Anda di halaman 1dari 5

‫بسم الله الرحمن الرحيم‬

Mencintai Ahlul Bait dan Sahabat Nabi


Secara Proporsional
Muhyiddin Abdusshomad 1

Dalam keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, salah satu kewajiban Umat Islam adalah
mencintai keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad SAW, secara seimbang (tawazun),
tengah-tengah (tawassuth), dan tegak lurus (i’tidal), serta tidak berlebih-lebihan dalam
mencintai keluarga dan sahabat Nabi Muhammad SAW.
Yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ahlul Kisa’ yakni Sayyidah fathimah, Sayyidina
Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan seluruh keturunannya R.A. (Hadits Tirmidzi 2139)
dan para istri Nabi SAW yang kemudian disebut dengan Ummahatul Mukminin R.A. (Surat Al-
Ahzab ayat : 6 )
Menanamkan fanatisme buta kepada keluarga Nabi SAW dapat menimbulkan citra
negatif tentang pribadi mereka. Bahkan pada tingkat tertentu dengan tanpa disadari justru
menistakan keluarga Nabi SAW sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura, dan
penakut (taqiyyah).
Misalnya kelompok yang terlalu berlebihan kecintaannya kepada Sayyidina Ali R.A.
Dalam keyakinan mereka, ketika Sayyidina Ali R.A. tidak diangkat menjadi khalifah pertama
oleh mayoritas sahabat, beliau marah dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan
menyebarkan caci maki, dan kelak di akhirat orang-orang yang dianggap merampas jabatannya
akan dipukuli, disiksa, disalib dan dikeroyok oleh Sayyidina Ali R.A. beserta para putra dan
pengikutnya untuk melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar sejak lama sebagaimana
dalam i’tiqad adanya raj’ah..
Kepercayaan ini memang berawal dari kecintaan yang berlebihan kepada Sayyidina Ali
R.A. namun dampak yang diakibatkan cukup merisaukan, karena menggambarkan potret buram
keluarga Nabi SAW yang suci dengan gambaran orang-orang yang selalu menyimpan dendam
kesumat, gila jabatan, dan tidak berprikemanusiaan.
Dalam keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, hal itu tidak mungkin terjadi pada
keluarga Nabi Muhammad SAW yang disucikan oleh Allah SWT dari perbuatan yang buruk.
Memang sejarah telah mencatat ada perselisihan antara sebagian keluarga dan para sahabatnya.
Tetapi hal tersebut tidak sampai pada tingkat menebarkan dendam kesumat sepanjang zaman
sebab Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah SWT dari prilaku yang kotor.

***

Di antara Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad SAW ada kemesraan yang

1 Ketua Tanfidziyah PCNU Jember


terjalin, saling mencintai karena Allah SWT, tidak ada permusuhan dan dendam kesumat. Ada
banyak bukti dalam I’tikad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, bahwa hubungan keluarga Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya sangat baik. Diantaranya adalah pernyataan Sayyidina
Abu Bakar R.A. tentang kecintaan beliau kepada kelurga Nabi SAW:

‫ه‬
ُ ‫ي الل ل‬ َ ‫ض َل‬
ِ ‫ر َر‬ ٍ ‫و ب َك ْل‬ْ ‫ل ا َب ُل‬ َ . ‫ها‬
َ ‫قللا‬ َ ْ ‫عن‬
َ ‫ه‬ُ ‫ي الل‬َ ‫ض‬ِ ‫ة َر‬ َ ‫ش‬ َ ِ ‫عائ‬َ ‫ن‬ ْ ‫ع‬ َ
‫ي‬ّ َ ‫ب إ ِل‬ّ ‫ح‬َ ‫مأ‬ َ ّ ‫سل‬َ ‫و‬ َ ‫ه‬ ِ ْ ‫عل َي‬
َ ‫ه‬ ُ ‫صّلى الل‬ َ ‫ه‬ ِ ‫ل الل‬ِ ‫سو‬ُ ‫ة َر‬ ُ َ ‫قَراب‬ َ َ‫ه ل‬
َ
ُ ْ ‫عن‬ َ
َ
(3730 ‫ رقم‬،‫ )صحيح البخاري‬.‫قَراب َِتي‬ َ ‫ن‬ْ ‫م‬ ِ ‫ل‬ َ ‫ص‬ ِ ‫نأ‬ ْ ‫أ‬
“Dari Aisyah R.A., sesungguhnya Abu bakar berkata, “Sungguh kerabat-kerabat Rasulullah
SAW lebih aku cintai dari pada keluargaku sendiri. (Shohih al-Bukhori, 3730)
Sayyidina Umar R.A. juga merupakan salah seorang sahabat yang selalu memperhatikan
keluarga Nabi SAW. Mengenai hal ini dari Ibnu Abbas menyatakan:

‫عل َللى‬ َ ‫ه‬ ُ ‫عن ْل‬َ ‫ه‬ ُ ‫ي اللل‬ َ ‫ضل‬ ِ ‫ملُر َر‬ َ ‫ع‬ ُ ‫خطَب ََنا‬
َ ‫ل‬ َ ‫قا‬ َ ‫س‬ ٍ ‫عّبا‬ َ ‫ن‬ ِ ْ ‫ن اب‬ ْ ‫ع‬ َ
‫ي‬
ّ ‫عِلل‬ َ ‫ل‬ َ ‫قلا‬ َ ‫ف‬ َ ‫م‬ َ ّ ‫سلل‬َ ‫و‬
َ ‫ه‬ ِ ‫عل َْيل‬
َ ‫ه‬ ُ ‫صلّلى اللل‬ َ ‫ه‬ ِ ‫ل اللل‬ ِ ‫سو‬ ُ ‫ر َر‬ ِ َ ‫من ْب‬ ِ
ُ ‫قَر‬
‫ؤن َللا‬ ْ ‫هأ‬َ ُ َ
ْ ‫هأ‬
ُ ‫عن ْل‬
َ ‫ه‬ ُ ‫ي اللل‬ َ ‫ضل‬ ِ ‫ي َر‬ ّ ‫وأب َل‬َ ‫ضللاَنا‬
َ ‫ق‬ ُ ‫عن ْل‬
َ ‫ه‬ُ ‫ي الل‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َر‬
(4121 ،‫)صحيح البخاري‬
“Dari Ibn Abbas, ia bercerita, “Sayyidina Umar pernah berkhutbah kepada kami di atas
mimbar Rasulullah SAW, Ia berkata, “Sayyidina Ali adalah orang yang paling ahli di bidang
hukum, dan Ubay adalah orang yang paling fasih bacaannya” (Shohih al-Bukhori, 4121)
َ
‫ه‬
ُ ْ ‫عن‬
َ ‫ه‬ ُ ‫ي الل‬َ ‫ض‬ ِ ‫ر َر‬ ٍ ْ ‫صّلى أُبو ب َك‬ َ ‫ل‬
َ
َ ‫قا‬َ ‫ث‬ ِ ‫ر‬ِ ‫حا‬َ ْ ‫ن ال‬ِ ْ‫ة ب‬ َ َ ‫قب‬ ْ ‫ع‬ُ ‫ن‬ ْ ‫ع‬ َ
‫ن‬ ِ ‫صلب َْيا‬ ّ ‫ع ال‬ َ ‫م‬
َ ‫ب‬ ُ ‫ع‬ َ ْ ‫ن ي َل‬
َ ‫س‬
َ ‫ح‬ َ ْ ‫فَرأى ال‬ َ ‫شي‬ ِ ‫م‬ ْ َ‫ج ي‬ َ ‫خَر‬َ ‫م‬ ّ ُ ‫صَر ث‬ ْ ‫ع‬ َ ْ ‫ال‬
‫ه‬ٌ ‫شلِبي‬ َ ‫يل‬ ّ ِ ‫ه ب ِللالن ّب‬ ٌ ‫شلِبي‬َ ‫ل ب ِلأ َِبي‬ َ ‫و‬
َ ‫قللا‬ َ ‫ه‬ ِ ‫ق‬ِ ِ ‫عات‬َ ‫عَلى‬ َ ‫ه‬ ُ َ ‫مل‬ َ ‫ح‬َ ‫ف‬ َ
(3278 ،‫ك )صحيح البخاري‬ ُ ‫ح‬ َ ‫ض‬ْ َ‫ي ي‬ ّ ِ ‫عل‬ َ ‫و‬َ ‫ي‬ ّ ِ ‫عل‬ َ ِ‫ب‬
”Dari Uqbah bin Harits ia berkata, ”Suatu ketika Abu Bakar melaksanakan shalat Ashar.
Setelah itu berjalan pulang dan melihat Hasan bin Ali sedang bermain dengan anak-anak
sebaya. Abu Bakar kemudian menggendongnya seraya berkata, ”Sungguh, anak ini sangat
mirip dengan Nabi, tidak mirip Ali”. Mendengar pernyataan ini, Ali tertawa. (Shohih al-
Bukhori, 3278)
Rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW itu
bagaikan kata berjawab gayung bersambut, sebagaimana tergambarkan dalam ungkapan
Sayyidina Ali R.A.:
َ ‫قل ْت ل َبللي أ‬
‫خي ْ لٌر‬ َ ‫س‬ ِ ‫لا‬ ‫ل‬ّ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ي‬
ّ ِ ُ ُ ‫ل‬ َ ‫قا‬ َ ‫ة‬ ِ ّ ‫في‬ِ َ ‫حن‬ َ ْ ‫ن ال‬ ِ ْ ‫د اب‬ ِ ‫م‬ّ ‫ح‬ َ ‫م‬ُ ‫ن‬ ْ ‫ع‬ َ
َ َ ‫قا‬
‫ل‬َ ‫قا‬ َ ‫ر‬ ٍ ْ ‫بو ب َك‬ ُ ‫لأ‬ َ ‫م‬ َ ّ ‫سل‬ َ ‫و‬
َ ‫ه‬ ِ ْ ‫عل َي‬َ ‫ه‬ ُ ‫صّلى الل‬ َ ‫ه‬ ِ ‫ل الل‬ ِ ‫سو‬ ُ ‫عدَ َر‬ ْ َ‫ب‬
َ َ
‫م‬ ّ ‫ل ُثل‬َ ‫قللو‬ ُ ‫نأ‬ ْ ‫تأ‬ ُ ‫شللي‬ ِ ‫خ‬ َ ‫م‬ ّ ُ‫ل ث‬ َ ‫قا‬ َ ‫مُر‬ َ ‫ع‬ ُ ‫م‬ ّ ُ‫ل ث‬ َ ‫قا‬ َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ َ ‫م‬ ّ ُ‫ت ث‬ ُ ْ ‫قل‬ ُ
ّ ‫مللا أ َن َللا إ ِل‬ َ ‫ل‬ َ ‫قللا‬َ ‫ة‬ َ
ِ َ ‫ت َيا أب‬
َ
َ ْ ‫م أن‬ ّ ُ‫ت ث‬ ُ ْ ‫قل‬ ُ ‫ف‬َ ‫ن‬ ُ ‫ما‬ َ ْ ‫عث‬ ُ ‫ل‬ َ ‫قو‬ ُ َ ‫في‬ َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ َ
(4013 ،‫ن )سنن ابي داود‬ َ ‫مي‬ ِ ِ ‫سل‬ ْ ‫م‬ ْ
ُ ‫ن ال‬ ْ ‫م‬ ِ ‫ل‬ ٌ ‫ج‬ ُ ‫َر‬
”Dari Muhammad bin Hanafiyyah, ia berkata, “Saya bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi
Thalib R.A.), ”Siapakah manusia paling mulia setelah Rasulullah SAW?”, Sayyidina Ali
menjawab, ”Sayyidina Abu Bakar”. Aku bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi?” Sayyidina Ali
menjawab, ”Sayyidina Umar bin Khattab R.A.”. Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi,
3

”Kemudian siapa lagi?”, Sayyidina Ali menjawab, ” Sayyidina Utsman bin Affan R.A.”. Lalu
aku berkata, ”Kemudian Engkau wahai ayahku” Sayyidina Ali R.A. menjawab (seraya
merendahkan diri), ”Tidak, aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya”(Sunan
Abi Dawud, 4013)

‫ن‬ ُ ‫م لُر ب ْل‬ َ ‫ع‬ ُ ‫ع‬ َ ‫ضل‬ ِ ‫و‬ ُ ‫ل‬ َ ‫قللا‬ َ ‫ه‬ ُ ‫عن ْل‬َ ‫ه‬ ُ ‫ي الل ل‬ َ ‫ضل‬ ِ ‫م لَر َر‬ َ ‫ع‬ ُ ‫ن‬ ِ ‫ن اب ْ ل‬ ِ ‫عل‬ َ
‫ي‬ ّ ‫عل ِل‬ َ َ‫جللاء‬ َ ‫ف‬ َ ‫ر‬ ِ ‫قب ْل‬ َ ْ ‫وال‬َ ‫ر‬ ِ َ ‫من ْب‬ِ ْ ‫ن ال‬ َ ْ ‫ه ب َي‬ ُ ْ ‫عن‬َ ‫ه‬ ُ ‫ي الل‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ب َر‬ ِ ‫طا‬ ّ ‫خ‬ َ ْ ‫ال‬
‫و‬َ ‫هلل‬ ُ ‫ل‬ َ ‫قللا‬ َ ‫ف‬ َ ‫ف‬ ِ ‫فو‬ ُ ‫ص‬ ّ ‫ي ال‬ ْ َ‫ن ي َد‬ َ ْ ‫م ب َي‬ َ ‫قا‬ َ ‫حّتى‬ َ ‫ه‬ ُ ْ ‫عن‬ َ ‫ه‬ ُ ‫ي الل‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َر‬
‫ق‬ ْ َ ‫ن‬ َ ‫عل َي ْل‬ َ ‫قا‬ َ ‫م‬ ّ ُ‫ت ث‬ َ َ ‫ذا ث َل‬ َ ‫ه‬
ِ ‫خل ل‬ ْ ‫مل‬ ِ ‫مللا‬ َ ‫ك‬ َ ‫ه‬
َ
ِ ‫ة الل‬
َ
ُ ‫م‬ َ ‫ح‬ ْ ‫ل َر‬ ٍ ‫مّرا‬
َ
َ ‫ث‬ َ
‫د‬
َ ‫علل‬ ْ َ‫ه ب‬ ِ ِ ‫فت‬ َ ‫حي‬ ِ ‫صلل‬ َ ِ ‫قللاهُ ب‬ َ ْ ‫ن أل‬ ْ ‫نأ‬ ْ ‫ملل‬ ِ ‫ي‬ ّ ‫ب إ َِللل‬ ّ ‫حلل‬ َ ‫عللاَلى أ‬ َ َ‫ه ت‬ ِ ‫الللل‬
‫جى‬ ّ ‫سلل‬ َ ‫م‬ ُ ْ ‫ذا ال‬ َ ‫ه‬ َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ِ ‫م‬ َ ّ ‫سل‬ َ ‫و‬ َ ‫ه‬ ِ ْ ‫عل َي‬َ ‫ه‬ ُ ‫صّلى الل‬ َ ‫ي‬ ّ ِ ‫ة الن ّب‬ ِ ‫ف‬ َ ‫حي‬ ِ ‫ص‬ َ
(823 ،‫ه )مسند أحمد‬ ُ ُ ‫وب‬ ْ َ‫ه ث‬ ِ ْ ‫عل َي‬ َ
“Dari Ibn Umar R.A. ia berkata, “Ketika jenazah Sayyidina Umar diletakkan di antara
mimbar dan makam Rasulullah SAW, Sayyidina Ali R.A. datang dan berdiri di shaf terdepan,
seraya mengatakan, “Inilah orangnya, inilah orangnya, inilah orangnya. Mudah-mudahan
Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepadamu. Tidak seorangpun hamba Allah SWT yang
paling aku cintai untuk bertemu Allah SWT (dengan membawa buku catatan yang baik),
setelah buku catatan Nabi SAW, selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni
jenazah Sayyidina Umar).” (Musnad Ahmad, 823)
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari ungkapan Sayyidina Ali R.A. ini. Pertama,
penghormatan Sayyidina Ali R.A. yang begitu tinggi kepada para sahabat, khususnya tiga
khalifah sebelum beliau. Tidak ada rasa dendam atau merasa tersaingi dan didholimi. Kedua,
kerendahan hati sayyidina Ali R.A. Dalam kapasitas beliau sebagai Ahlul Bait, tidak ada
perasaan lebih mulia dari yang lain, seraya mengatakan, ”Aku hanya seorang laki-laki biasa
seperti muslim lainnya”. Ketiga, tidak mungkin beliau melakukan taqiyyah (pura-pura) dalam
ucapannya itu, sebab penghormatan Sayyidina Ali R.A. diungkapkan pada saat orang yang
dipuji itu telah meninggal dunia, bahkan ketika beliau sedang menjadi khalifah. Data seperti
tersebut di atas tidak hanya dicatat dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah tetapi bisa didapatkan juga
dalam kitab-kitab Syi’ah, misalnya dalam kitab Talkhis Asy- Syafi Juz II Hal. 48, Asy-Syafi
hal 428, dan lain-lain.
Tidak hanya sampai di sini, kecintaan dan persaudaraan itu berlangsung terus hingga
anak keturunan mereka. Bahkan kecintaan yang mendalam di antara para sahabat dengan
keluarga Nabi Muhammad SAW tidak cukup dengan pernyataan semata, tetapi sampai pada
pembuktian yang nyata seperti memberikan nama putra mereka dengan nama para sahabat besar
itu. Misalnya Sayyidina Ali R.A., di antara 33 putra putri beliau ada yang diberi nama dengan
Abu Bakar, Umar dan Utsman (Imam Ali bin Abi Thalib, Hal. 9). Sayyidina Hasan memberi
nama Abu Bakar dan Umar di antara 14 putra-putrinya. Sayyidina Husain juga memberi nama
Abu Bakar dan Umar diantara 9 putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum
Mahabbata Ali baitin Nabi). Imam Ali Zainal Abidin R.A. menunjukkan kecintaannya kepada
para sahabat Nabi SAW juga dengan memberi nama salah seorang putranya dengan dengan
nama Umar. Begitu pula Imam Musa al-Kadzim memberi nama salah satu putranya dengan
nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, Juz 2, Hal. 217), Imam Ali al-Ridla R.A. memberi
nama salah seorang putrinya dengan nama Aisyah (Kasyful Ghummah, Juz 2, Hal. 237), dan
Imam Ali al-Hadi R.A. juga memberi nama salah seorang putrinya dengan nama Aisyah. (al-
Fushuulul Mihimmah 238)
Siapapun tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya, tentu memilih
nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah harapan semoga anak yang dimaksud
dapat meneladani dan memiliki kualitas individu sebagaimana orang yang ditiru namanya.
Sudah pasti hal itu tidak akan terjadi bilamana di hati mereka ada permusuhan dan dendam
kesumat. Ini sebagai bukti bahwa Allah SWT melindungi Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW
dari berbagai penyakit hati.
Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad SAW
tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai
tingkatan pernikahan dan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar R.A. menikah dengan Ummi
Kultsum R.A. putri Sayyidina Ali R.A., Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan R.A. menikah
dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib R.A. Muhammad bin Abdullah bin
Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib
R.A. (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, Juz IV, Hal. 114 dan 120) (Perlu diketahui pula bahwa
Sayyidina Usman R.A. adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali R.A. dari jalur ibunya yang
bernama Arwa binti Baidla’ binti Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li-Almas’udi, juz 2
hal. 340)
Dengan demikian di tubuh Sayyidina Usman R.A. juga mengalir darah Bani Hasyim).
Imam Muhammad al-Baqir, ayahanda dari Imam Ja’far al-Shadiq R.A., menikah dengan cucu
Sayyidina Abu Bakar R.A., yakni Ummu Farwah putri Al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar R.A. Ibu dari Ummu Farwa tersebut ialah Asma’ Abdurrahman bin Abu Bakar yang
saudara sekandung dengan Aisyah R.A. (Al-Kafi, Juz I, Hal. 472). Dan dalam konteks inilah
Imam Ja’far al-Shadiq R.A. menyatakan:
َ
‫ن‬
ِ ْ ‫مّرت َي‬ ٍ ْ ‫و ب َك‬
َ ‫ر‬ ْ ِ ‫ول َدَن‬
ْ ُ ‫ي أب‬ َ
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali (yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya)”
Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Ja’far al-Shadiq yang mulia mengajarkan caci
maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari akhlaqul karimah. Simaklah baik-baik apa yang
dikatakan oleh Imam Ja'far al-Shodiq R.A. kepada muridnya yang bernama Salim bin Abi
Hafshah :
َ
‫ه‬
ُ ‫ي الل ل‬ َ ‫ضل‬ِ ‫ف لَر َر‬َ ‫ع‬ ْ ‫ج‬
َ ‫ه‬ ُ ‫ل ل َل‬َ ‫قللا‬َ ,‫صلله‬ َ ‫ف‬ ْ ‫ح‬َ ‫ن أِبي‬ ُ ‫مب‬ ْ ِ ‫سال‬َ ‫ن‬ ْ ‫ع‬ َ
َ َ
‫ه‬ُ ‫ي الل ل‬ َ ‫ضل‬ِ ‫ر َر‬ٍ ْ ‫ه؟ أُبو ب َك‬ ُ ّ ‫جد‬ َ ‫ل‬ُ ‫ج‬ ُ ‫ب الّر‬ ّ ‫س‬ُ ‫ه‬ ْ َ ‫م! أي‬ ُ ِ ‫سال‬َ ‫ َيا‬:‫ه‬ ُ ْ ‫عن‬ َ
َ ّ ‫ إل‬,‫شلليًئا‬ َ ‫ش‬ َ
‫و‬ ْ ‫جلل‬
ُ ‫وأْر‬ َ ِ ْ َ ‫ي‬ ّ ِ ‫عل‬َ ‫ة‬ ٍ ‫ع‬
َ ‫فا‬ َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ِ ‫جو‬ ُ ‫ما أْر‬ َ ‫و‬ َ .‫ي‬ ْ ّ ‫جد‬ َ ‫ه‬ ُ ْ ‫عن‬ َ
(97 ‫ ص‬,‫ )عقود اللماس‬.‫ه‬ ُ َ ‫مث ْل‬
ِ ‫ر‬ ٍْ ‫ة أ َِبي ب َك‬ ِ ‫ع‬
َ ‫فا‬ َ ‫ش‬ َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ِ
5

" Wahai Salim adakah seorang cucu akan memaki kakeknya sendiri ?Abu Bakar adalah
kakekku, jika aku mengharapkan syafaat dari Ali R.A. tentu aku mengharapkan syafaat yang
sama dari Abu Bakar R.A. " (Uqud Al-Almas, hal 97)
Last but not least, Sayyidina Ali R.A. menikah dengan Asma’ binta Umais (janda
Sayyidina Abu Bakar R.A.) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binta Umais tersebut
adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah R.A. selama sakit di akhir hayatnya,
padahal Asma' binta Umais tersebut pada waktu itu masih menjadi istrinya Abu Bakar R.A.(Al-
Amali, Juz I, Hal. 107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binta Umais adalah orang yang
turut memandikan jenazah Sayyidah Fathimah R.A.(Kasyful Ghummah, Juz I, Hal. 237). Al-
Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimah R/A. berwasiat agar Asma’ binta Umais turut
mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah R.A. kemudian Asma’
melaksanakan wasiat tersebut (Jila’ul Uyun, Hal. 235, 242). Hal itu tidak mungkin dilakukan
tanpa seizin Abu Bakar sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah, tidak mungkin
keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika asma' bukan wanita yang shalehah, tentu sayyidina Ali
R.A. tidak bakal menikahinya.
Fakta-fakta tersebut di atas menambah keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa
Sayyidina Ali R.A. tidak ada masalah dengan Sayyidina Abu Bakar R.A. bahkan Sayyidina Ali
R.A. sejak awal turut membai’at Sayyidina Abu Bakar R.A. sebagai Khlaifah pertama
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban (Irsyad As-Sari, Juz VI, Hal. 377) dan Ibn
al-Atsir. (Al-Kamil Juz II, Hal. 220). Dengan demikian antara Sayyidina Ali R.A. dan
Sayyidina Abu Bakar R.A. pada hakikatnya di antara keduanya terjalin tautan kasih dan
tambatan sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh deburan
ombak yang dahsyat sekalipun. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad SAW dalam
membimbing keluarga dan para sahabatnya.
Jika kita benar-benar mencintai Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW, tentu kita wajib
mencontoh sikap santun dan kerendahan hati mereka. Sebab sebagai keluarga suci, hati dan
lidah mereka jauh dari hal-hal yang mengotori semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut
dan dengki, tentu jauh dari mereka, sejauh panggang dari api.
***

‫والله الموفق الى اقوم الطريق‬

Anda mungkin juga menyukai