Anda di halaman 1dari 14

Artikel:

Guru SD dan Kecerdasan Emosi


Judul: Guru SD dan Kecerdasan Emosi
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Edi Hendri Mulyana
Saya Dosen di UPI Kampus Tasikmalaya
Topik: Guru SD dan Kecerdasan Emosi
Tanggal: 22 Nopember 2008

KECERDASAN EMOSI BAGI GURU

I. Pendahuluan

Sudah kita mafhum bahwa banyak faktor yang turut menentukan kualitas pendidikan, seperti mutu masukan
(siswa), sarana, manajemen, kurikulum, dan faktor-faktor instrumental serta eksternal lainnya. Tetapi mengingat
peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan kualitas, relevansi, inovasi, dan efisiensi pendidikan
maka salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan upaya tersebut adalah guru, khususnya
peningkatan profesionalisme guru . Di sisi lain, profesi guru sepanjang waktu selalu saja mendapat sorotan
tajam. Dewasa ini tidak sedikit gambaran atau wacana yang diangkat untuk menunjukkan citra guru sedang
dituding menurun bersamaan dengan pencitraan penghargaan masyarakat - dan juga pemerintah - yang mulai
terkesan proporsional dan professional terhadap profesi guru dengan fungsinya yang strategis. Meskipun
demikian sebagai suatu bangsa yang besar dan masih senantiasa menghargai profesi guru sebagai
pembimbing dan pengembang sumber daya manusia menghadapi masa depan, suara dukungan dan upaya
bagi pengembangan profesi guru akhir-akhir ini sangat menggembirakan. Salah satunya adalah transformasi
IKIP sebagai lembaga pembinaan profesi guru menjadi universitas, serta ditingkatkannya kewenangan PGSD
untuk menyelenggarakan program S1 bagi guru-guru SD yang sudah memiliki masa kerja tertentu. Transformasi
ini bertujuan antara lain agar dalam format manajemen Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang
baru, mampu dihasilkan calon-calon guru yang lebih professional. Calon guru professional ini harus mampu
mengantisipasi, menjalani, dan memberikan solusi bagi tantangan masa kini dan masa depan yang makin
global, transparan, kompleks, dan kompetitif.

Alih-alih menurun, sejak kini hingga masa depan tantangan profesi keguruan semakin meningkat. Dalam
Mengangkat Citra dan Martabat Guru (Dedi Supriadi, 1999:73-74) mengangkat suatu tantangan yang harus siap
dihadapi guru dan pada saat yang sama harus dicarikan solusinya oleh berbagai pihak terkait (birokrasi dan
organisasi kependidikan). Salah satunya berkaitan dengan masalah ekologi profesi bagi guru, terutama guru
SD. Pekerjaan guru (mendidik) yang mulia dan seharusnya menyenangkan, seringkali malah menjadi sumber
ketegangan lantaran iklim dan kondisi kerja yang terlalu sarat dengan beban tugas-tugas birokrasi, beban sosial-
ekonomi dan tantangan kemajuan karir yang terkait erat dengan jaminan hak-hak kesejahteraan guru. Dalam hal
beban birokrasi, guru (SD) harus berhadapan dengan pekerjaan-pekerjaan rutin administrasi yang bukan tugas-
tugas profesional. Beban sosial antara lain terkait dengan tuntutan masyarakat yang masih memandang bahwa
guru (SD) adalah sosok manusia serba tahu dan serba bisa. Tidak sedikit orangtua yang memiliki tuntutan yang
melampaui kemampuan guru (SD) agar anak mereka menjadi serba bisa sebagaimana yang diharapkan. Selain
itu, kondisi objektif di lapangan sangat mungkin guru (SD) menghadapi pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan,
informasi, dan teknologi -termasuk masalah kependidikan, yang menuntut dirinya harus lebih profesional dan
bahkan siap 'bersaing' dengan peserta didik dalam hal itu. Beban-beban yang sudah berat itu, makin menjadi
kompleks manakala guru (SD) -terutama yang hidup dikota - juga harus berjuang meningkatkan kemampuan
finansial dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang memang masih jauh dapat dipenuhi dengan gaji
mereka. Kondisi semua ini, dapat diprediksi kuat akan sangat berpengaruh timbale balik terhadap profil
psikologis guru.

Beranjak dari paparan di atas, tugas professi guru masa depan sangat berat. Ia bukan saja harus memiliki
sejumlah kompetensi akademis semisal penguasaan materi pelajaran, kepiawaian dalam merancang,
mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran dengan berbagai metode mutakhir, serta terampil dalam
menggunakan alat peraga dan media pembelajaran; melainkan juga ia harus memiliki kematangan dan
ketegaran kepribadian. Aspek kepribadian sebagai unsur penting dalam kinerja guru profesional akhir-akhir ini
mulai banyak diangkat kembali oleh para pakar setelah selama waktu yang cukup panjang tersisihkan oleh
gencarnya pembahasan teknis metodologis mengajar dengan landasan gagasannya diangkat dari aliran-aliran
Behavioristik: teori belajar, conditioning, hukum pengaruh, dan Kognivistik. (Dedi Supriadi, 1999:10; Mohamad
Surya, 2003:43: H.A.R Tilaar, 1999:295). Salah satu aspek yang berkaitan dengan kematangan dan ketegaran
kepribadian adalah kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) atau Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan ini
berkaitan antara lain dengan kemampuan seseorang (guru) dalam mengelola emosi terhadap diri dan orang
lain, menghadapi kesulitan dan kesuksesan hidup, kasih sayang, cinta kasih yang tulus, dan tanggung jawab.
Sehubungan dengan tugas berat guru (SD) di masa depan, maka jelas tidak bijaksana kalau LPTK penghasil
calon guru tidak mempersiapkan mereka dengan pembinaan yang menjadikannya sebagai calon guru yang
memiliki kematangan kepribadian dengan kecerdasan emosi yang optimal. Pembinaan ini sangat erat kaitannya
dengan tugas-tugas bimbingan dan konseling. Sehubungan dengan itu maka peran Bimbingan dan Konseling
-yang selama ini 'guru yang dibina' terkesan disiapkan dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan di
pendidikan dasar dan menengah - harus secara organik dan resmi difungsikan di LPTK

Makalah ini ditulis dengan tujuan menegaskan kembali perlunya para pengelola dan pembina LPTK khususnya
PGSD -terutama para dosen mata kuliah dan petugas Bimbingan dan Konseling- untuk secara bersungguh-
sungguh berorientasi kepada upaya aktualisasi karakteristik calon guru yang professional dalam berbagai
penyelenggaraan perkuliahan. Selain itu, berdasarkan temuan-temuan inovatif serta tuntutan realistis maka
harus ada program untuk mengakrabkan para mahasiswa calon guru terhadap konsep-konsep kecerdasan
emosi, serta melakukan studi untuk mengetahui peta atau profil kecerdasan emosional (EQ) civitas akademika
di lingkungan kerja LPTK (dosen, karyawan, atau aktivis kampus). Hasil studi ini selanjutnya dapat dijadikan
sebagai titik tolak pembinaan mahasiswa calon guru terutama dalam hal memfasilitasi pengem-bangan
kecerdasan emosi mereka. Hal itu didasarkan pada suatu asumsi dasar sebagaimana dikemukakan Gottman &
DeClaire (1998:2) bahwa menjadi pengelola pendidikan (guru) yang baik membutuhkan lebih dari pada sekedar
intelek, melainkan menyentuh dimensi kepribadian dan kematangan emosi. Permasalahannya adalah,
bagaimanakah profil guru (SD) profesional itu? Serta bagimana pula profil kecerdasan emosi? yang sudah
barang tentu kedua hal itu harus dimiliki guru (SD) dalam menjalankan profesinya serta mengantisipasi tuntutan
kekinian dan masa depan yang akan dihadapi.

Sistimatika makalah sangat sederhana. Setelah pendahuluan di bagian pertama, pada bagian kedua akan
disajikan kajian singkat teori berkenaan dengan karakteristik guru (SD) profesional dan konsep-konsep dasar
kecerdasan emosi; setelah itu data/informasi pendukung dan hasil studi terdahulu beserta diskusi dan
pembahasan akan disajikan pada bagian ketiga; dan akhirnya bagian akhir memuat kesimpulan dan saran.

II. Guru SD Masa Depan: Profesional Dan Kecerdasan Emosi

A. Profesionalisme Guru

1. Pengertian dan Ciri-ciri Profesi

Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, guru memiliki posisi sentral dan strategis. Karena posisinya tersebut,
baik dari kepentingan pendidikan nasional maupun tugas fungsional guru, semuanya menuntut agar pendidikan
dilaksanakan secara profesional. Pembahasan tentang guru profesional terkait dengan beberapa istilah, yaitu
profesi, profesional itu sendiri, profesionalisme, profesionalisasi, dan profesionalitas.

Profesi adalah pernyataan pengabdian pada suatu pekerjaan atau jabatan (Piet A Sahertian, 1994:26), dimana
pekerjaan atau jabatan tersebut menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Suatu
profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Profesional menunjuk pada orang atau
penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya. Profesionalisasi menggambarkan proses
menjadikan seseorang sebagi profesional melalui pendidikan. Profesionalisme menunjuk pada derajat
penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi yang
menyangkut sikap, komitmen, dan kode etik; profesionalisme bisa tinggi, sedang, atau rendah. Sedangkan hal-
hal yang berkaitan dengan keprofesiaan biasa disebut profesionalitas (Dedi Supriadi, 1999:94-95).

Penting untuk dicermati bahwa profesi memiliki beberapa ciri pokok. Menurut Dedi Supriadi (1999:96) cirri-ciri
tersebut ialah, pertama, pekerjaan tersebut mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan
mengabdi kepada masyarakat. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat pendidikan
dan latihan yang 'lama' dan intensif serta dapat dipertanggungja-wabkan (accountable). Ketiga, profesi didukung
oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman
perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Kelima, sebagai
konsekuensi dari layanan yang diberikan terhadap masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau
kelompok memperoleh imbalan finasial atau material.

2. Guru Profesional

Proses pendidikan di dalam masyarakat yang semakin maju, demokratis dan terbuka menuntut suatu interaksi
antara pendidik dan peserta didik secara profesional. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru profesional, yaitu
guru yang memiliki karakteristik profesionalisme. Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung
jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. Untuk itu ia harus telah memiliki
kualifikasi kompetensi yang memadai: kompetensi intelektual, sosial, spiritual, pribadi dan moral (Mohamad
Surya, 2003:28). Sedangkan H.A.R Tilaar (1999:205) menggagaskan profil guru profesional abad 21 sebagai
berikut.

1) Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing personality) sebagaimana
dirumuskan Maister 'professionaism is predominantly an attitude, not a set of competencies only. Ini berarti
bahwa seorang guru profesional adalah pribadi-pribadi unggul terpilih;

2) Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat. Melalui dua hal ini seorang guru profesional akan
menginspirasi anak didiknya dengan ilmu dan teknologi. Guru profesional semestinya ia adalah 'ilmuwan' yang
dibentuk menjadi pendidik.

3) Menguasai keterampilan untuk membangkitkan minat dan potensi peserta didik. Oleh karena itu seorang guru
profesional harus lah menguasai keterampilan metodologis membelajarkan siswa. Karakteristik ini yang
membedakan profesi guru dari profesi lainnya. Jika karakteristik ini tidak secara sungguh-sungguh dikuasai
guru, maka siapa saja dapat menjadi 'guru' seperti yang terjadi sekarang ini. Akibat lebih lanjut dari ini adalah
profesi guru akan kehilangan 'bargaining position'.

4) Pengembangan profesi yang berkesinambungan. Propesi guru adalah profesi mendidik. Seperti halnya ilmu
mendidik yang senantiasa berkembang, maka profil guru profesional adalah guru yang terus menerus
mengembangkan kompetensi dirinya. Pengembangan kompetensi ini dapat dilakukan secara institusional
(LPTK), dalam praktik pendidikan, atau secara individual.

Sejalan dengan gagasan HAR Tilaar di atas, Dedi Supriadi (1999:98) mengutip Jurnal Education Leadership
edisi Maret 1993 mengenai lima hal yang harus diraih guru agar menjadi profesional. Kelima hal tersebut
adalah.

1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru
adalah kepada kepentingan siswanya.

2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya
kepada para siswa.

3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara
pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.

4) Guru mampu berpikir sistimatis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya,
harus selalu ada waktu bagi guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya.
Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik buruk dampaknya
pada proses belajar siswa.

5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Kelima hal di atas amat sederhana dan pragmatis. Justru karena keseder-hanaan itu akan membuat sesuatu
mudah dicapai.
Untuk meneguhkan kesuksesan kinerja pendidik sebagai guru profesional dan merupakan jabatan strategis
dalam membangun masyarakat, Mohamad Surya (2003:290-292) menekankan perlunya seorang guru memiliki
kepribadian efektif. Kepribadian merupakan keseluruhan perilaku dalam berbagai aspek yang secara kualitatif
akan membentuk keunikan atau kekhasan seseorang dalam interaksi dengan lingkungan di berbagai situasi dan
kondisi. Kepribadain efektif seorang guru adalah kepribadian berkualitas yang mampu berinteraksi dengan
lingkungan pendidikan yang sebaik-baiknya agar kebutuhan dan tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif.

Kepribadian efektif memiliki sejumlah kompetensi yang bersumber pada komponen penguasaan subyek (materi
pelajaran), kualitas profesional, penguasaan proses, kemampuan penyesuaian diri, serta kualitas
kepribadiannya. Kepribadian efektif akan terwujud melalui berfungsinya keseluruhan potensi manusiawi secara
penuh dan utuh melalui interaksi antara diri dengan lingkungannya. Menurut William D. Hitt (1993) potensi
manusiawi itu antara lain adalah daya nalar yang bertumpu pada empat jenjang anak tangga berupa:

(1) Coping, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan dalam menghadapi dunia sehari-hari dengan baik;

(2) Knowing, yaitu kemampuan memahami kenyataan dan kebenaran dunia sehari-hari;

(3) Believing, keyakinan yang melandasi berbagai tindakan, dan

(4) Being, yaitu perwujudan diri yang otentik dan bermakna.

Jika kita cermati karakteristik kepribadian efektif sebagaimana diuraikan di atas, nampak bahwa unsur-unsurnya
erat berkaitan dengan faktor-faktor kompetensi dan potensi psikologis seseorang. Salah satu potensi psikologis
manusia yang saat ini mendapat kajian intensif karena diyakini sebagai salah satu penentu dominant bagi efektif
tidaknya kepribadian seseorang dalam berinteraksi dan mengatasi persoalan hidup sehari-hari adalah
kecerdasan emosi (EQ, Emotional Quotient).

B. Kecerdasan Emosi

1. Pusat Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Rasional dalam Otak.

Otak manusia adalah massa protoplasma yang paling kompleks yang pernah dikenal di alam semesta. Organ ini
terdiri dari tiga bagian dasar, masing-masing dengan struktur saraf tugas-tugas tertentu, yang oleh Dr. Paul
McLean (1990) disebut "otak triune". Ketiga bagian tersebut adalah: batang atau otak reptil, sistem limbik atau
otak mamalia, dan neokorteks (Bobbi DePorter & Mike Hernacki;1999).

Dalam buku Quantum Learning dijelaskan bahwa bagian manusia yang disebut otak mamalia (sistem limbik)
bertanggung jawab atas fungsi-fungsi emosional dan kognitif serta pengaturan bioritme seseorang, seperti pola
tidur, lapar, haus, tekanan darah, gairah seksual, dan metabolisme dalam tubuh. Dalam mekanisme yang terjadi
pada sistem limbik inilah kecerdasan emotional (EI = Emotional Intelligence, nama lain dari EQ) seseorang
ditentukan.

Joseph LeDoux (1992) seorang ahli saraf di Center for Neural Science di New York University mengungkapkan
bahwa dalam saat-saat yang kritis kecerdasan emosi akan lebih cepat menentukan keputusan dari pada
kecerdasan intelektual. Hal itu sejalan dengan kajian Dr. Jalaluddin Rakhmat (1999) yang menyimpulkan bahwa
kecerdasan emosi sangat mempengaruhi manusia dalam mengambil keputusan. Bahkan tidak ada satu pun
keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasional kerena seluruh keputusan manusia memiliki
warna emosional.

2. Konsep Dasar Kecerdasan Emosi

Istilah "Emotional Intelligence, kecerdasan emosional" - selanjutnya disebut kecerdasan emosi - pertamakali
dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University
of New Hampshire. Kecerdasan ini berhubungan dengan kualitas-kualitas psikologis tertentu yang oleh Salovey
dikelompokkan ke dalam lima karakter kemampuan:

(1) Mengenali emosi diri; wilayah ini merupakan dasar kecerdasan emosi. Penguasaan seseorang akan hal ini
akan memiliki kepekaan atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.

(2) Mengelola emosi; kecerdasan emosi seseorang pada bagian ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan sehingga dia dapat bangkit
kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.

(3) Memotivasi diri sendiri; kecerdasan ini berhubungan dengan kamampuan seseorang dalam membangkitkan
hasrat, menguasai diri, menahan diri terhadap kepuasan dan kecemasan. Keberhasilan dalam wilayah ini akan
menjadikan seseorang cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan.

(4) Mengenali emosi orang lain. Berkaitan erat dengan empati, salah satu kecerdasan emosi yang merupakan
"keterampilan bergaul" dasar. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.

(5) Membina hubungan. Seni membina hubungan, menuntut kecerdasan dan keterampilan seseorang dalam
mengelola emosi orang lain. Sangat diperlukan untuk menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan
antar pribadi.

3. Kecerdasan Emosi Eksekutif.

Kecerdasan Emosional Eksekutif (EQ-Executive) secara singkat dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
dalam mengelola emosi dalam rangka menghadapi dan memberikan tindakan antisipasi maupun solusi terhadap
prob-lematika yang dhadapi dalam menjalankan profesi dalam suatu intitusi. Berdasarkan gagasan Robert K
Cooper & Ayman Sawaf (2001), EQ-Executive yang akan analisis dalam penelitian ini didasarkan kepada empat
pilar utama:

(1) Kesadaran Emosional Literasi; bertujuan membangun tempat kedudukan bagi kepiawaian dan rasa percaya
diri pribadi melalui kejujuran emosi, energi emosi, umpan balik emosi, intuisi, rasa tanggung jawab dan koneksi.

(2) Kebugaran emosi; bertujuan mempertegas kesejatian, sifat dapat dipercaya, dan keuletan, memperluas
kepercayaan, dan kemampuan mendengarkan, mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara
palinmg konstruktif.

(3) Kedalaman emosi (emotional deepth); mengeksplorasi cara-cara menye-laraskan hidup dan kerja dengan
potensi serta bakat unik seseorang, mendukungnya dengan ketulusan, kesetiaan pada janji, rasa tanggung
jawab yang pada gilirannya memperbesar pengaruh tanpa mengobral kemenangan.

(4) Al-kimia emosi (emotional alchemi); memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk mengalir bersama
masalah-masalah dan tekanan-tekanan dan bersaing demi masa depan dengan membangun ketarampilan
untuk lebih peka akan adanya kemungkinan-kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang
masih terbuka.

Indikator-indikator yang menunjukkan seberapa jauh karakter-karakter dari masing-masing pilar di atas terdapat
pada diri seseorang dalam penelitian ini akan diungkap dengan instrumen EQ_MAPTM. Instrumen ini
merupakan hasil penelitian yang mendalam, andal secara statistik dan teruji secara baku terhadap tenaga kerja
di USA dan Kanada. Instrumen ini berupaya mengungkap 21 skala profil kecerdasan eksekutif yaitu:

(1) Peristiwa dalam hidup (12) Belaskasihan

(2) Tekanan pekerjaan (13) Cara pandang

(3) Tekanan masalah pribadi (14) Intuisi

(4) Kesadaran diri emosi (15) Radius kepercayaan

(5) Ekspresi emosi (16) Daya pribadi

(6) Kesadaran emosi terhadap orang lain (17) Integritas

(7) Intensionalitas (18) Kesehatan umum

(8) Kreativitas (19) Kualitas hidup


(9) Ketangguhan (20) Relatioship Quotient

(10) Hubungan interpersonal (21) Kinerja Optimal

(11) Ketidakpuasan konstruktif

Dalam EQ-Map dua puluh satu skala profil EQ-eksekutif di atas selanjutnya dibagi ke dalam lima kategori.
Kelima kategori tersebut adalah: Situasi saat ini, Keterampilan Emosi, Kecakapan Emosi, Nilai-nilai EQ dan
Keyakian, dan Hasil-hasil EQ.

a. Situasi Saat Ini

Kategori ini menggambarkan profil seberapa besar kualitas emosi seorang pekerja dalam menghadapi berbagai
peristiwa yang dialami baik di keluarga, masyarakat maupun tempat yang bersangkutan bekerja. Hal tersebut
meliputi:

1) Peristiwa dalam Hidup

Berkaitan dengan ketangguhan seseorang dalam menghadapi berbagai peristiwa keseharian yang secara
umum bisa berfungsi sebagai sumber keter-tekanan (stress). Peristiwa tersebut misalnya: ancaman
diberhentikan, keluar, atau pensiun; berhadapan dengan pekerjaan baru atau pimpinan baru; penciutan atau
perubahan struktur kepegawaian di tempat kerja; kerugian finansial atau berkurangnya pendapatan; kematian
seseorang teman dekat atau keluarga; ber-pindah, relokasi atau membeli rumah baru; kehadiran anggota baru
dalam rumah tangga atau bertambahnya tanggungjawab dalam keluarga; menjadi kor-ban kejahatan atau
berhadapan dengan masalah hokum; atau sakit atau cedera serius yang menimpa diri sendiri atau teman
dekat/keluarga.

2) Tekanan Pekerjaan

Yang dimaksud adalah gambaran seberapa besar tekanan kondisi dan situasi pekerjaan terhadap kualitas
emosi/diri seorang pekerja. Hal itu meliputi: hubungan dengan atasan langsung; keamanan pekerjaan;
bergesernya prioritas pekerjaan; terlalu banyak pekerjaan atau membosankan; kontrol/pemantauan yang tidak
luwes dari lembaga terhadap pekerjaan; kebijakan promosi dan penghargaan karir yang tidak adil dari pimpinan;
tenggat waktu dalam menyelesaikan pekerjaan; hilangnya komitmen terhadap pekerjaan; merasa tidak berguna
atau tidak mampu bekerja; fleksibilitas jam kerja; perjalanan yang jauh ke tempat kerja.

3) Tekanan Masalah Pribadi

Skala ini mengungkapkan seberapa besar masalah-masalah pribadi menjadi sumber ketertekanan dalam
menjalani pekerjaan. Masalah-masalah ter-sebut antara lain: kesulitan keuangan; bertambahnya tanggungjawab
keluarga; konflik dengan atau berpisah dari rekan/partner; menurunnya kesehatan pri-badi; bermasalah dengan
keluarga; tidak cukup waktu luang untuk keluarga; lingkungan yang berbahaya atau tidak aman; konflik seksual;
konflik antara keluarga dan pekerjaan.

b. Keterampilan Emosi

Kategori ini menggambarkan profil seberapa besar kualitas seseorang dalam mengenali emosi dirinya, meliputi:

1) Kesadaran-diri Emosi

Berkaitan dengan kemampuan pikiran dan perasaan seseorang tentang diri sendiri antara lain dalam hal:
menyebutkan perasaan; mendengarkan pera-saan sendiri; menyadari sepanjang waktu perasaan diri;
menyatakan kemarahan dengan tepat; mengetahui alasan kesedihan; menyaring pola pikir orang lain dalam
menilai diri sendiri; menikmati kehidupan emosi sendiri; takut terhadap emosi orang lain; keinginan menjadi
orang lain; cermat memperhatikan peru-bahan fisik jika mengungkapkan emosi; menerima perasaan diri apa
adanya.

2) Ekspresi Emosi
Membiarkan orang lain tahu bila mereka bekerja dengan baik; mengungkapkan emosi negatif; membiarkan
orang lain tahu tentang keinginan/kebutuhan; mengungkapkan penghargaan terhadap orang lain; membiarkan
orang lain tahu bila ada perasaan tidak enak yang mengganggu pekerjaan; meminta tolong kepada orang lain
saat memerlukan bantuan; dalam interaksi dengan orang lain dapat merasakan perasaan mereka; tidak
berpura-pura melakukan apa saja agar tidak tampak tolol di depan orang lain.

3) Kesadaran Emosi terhadap Oranglain

Dapat mengenali emosi orang lain dengan memperhatikan mata mereka; mudah berbicara dengan orang yang
tidak satu sudut pandang; memperhatikan orang-orang yang memiliki kualitas positif; terdorong untuk menghibur
orang lain; berpikir tentang perasaan orang lain sebelum mengungkapkan pandangan; selalu menjadi
pendengar yang baik; dapat merasakan suasana hati suatu kelompok; dapat membuat orang yang baru kenal
berbicara tentang mereka sendiri; dapat "membaca yang tersirat" ketika seseorang berbicara; kemampuan
mengetahui bagaimana perasaan orang lain; dapat mengetahui perasaan seseorang kendati ia tidak bicara;
dapat mengubah ekspresi emosi tergantung dengan siapa berhadapan; dapat mengetahui bila orang lain
sedang merasa kesal.

c. Kecakapan Emosi

Kategori ini menggambarkan perilaku atau tujuan bertindak seseorang yang berkaitan dengan pengelolaan
dorongan emosi. Hal itu antara lain:

1) Intensionalitas

Dapat dengan mudah mengabaikan gangguan-gangguan apabila perlu berkonsentrasi; mampu menyelesaikan
hampir semua gagasan; tahu cara mengatakan "tidak" ketika harus demikian; tahu cara menghargai diri sendiri
sesudah meraih suatu sasaran; dapat menyingkirkan dahulu imbalan-imbalan jangka pendek demi sasaran-
sasaran jangka panjang; dapat memusatkan perhatian saya pada suatu tugas sampai selesai bila saya harus
demikian; menerima tanggung jawab atas pengelolaan emosi; ketika berhadapan dengan suatu masalah,
mengurusinya selekas mungkin; berpikir tentang yang saya inginkan sebelum bertindak; dapat menunda
kepuasan pribadi demi sasaran yang lebih besar; dapat membicaraka permasalahan dengan diri sendiri; tidak
marah apabila dikritik; mengetahui penyebab kemarahan.

2) Kreativitas

Memiliki gagasan proyek-proyek inovatif kepada lembaga; berpe-ran serta dalam berbagai informasi dan
gagasan; meramal masa depan untuk memudahkan tujuan; memunculkan gagasan terbaik ketika sedang tidak
memikirkannya; mempunyai gagasan-gagasan cemerlang baik yang berupa kilasan maupun yang tampak
secara utuh; memiliki penginderaan yang baik mengenai kapan suatu gagasan akan berhasil atau gagal;
tergerak oleh konsep-konsep yang baru dan tidak lazim; telah menerapkan proyek-proyek inovatif di lembaga;
tergerak oleh gagasan-gagasan dan solusi-solusi baru; ahli dalam menggodok pemecahan masalah sampai
menghasilkan sejumlah pilihan.

3) Ketangguhan

Dapat pulih dengan cepat sesudah merasa kecewa; dapat mem-peroleh dibutuhkan jika tekad sudah bulat;
halangan atau masalah dapat telah menghasilkan perubahan-perubahan tak terduga ke arah yang lebih baik;
mudah menunggu dengan sabar bila harus demikian; selalu ada lebih dari satu jawaban yang benar; tahu cara
memuaskan seluruh bagian dalam diri; tidak suka menangguhkan suatu pekerjaan; tidak takut mencoba lagi bila
pernah gagal dalam pekerjaan yang sama; mampu memutuskan bahwa masalah-masalah tertentu tidak
berharga untuk dicemaskan; mampu menyantaikan diri bila mulai tegang; dapat melihat sisi humor suatu situasi;
dapat mengesampingkan dahulu suatu masalah untuk mendapatkan perspektif yang lebih baik; bila menghadapi
suatu masalah perhatian terpusat pada aspek-aspek yang dapat diperbuat untuk memecahkannya.

4) Hubungan Antar Pribadi

Dapat sedih bila kehilangan sesuatu yang penting; merasa nyaman bila bersama seseorang yang terlalu dekat
secara emosional; mempunyai teman-teman yang dapat diandalkan dalam masa-masa sulit; banyak
menunjukkan rasa sayang kepada teman-teman; bila mempunyai masalah, tahu harus pergi ke mana dan harus
berbuat apa untuk mnemecahkannya; keyakinan dan nilai-nilai yang dianut menuntun tindakan saya sehari-hari;
keluarga selalu siap bila dibutuhkan; yakin bahwa teman-teman sungguh peduli sebagai pribadi; mudah
mendapatkan teman; tidak kesulitan bila harus menangis atau merasa sedih.

5) Ketidakpuasan Konstruktif

Sanggup berbeda pendapat dengan efektif untuk mengubah sesuatu; mengungkapkan perasaan meskiupun hal
itu akan menimbulkan perbedaan pendapat; apabila suatu masalah datang merasa percaya diri sendiri untuk
menyelesaikannya; tetap tenang bahkan dalam situasi yang membuat orang lain marah; tidak takut membuat
masalah meskipun dapat menghindarinya; mudah mencapai kata sepakat dengan rekan-rekan kerja; mencari
umpanbalik menge-nai kinerja diri; ahli dalam mengorganisasi dan memotivasi sebuah kelompok; senang
menghadapi tantangan dan memecahkan masalah dalam pekerjaan; mendengarkan kritik dengan pikiran
terbuka dan menerimanya bila dapat dibenarkan; membiarkan masalah mencapai titik kritis sebelum membicar-
akannya; bila melontarkan komentar yang kritis perhatian terpusat pada perilaku bukan pada orangnya; tidak
menghindari konfrontasi bila berhadapan dengan masalah.

d. Nilai-nilai EQ dan Keyakinan

Kategori ini menggambarkan perilaku atau tujuan bertindak seseorang yang berkaitan dengan pengelolaan
dorongan emosi yang berhubungan dengan nilai-nilai keyakinan (belief). Termasuk ke dalam kategori ini adalah:

1) Belas Kasihan

Mampu melihat rasa sakit pada orang lain meskipun mereka tidak membicarakannya; dapat membaca emosi
orang lain dari bahasa tubuh mereka; bertindak menurut etika dalam berurusan dengan orang lain; tidak akan
ragu meninggalkan kesibukan guna menolong orang yang kesulitan.; memperhitung-kan perasaan orang lain
dalam interaksi dengan mereka; dapat menempatkan diri dalam kedudukan orang lain; tidak ada orang yang
tidak pernah/sulit dimaafkan; mudah memaafkan karena diri tidak sempurna; membantu orang lain menjaga
harga dirinya dalam situasi sulit; tidak begitu mencemaskan kekurangan-kekurangan diri; tidak iri kepada orang
yang lebih mampu.

2) Sudut Pandang

Melihat sisi positif pada segala sesuatu; mencintai kehidupan; mengetahui dan dapat menemukan solusi atas
masalah yang sulit; percaya bahwa segala sesuatu biasanya membaik dengan sendirinya; tidak merasa frustasi
dalam hidup meskipun banyak orang yang ingkar janji; menyukai diri apa adanya; melihat tantangan sebagai
peluang untuk belajar; meskipun di bawah tekanan, percaya akan mendapatkan sebuah pemecahan.

3) Intuisi

Terkadang mendapat jawaban yang benar bagi suatu persoalan tanpa alasan yang jelas; firasat biasanya
benar/terbukti; dapat menggambarkan sasaran-sasaran di masa datang; ketika merancang atau mengerjakan
sesuatu sudah dapat melihat produk atau gambaran akhir meskipun saat ini belum selesai; percaya dengan
impian sendiri meskipun orang lain tidak dapat me-lihat atau memahami semua itu.; ketika dihadapkan dengan
pilihan yang sulit, dapat dengan mudah mengikuti kata hati; jarang mengubah tekad yang sudah bulat; diakui
orang bahwa dapat meramal atau memiliki firasat yang tajam; tidak sulit menerima pandangan yang berbeda;
mengandalkan dorongan hati ketika membuat keputusan.

4) Radius Kepercayaan

Percaya bahwa orang tidak akan memanfaatkan dirinya begitu saja; menaruh kepercayaan tanpa terlalu terikat
dengan alasan; siapa pun mudah untuk dipercaya; menghormati siapa pun; mungkin saja imbalan orang lain
layak lebih baik; mempercayai rekan dekat dalam pekerjaan; merasa bisa berbuat banyak; dalam hidup ini
banyak yang adil atau layak; mencoba mengatasi masalah dengan rencana alternatif; ketika bertemu dengan
orang-orang baru, banyak informasi pribadi yang diungkapkan kepada mereka.

5) Daya Pribadi
Merasa dapat membuat apa pun terjadi; memandang bahwa nasib tidak begitu berperan penting dalam hidup;
demi perbaikan mampu menentang hierarki yang mapan di tempat bekerja; merasa bahwa keadaan masih
dapat dikendalikan; tidak begitu membutuhkan pengakuan dari orang lain atas karya sendiri; mudah menyukai
sesuatu; tidak sulit menerima pujian; merasa mempunyai kemampuan untuk mendapatkan yang diinginkan;
merasa dapat mengendalikan hidup; tidak merasa takut dan lepas kendali apabila segala sesuatu berubah
dengan cepat; senang bertanggung jawab atas sesuatu; tahu yang diinginkan kemudian setelah memperoleh
yang lain.

6) Integritas

Senantiasa bersedia mengakui kesalahan yang diperbuat; tidak merasa seperti seorang penipu, pengecoh atau
pembohong; siap pindah kerja jika tidak bersemangat lagi dengan pekerjaan; memandang pekerjaan sebagai
perpanjangan dari sistem nilai pribadi; berupaya keras untuk tidak pernah berbohong; tidak bisa menerima suatu
situasi yang tidak mempercayai dirinya; tidak membesar-besarkan kemampuan karena ingin memperoleh
kesempatan yang lebih baik; senantiasa berterus terang meskipun yang dihadapi sangat sulit; tidak bisa
mengerjakan sesuatu pekerjaan yang bertentangan dengan keyakinan.

d. Hasil-hasil EQ

Kategori ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kedirian seseorang yang diduga kuat sebagai konsekuensi dari
kualitas EQ yang bersangkutan. Meliputi hal-hal sebagai berikut.

1) Kesehatan Secara Umum

a) Gejala-Gejala Fisik yang Sering Dirasakan:

Seberapa sering mengalami hal-hal berikut adalah ukuran kualitas kesehatan fisik secara umum; yaitu nyeri
punggung bukan karena cedera; mengalami masalah berat badan (kelebihan atau kekurangan); sakit kepala
karena tegang; sakit kepala karena migren; pilek atau gangguan pernafasan bukan karena perubahan
cuaca/asma; mengalami masalah perut (kembung atau tidak normal buang air besar); nyeri dada bukan karena
cedera; sakit dan nyeri pada bagian tubuh yang sulit dijelaskan; nyeri atau sakit kronis lain selain yang telah
dijelaskan.

b) Gejala-Gejala Perilaku yang Sering Muncul:

Seberapa sering mengalami hal-hal berikut adalah ukuran kualitas perilaku sehat secara umum; yaitu
mengalami masalah yang berhubungan dengan makan (hilang selera, tidak teratur, terus menerus); merokok
dalam kapasitas di luar kebiasaan selama ini; minum minuman beralkohol; minum obat penenang; minum
aspirin atau obat penghilang rasa sakit (nyeri) lain; kebiasaan minum obat-obat lain; menarik diri dari hubungan
dekat dengan pihak/orang lain; mengkritik, menyalahkan atau melecehkan orang lain; merasa menjadi korban
atau dimanfaatkan oleh orang lain; kecanduan menonton TV (> 2 jam sehari); melakukan kegiatan
rekreatif/bermain lebih dari 2 jam sehari; tidak menyukai campur tangan orang lain; kerap mengalami
kecelakaan fisik/cedera

c) Gejala-Gejala Emosi:

Seberapa sering mengalami hal-hal berikut adalah ukuran kualitas kesehatan jiwa secara umum; yaitu sulit
berkonsentrasi; merasa kelebihan beban pekerjaan; perhatian mudah teralihkan; tidak mudah melupakan
sesuatu yang berkesan negatif/terus cemas; merasa depresi, kesal atau putus asa; merasa kesepian; pikiran
terasa kosong; merasa letih atau kelebihan beban; sulit memantapkan hati atau membuat keputusan; sulit
memulai suatu kegiatan/sulit menenangkan diri untuk memulai suatu kegiatan

2) Kualitas Hidup

Merasa puas sekali dengan hidup yang dijalani saat ini; merasa kuat sehat dan bahagia; merasakan kedamaian
dan kesejahteraan di dalam hati; tidak terlalu merasa perlu membuat banyak perubahan dalam hidup agar betul-
betul bahagia; hidup dirasakan dapat memenuhi kebutuhan yang paling dalam; mendapatkan lebih banyak dari
pada yang diharapkan dari hidup ini; menyukai diri sebagaimana adanya; bekerja terasa menyenangkan;
merasa telah menemukan pekerjaan yang bermakna; merasa berada dalam jalur yang mengantarkan kepada
kepuasan; merasa telah mengerahkan sebagian besar kemampuan diri.

3) Relationship Quotient

Terdapat sejumlah orang yang berhubungan (relation) pada tingkat lebih dalam; jujur kepada orang-orang yang
akrab sebagaimana mereka pun jujur kepada dirinya; menyayangi seseorang secara mendalam; mudah mene-
mukan orang-orang yang dapat diajak bergaul; dapat membuat komitmen jangka panjang dengan siapa saja
untuk suatu hubungan; menyadari bahwa dirinya bermakna/ penting bagi banyak orang; merasa mudah
mengatakan kepada orang-orang bahwa dirinya peduli kepada mereka

4) Kinerja Optimal

Merasa puas dengan kinerja saat ini; rekan-rekan kerja memandang bahwa diri kita memudahkan komunikasi
yang baik di antara anggota kelompok; tidak merasa terkucil dalam pekerjaan; mudah mengerahkan perhatian
pada tugas yang harus dikerjakan; dalam tim kerja, dilibatkan dalam pembuatan keputusan; tidak mengalami
kesulitan dalam memenuhi komitmen atau menyelesaiakan tugas; terus berusaha meningkatkan kinerja diri agar
dapat menghasilkan yang terbaik.

III. Diskusi, Temuan Terdahulu dan Pembahasan

Pada bagian ini penulis memandang penting untuk terlebih dahulu menjelaskan istilah profesional pada kata
Guru Profesional. Istilah profesional pada tulisan ini tidak merujuk kepada penggunaan istilah tersebut pada
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) -yang seringkali menimbulkan kerancuan dalam wacana
dilapangan - yang menyatakan "Pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan akademik dan pendidikan profesional."
Yang dimaksud dengan pendidikan akademik adalah pendidikan yang sebagian besar porsinya ditujukan untuk
penguasaan dan pengembangan ilmu dengan bobot keterampilan yang lebih sedikit. Pendidikan akademik
adalah program gelar (Sarjana/S-1, Magister/S-2, Doktor/S-3) yang diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut,
dan universitas. Di pihak lain, pendidikan profesional adalah pendidikan yang bobot pembekalan
keterampilannya lebih banyak dari pada penguasaan teori atau konsep karena memang peserta didik disiapkan
untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang ada dalam masyarakat.

Dalam istilah lain disebut juga pendidikan non-gelar. Pendidikan profesional diselenggarakan oleh akademi dan
politeknik dalam bentuk program Diploma, juga oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas. Pengertian ini
mengundang tafsiran yang rancu sekan-akan pendidikan akademik tidak menyiapkan lulusannya siap kerja dan
profesional. Oleh karenanya, guru profesional atau pendidikan profesional dalam makalah ini dimaksudkan
sebagai lulusan pendidikan yang selain memiliki keterampilan khusus juga meliputi dimensi penguasasaan
keilmuan, social, etik/moral, serta nilai-nilai kemanusiaan dari suatu pekerjaan. Tidak jadi soal apakah ia lulusan
program diploma atau program strata (S1, S2 atau S3).

Jika kita cermati sejumlah karakteristik guru profesional sebagaimana dikemukakan pada halaman-halaman
terdahulu, di samping berkaitan dengan hal-hal yang bersifat akademis dan keterampilan akan ditemukan
beberapa pernyataan yang lebih kental nuansa moral-psikologisnya misalnya: tanggung jawab, memiliki
kepribadian yang matang dan berkembang, bermoral, spiritual, komitmen terhadap kepentingan siswa, mampu
berpikir reflektif dan korektif, serta memiliki kepribadian yang efektif. Karakter guru profesional yang demikian itu
jelas sangat diperlukan ada pada diri guru (SD) sebagai modal utama dalam menghadapi tantangan kekinian
dan masa depan yang makin kompleks: kepesatan perkembangan iptek, persaingan hidup dan karir yang
semakin garang dan tajam, serta tuntutan kualitas hidup dan pendidikan di tengah-tengah masyarakat yang
makin tinggi.

Oleh karenanya maka penyelenggaraan program pendidikan untuk calon guru -khususnya guru SD - oleh LPTK
harus diarahkan pada upaya mempersiapkan guru yang cakap secara profesional serta memiliki kematangan
pribadi dengan kecerdasan emosi yang memadai dan tangguh. Berdasarkan hal itu, dapat diasumsikan bahwa
untuk menghasilkan pencapaian tersiapkannya calon guru (SD) yang professional yang mampu mengantisipasi
tuntutan kompleks masa kini dan masa depan, maka harus dirancang sedemikian rupa suatu layanan
managerial yang dapat berfungsi memfasilitasi perkembangan kecerdasan emosional para mahasiswa calon
guru tersebut; terutama yang menyangkut kecerdasan dalam menghadapi dan mengatasi berbagai problema
pencapaian kesuksesan karir atau prestasi belajar, yang dikenal dengan kecerdasan eksekutif (EQ-Executive).

Gagasan perlunya LPTK secara terprogram mematangkan kepribadian dan kecerdasan emosi para mahasiswa
calon guru (SD) bukan sesuatu yang mengada-ada melainkan juga didasarkan pada hasil analisis berbagai
literature. Berbagai informasi menunjukkan bahwa salah satu alasan umum yang dapat memicu timbulnya
perilaku menyimpang dari seseorang - termasuk guru - dalam memberikan reaksi terhadap lingkungan, semisal
pesismis dan konsep diri yang negatif, pada umumnya bukan karena rendahnya kualitas skill dan kemampuan
akademis semata, melainkan karena mereka tidak memiliki kematangan kepribadian atau kecerdasan emosinya
kurang; misalnya rendahnya kemampuan (skill) untuk mencapai apa yang diinginkan (need for achievement)
atau rentannya kesiapan psikologis mereka dalam berhadapan dengan imbalan (reward) yang tertangguhkan;
atau mereka itu memiliki internal locus of control (kemandirian) yang lebih rendah dibandingkan dengan
kecenderungan external locus of control (ketergantungan kepada yang lain) dalam dirinya (Asmawi Zainul,
1999:13).

Goleman (1998) memperkuat bahwa perilaku-perilaku menyimpang yang disebabkan oleh rendahnya
kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) mereka berkaitan dengan ketidakmatangan kondisi psikologis
yang bersangkutan dalam hal: memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati
dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Dengan kata lain, perilaku menyimpang baik dari
para remaja (termasuk mahasiswa) maupun kaum profesional (guru) mengindikasikan betapa rendahnya
Kecerdasan Emotional mereka.

Dari sejumlah penelitian yang telah dilakukannya Goleman berkesim-pulan bahwa kesuksesan karir seseorang
80% ditentukan oleh kecerdasan emosi (EQ)-nya. Berdasarkan sejumlah hasil penelitian tersebut, bahkan
terbukti bahwa Kecerdasan Pikiran (IQ) atau Kecerdasan Akademis semata-mata praktis tidak menawarkan
persiapan untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. Oleh karenanya, ia
mengingatkan bahwa dalam institusi pendidikan (formal maupun informal) perlu dibangun suatu mekanisme
yang cukup efektif dalam menciptakan kondisi emosional yang kondusif (Goleman,1998:47).

Robert K Cooper & Ayman Sawaf (2001) pada bagaian pendahuluan dari bukunya (Executive EQ) menegaskan
bahwa jika pada abad 20 kesuksesan profesi seseorang diasumsikan sangat ditentukan oleh IQ, maka
berdasarkan bukti-bukti yang banyak di penghujung abad 21, dapat ditegaskan bahwa kesuksesan seseorang
dalam menghadapi tugas-tugas kehidupan adalah ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ). Lebih spesifik
lagi keduanya mengenalkan 'Executive EQ' sebagai variabel penting bagi kesuksesan profesi seseorang. Jika
kita memandang tugas mendidik dari seorang guru merupakan suatu wujud tugas eksekutif dalam pengertian
professional yang menuntut kompetensi dan kredibilitas tertentu maka pikiran Robert K Cooper & Ayman Sawaf
sangat layak untuk dipertimbangkan oleh para pengelola LPTK yang mempersiapkan calon guru (SD).

Landasan empirik lainnya bagi hal ini adalah hasil penelitian serial selama tidak kurang dari dua puluh tahun dari
John Gottman (1998), yang dilakukan terhadap tidak kurang dari 119 keluarga, yang menemukan bukti-bukti
kuat bahwa mereka yang memiliki EQ yang relatif baik, mampu memperoleh nilai akademis yang lebih tinggi,
mampu bergaul lebih baik, tidak banyak mengalami masalah tingkah laku, dan tidak mudah terpancing untuk
melakukan tindak kekerasan bila dibanding-kan dengan anak-anak yang orangtuanya tidak mempraktekkan hal
semacam itu. Teori dan bukti empiris Kecerdasan Emosional (EQ) memberikan harapan dan optimisme baru
terhadap pengembangan kualitas profesi kependidikan, khususnya di lingkungan LPTK.

Persoalan selanjutnya adalah, dengan cara bagaimana pembinaan calon guru (SD) yang profesional dan
memiliki kecerdasan emosi di lakukan di LPTK. Dengan mengadaptasi sebagian gagasan HAR Tilaar
(1999:368-378), Dedi Supriadi (1999) berikut adalah hal-hal yang perlu dipertimbangan untuk menjawab
persoalan tersebut.

Pertama, perlu dipelihara dan ditingkatkan ekologi kampus yang kondusif bagi penyelenggaraan perkuliahan
yang demokratis, menjunjung tinggi hak asasi manusia (mahasiswa), kemudahan mengakses informasi,
mendorong perkembangan ilmu dan teknologi, serta menanamkan kegandrungan terhadap orientasi kualitas
dalam berbagai segi kehidupan (kampus).

Kedua, memelihara dan meningkatkan kondisi kampus yang memberda-yakan mahasiswa. Ada empat modal
dasar yang berperan dalam proses pemberdayaan mahasiswa di dalam kampus yaitu dosen, mahasiswa,
tenaga administratif, dan sarana pendukung. Keempat komponen ini saling kait-mengkait dalam
memberdayakan mahasiswa dengan dukungan birokrasi kampus yang 'cair' (tidak kaku); semangat inovatif dan
eksploratif dosen yang tetap akrab, ramah, santun namun tetap tegas; mengembangkan dan mendukung
penalaran kritis mahasiswa; menjunjung tinggi disiplin; beorientasi pada kualitas; dan penyediaan sarana yang
memadai.

Ketiga, adanya usaha intensif, terorganisir dan terus menerus untuk terjadinya kolaborasi antara para guru
(calon guru) sehingga terjadi berbagi pengalaman dalam hal cara-cara menguasai dan mengimplementasikan
prinsip-prinsip pedagogi secara umum maupun didaktik-metodik secara khusus yang berlaku pada setiap mata
pelajaran.

Keempat, Jika kita mensepakati bahwa unsure emosi yang paling asasi dalam mendidik adalah kasih sayang,
maka sejak mereka (calon guru) memasuki dunia perkuliahan di LPTK, biasakan sejak dini mereka memasuki
pembelajaran dengan Pedagogi Kasih Sayang. Pesan ini merujuk kepada falsafah belajar dalam Islam yang
sejak awal menyuruh belajar (membaca) dengan atas nama Tuhan. Wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad saw berbunyi "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu. . ." Sedangkan nama tuhan yang pertama
dikenalkan kepada manusia dan terdapat dalam hampir seluruh surat al-Quran adalah "Ar-rohman dan Ar-rohim,
Yang Maha Kasih dan Maha Sayang". Benar apa yang dikatakan Federico Mayor, mantan Mentri Pendidikan
Spanyol, ". . . There is only one pedagogy . .the pedagogy of love" (hanya ada satu pedagogi. yaitu pedagogi
kasih sayang). Dasar pendidikan adalah kasih sayang, cinta kasih yang tulus. Kalau guru sudah kehilangan
kasih sayang kepada muridnya, maka saat itulah pendidikan mulai kehilangan jati dirinya. Ironisnya, hampir
selama tiga dasawarsa terakhi, para calon guru di LPTK sejak awal lebih sering bersentuhan - bahkan bergaul -
dengan ilmu pendidikan 'modern' yang mulai kehilangan sentuhan kasih sayang dan kepekaannya pada anak
manusia. Pendekatan, model, metode, teknik dan bahkan instrumen pembelajaran yang diajarkan kepada
mahasiswa calon guru (SD) sangat kental merujuk kepada aliran Behavioristik yang memandang manusia
sebagai sebuah mesin (homo mechanicus) yang sepenuhnya dikendalikan oleh lingkungan.

Kelima, kehidupan kampus (interaksi mahasiswa di dalamnya, termasuk perkuliahan) harus dirancang
sedemikian rupa sehingga menjadi miniatur kehidupan realistik tempat mereka mengelola, mengaktualisasikan,
dan mema-tangkan perkembangan emosinya secara sehat. Adalah sangat penting adanya institusi dalam LPTK
yang secara terencana dan periodik melakukan studi dan memantau profil serta perkembangan emosi
mahasiswa calon guru (SD). Dari hasil studi ini kemudian dilakukan kegiatan, pembinaan atau pelatihan-
pelatihan khusus untuk mematangkan perkembangan kecerdasan emsosi mereka.

IV. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Guru (SD) masa kini dan masa depan tengah dan akan selalu berhadapan dengan tantangan perkembangan
zaman yang kian berat dan kompleks. Untuk itu para guru harus memiliki dua kompetensi yaitu karakter guru
profesional dan modal kecerdasan emosi yang memadai serta tangguh. Kedua kompetensi tersebut harus sejak
dini dibekalkan oleh institusi penghasil calon guru (LPTK) melalui:

(1) penciptaan ekologi kampus yang demokratis, humanis-religius, ilmiah, dan berorientasi pada kualitas;

(2) penciptaan kampus yang memberdayakan mahasiswa;

(3) memfasilitasi terjadinya kolaborasi antara para guru (calon guru) sehingga terjadi berbagi pengalaman;

(4) melibatkan mahasiswa sejak dini dan secara intens ke dalam pedagogi kasih sayang dalam pengelolaan
pembelajaran; dan

(5) mencipatakn lingkungan kampus serta melakukan studi dan layanan bagi upaya pengenalan dan
pengembangan profil kecerdasan emosi mahasiswa calon guru (SD).

B. Saran

Dalam mengahiri makalah ini penulis mengajukan beberapa saran terkait dengan mempersiapkan calon guru
(SD) yang profesional serta memiliki kecerdasan emosi yang memadai. Saran-saran tersebut adalah sebagai
berikut.

1. Penyiapan guru profesional dengan kecerdasan emosi yang memadai harus dimulai sejak masa rekruitmen
(penerimaan) calon mahasiswa guru SD. Materi, instrument, dan cara seleksi calon mahasiswa harus merujuk
kepada karakteristik dan standar dari profil guru profesional dan kecerdasan emosi.

2. Para mahasiswa calon guru (SD) selama menjalani pendidikan selain menjalani pembinaan wawasan,
karakter, dan profil calon guru profesional ia jua harus secara intensif dievaluasi secara periodik apakah selama
menjalani pendidikan yang bersangkutan mampu menunjukkan sejumlah karakter guru profesional. Evaluasi
untuk hal itu sudah barang tentu tidak cukup dengan 'paper-pencil test' semata-mata. Sistim penilaian dengan
instrumen asesmen yang dipadukan dengan program magang terstruktur di sekolah dasar yang variatif bagi
calon guru SD akan lebih tepat dari pada pola Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang selama ini berjalan.
Terkait dengan itu, sejak dini mahasiswa harus difasilitasi agar terlibat aktif dalam suatu wadah/organisasi
profesi keguruan.

3. Perkuliahan yang berkaitan dengan ilmu mendidik atau metode pembelajaran semestinya diperkaya dengan
kajian-kajian literature yang lebih dominan nuansa humanistis, spiritual, moral, dan kecerdasan emosi.

4. Setiap LPTK penghasil calon guru (SD) hendaknya memiliki institusi yang bertugas khusus secara periodik
melakukan studi/penelitian untuk mengungkap profil dan perkembangan kecerdasan emosi mahasiswa calon
guru (SD). Hasil studi ini menjadi bahan masukan dan pembinaan lebih lanjut bagi mahasiswa yang
bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi Zainul. (1998). Locus of Control, Self-Esteem, dan Tes Baku. Jurnal Pendidikan: Mimbar Pendidikan.
No. 3. Tahun XVII. 1998. Halaman 12-18. Bandung: University Press IKIP Bandung.

Bobbi DePorter & Mike Hernacki. (1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan. (Terj.). Bandung: Penerbit Kaifa.

Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Robert K Cooper & Ayman Sawaf. (2001). Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan
Organisasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Goleman, D. (1998). Emotional Intelligence: Kecerdasan Emotional, Mengapa EI lebih penting dari IQ. (Terj.).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

H.A.R Tilaar. (1999). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional:Dalam Perspektif Abad 21. Magelang:
Penerbit Tera Indonesia.

Jalaluddin Rakhmat. (1999). Sabar: Kunci Kecerdasan Emotional. Buletin Dakwah Al-Tanwir No. 140 Edisi 25
Mei 1999. Bandung: Muthahari Press.

-----------------. (1993). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mohammad Surya. (2003). Percikap Perjuangan Guru. Semarang: CV Aneka Ilmu.

Moh. Zen. (1999). Faktor-faktor Determinatif Perilaku Menyimpang di Kalangan Remaja. Jurnal Pendidikan:
Mimbar Pendidikan. No. 2. Tahun XVIII. 1999. Halaman 52-60. Bandung: University Press IKIP Bandung.

Piet A. Sahartian. (1994). Profil Pendidik Profesional. Jogyakarta: Andi Offset.

Shapiro, L.E. (1998). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. (Terj.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Saya Edi Hendri Mulyana setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan
Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel
masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.

Anda mungkin juga menyukai