Anda di halaman 1dari 4

A. Beberapa atsar para Shahabat r.a.

tentang pengutamaan nash (dalil) diatas


rasio.

1. Dari Ali bin Abi Thalib r.a., dia berkata :


“Andaikata agama itu cukup dengan ra’yu (akal), maka bagian bawah khuf (alas kaki)
lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Aku benar-benar melihat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengusap bagian atas khuf-nya.”
(HR. Abu Daud dengan sanad yang baik. Dalam Al-Talkhishul Habir, 1/160 Al-Hafidh
Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata hadits ini shahih, dan juga telah disepakati Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam Shahihul Abu Daud, 1/33)

2. Dari Umar bi Al-Khaththab r.a., dia berkata tatkala mencium Hajar Aswad:
”Sesungguhnya aku tahu engkau hanya sekedar batu yang tidak bisa memberi madharat
dan manfaat. Kalau tidak karena kulihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan
menciummu.”(HR. Bukhari dan Muslim)

3. Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata :


“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah
kalian mencegah istri-istrimu (untuk mendatangi) masjid-masjid jika mereka meminta
izin kepada kalian.”
Salim bin Abdullah berkata, “Lalu Bilal bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, kami akan
mencegah mereka’.”
Salim berkata, “Lalu Ibnu Umar menghampiri Abdullah dan mengolok-oloknya dengan
olok-olokan yang amat buruk, yang tidak pernah kudengar sebelumnya seperti itu. Dia
berkata, “Aku mengabarkan kepadamu dari Rasulullah, lalu engkau berkata,’Demi Allah,
aku benar-benar akan mencegahnya ?’.”(HR. Muslim)

4. Dari Imran bin Hushain r.a., dia berkata :


“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Malu itu adalah
kebaikan seluruhnya.”
Lalu Busyair bin Ka’ab berkata, “Sesungguhnya di dalam sabda beliau ini terdapat
kelemahan.”
Lalu Imran berkata, “Aku memberitahukan dari Rasulullah, lalu engkau datang untuk
menentang ? Aku tidak akan memberitahukan satu hadits pun yang kuketahui.”(HR.
Bukhari dan Muslim)

5. Dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa dia berkata kepada Ibnu Abbas r.a.:
“Engkau telah menyesatkan manusia.”“Apa itu wahai Urayyah ?”, tanya Ibnu
Abbas.Urwah menjawab, “Engkau memerintahkan umrah pada sepuluh hari itu, padahal
hari-hari itu tidak ada umrah.”Ibnu Abbas bertanya, “Apakah engkau tidak bertanya
mengenai masalah ini kepada ibumu ?”Urwah menjawab, “Sesungguhnya Abu Bakar dan
Umar tidak pernah melakukan hal itu.”Ibnu Abbas berkata, “Inilah yang membuat kalian
rusak. Demi Allah, aku tidak melihat melainkan hal ini akan membuat kalian tersiksa.
Sesungguhnya aku beritahukan kepada kalian dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
namun kalian menjawab dengan diri Abu Bakar dan Umar.”(HR Imam Ahmad dan Al-
Khathib serta lainnya dengan sanad yang shahih)

Perpustakaan-Islam.com
Ibnul Qayyim berkata, “Semoga Allah merahmati Ibnu Abbas. Bagaimana andaikata dia
tahu sekian banyak orang yang menentang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan
menggunakan perkataan Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al-Faraby, Jahm bin Shafwan,
Bisyr Al-Maraisy, Abul Huzail Al-Allaf, dan orang-orang yang sealiran dengan
mereka ?”

Dapat kami katakan (Syaikh Ali Hasan), “Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim.
Bagaimana jika dia tahu ada orang-orang rasionalis abad ke dua puluh, yang menentang
Sunnah hanya dengan menggunakan rasionya yang serba terbatas, dengan gambaran-
gambaran yang rusak dan dengan pendapat yang hina ?”

B. Golongan Rasionalis Masa Kini

1. Salah seorang diantara mereka berkata, “Para pemeluk Islam telah sepakat --kecuali
sebagian kecil di antara mereka yang tidak perlu digubris—bahwa jika aqly dan naqly
saling bertentangan, maka apa yang ditunjukkan oleh aqly harus diambil.”
(Yang dimaksudkan adalah Muhammad Abduh dalam tulisannya, Al-Islam Wan-
Nashraniyyah, hal. 59. Padahal dalam buku Risalatut-Tauhid dia berkata bahwa rasio saja
tidak bisa sampai kepada kebahagiaan ummat, jika tidak disertai petunjuk ilahi)

2. Seorang jurnalis yang juga menganggap dirinya sebagai pemikir ulung yang bernama
Fahmy Huwaidy berkata di dalam sebuah artikelnya yang berjudul Watsaniyyun Hum
Abadatun-Nushush, “Orang-orang paganis adalah para penyembah nash, menguraikan
upaya peniadaan rasio di hadapan nash, bahwa hal ini merupakan gambaran paganisme
modern. Sebab yang disebut paganis itu tidak hanya orang-orang yang menyembah
berhala. Tetapi paganisme pada zaman sekarang berubah menjadi penyembah terhadap
simbol-simbol yang tertuang dalam tulisan dan upacara keagamaan.”

3. Seorang tokoh sekolah Al-Azhar Mesir, Muhammad Al-Ghazaly berkata di dalam


bukunya yang sangat zhalim terhadap ilmu dan ilmuwan, As-Sunnah baina Fiqhi wa
Ahlil-Hadits, “Kita harus tahu bahwa kebatilan yang ditetapkan rasio mustahil
merupakan agama. Agama yang benar adalah yang berunsur kemanusiaan yang benar.
Unsur kemanusiaan yang benar adalah rasio yang bisa menetapkan hakikat, yang bisa
jelas karena ilmu, yang memburukkan khurafat dan yang dijauhkan dari dugaan. Kami
senantiasa menegaskan bahwa setiap hukum yang ditentang rasio, setiap jalan yang tidak
dikehendaki kemanusiaan yang benar dan sejalan dengan fitrah yang lurus, mustahil
merupakan agama.”
Maka dari itu kita melihat Muhammad Al-Ghazali secara berani menolak sekian banyak
hadits Nabawi yang shahih dan kuat, hanya karena hadits-hadits tersebut dianggap
menunggangi rasionya.
(Silahkan baca kitab Kasyfu Mauqifi Al-Ghazaly Minas-Sunnah wa Ahliha wa naqdu
Ba’dhi Ara’ihi, karya DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly yang sudah diterjemahkan
dengan judul Membela Sunnah Nabawy, jawaban terhadap buku Studi Kritis atas Hadits
Nabi, karya Muhammad Al-Ghazaly, anda akan mendapatkan di dalamnya bagaimana ia

Perpustakaan-Islam.com
menolak hadits-hadits shahih yang tidak dapat diterima oleh akalnya walau tercantum
dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Serta setiap syubuhat yang dilontarkannya di
jawab secara ilmiyah oleh Syaikh DR. Rabi bin Hadi Al-Madkhaly –hafidhahullah)

4. Muhammad Ahmad Khalafullah berkata di dalam bukunya, Ghazwun Minad-Dakhil,


hal. 51, “Islam telah membebaskan rasio manusia untuk menguasai nubuwah, dengan
mengumumkan penghabisan masa nubuwah secara total dan sekaligus kebebasan
manusia dari nubuwah.

5. Husain Ahmad Amin yang merupakan penerus langkah bapaknya, berkata, “Menyerap
ruh Islam, dan bukan komitmen terhadap hukum-hukum tertentu, cukup dijadikan tameng
yang bisa membawa kita ke jalan yang lurus. Masyarakat yang ada sekarang
mendapatkan hukuman pidana pencurian tidak seperti hukuman di masyarakat badui.
Begitu pula masalah hijab yang pernah di wajibkan di Madinah. Hukuman potong tangan
yang ditetapkan Al-Qur’an sebagai hukuman bagi pencuri adalah syariat masyarakat
badui. Hijab lebih tepat untuk masyarakat Madinah Al-Munawwarah, dan tidak tepat
untuk masyarakat Cairo pada abad ke dua puluh.”

6. Diantara pendukung paham rasionalis ini adalah seorang Doktor dalam bidang Hukum,
Hasan At-Turaby, yang saat ini namanya cukup berkibar karena hubungan dekatnya
dengan pemerintah Sudan. Dia berkata dalam bukunya Tajdidul-Fikri-Islamy, hal. 26,
“Sumber yang perlu kami tegaskan sekali lagi sebagai dasar adalah rasio.”
Perhatikan pula masalah besar yang dimuntahkan At-Turaby, dalam suatu ceramah yang
disampaikannya dengan judul Tahkimusy-Syari’ah, yang secara lancang dia
membolehkan kemurtadan dari Islam, “Saya ingin mengatakan, bahwa dalam suatu
pemerintahan dan pada satu zaman, orang Muslim boleh mengganti agamanya,
sebagaimana yang dilakukan orang Nashrani.”
Yang menguatkan kedok dirinya dan menambah kejelasan jati dirinya ini adalah
penjelasan Muhammad Surur Zainul Arifin, dalam bukunya, Dirasat Fis-Sirah An-
Nabawiyah, hal. 308, mengisahkan pengalaman pribadi yang dialaminya bersama At-
Turaby. Dia berkata, “Dosen dalam bidang hukum di Universitas Sudan, DR. Hasan
Abdullah At-Turaby ini mengingkari turunnya Isa Al-Masih pada akhir zaman. Dalam
suatu pertemuan pada sebelas tahun yang lalu, saya bertanya kepadanya, “Mengapa
engkau mengingkari hadits yang mutawatir ?”
Dia menjawab, “Saya tidak mengingkari hadits dari segi sanadnya. Tetapi saya melihat
hadits tersebut bertentangan dengan rasio. Padahal rasio harus didahulukan daripada nash
jika terjadi pertentangan.”

7. Yusuf Al-Qardhawi
Beliau berbeda dengan Muhammad Al-Ghazaly yang frontal (beliau menolak hadits
dengan susunan bahasa yang lebih halus dan tidak keras), sekalipun hadits-hadits yang
dibicarakan Al-Qardhawy adalah hadits yang sama dengan yang ditolak Muhammad Al-
Ghazaly berdasarkan rasionya yang sempit. Hadits yang secara terang-terangan ditolak
Muhammad Al-Ghazaly, biasanya Al-Qardhawy cukup berkata, “Saya masih bimbang
tentang hadits yang dimaksud.” Baru kemudian ia menyebutkannya.
Paham rasionalisme ini tampak dalam buku karangannya yang terakhir, Kaifa

Perpustakaan-Islam.com
Nata’amalu Ma’as Sunnah An-Nabawiyyah.
Diantaranya adalah kebimbangannya tentang keabsahan hadits yang diriwayatkan di
dalam shahih Muslim, dari Anas, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda kepada seorang laki-laki, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di
dalam neraka.”
Kadang-kadang Al-Qardhawy beralih kepada takwil yang bertentangan dengan zahir
nash, seperti sikapnya dalam menghadapi hadits, “Kematian di datangkan dalam bentuk
domba berwarna hitam bercampur putih.”(Muttafaq Alaihi)

Maka tidak heran jika engkau melihat kebebasan pemikiran mereka, yang menganggap
Islam itu bukan satu-satunya agama Allah. Berarti mencari agama selain Islam bukan
merupakan kesesatan dan kekufuran. Bahkan mencari agama Nashrani dan Yahudi bisa
membawa pelakunya ke surga dan bahkan bisa ke Firdaus, surga yang paling tinggi,
seperti pendapat Muhammad Ammarah, Fahmy Huwaidy, Abdul Aziz Kamil, Sa’id Al-
Asymawy, Mahmud Abu Rayyah dan lain-lainnya. ( Al-Aqlaniyyah, Hidayah Am
Ghiwayah, hal. 46)

Wallaahu a’lam bishshawab.

(Diringkas dari kitab “Muslim Rasionalis” (Aqlaniyyun), karya Syaikh Ali Hasan bin Ali
Abdul Hamid Al-Atsary – hafidhahullah)

[Kontributor : Abu Abdirrahman Uli, 09 Desember 2001 ]

Perpustakaan-Islam.com

Anda mungkin juga menyukai