1. Pendahuluan
Beberapa waktu belakangan ini , marak masalah tentang Malpraktik kedokteran di Indonesia dan
baru baru ini yang paling marak tentang pasien yang pernah mengeluhkan dirinya menjadi
korban malpraktek RS Omni yaitu Prita Mulyasari, tapi kasus yang saya bahas ini bukan tentang
PritaMulya Sari tetapi seorang bayi yang mengalami mal praktek. . Jika kita membahas masalah
Malpraktik ini, maka akan terlintas mengenai pelanggaran kode etik dokter. Hal ini juga pastinya
terkait oleh pembahasan tentang Etika Profesi.
2. Pembahasan
Dalam suatu profesi, perlu adanya norma yang mengatur segala aspek dalam profesi tersebut.
Kode etik profesi ini pada dasarnya mengatur hubungan antara profesional (orang yang
menguasai suatu bidang profesi), dengan klien (pihak yang menggunakan jasa profesional).
Profesional harus memberikan jasa atas keahliannya sebaik-baiknya kepada Klien.
Tapi ada kalanya etika profesi dilanggar. Hal ini biasanya dilakukan oleh para profesional yang
kurang baik dalam memberikan jasa pada klien mereka. Malpraktik medis atau kesalahan medis
adalah salah satu pelanggaran etika profesi. Pelanggaran ini dapat berupa kesalahan diagnosis
penyakit pasien, kemudian berimbas pada kesalahan terapi, bahkan kelalaian dokter pasca
operasi pada pasien.
Masalah yang terjadi oleh seorang bayi , yaitu :
Maulana adalah seorang anak berusia 18 tahun. Dulunya adalah anak yang mengemaskan dan
pernah menjadi juara bayi sehat. Namun makin hari tubuhnya makin kurus. Dan organ tubuhnya
tidak bisa berfungsi secara normal. Tragedi ini terjadi ketika Maulana mendapat imunisasi dari
petugas kesehatan. Diduga korban kuat Maulana adalah korban mal praktek.
Maulana, kini berusia 18 tahun. Namun ia hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Tragedi ini
bermula saat usianya empat puluh lima hari. Seperti balita pada umumnya, Maulana
mendapatkan imunisasi dari petugas Dinas Kesehatan. Petugas memberikan tiga imunisasi
sekaligus, yaitu imunisasi BCG, imunisasi DPT dan imunisasi Polio.
Namun setelah dua jam menerima imunisasi, Maulana mengalami kejang-kejang, dan suhu
tubuhnya naik tajam. Sehingga orang tuanya panik dan langsung membawanya ke rumah sakit.
Namun kondisinya justru makin menburuk. Setelah lima hari dirawat, Maulana malah tidak
sadarkan diri, selama tiga minggu. Sejak itu, tubuh Maulana selalu sakit sakitan dan hampir
seluruh organ tubuhku tidak berfungsi normal.
Dokter mendiagnosa Maulana mengalami radang otak. Namun setelah itu, satu persatu penyakit
akut menggerogoti kesehatannya. Semakin hari badannya semakin kecil, dan mengerut. Maulana
sering mengalami sesak nafas, dan kejang kejang. Lina yakin, Maulana menjadi korban
malpraktek. Karena beberapa dokter yang perawat Maulana menyatakan, anaknya mengalami
kesalahan imunisasi.Kini Lina, hanya bisa pasrah. Ia merawat Maulana, seperti merawat bayi.
Saat makan Maulana tetap harus disuapi, demikian juga ketika buang air besar dan kencing.
Orangtuanya selalu memakaikan popok.
Kasus dugaan mal praktek seperti kasus Maulana merupakan kesalahan dalam etika profesi
sebagai dokter karena memberikan pelayanan di bawah, melakukan kelalaian berat sehingga
membahayakan pasien. Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Fachmi Idris menyatakan, profesi
dokter, diikat oleh sebuah etika profesi dalam sebuah payung Majelis Kode Etik Kedokteran atau
MKEK. Seorang dokter dapat dikatakan melakukan pelanggaran saat praktek, jika sudah
dibuktikan dalam suatu sidang majelis kode etik.
Dari kasus Maulana , dapat dicermati bahwa tudingan dokter yang melakukan malpraktik dapat
ditujukan terhadap suatu tindakan kesengajaan (dolus) ataupun kelalaian (culpa) seorang dokter
dalam menggunakan keahlian dan profesinya yang bertentangan dengan SOP yang lazim dipakai
di lingkungan kedokteran yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) dan Undang Undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Namun, jika kesalahan tersebut dikategorikan malpraktik
maka Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah
lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum
maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Sudah saatnya pihak
berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik.
Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan
komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus
malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab
hukum profesinya dan memegang etika profesi .
3.Penutup
Fenomena Malpraktik seharusnya tidak terjadi jika tiap profesional memegang etika profesi dan
memiliki kepekaan moral. Kepekaan dalam bersikap kepada sesama profesional, atau rasa
tanggung jawab atas profesinya kepada masyarakat.
Etika profesi akan berguna jika dirasakan manfaatnya oleh profesional sendiri. Selain itu,
kegunaan itu akan terwujud jika dirasakan pula oleh pengguna jasa profesional. Tapi disisi lain
kita tidak bisa juga menanggap dokter sebagai “penjahat” medis karena kita sadar bahwa dokter
juga manusia yang bisa melakukan kesalahan.
Sumber : http://www.indosiar.com/
Etika Kedokteran bagi Dokter Muslim
Oleh : Dr. Dito Anurogo | 20-Nov-2007, 00:53:14 WIB
Pada jaman yang kian berkembang ini telah banyak terjadi berbagai macam kasus yang
memperburuk nama banyak dokter. Beberapa di antaranya mungkin dikarenakan oleh sikap
dan perilaku seorang Dokter dalam menghadapi dan melayani pasiennya. Oleh karena itu,
dalam bertugas dan bekerja, seorang dokter memerlukan suatu etika untuk menjalankan
profesinya. Agar dapat tercapai suatu keserasian, kecocokan dan komunikasi yang baik
antara Dokter dengan pasien dan lingkungannya. Dalam hal ini kita membahas tentang
etika dokter muslim.
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti adat, budi pekerti (bahasa Inggris =
ethics). Di sini etika dapat dipahami sebagai ilmu mengenai kesusilaan. Dalam filsafat
pengertian etika adalah telah dan penilaian kelakuan manusia ditinjau dari kesusilaannya.
Kesusilaan yang baik merupakan ukuran kesusilaan yang disusun bagi diri seseorang atau
merupakan kumpulan keharusan, kumpulan kewajiban yang dibutuhkan oleh masyarakat
atau golongan masyarakat tertentu bagi anggota-anggotanya. Dalam hal ini etika bagi para
dokter Muslim. Kadang kesusilaan didasarkan pada agama, sehingga bilamana yang
berkuasa itu agama, maka agama menjadi guru etika. Dalam melaksanakan etika
terkandung unsur-unsur pengorbanan bagi sesama manusia dan unsur dedikasi atau
pengabdian terhadap sesama manusia.
Untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak jarang dokter harus berjuang lebih dulu
melawan tradisi yang telah tertanam
dengan kuat. Dalam hal ini, seorang Dokter Muslim tidak mungkin memaksakan kebudayaan
profesi yang selama ini dianutnya.
Mengenai etika kedokteran terhadap orang sakit antara lain disebutkan bahwa seorang
Dokter Muslim wajib:
• Memperlihatkan jenis penyakit, sebab musabab timbulnya penyakit, kekuatan tubuh orang
sakit, keadaan resam tubuh yang tidak sewajarnya, umur si sakit dan obat yang cocok
dengan musim itu, negeri si sakit dan keadaan buminya, iklim di mana
ia sakit, daya penyembuhan obat itu.
• Di samping itu dokter harus memperhatikan mengenai tujuan pengobatan, obat yang
dapat melawan penyakit itu, cara yang mudah dalam mengobati penyakit.
• Selanjutnya seorang dokter hendaknya membuat campuran obat yang sempurna,
mempunyai pengalaman mengenai penyakit jiwa dan pengobatannya, berlaku lemah
lembut, menggunakan cara keagamaan dan sugesti, tahu tugasnya.
Sifat-sifat penting lain yang harus dimiliki oleh seorang Dokter Muslim ialah :
• Adanya belas kasihan dan cinta kasih terhadap sesama manusia, perasaan sosial yang
ditunjukkan kepada masyarakat.
• Harus berbudi luhur, dapat dipercaya oleh pasien, dan memupuk keyakinan profesional.
• Seorang dokter harus dapat dengan tenang melakukan pekerjaannya dan harus
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.
• Bersikap mandiri dan orisinal karena pengetahuan yang diwarisi secara turun temurun dari
buku-buku masih jauh memadai.
• Ia harus mempunyai kepribadian yang kuat, sehingga dapat melakukan pekerjaanya di
dalam keadaan yang serba sulit. Dan tentunya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan
agama.
• Seorang dokter muslim dilarang membeda-bedakan antara pasien kaya dan pasien miskin.
• Seorang dokter harus hidup seimbang, tidak berlebih-lebihan, tidak membuang waktu
serta energi dengan menikmati kesenangan dan kenikmatan.
• Sebagian besar waktunya harus dicurahkan kepada pasien,
• Seorang dokter muslim harus lebih banyak mendengar dan lebih sedikit bicara,
• Seorang dokter muslim tidak boleh berkecil hati dan harus merasa bangga akan
profesinya karena semua agama menghormati profesi dokter.
Istilah Arab untuk menyebut dokter adalah hakim, salah satu nama Allah yang berarti orang
yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan.
• Bolehkah seorang dokter meminta bayaran? Jika ya, seberapa besar? Hal tersebut
merupakan masalah yang terus diperdebatkan dalam islam. Masalah ini tampaknya
merupakan bagian dari masalah yang lebih besar: Bolehkah seorang guru, terutama guru
agama, menerima bayaran. Bahkan dewasa ini sebagian kalangan tetap mengharamkan
meminta bayaran dalam pengajaran Al Qur’an dan penyebarluasan ilmu keagamaan.
Menurut sebuah hadits Nabi, diperbolehkan membayar seorang dokter untuk pelayanan
medisnya. Al-Dzahabi mengisahkan suatu hari sekelompok sahabat Muslim tiba di sebuah
suku tertentu, yang memperlakukan mereka dengan ramah. Tiba-tiba salah satu anggota
suku tersebut digigit ular dan para pengembara itu dimintai tolong untuk menyembuhkan.
Kemudian orang yang tergigit tersebut sembuh dan suku membayar sejumlah seratus ekor
kambing. Sebuah transaksi yang dibolehkan oleh Rasulullah. Dari sinilah legalitas untuk
meminta bayaran atas perawatan itu bermula. Namun banyak kalangan yang tidak setuju
untuk mencari nafkah dari orang sakit.
Menurut pendapat Abu Bakar Al-Razi, bahwa baik pasien maupun dokter harus memenuhi
etika. Beliau menganjurkan pasien agar
mengikuti dangan ketat perintah dokter,
• Menghormati dokter, dan
• Menganggap dokter sebagai sahabat terbaiknya.
• Pasien harus berhubungan langsung dengan dokter dan
• Tidak boleh merahasiakan penyakit yang diderita.
Dan tentu akan lebih baik jika orang meminta nasehat dokter tentang cara menjaga
kesehatan sebelum membutuhkan pengobatan. Bahwa pencegahan lebih baik daripada
pengobatan merupakan sebuah prinsip yang dianjurkan oleh semua dokter, termasuk para
dokter Muslim.
Pakar Andrologi Prof. dr. Muhammad Kamil Tadjudin, Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) UIN Jakarta, mengatakan, etika kedokteran dalam Islam mempunyai sifat
yang tetap. Berbeda dengan etika kedokteran sekuler yang cenderung berubah-ubah.
Etika kedokteran Islami, menurut Beliau, mempunyai perbedaan secara mendasar dengan
etika kedokteran sekuler. Etika kedokteran Islami diturunkan dari tradisi dan kepercayaan
agama, sehingga bentuknya akan tetap untuk selamanya. Sebaliknya etika kedokteran
sekuler dirumuskan oleh masyarakat yang sikapnya berubah-ubah. “Contohnya adalah sikap
tentang aborsi yang berkisar antara sikap melarang semua bentuk aborsi sampai
diperbolehkannya aborsi atas permintaan,” paparnya. Demikian pula halnya sikap terhadap
“gay” dan euthanasia, yang juga berkisar dari pelarangan penuh sampai diperbolehkan
dengan indikasi tertentu.
Beliau juga mengatakan, antara etika kedokteran Islami dan kedokteran sekuler memiliki
perbedaan mendasar, misalnya etika tentang pemberian nasihat moral terhadap seorang
pasien. Sebagai contoh, jika ada seorang pasien yang mengadakan “chek up” pada seorang
dokter Muslim dan dia mendapat keterangan bahwa orang itu sering minum alkohol, maka,
walaupun orang itu sehat, wajib bagi dokter Muslim memberi nasihat untuk tidak minum
alkohol. Sementara dalam etika kedokteran sekuler, nasihat moral itu mungkin tidak
dilakukan, meskipun alkohol menimbulkan bahaya, baik bagi diri maupun masyarakat
sekitar. Contoh nasihat moral lainnya adalah tentang pencegahan penyakit kelamin
terhadap para lelaki “hidung belang”.
Kasus yang sama juga terjadi terhadap isu-isu kontemporer kedokteran, seperti reproduksi
berbantuan atau pembuahan telur di luar rahim melalui fertilisasi (bayi tabung). Dalam
kasus ini, menurut Tadjudin, dalam pandangan etika kedokteran Islam hal itu dibolehkan jika
dilakukan dengan sel kelamin (sperma dan telur) yang berasal dari suami-istri yang sah.
“Tapi jika penggunaan sperma atau telur itu bukan berasal dari suami-istri yang sah tidak
dapat dibenarkan, termasuk penggunaan rahim yang lain dari wanita yang mempunyai telur
untuk membesarkan blastosis,” jelasnya.
Alasan tidak boleh rahim wanita lain yang mempunyai telur untuk membesarkan blastosis,
jelas Tadjudin, karena akan timbul masalah keturunan, yakni siapa ibu sebenarnya (dari
“anak” hasil pembuahan itu). Padahal, al-Qur'an surat al-Furqan ayat 5 menyebutkan: “Dan
Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia menjadikannya mempunyai keturunan dan
mushaharah dan Tuhanmu senantiasa Maha Kuasa.”
Selain tidak jelasnya masalah keturunan tadi, tambah Ketua Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN-PT) itu, juga timbul masalah baru, apakah memasukkan sperma atau
blastosis asing ke dalam rahim seorang wanita tidak merupakan tindakan yang dapat
digolongkan zina?. Meski demikian, Tadjudin tidak menampik bila sementara kalangan yang
berpendapat bahwa menanamkan blastosis yang berasal dari sperma dan telur sepasang
suami-istri ke perempuan lain adalah analog dengan menyusui anak orang lain atau bagi
perempuan penerima blastosis itu analog dengan ibu susu.
Kode etik islam untuk bidang kedokteran akan segera diberlakukan. Hal ini telah dibahas
melalui Konferensi ke-8 Organisasi Ilmu Kedokteran Islam, yang berlangsung di Kairo, Mesir.
Konferensi ini ditutup dengan disetujuinya draft pedoman etika ilmu kedokteran
internasional pertama yang berbasis pada perspektif Islam.
Draft yang berjudul 'Kode etik Islam bidang kedokteran dan kesehatan' tersebut, materinya
akan disempurnakan, diedit dan akan diterbitkan oleh Organisasi Ilmu Kedokteran Islam
(IOMS). Ide untuk menerbitkan kode etik Islam di bidang kedokteran ini muncul sejak tahun
1981, ketika IOMS berinisiatif untuk mengadaptasi dokumen tentang etika kedokteran Islam
hasil dari konferensi di Kuwait. Dokumen itu antara lain menyebutkan, 'Manusia harus
diperlakukan seperti apa yang digariskan Tuhan di mana Dia menetapkan bahwa umatnya
sebagai khalifahnya di bumi.'
Dalam acara penutupan, para peserta konferensi telah menyepakati 14 rekomendasi untuk
mengembangkan dan memungkinkan kode etik Islam bidang kedokteran itu diberlakukan.
Menteri-menteri pendidikan, rektor di sekolah-sekolah kedokteran di negara Arab dan
negara Islam diminta untuk mulai memasukkan dan mengenalkan kode etik dalam
kurikulum pendidikannya.
Usulan lainnya yang muncul adalah mensosialisasikan kode etik yang baru ini melalui situs-
situs milik lembaga kedokteran dan kesehatan. Kode etik islam bidang kedokteran ini bukan
hanya untuk kalangan kedokteran profesional, tapi juga untuk keluarga dan masyarakat
pada umumnya, seperti diungkapkan oleh Dr. Mu'men S. Hadidi, Kepala Institut Nasional
Kedokteran Forensik dari Yordania.
Setelah konferensi ini, kantor WHO wilayah Mediterania Timur akan bekerja sama dengan
menteri-menteri kesehatan di wilayah itu akan membentuk komite ad hoc yang akan
menindaklanjuti penyusunan kode etik tersebut. Sebelumnya, IOMS akan merancang sebuah
workshop untuk menggali masukan bagaimana kode etik ini nantinya akan bermanfaat dan
menyebarluaskannya ke seluruh kalangan profesional di dunia kesehatan.
Dalam pidatonya, Ketua IOMS, Dr. Abd Al-Rahman El-Awady mengusulkan adanya
penggalangan dana dari kalangan Muslim untuk membiayai riset-riset di bidang kesehatan
di negara-negara Islam. Sementara itu, Kepala Ajman University Network, Dr. Saed Salman,
mengusulkan diselenggarakannya konferensi yang membahas masalah etika yang berkaitan
dengan industri farmasi dan riset tentang obat-obatan.
Konferensi ke-8 IOMS juga membahas tentang hubungan antara dokter dan pasiennya
termasuk soal praktek kedokteran, kewajiban dan tanggung jawabnya, serta masalah riset
di bidang biomedis yang melibatkan bagian tubuh manusia. Para dokter dan ilmuwan dalam
konferensi itu juga membahas isu-isu sensitif seperti soal bayi tabung, euthanasia dan
rekayasa jenis kelamin bayi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, dr, 1991. Memahami Etika Kedokteran. Kanisius: Yogyakarta.
2. Komalawati, D Veronica, SH, M.H., 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta.
3. Taher, Tarmizi, M.D., 2003. Medical Ethics. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
4. Rahman, Fazlur, 1999. Etika Pengobatan Islam. Mizan: Bandung.
5. Direktur Pelaksana Pusat Kajian Filsafat Madina Ilmu (PKFMI), www.pelita.or.id, 26 Maret
2005, Dokter Muslim.
6. Bergerak, www.eramuslim.com, 23 April 2005, Kode Etik Islam Bidang Kedokteran Akan
Segera Diberlakukan.
7. Anonim_1, www.uinjkt.ac.id, 15 Maret 2005, Etika Kedokteran Islam
8. Anonim_2, www.ksdak.com, 17 Maret 2005, Tindakan Euthanasia Dilarang Dalam Islam.