Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“PENENTUAN BERAT MOLEKUL POLIEUGENOL DAN


POLIEUGENOL ASETIL TIOPEN METANOLAT (PEATM)”
Disusun untuk memenuhi tugas Kimia Polimer

Disusun oleh:
Mustaqim J2C006037
Alfi Nurlaela J2C606002
Arthias Cita F J2C007010
Ayu Sri Rahayu J2C007011
Nurlita Khasanah J2C607011
Zahroul J2C607013

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Polimer adalah salah satu bahan rekayasa bukan logam (non-metallic


material) yang penting. Saat ini bahan polimer telah banyak digunakan sebagai
bahan substitusi untuk logam terutama karena sifat-sifatnya yang ringan, tahan
korosi dan kimia, dan murah, khususnya untuk aplikasi-aplikasi pada temperature
rendah. Hal lain yang banyak menjadi pertimbangan adalah daya hantar listrik dan
panas yang rendah, kemampuan untuk meredam kebisingan, warna dan tingkat
transparansi yang bervariasi, kesesuaian desain dan manufaktur.

Pemanfaatan bahan polimer yang makin meluas dalam berbagai bidang,


disebabkan oleh bahan polimer yang mempunyai berbagai keunggulan dibanding
bahan lainnya. Salah satu faktor dari keunggulan tersebut adalah berat molekul
polimer yang sangat besar. Sifat-sifat dari bahan polimer banyak sekali yang
ditentukan oleh berat molekulnya (BM), seperti kelarutan, kekentalan, kemudahan
untuk dicetak dan lain sebagainya.

Dalam hal produk bahan polimer, kestabilan mutu produk sangat


diperlukan untuk industri hilirnya, karena mutu bahan polimer yang tidak stabil
dapat mengakibatkan banyak kegagalan produksi yang berarti . Produk berupa
komponen atau barangpun harus diuji ketahanan secara fisik, kimia maupun
ketahanan terhadap cuaca, sehingga produk perlu di karakterisasi. Karekterisasi
dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat fisik dan kimia dari bahan, baik secara
mikro (molekular) misalnya sifat termal, struktur kristal, distribusi berat molekul
dan sebagainya.

Banyak sekali bahan polimer yang tergantung pada massa molekulnya.


Misalnya kelarutan, ketercetakan, larutan serta lelehan. Karena itu perlu diketahui
cara menentukan bobot molekul polimer. Berat molekul merupakan variabel yang
teristimewa penting sebab berhubungan langsung dengan sifat kimia polimer.
Umumnya polimer dengan berat molekul tinggi mempunyai sifat yang lebih kuat.
Polimer – polimer diangggap memiliki berat molekul yang berkisar antara ribuan
hingga jutaan dengan berat molekul optimum yang bergantung pada struktur
kimia dan penerapannya.

Dalam makalah ini akan di bahas penentuan berat molekul polimer pada
polieugenol dan Polieugenol Asetil Tiopen Metanolat (PEATM). Polieugenol dan
PEATM merupakan jenis polimer yang bermanfaat sebagai carrier dalam
recovery ion logam berat Cr3+, Cd2+, dan Cu2+. Pengukuran berat molekul ini
dilakukan untuk mengetahui polieugenol dan PEATM hasil sintesis telah menjadi
polimer. Suatu senyawa dapat disebut polimer jika mempunyai derajat
pengulangan (n) minimal adalah 60. Penentuan berat molekul relatif polimer
ditentukan dengan metode viscometer Ubbelohde.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Berat Molekul Polimer

Berat molekul merupakan variabel yang teristimewa penting sebab


berhubungan langsung dengan sifat kimia polimer. Umumnya polimer dengan
berat molekul tinggi mempunyai sifat yang lebih kuat. Polimer – polimer
diangggap memiliki berat molekul yang berkisar antara ribuan hingga jutaan
dengan berat molekul optimum yang bergantung pada struktur kimia dan
penerapannya. Nilai berat molekul yang diperoleh bergantung pada besarnya
ukuran dalam metode pengukurannya. Sampel suatu polimer sesungguhnya terdiri
atas sebaran ukuran molekul dan sebaran massa molekul. Oleh karena itu setiap
penentuan massa molekul akan menghasilkan harga rata – rata.

Berat molekul dari polimer pada dasarnya adalah penjumlahan dari berat
molekul-molekul monomermer-nya. Jadi semakin tinggi berat molekul dari suatu
polimer tertentu, semakin besar panjang rata-rata dari rantai polimernya.
Mengingat polimerasasi adalah peristiwa yang terjadi secara acak, maka berat
molekul biasanya ditentukan secara statistik dalam bentuk rata-rata berat molekul
atau distribusi berat molekulnya.

2.2 Manfaat Penentuan Berat Molekul Polimer

Berat molekular polimer merupakan salah satu sifat yang khas bagi
polimer yang penting untuk ditentukan. Nilai berat molekul yang diperoleh
bergantung pada besarnya ukuran dalam metode pengukurannya. Sampel suatu
polimer sesungguhnya terdiri atas sebaran ukuran molekul dan sebaran massa
molekul. Oleh karena itu setiap penentuan massa molekul akan menghasilkan
harga rata – rata. Berat molekular (BM) polimer merupakan harga rata-rata dan
jenisnya beragam yang akan dijelaskan kemudian. Dengan mengetahui BM kita
dapat memetik beberapa manfaat.
Manfaat penentuan berat molekul polimer adalah sebagai berikut:
 Menentukan aplikasi polimer tersebut
 Sebagai indikator dalam sintesa dan proses pembuatan produk polimer
 Studi kinetika reaksi polimerisasi
 Studi ketahanan produk polimer dan efek cuaca terhadap kualitas produk

2.3 Sifat dan Konsep Berat Molekular polimer

Hal yang membedakan polimer dengan spesies berat molekul rendah


adalah adanya distribusi panjang rantai dan untuk itu derajat polimerisasi dan
berat molekular dalam semua polimer yang diketahui juga terdistribusi (kecuali
beberapa makromolekul biologis). Panjang rantai polimer ditentukan oleh
jumlah unit ulangan dalam rantai, yang disebut derajat polimerisasi (DPn). Berat
molekular polimer adalah hasil kali berat molekul unit ulangan dan DPn.

M̄ n = DPn . M 0

Mn = berat molekul rata-rata polimer


M0 = berat molekul unit ulangan ( sama dengan berat molekul monomer)
DP = derajat polimerisasi
Karena adanya distribusi dalam sampel polimer, pengukuran
eksperimental berat molekular dapat memberikan hanya harga rata-rata. Beberapa
rata-rata yang berlainan adalah penting. Untuk contoh, beberapa metoda
pengukuran berat molekular perlu perhitungan jumlah molekul dalam massa
material yang diketahui. Melalui pengetahuan bilangan Avogadro, informasi ini

membimbing ke berat molekul rata-rata jumlah


Mn sampel. Untuk polimer
sejenis, rata-rata jumlah terletak dekat puncak kurva distribusi berat atau berat
molekul paling boleh jadi (the most probable molecular weight). Jika sampel

mengandung Ni molekul jenis ke i, untuk jumlah total molekul ∑i = 1 N i dan


setiap jenis molekul ke i memiliki massa mi, maka massa total semua molekul

adalah ∑i = 1 N i mi . Massa molekular rata-rata jumlah adalah:


∑i = 1 mi N i
m̄i = ∞
∑i = 1 N i
dan perkalian dengan bilangan bilangan Avogadro memberikan berat molekul
rata-rata jumlah (berat mol) :


∑i = 1 M i N i
M̄ n = ∞
∑i = 1 N i

Berat molekul rata – rata jumlah (


Mn ), diperoleh dari perhitungan
bilangan atau jumlah molekul dari setiap berat dalam sampel bersangkutan. Berat
total suatu sampel polimer adalah jumlah berat dari setiap spesies molekul yang
ada. Dalam pengukuran berat molekul rata – rata jumlah semua molekul yang
terdispersi dianggap memiliki berat yang sama pada suatu rantai polimer, namun
antara rantai polimer yang satu dengan rantai polimer yang lain memiliki jumlah
molekul yang berbeda sesuai dengan derajat polimerisasi dari suatu proses

polimer. Jadi berat molekul rata-rata jumlah (


Mn ) adalah berat sampel per mol.

Berat molekul rata – rata berat (


M̄ w ) dihitung berdasarkan pada massa
dan polarisibilitas spesies polimer yang ada. Polimer dengan masa yang lebih
besar maka kontribusinya ke pengukuran menjadi lebih besar. Berbeda dengan
berat molekul rata – rata jumlah (yang merupakan jumlah fraksi mol masing –
masing spesies dikalikan dengan molekulnya). Metode ini menjumlahkan fraksi
berat masing – masing spesies dikalikan jumlah molekulnya. Nilai ini dikenal

dengan berat molekul rata-rata berat (


M̄ w ).
Berat molekular rata-rata jumlah dari polimer komersial biasanya terletak

dalam kisaran 10000 – 100000. Setelah berat molekular rata-rata jumlah


M̄ n ,

berat molekular rata-rata berat


M̄ w . Besaran ini didefinisikan sebagai berikut:


∑i = 1 N i M 2i
M̄ w = ∞
∑i = 1 N i M i

Seharusnya dicatat bahwa setiap molekul menyumbang kepada


M̄ w
yang sebanding dengan kuadrat massanya. Besaran yang sebanding dengan
pangkat pertama dari M mengukur hanya konsentrasi dan bukan berat
molekularnya. Dalam istilah konsentrasi ci = Ni Mi dan fraksi berat wi = ci/c,

c = ∑i = 1 ci
dimana ,


∑i = 1 c i Mi ∞
M̄ w = = ∑ wi M i
c i=1

Nilai
M̄ w lebih besar dari pada
M̄ n . Hal ini terjadi karena dalam
pengukuran sifat koligatif, setiap molekul mempunyai kontribusi yang sama
berapapun beratnya sedangkan dengan metode hamburan cahaya, molekul besar
mempunyai kontribusi yangbesar pula karena menghamburkan cahaya lebih
efektif. Jika molekul – molekul polimer terdispersi dalam ruang luas, maka
masing – masing molekul dalam satu rantai polimer memiliki bobot yang berbeda

semakin banyak, namun jumlahnya sama sehingga menyebabkan


M̄ w dalam

suatu sampel lebih besar dari


M̄ n . Atau dengan kata lain sistem yang memiliki

suatu daerah berat molekul dikatakan sebagai polidispersi (


M̄ w > M̄ n ). Jika
berat masing – masing berat molekul yang terdispersi dalam suatu sistem adalah

sama, maka
M̄ w = M̄ n , disebut sistim monodispersi.

Karena molekul yang lebih berat menyumbang lebih besar kepada


M̄ w

daripada yang ringan,


M̄ w selalu lebih besar daripada
M̄ n , kecuali untuk

polimer monodispers hipotetik. Harga


M̄ w terpengaruh sekali oleh adanya

spesies berat molekul tinggi, sedangkan


M̄ n dipengaruhi oleh spesies pada
ujung rendah dari kurva distribusi BM .

M̄ w
I=
Besaran indeks dispersitas, M̄ n adalah ukuran yang bermanfaat dari
lebarnya kurva distribusi berat molekular dan merupakan parameter yang sering
digunakan untuk menggambarkan situasi (lebar kurva distribusi) ini. Kisaran

M̄ w
I=
harga M̄ n dalam polimer sintetik sungguh besar, sebagaimana
diilustrasikan dalam tabel 1.5.

Tabel 1.5 Kisaran indeks polidispersitas (I) berbagai macam polimer

Polimer Kisaran I
Polimer monodispers hipotetik 1,00
Polimer “living” monodispers nyata 1,01 – 1,05
Polimer adisi, terminasi secara coupling 1,5
Polimer adisi, terminasi secara disproporsionasi, atau polimer 2,0
kondensasi
Polimer vinil konversi tinggi 2–5
Polimer yang dibuat dengan autoakselerasi 5 – 10
Polimer adisi yang dibuat melalui polimerisasi koordinasi 8 – 30
Polimer bercabang 20 - 50
Pada umumnya berlaku hal berikut :


M̄ n ¿ ¿

 Bila distribusinya sempit maka


M̄ n ≃ M̄ w

 Bila distribusinya lebar maka


M̄ n ¿ ¿
 Indeks dispersitas (I)

M̄ w
I=
M̄ n

2.4 Penentuan Berat Molekul Polimer

Prinsip dasar penentuan bobot molekul polimer adalah dengan


menghitung jumlah rantai per satuan berat, dengan cara analisis kimia langsung
(analisis gugus ujung), pengukuran sifat koligatif larutan polimer yang berbanding
langsung dengan jumlah polimer dalam larutan. Di samping itu, dapat ditentukan
pula dengan cara pengamatan sifat fisik larutan yaitu menggunakan metode
hamburan cahaya, ultrasentrifugasi, viskositas dan teknik kromatografi permeasi
gel (GPC). Berikut ini akan disajikan secara mendalam mengenai keenam metode
tersebut.

2.4.1 Metode Analisis Gugus Ujung

Analisis gugus ujung merupakan teknik analisis polimer untuk


mengetahui massa molekul satu sampel atau sistem dengan menghitung
jumlah rantainya. Dalam proses polarisasi pada suatu monomer awal dan
akhir rantai, akan terdapat gugus fungsi yang tidak berkaitan dengan satuan
monomer lain. Jika suatu polimer diketahui mengandung jumlah tertentu
gugus ujung per molekulnya, maka jumlah gugus itu dapat ditentukan dalam
jumlah massa polimer dengan metode analisis gugus ujung. Dengan demikian
jika massa 1 mol polimer dapat ditentukan, maka molekul atau bobot molekul
polimer juga dapat ditentukan. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam
penerapan analisis gugus ujung:
• Gugus ujung harus dapat dianalisis secara kuantitatif.
• Jumlah gugus ujung yang dapat dianalisis harus diketahui dengan
pasti.
• Gugus fungsi lain yang mengganggu analisis harus ditiadakan.
• Konsentrasi gugus ujung harus cukup besar.
• Metode ini tidak dapat diterapkan pada polimer bercabang.
• Dalam 1 polimer linier terdapat gugus ujung sebanyak dua kali
molekul linier.

Metode analisis gugus ujung dapat dilakukan melalui beberapa cara


yakni titrasi, penerapan spektroskopi UV, IR dan NMR, pengukuran aktivitas
gugus ujung yang radioaktif serta analisis gugus ujung yang mengandung
unsur tertentu. Contoh analisis gugus ujung, dengan cara titrasi. Prosedur
kerjanya adalah sebagai berikut:
• Sampel Poliester (gugus karboksil dan hidroksil), masing – masing
ditimbang dan dilarutkan dalam pelarut yang cocok (aseton untuk
karboksil dan dititrasi dengan basa NaOH dengan indicator
penolftalein (titik akhir titrasi).
• Untuk hidroksil sampel diasetilasi dengan anhidrat asetat berlebih
untuk membebaskan asam asetat, bersama dengan gugus ujung
distribusi dengan cara yang sama.
• Dari kedua titrasi tersebut diperoleh milligram ekivalen karboksil
dan hidroksil dalam sampel tersebut.
• Jumlah mol polimer per gram dapat dihitung dengan persamaan-
1.3:
Gugus ujung lain yang dapat dititrasi adalah gugus amino dalam
polisakarida, gugus asetil dalam poliamida bergugus asetil, isosianat dalam
polistirena dan epoksida dalam polimer epoksi.

Kelemahan dari metode ini adalah sebagai berikut:


• Harus mengandaikan struktur molekul.
• Tidak dapat dipakai untuk polimer bercabang.
• Hanya dapat dipakai untuk polimer dengan daerah berat molekul <
10.000.

Keunggulan dari metode ini adalah:


• Bisa dipakai untuk polimer kondensasi. Dipakai untuk menentukan
bobot molekul yang mempunyai gugus fungsi.
• Bisa dipakai untuk menentukan polimer poliamida, insiator,
polyester dan radikal bebas.

2.4.2 Pengukuran Sifat Koligatif Larutan (Osmometri)

Osmometri adalah metode penentuan bobot yang didasarkan pada


peristiwa Osmosis. Diantara berbagai metode penetapan berat molekul rata –
rata jumlah yang didasarkan pada sifat – sifat koligatif, osmometri membran
merupakan metode yang paling bermanfaat dalam menentukan jumlah
partikel terlarut yang ada dengan menghasilkan harga rata-rata massa
molekul relatif. Osmosis dapat dikatakan sebagai pelewatan pelarut melalui
selaput ardatiris atau semipermiabel dan pelarut murni ke dalam larutan atau
larutan encer ke larutan yang lebih pekat.Selaput ini biasanya terdiri atas
selofan atau pun bahan berselulosamlainnya. Selaput ini hanya melewatkan
pelarut saja sedangkan zat terlarut tidak dapat dilewatkan.

Gambar-1. Osmometri

Mula-mula tinggi larutan pelarut sama, setelah dibiarkan beberapa saat


osmosis terjadi ketika pelarut pindah ke larutan melalui membrane
semipermiabel, sehingga tinggi larutan naik, tetapi pada suatu saat kenaikan
berhenti karena sistem mengalami keseimbangan. Pada keadaan ini selisih
ketinggian pelarut dan larutan ialah massa molekul relatif polimer dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan:

Dimana  = Tekanan osmosis


c’ = Konsentrasi larutan
R = Tetapan riedberg
T = Suhu
B = Koofesien visial
(M) = Massa molekul relative polimer
2.4.3 Hamburan Sinar/Cahaya

Hamburan cahaya (light scatering) adalah metode analisis polimer


untuk menentukan berat molekul satu contoh dengan melihat jumlah cahaya
yang dihamburkan oleh partikel – partikel dalam larutan. Hamburan cahaya
dapat dipakai untuk mendapatkan berat molekul mutlak. Prinsip kerjanya
didasarkan pada fakta bahwa cahaya, ketika melewati suatu pelarut atau
larutan melepaskan energi yang diakibatkan oleh absorbsi, konversi ke panas
dan hamburan. Jika seberkas sinar ditembuskan kedalam cairan yang tak
menyerap sinar, maka sebagian sinar dihamburkan. Jika cairan pelarut dibuat
tak homogen oleh penambahan molekul nisbi maka hamburan tambahan akan
terjadi. Peningkatan hamburan dapat dihubungkan dengan konsentrasi larutan
dan massa molekul nisbi zat terlarut, dibuat dalam persamaan Debye:
Gambar-2. Alat Penghambur Cahaya

Sinar lampu uap raksa A ditembuskan melalui filter pemonokromatis


B, lalu memasuki sel kaca C yang berisi larutan polimer. Sinar yang
dilewatkan diserap dalam penangkap sinar D, intensitas sinar hamburan
diukur dengan membiarkan jatuh pada photo – multiplier E yang dipasang
pada lengan yang dapat bergerak sehingga sinar hamburan dapat dibuat pada
berbagai berkas dating. Multiplier lalu diukur dengan galvanometer.
Hamburan sinar dapat dipakai untuk menentukan massa molekul polimer >
1.000.000. Kelemahan dari metode ini adalah mahalnya alat dan kerumitan
metode secara keseluruhan.

2.4.4 Ultrasentrifugasi dan Pengendapan

Ultrasentrifugasi merupakan metode penentuan bobot molekul dengan


cara melibatkan pemutaran larutan polimer pada kecepatan tertentu. Metode
ini lebih banyak dipakai untuk menentukan berat molekul polimer alam
seperti protein. Tekniknya didasarkan pada prinsip bahwa molekul – molekul
di bawah pengaruh medan sentrifugal yang kuat, mendistribusi diri menurut
besarnya secara tegak lurus terhadap sumbu putar, suatu proses yang disebut
sedimentasi dan lajunya proposional dengan massa molekul. Sentrifugasi
dilakukan dalam suatu lubang terbuka dalam satu rangkaian sel dalam rotor,
kedudukannya diberi jendela – jendela sedemikian dan bisa dipakai untuk
mengamati perubahan konsentrasi dalam larutan polimer. Komponen –
komponen dasar ultrasentrifugal sebagai berikut:
Gambar-3. Komponen Alat untuk Sentrifugasi

Berat molekul rata-rata berat dihitung melalui persamaan:

2.4.5 Viskositas

Viskositas merupakan ukuran yang menyatakan kekentalan suatu


larutan polimer. Perbandingan antara viskositas larutan polimer terhadap
viskositas pelarut murni dapat dipakai untuk menentukan massa molekul nisbi
polimer. Keunggulan dari metode ini adalah lebih cepat, lebih mudah, alatnya
murah serta perhitungannya lebih sederhana. Alat yang digunakan adalah
Viskometer Ostwald.

Prinsip kerjanya sebagai berikut: Yang diukur adalah waktu yang


diperlukan pelarut atau larutan polimer untuk mengalir diantara 2 tanda x dan
y. Volume cair harus tetap karena ketika cairan mengalir kebawah melalui
pipa kapiler A, cairan harus mendorong cairan naik ke B. Akibatnya volume
cairan berbeda masuk percobaan, maka cairan yang didorong menaiki tabung
B akan berubah pula.

Dasar teori Viskositas yang digunakan untuk massa molekul polimer


ialah jika viskositas larutan polimer adalan η dan viskositas pelarut murni
ialah ηo maka viskositas jenis ηSP. Larutan polimer diabaikan oleh persamaan:

η−ηo
ηSP =
ηo

Persamaan ini menggambarkan peningkatan viskositas yang


disebabkan oleh polimer. C adalah konsentrasi larutan polimer. Harga η SP
disebut viskositas tereduksi dan diberi lambing [η ] untuk pelarutan terbatas.

η SP
Secara matematis ditulis: lim ¿ =¿ ¿[η]
c−o C

Karena massa jenis berbagai larutan yang dipakai hampir sama dengan massa
jenis pelarut maka dapat diandaikan viskositas tiap larutan hasil pengenceran
berbanding lurus dengan waktu alirnya dan pesamaannya adalah:

t 2−t 1
ηSP =
t1

t2 = waktu alir untuk larutan

t1 = waktu alir untuk pelarut


Jika dihitung harga η SP dan η SP/c kemudian diekstrapolasi ke konsentrasi
awal (Co) akan menghasilkan harga [η ]. Dengan demikian dapat dihitung
massa molekul polimer dengan persamaan :

[η ] = KMa

M = Massa molekul relatif polimer


K dan a untuk beberapa pelarut dan polimer tertentu disajikan pada Tabel-1.1
di bawah ini:

2.4.6 Kromatografi Permeasi Gel (GPC)

Teknik kromatografi permeasi gel (GPC) berkembang sebagai cara


penentuan bobot molekul polimer yang digunakan sejak tahun 1960-an. Cara
ini didasarkan pada teknik fraksinasi yang tergantung dari ukuran molekul
polimer yang diinjeksikan ke dalam suatu kolom yang terdiri atas gel berpori
berjari – jari sekitar 50 – 106 0A. Kolom dapat melewatkan molekul pelarut
yang merupakan fasa bergerak, sedangkan molekul polimer yang lebih kecil
dapat memasuki pori – pori gel, karena itu bergerak lebih lambat disepanjang
kolom dibanding molekul besar. Elemen yang keluar dideteksi dengan cara
spektroskopi atau cara – cara fisik lainnya dan dikalibrasi dengan larutan
polimer standar untuk menghasilkan kurva distribusi bobot molekul.
Komponen dari gel sebagai berikut:
Gambar-4. Skema Kerja GPC

Komponen utama:
A. Pompa Pelarut
B. Katub berisi
C. Kolom berisi gel berpori/permeasi
D. Detektor UV atau RI

Cara kerjanya adalah Pompa pelarut harus berkemampuan tinggi untuk


mengalirkan pelarut ke sepanjang sistem dengan lajur alir yang sinambung dan
bertekanan tinggi. Larutan polimer sampel diinjeksikan dengan konsentrasi
tertentu. Kemudian diletakkan sepanjang eluat oleh detektor yang peka. Setelah
dihasilkan data pada pencatat bobot molekul secara langsung.

2.5 Sintesis Polieugenol

Bahan awal yang digunakan untuk sintesis polieugenol adalah eugenol.


Eugenol mempunyai 3 gugus fungsional yaitu alil, hidroksi, dan metoksi. Melalui
gugus alil, eugenol dipolimesisasi menjadi polieugenol. Polimerisasi eugenol ini
dilakukan dengan menggunakan katalis BF3-dietileter. Reaksi polimerisasi
dihentikan dengan menambahkan metanol. Mekanisme pembentukkan poliegenol
dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Proses polimerisasi polieugenol merupakan proses polimerisasi adisi


kationik, karena gugus alil dari eugenol mengalami reaksi adisi.

Pada tahap inisiasi, terjadi genol mengalami pemutusan ikatan rangkap


karena proton (H+) dialihkan dari reaksi adisi karena adanya katalis asam lewis
BF3-dietil eter. Gugus alil pada eu katalis asam lewis BF3-dietil eter ke monomer
eugenol, sehingga terbentuk karbokation. Pada tahap propagasi, terjadi
pembentukan rantai dari monomer eugenol. Proses ini berkelanjutan sampai
terbentuk rantai polimer yang panjang. Tahap terminasi merupakan tahap
berakhirnya proses polimerisasi yaitu dengan menambahkan metanol untuk
menghentikan pertumbuhan rantai. Dengan penambahan metanol maka
diharapkan ujung akhir dari polimer tersebut adalah gugus metoksi.

2.6 Sintesis Senyawa Polieugenoksi Asetil Tiopen Metanolat (PEATM)

Senyawa Polieugenoksi Asetil Tiopen Metanolat (PEATM) disintesis dari


asam polieugenoksi asetat. Asam polieugenoksi asetat merupakan asam
karboksilat yang dapat bereaksi dengan alkohol membentuk ester. Namun karena
reaksi esterifikasi bersifat reversibel (Fessenden dan Fessenden, 1984) maka
rendemen yang dihasilkan kurang memuaskan. Oleh karena itulah dalam
penelitian ini tidak dilakukan sintesis ester secara langsung, melainkan
pengubahan asam polieugenoksi asetat menjadi klorida asam terlebih dahulu
menggunakan tionil klorida, kemudian klorida asam yang terbentuk baru
direaksikan dengan alkohol. Metode ini dapat menghasilkan ester dengan
rendemen yang lebih baik. Mekanisme esterifikasi secara teoritis ditunjukkan
pada gambar di bawah ini

Asam polieugenoksi asetat


BAB III
METODE PENELITIAN

Sebanyak 1 gram polieugenol dan polieugenoksi asetil tiopen metanolat


(PEATM) dilarutkan dalam metanol hingga konsentrasi 0,04 gmL-1, dan dibuat
variasi konsentrasi larutan melalui pengenceran dengan metanol: 0,02 gmL-1; dan
0,01 gmL-1. Kemudian dilakukan pengukuran waktu alir pelarut murni (to), yaitu
metanol dan masing-masing konsentrasi larutan polimer menggunakan
viskosimeter Ubbelohde, sehingga diperoleh t0, t1, t2, dan t3. Melalui
perhitungan, diperoleh viskositas relatif (ηrel) dan viskositas spesifik (ηsp).
Kemudian dibuat kurva viskositas tereduksi (ηsp/C) lawan konsentrasi (C).
Selanjutnya grafik tersebut diektrapolasi ke konsentrasi nol, sehingga akan
diperoleh viskositas intrinsik [ηsp]. Dengan persamaan Mark-Houwink-Sakurada
[η] = KMva

Keterangan:
K = Tetapan 11.10-3
a = Tetapan 0,725
M = Massa Molekul Relatif
to = waktu alir pelarut (detik)
C = konsentrasi polimer (gram/ml)
t = waktu alir polimer (detik)
η = viskositas larutan
η0 = viskositas pelarut
ηsp = viskositas spesifik
BA IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Polieugenol dan Polieugenoksi Asetil Tiopen Metanolat (PEATM) yang


diperoleh ditentukan massa molekul relatifnya berdasarkan pengukuran waktu alir
masing-masing larutan yang dibuat. Pengukuran berat molekul ini dilakukan
untuk mengetahui polieugenol dan PEATM hasil sintesis telah menjadi polimer.
Suatu senyawa dapat disebut polimer jika mempunyai derajat pengulangan (n)
minimal adalah 60. Penentuan nilai viskosiitas intrinsik [η] berdasarkan
persamaan
ηsp/C = [η] + k[η]2C

Selanjutnya dengan cara membuat grafik, maka akan diketahui nilai viskositas
intrinsik [η] polimer yang terbentuk.

Setelah diketahui nilai viskositas intrinsiknya, massa molekul relative


dihitung dengan persamaan Mark-Houwink-Sakurada yaitu

[η] = kMva
Nilai k dan a merupakan ketetapan dengan k = 11. 10-3 dan a = 0,725

Pada penentuan berat molekul polimer ini dilakukan dengan cara


menentukan waktu alir polimer dalam metanol dengan variasi konsentrasi yaitu
0,01 mg/L, 0,02 mg/L, 0,04 mg/L dan didapatkan data sebagai berikut:

Perhitungan berat molekul polieugenol adalah sebagai berikut :


Dengan waktu alir metanol adalah sebagai berikut:

Dari data di atas dapat dibuat grafik sebagai berikut:

Kemudian dibuat grafik antara konsentrasi dengan ηsp/C

Grafik Penentuan Berat Molekul Polieugenol


Dari grafik di atas diperoleh intersep 8,6102 yang merupakan nilai
viskositas intrinsik [η] sehingga massa molekul relatif dapat ditentukan. Dari
perhitungan diperoleh massa molekul relatif polieugenol adalah 9799 gmol-1
dengan derajat pengulangan n = 60. Ini menunjukkan bahwa polieugenol hasil
sintesis merupakan polimer.

Sedangkan perhitungan berat molekul PEATM adalah sebagai berikut :

Sedangkan waktu alir metanol adalah sebagai berikut:


Dari data di atas dapat dibuat grafik sebagai berikut:

Kemudian dibuat grafik antara konsentrasi dengan ηsp/C

Grafik Penentuan Berat Molekul Poli Eugenoksi Asetil Tiopen Metanolat


(PEATM)

Dari grafik di atas diperoleh intersep 6,7605 yang merupakan nilai


iskositas intrinsik [η] sehingga massa molekul relatif dapat ditentukan. Dari
perhitungan diperoleh massa molekul relatif adalah 7019,8 gmol-1 dengan derajat
pengulangan n = 22. Berkurangnya derajat pengulangan (n) ini disebabkan karena
pemutusan rantai polimer akibat dari pembentukan rantai polimer yang tidak
stabil
BAB V

KESIMPULAN

1. Berat molekul merupakan variabel yang teristimewa penting sebab


berhubungan langsung dengan sifat kimia polimer.
2. Penentuan berat molekul polimer berguna untuk menentukan aplikasi
polimer tersebut, sebagai indikator dalam sintesa dan proses pembuatan
produk polimer, studi kinetika reaksi polimerisasi, dan studi ketahanan
produk polimer dan efek cuaca terhadap kualitas produk
3. Berat molekul polimer dapat ditentukan menggunakan metode hamburan
cahaya, ultrasentrifugasi, viskositas dan teknik kromatografi permeasi gel
(GPC).
4. Pada penentuan berat molekul polimer polieugenol dan PEATM dengan
menggunakan metode viskositas diperoleh berat molekul plieugenol
adalah 9799 g/mol sedangkan berat molekul PEATM adalah 7019,8 g/mol.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 7 Juli 2008, http:// www.chemblink.com/productSupplier/2-


thiophenemethanol.

Membrane: An Overview, Journal American Chemical Society, Washington, page


1-6.

Brandrup, J., and Immergut, 1975, Polymer Handbook, Second Edition, John
Willey & Sons, New York.

Cahyono, H., 2007, Polieugenol Bergugus Aktif N Sebagai Carrier Selektif dan
Efektif Bagi Recovery Logam Berat Dengan Teknik Membran Cair, Skrips
Jurusan Kimia FMIPA UNDIP, Hal 39-43.

Cotton, and Wilkinson, 1989, Basic Inorganic Chemistry, John Willey & Sons,
Texas and University College Station, Texas, USA.

Djunaidi, M. C., dkk., 2007, Sintesis Polieugenol Sebagai Ekstraktan Selektif


Logam Krom (III), Jurnal Alchemy Jurusan Kimia FMIPA UNS, Vol 6
No,1.

Fessenden, R. H., dan Fessenden J. S., 1997, Kimia Organik Jilid 2; a.b.:

Handayani, Wuryanti., 2001, Sintesis Polieugenol dengan Katalis Asam Sulfat,


Jurnal Ilmu Kimia Dasar, FMIPA Universitas Jember, Volume 2, Nomor 2
hal. 103-110.

Rosenthal, L. C., 1990, A Polymer Viscosity Experiment with No Right Answer,


J.Chem. Educ, page 67, 70-80.

Sastrohamidjojo, H., 1988, Spektroskopi, Edisi 1, Cetakan 1, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, Hal. 71-100.

Underwood, A.L. dan R. A. Day, Jr., 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, a.b.:

Pudjaatmaka, A.H., Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta, Hal. 421-428.

Vogel., 1990, Buku Teks Analisis Anorganik Makro dan Semimikro Jilid I, a.b.:

Pudjaatmaka, A.H., Edisi Kelima, PT. Kalman Media Pusaka, Jakarta, Hal. 229-
235 dan 270.

Anda mungkin juga menyukai