Anda di halaman 1dari 10

Daftar isi

 1 Masa Jabatan Suharto


o 1.1 Politik
o 1.2 Eksploitasi sumber daya
o 1.3 Warga Tionghoa
o 1.4 Perpecahan bangsa
 2 Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
 3 Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
 4 Krisis finansial Asia
 5 Pasca-Orde Baru
 6 Lihat pula
 7 Referensi
Sejarah Indonesia (1968-1998)
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir
dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara
ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

1. Masa Jabatan Suharto


Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden,
dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988,
1993, dan 1998.

Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir
masa jabatannya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia
"bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966,
tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang
yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar
Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau
Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan


administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan
nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif.
Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat
dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan
konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan
pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga
pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Eksploitasi sumber daya


Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata
di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-
an dan 1980-an.

Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski
kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat
yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke
Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan
menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di
sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari
media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa".
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah
yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan,
Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari
program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan
terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan
bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di
berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua
yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

2. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru


 perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996
telah mencapai lebih dari AS$1.000
 sukses transmigrasi
 sukses KB
 sukses memerangi buta huruf
 sukses swasembada pangan
 pengangguran minimum
 sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
 sukses Gerakan Wajib Belajar
 sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
 sukses keamanan dalam negeri
 Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
 sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

3. Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde


Baru
 semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
 pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara
pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat
 munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua
 kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
 bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
 kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
 kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
 penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus)
 tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)

4. Krisis finansial Asia


Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas
lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat
tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang
meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya
untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk
menjadi presiden ketiga Indonesia.

5. Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".

Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum
berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca
Orde Baru".

---------------------------------------------------------------------------------

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir
dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara
ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Politik

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir
masa jabatannya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik — di Eropa Timur sering disebut lustrasi — dilakukan terhadap orang-orang
yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar
Mahkamah Militer Luar biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau
Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan


administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol ).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan
nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif.
Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat
dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan
konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan
pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga
pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Perpecahan bangsa

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari
media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa".
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah
yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan,
Sulawesi, Timor Timur dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari
program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan
terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan
bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di
berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura - Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang
dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

 perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS $ 70 dan pada
1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
 sukses Transmigrasi, yang disertai segala dampak negatifnya
 sukses KB
 sukses memerangi buta huruf

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

 semaraknya korupsi, kolusi dan nepotisme


 pembangunan Indonesia yang tidak merata
 bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya
dan si miskin)
 kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
 kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel

Krisis finansial Asia

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau
terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang
semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para
demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di
tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,
tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang
Wakil Presiden, B.J Habibie untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan " Era Reformasi ".

Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum
berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca
Orde Baru".
--------------------------------------------------------------------------------------------

PNdApAt aNoNiM :

Dan kesimpulan dari data yg ada, tidak ada satupun prestasi yg membanggakan dari Mantan Presiden
Soeharto, karena Keseluruhan apa yg disebut prestasi diatas berasal dari hutang dan impor melalui
pemaksaan sistem kapitalisme neoliberal a la AS yg dimulai dari semenjak Soeharto menjabat sbg
Presiden..

Tidak ada kesuksesan tingginya GDP, KB, Pemberantasan Buta Huruf, melainkan melalui adanya hutang
dan penciptaan masyarakat kelas atas(konglomerasi) dengan pengharapan adanya trickle down(namun
tak berhasil). Dan melalui penciptaan masy. kelas atas tsb. m'haruskan adanya sistem impor dan ekspor
yg seimbang sebagai indikator ekonomi Indonesia, yg menegaskan agar Rupiah m'jadi subordinat atas
Dollar, dimana Dollar m'jadi standardisasi mata uang dunia paska peristiwa bersejarah tahun 1946
"Bretton Woods" unuk menciptakan iperium blok barat.

Soeharto mengetahui bahwa dengan mengikuti dan dan mengadopsi sistem ke-imperium-an blok barat
yg dipimpin AS. maka Indonesia akan dekat dengan segala sesuatu yg ber ciri khas kan Barat, yakni
kemewahan masy. kelas Atas, sebuah keunggulan dari Kapitalisme a la AS., namun ia juga mengetahui
bahwa sistem tersebut adalah sistem yg rapuh karena bukan berasal atas asas ekonomi pancasila yg
sebenarnya, yakni pembangunan ekonomi yg berasalkan dari sistem kolektif yg bertujuan untuk
menguatkan pasar domestik, dimana rakyat yg mayoritas adalah sebagai pelaku ekonomi yg sebenarnya,
sehingga pajak dari keuntungan ekonomi rakyatlah cadangan devisa dan kas negara berasal, bukan
segelintir minoritas kelompok(kelompok Konglomerasi) yg mengatur dan menentukan arah kekuatan
ekonomi nasional bergerak(keluar-masuk modal besar) yg menyebabkan kebergantungan hajat hidup
orang banyak..

MASA ORDE BARU

Orde Baru

Langkah demi langkah diambil oleh pemerintah Orde Baru untuk mengembalikan kepercayaan rakyat
terhadap nilai mata uang rupiah. Disamping pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan
deposito, pemerintah terus mengadakan persiapan khusus untuk membentuk Pasar Modal.

Dengan surat keputusan direksi BI No. 4/16 Kep-Dir tanggal 26 Juli 1968, di BI di bentuk tim persiapan
(PU) Pasar Uang dan (PM) Pasar Modal. Hasil penelitian tim menyatakan bahwa benih dari PM di
Indonesia sebenarnya sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik dan
masyarakat masih awam tentang pasar modal, maka pertumbuhan Bursa Efek di Indonesia sejak tahun
1958 s/d 1976 mengalami kemunduran.

Setelah tim menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka dengan surat keputusan Kep-Menkeu No. Kep-
25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada tahun 1976 dibentuk Bapepam (Badan
Pembina Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang
diketuai oleh Gubernur Bank Sentral.

Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali PU
dan PM. Selain sebagai pembantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu
sebagai pengawas dan pengelola bursa efek.

Pada tanggal 10 Agustus 1977 berdasarkan kepres RI No. 52 tahun 1976 pasar modal diaktifkan kembali
dan go publik-nya beberapa perusahaan. Pada jaman orde baru inilah perkembangan PM dapat di bagi
menjadi 2, yaitu tahun 1977 s/d 1987 dan tahun 1987 s/d sekarang.

Perkembangan pasar modal selama tahun 1977 s/d 1987 mengalami kelesuan meskipun pemerintah
telah memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek.
Fasilitas-fasilitas yang telah diberikan antara lain fasilitas perpajakan untuk merangsang masyarakat agar
mau terjun dan aktif di Pasar Modal.

Tersendatnya perkembangan pasar modal selama periode itu disebabkan oleh beberapa masalah antara
lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga
saham dan lain sebagainya.

Untuk mengatasi masalah itu pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi yang berkaitan dengan
perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober
1988, dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988.

Pakdes 1987

Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya
biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu dibuka
pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi.

Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa
paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.

Pakto 88

Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankkan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar
modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas
bunga deposito.

Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya
kebijaksanaan ini berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor
pasar modal.

Pakdes 88
Pakdes 88 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka
peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa.

Karena tiga kebijaksanaan inilah pasar modal menjadi aktif untuk periode 1988 hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai