pajak dalam suatu transaksi internasional, suatu perjanjian perpajakan
biasanya memuat ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain
dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak
seperti kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak
semestinya), kasus transfer pricing ataupun kasus tinda pidana perpajakan.
Dalam P3B OECD Model, ketentuan tentang pertukaran informasi dimuat dalam Pasal
26. Sementara itu aturan internal di Indonesia untuk melakukan proses pertukaran
informasi diatur dalam SE-61/PJ/2009.

Anda mungkin juga menyukai