Anda di halaman 1dari 12

Bahasa Indonesia/Verba

Verba atau kata kerja adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan.

Kelas Verba
Untuk menentukan suatu kata termasuk verba, digunakan valensi sintaktis karena perangkat kategori
pembangun kerangka sisteni morfologi verba itu ditandai oleh valensi sintaktis yang sama, yaitu
mempunya; potensi berkomhinasi dengan kata: tidak, sudah, sedang, akan, baru, telah, belum, mau,
hendak,

Kelas verba yang ditemukan pada data terdiri dari (1) verba murni, yakni verba yang tidak berasal
dari kelas kata lain, (2) verba denominal, yakni verba yang terbentuk dari nomina, (3) verba
deadjektival, yakni verba yang terbentuk dan adjektiva, (4) verba denuineral, yakni verba yang
terbentuk dari numeralia, dan (5) verba depronominal, yakni verba yang terbentuk dari pronomina.

Pengelompokan verba
Menurut perilaku semantis
Pengelompokan verba menurut perilaku semantis adalah menurut makna inheren yang terdapat di
dalamnya.

1. Perbuatan, menjawab pertanyaan Apa yang dilakukan oleh subjek?


2. Proses, menjawab pertanyaan Apa yang terjadi pada subjek?
3. Keadaaan, menyatakan bahwa acuan verba berada dalam situasi tertentu.
4. Pengalaman, peristiwa yang terjadi pada subjek begitu saja, tanpa kesengajaan dan
kehendaknya.

Menurut perilaku sintaksis


Pengelompokan verba menurut perilaku sintaksis ditentukan dari adanya nomina
sebagai objek dari kalimat aktif serta kemungkinan objek tersebut berfungsi
sebagai subjek dalam kalimat pasif (verba transitif dan taktransitif).

1. Verba transitif: memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif, dan objek tersebut
juga berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.
1. Verba ekatransitif: diikuti satu objek.
2. Verba dwitransitif: diikuti dua nomina, satu sebagai objek dan satunya sebagai
pelengkap.
3. Verba semitransitif: objeknya boleh ada dan boleh tidak (manasuka/opsional).
2. Verba taktransitif: tidak memiliki nomina di belakangnya yang dapat berfungsi sebagai
subjek dalam kalimat pasif.
1. Verba taktransitif tak berpelengkap
2. Verba taktransitif berpelengkap wajib
3. Verba taktransitif berpelengkap manasuka
4. Verba taktransitif berpreposisi
Bahasa Indonesia/adjektif
Adjektif, juga dikenali sebagai kata sifat, ialah kata yang menjadi inti dalam frasa adjektif
seperti manis sekali, sudah lama sungguh, masih lebatlagi.

Kata-kata dalam golongan kata adjektif menerangkan keadaan atau sifat sesuatu nama
atau frasa nama. Kata adjektif boleh dikenali jika kata berkenaan didahului oleh kata
penguat seperti amat, sangat, sungguh, sekali, paling, agak, benar.

Isi kandungan
 [sorok]

1 Jenis jenis kata adjektif


o 1.1 sifat
o 1.2 warna
o 1.3 ukuran
o 1.4 bentuk
o 1.5 waktu
o 1.6 jarak
o 1.7 cara
o 1.8 pancaindera
o 1.9 perasaan
2 Pangkat pangkat adjektif
o 2.1 Pangkat biasa
o 2.2 Pangkat perbandingan
o 2.3 Pangkat menyangat
o 2.4 Pangkat penghabisan

3 Lihat juga

Jenis jenis kata adjektif


Kata adjektif terbahagi kepada 9 subgolongan:
sifat
menerangkan sifat keadaan atau seseorang

contoh: baik, cerdik, berani, lemah, kukuh, kemas, kejap, secantik, terkuat


warna
contoh: merah, jingga, ungu, putih, hitam, kuning langsat
ukuran
contoh: pendek, panjang, tebal, nipis, dalam, besar, sebesar, ternipis
bentuk
contoh: bujur, lurus,
waktu
contoh: lama, lambat, lewat, segera, suntuk, lampau, lalu, silam
jarak
contoh: dekat, hampir, jauh
cara
contoh: selalu, jarang, kadang kadang, kerap, lambat, deras, laju, jelas, muram, lincah
Bahasa Indonesia/Preposisi
Preposisi (Bahasa Latin: prae, "sebelum" dan ponere, "menempatkan, tempat") atau kata
depan adalah kata yang merangkaikan kata-kata atau bagian kalimat dan biasanya diikuti
oleh nomina atau pronomina. Preposisi bisa berbentuk kata, misalnya di dan untuk, atau
gabungan kata, misalnya bersama atau sampai dengan.

Penggolongan

Cara penggolongan preposisi bervariasi tergantung dari rujukan yang digunakan. Berikut
salah satu cara penggolongan yang dapat digunakan:

1. Preposisi yang menandai tempat. Misalnya di, ke, dari.


2. Preposisi yang menandai maksud dan tujuan. Misalnya untuk, guna.
3. Preposisi yang menandai waktu. Misalnya hingga, hampir.
4. Preposisi yang menandai sebab. Misalnya demi, atas.

1. 1. Di, ke, dari

Penulisan preposisi ini ditulis terpisah, contoh: di dalam, ke tengah, dari Surabaya.

Perkecualian untuk hal ini adalah:

 kepada
 keluar (sebagai lawan kata "masuk", untuk lawan kata "ke dalam", penulisan harus
dipisah, "ke luar")
 kemari
 daripada

1. 2. Dimana, di mana

Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan "Kata depan di,


ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali di dalam gabungan kata
yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada."

Untuk menghubungkan dua klausa tidak sederajat, bahasa Indonesia tidak mengenal


bentuk "di mana" atau "dimana" (padanan dalam bahasa Inggris adalah "who", "whom",
"which", atau "where") atau variasinya ("dalam mana", "dengan mana", "yang mana", dan
sebagainya)[1]. Penggunaan "dimana" atau "di mana" sebagai kata penghubung sangat
sering terjadi pada penerjemahan naskah dari bahasa-bahasa Indo-Eropa ke bahasa
Indonesia. Pada dasarnya, bahasa Indonesia hanya mengenal kata "yang" sebagai kata
penghubung untuk kepentingan itu, dan penggunaannya pun terbatas. Dengan demikian,
HINDARI PENGGUNAAN BENTUK "DI MANA" DAN "DIMANA"[1], termasuk
dalam penulisan keterangan rumus matematika. Kaidah tata bahasa Indonesia memiliki
kosa kata yang cukup untuk menterjemahkan "who", "where", "which", "whom" tanpa
menggunakan kata "di mana" atau "dimana". Contoh-contoh:

 Dari artikel Kantin: Kantin adalah sebuah ruangan dalam sebuah gedung umum di
mana para pengunjung dapat makan.
o Usul perbaikan: Kantin adalah sebuah ruangan di dalam sebuah gedung
umum yang dapat digunakan (oleh) pengunjungnya untuk makan.

 Dari artikel Tegangan permukaan: Tegangan permukaan = F / L dimana :

F = gaya (newton)
L = panjang m).[sic]

o Usul perbaikan (rubah struktur kalimat): Jika

F = gaya (newton) dan


L = panjang (m),

maka tegangan permukaan S dapat ditulis sebagai S = F / L.

 Dari kalimat bahasa Inggris: Land which is to be planted only with rice.


o Usul terjemahan: Lahan yang akan ditanami padi saja.

 Sebuah kalimat bahasa Indonesia: Ia kembali ke Jakarta, di mana ia


dilahirkan (yang bila diterjemahkan ke bahasa Inggris secara tata bahasa
benar)
o Usul perbaikan: Ia kembali ke Jakarta, tempat ia dilahirkan

Kekisruhan ini mungkin disebabkan pengaruh oleh Ejaan Soewandi (1947) yang


mengharuskan penulisan diserangkai dengan kata yang mengikutinya, baik sebagai
kata depan maupun sebagai awalan.
Bahasa Indonesia/Konjungsi

Konjungsi, konjungtor, atau kata sambung adalah kata atau ungkapan yang menghubungkan dua
satuan bahasa yang sederajat: kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, serta
kalimat dengan kalimat. Contoh: dan, atau, serta.

Preposisi dan konjungsi adalah dua kelas yang memiliki anggota yang dapat beririsan. Contoh
irisannya adalah karena, sesudah, sejak, sebelum.

Konjungsi, konjungtor, atau kata sambung adalah kata atau ungkapan yang menghubungkan dua satuan
bahasa yang sederajat: katadengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, serta kalimat dengan
kalimat. Contoh: dan, atau, serta.

Preposisi dan konjungsi adalah dua kelas yang memiliki anggota yang dapat beririsan. Contoh irisannya
adalah karena, sesudah, sejak,sebelum.

Perilaku sintaksis

1. Konjungsi koordinatif; menghubungkan dua atau lebih unsur (termasuk kalimat) yang sama
pentingnya atau setara. Kalimat yang dibentuk disebut kalimat majemuk setara.
Contoh: dan, serta, atau, tetapi, melainkan, padahal, sedangkan.
2. Konjungsi korelatif; menghubungkan dua atau lebih unsur (tidak termasuk kalimat) yang memiliki
status sintaksis yang sama dan membentuk frasa atau kalimat. Kalimat yang dibentuk agak rumit dan
bervariasi, kadang setara, bertingkat, atau bisa juga kalimat dengan dua subjek dan satu predikat.
Contoh: baik ... maupun, tidak hanya ..., tetapi juga,bukan hanya ..., melainkan juga, demikian ...
sehingga, sedemikian rupa ... sehingga, apa(kah) ... atau, entah ... entah, jangankan ..., ... pun.
3. Konjungsi subordinatif; menghubungkan dua atau lebih klausa yang tidak memiliki status sintaksis
yang sama. Konjungsi membentuk anak kalimat yang jika digabungkan dengan induk kalimat akan
membentuk kalimat majemuk bertingkat.
1. Konjungsi subordinatif waktu; sejak
2. Konjungsi subordinatif syarat; jika
3. Konjungsi subordinatif pengadaian; andaikan
4. Konjungsi subordinatif tujuan; agar
5. Konjungsi subordinatif konsesif; biarpun
6. Konjungsi subordinatif pembandingan; ibarat
7. Konjungsi subordinatif sebab; karena
8. Konjungsi subordinatif hasil; sehingga
9. Konjungsi subordinatif alat; dengan
10. Konjungsi subordinatif cara; tanpa
11. Konjungsi subordinatif komplementasi; bahwa
12. Konjungsi subordinatif atributif; yang
13. Konjungsi subordinatif perbandingan; sama ... dengan
4. Konjungsi antarkalimat; merangkaikan dua kalimat, tetapi masing-masing merupakan kalimat sendiri.

Hampir semua ahli bahasa belum pernah memperhatikan realitas pemakaian kata-kata kek, deh,
dong, toh, sih, nah, ding, dan lho yang berkembang dalam bahasa keseharian. Buktinya, kata-kata itu
belum pernah dimasukkan dalam kategori kata. Bisakah kata-kata tersebut digolongkan ke dalam
kategori kata tertentu? Kalau bisa, apakah dapat dijelaskan makna dan fungsi dari kata-kata di atas?
Apakah dalam naskah terjemahan, kata-kata tersebut dapat dituliskan?

Pertama, perlu dijelaskan dahulu bahwa dalam sejarahnya, kategorisasi atau pengelompokan kata
selalu menghasilkan kelas kata yang berbeda-beda. Boleh dikatakan ahli bahasa yang satu
mengelompokkan kata secara berbeda dengan ahli bahasa yang lainnya. Dalam linguistik tercatat
tidak kurang dari dua puluh ahli bahasa telah berusaha membuat pengelompokkan kata. Namun,
hasil pengelompokan ahli yang satu selalu berbeda dengan ahli lainnya. Pengelompokan yang
dilakukan pada masa tertentu juga berbeda dengan masa lainnya. Kenyataan ini menegaskan bahwa
pada hakikatnya bahasa berubah dan berkembang dinamis sesuai masa dan tahap perkembangannya.
Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa para ahli bahasa belum pernah memperhatikan pemakaian
kata-kata tertentu. Perkembangan pemakaian kata senantiasa diperhatikan, dicermati, dan diteliti dari
masa ke masa. Mungkin sekali kata-kata seperti kek, deh, dong, toh, sih, nah, ding, dan lho belum
dicermati atau diteliti pada masa perkembangan tata bahasa pedagogis, tata bahasa Melayu, bahkan
pada masa tata bahasa standar Indonesia-Malaysia sekalipun. Ketika itu, para ahli bahasa cenderung
masih mempelajari dan meneliti bahasa secara tradisional. Dasar rancangan penelitian mereka pun
masih tradisional. Sementara kata-kata di atas cenderung muncul dalam konteks pragmatis yang baru
mencuat belakangan ini. kata-kata tersebut dapat dikelompokkan dalam kategori fatis. Konsep fatis
itu sendiri sebenarnya juga masih relatif baru karena baru muncul pada tahun 1920-an, yakni setelah
Malinowski menyampaikan konsep phatic communion.
Kata-kata fatis lazimnya digunakan dalam ragam bahasa lisan yang berciri nonstandar. Tuturan
nonstandard kebanyakan terdapat dalam tuturan kedaerahan yang muncul dalam dialek-dialek
regional. Oleh karenanya, kata fatis banyak ditemukan di dalam dialek regional dan tuturan
kedaerahan. Adapun fungsi utama kata-kata fatis adalah untuk memulai, mengukuhkan, dan
memperlancar interaksi. Oleh karena itu, kata-kata fatis itu dianggap komunikatif.

Kata fatis kek berfungsi sebagai pemerinci informasi dan penegas perintah dalam komunikasi, seperti
pada kalimat “Yang pergi gue kek, apa elu kek, tidak ada bedanya” dan “Cepetan kek teleponnya,
ngomongi apa aja sih!”

Kata fatis deh berfungsi sebagai pemberi tanda persetujuan dan penanda bujukan, seperti pada
tuturan “Oke deh kalau kamu memang mau ikut ke Jakarta besok pagi! “ dan “Minum deh obatnya
biar lekas sembuh”.

Kata dong berfungsi sebagai penegas maksud tuturan dan penghalus perintah, contohnya pada
tuturan “Jelas sekali dong kalau memang begitu!” dan “Bagi-bagi dong duitnya!”

Kata fatis toh berfungsi sebagai penguat maksud tuturan, seperti pada “Saya toh tidak terlibat dalam
korupsi uang proyek itu”. Kadangkala kata fatis toh bisa disamakan dengan tetapi atau namun,
seperti pada kalimat “Biarpun berkali-kali terjatuh toh petinju itu bangkit dan menrjang lagi”.

Kata fatis sih dapat menegaskan maksud tuturan, seperti pada kalimat “Siapa sih nama cewek yang
ketawa-ketawa terus di halaman itu?” Kadangkala, kata fatis sih juga bisa menggantikan kata
memang, misalnya pada kalimat “Cantik sih cantik, tetapi angkuhnya itu lho yang tidak ketulungan
“.

Kata fatis nah dapat berfungsi sebagai pengalih fokus pembicaraan dalam komunikasi, misalnya
“Nah, sekarang kita lihat dulu gambar yang kedua ini!”

Kata fatis ding bisa berfungsi sebagai tanda penyangkalan maksud tuturan, contohnya pada kalimat
“Tidak ding, semua itu dilakukan atas perintah penjahat itu”. Kata fatis ding kadangkala digunakan
untuk mengoreksi tuturan sebelumnya, misalnya “Tidak ding, yang mengambil uang itu bukan adik
tetapi saya”.

Kata fatis lho bisa berfungsi sebagai penanda kekaguman misalnya “Lho, kamu kok sudah gedhe
amat!”
Ungkapan fatis sebenarnya banyak ditemukan dalam bahasa keseharian. Dan dalam surat
menyurat, kita sering menemukan ungkapan dengan hormat, salam takzim, hormat kami, wassalam,
dan lain-lain. Untuk mengakhiri percakapan kita sering menggunakan ungkapan selamat jalan,
sampai jumpa, selamat malam, selamat tidur, dan lain-lain. Untuk mengawali percakapan, kita
sering mengguanakan ungkapan selamat pagi, selamat siang, selamat jumpa, hallo, apa kabar, dan
lain-lain. Semua ungkapan yang berciri fatis itu lazim muncul dalam konteks interaksi atau
komunikasi. Kadangkala, ungkapan fatis maknanya tidak cukup jelas, namun fungsinya amat jelas.
Ungkapan fatis berciri komunikatif bukan berciri emotif. Cirri komunikatif itulah yang menjadi
pembeda ungkapan fatis dengan ungkapan interjektif yang lazimnya berciri emotif.

Selanjutnya, dalam divisi subtitling pada media elektronik, apakah kata-kata fatis seperti sih
dan kok pantas dicantumkan dalam terjemahan teks bawah (subtitle)? Dalam penerjemahan ada
prinsip yang harus dipenuhi yakni kedekatan hasil terjemahan dengan maksud asli teksnya. Berkaitan
dengan hal itu, tentu menjadi tidak benar apabila bentuk aslinya sebuah percakapan, lalu bentuk
terjemahannya bukan lagi percakapan. Jika hal itu terjadi, berarti telah terjadi pengingkaran terhadap
prinsip penerjenmahan tersebut.

Oleh karena itu, kata-kata dalam kategori fatis yaitu sih, kok, toh, lho, dan lain-lain, harus
tetap dituliskan dalam terjemahan teks bawah. Kata fatis semacam itu justru bermanfaat untuk
mengawali, memelihara, dan melancarkan komunikasi. Jadi, kata-kata fatis semacam itu tidak boleh
diabaikan begitu saja dalam penerjemahan.
Bahasa Indonesia/ Interjeksi
Interjeksi atau kata seru adalah kata yang mengungkapkan perasaan dan maksud seseorang,
misalnya ah dan aduh, atau melambangkan tiruan bunyi, misalnya meong. Bentuk ini biasanya tak
dapat diberi afiks dan tidak memiliki dukungan sintaksis dengan bentuk lain.

Kata Seru atau Interjeksi

Oleh semua ahli tatabahasa, Kata Seru dianggap sebagai kata yang paling tua dalam kehidupan
bahasa. Umat manusia tidak sekaligus mengenal sistem bahasa seperti saat ini. Dari awal mula
perkembangan umat manusia, sedikit demi sedikit diciptakan sistem-sistem bunyi untuk komunikasi
antar anggota masyarakat. Dan bentuk yang paling tua yang diciptakan untuk mengadakan hubungan
atau komunikas itu adalah kata seru.

Menurut Tatabahasa Tradisional kata seru diklasifikasikan sebagai suatu jenis kata. Bila melihat
wujud dan fungsinya, maka ketetapak tersebut kurang dapat diterima. Interjeksi sekaligus
mengungkapkan semua perasaan dan maksud seseorang, berarti interjeksi sudah termasuk dalam
bidang sintaksis. Atau dengan kata lain apa yang dinamakan kata seru itu bukanlah kata melainkan
semacam kalimat.

Bermacam-macam interjeksi yang dikenal hingga sekarang dalam kehidupan masyarakat bahasa
Indonesia adalah:

1. Interjeksi asli: yah, wah, ah, hai, o, oh, cih, nah, dan lain-lain.
2. Interjeksi yang berasal dari kata-kata biasa. Yang dimaksud dengan interjeksi ini adalah kata-
kata benda atau kata-kata lain yang digunakan atau biasa digunakan sebagai kata seru:
celaka, masa, kasihan, dan lain-lain.
3. Interjeksi yang berasal dari ungkapan-ungkapan, baik ungkapan Indonesia asli maupun
ungkapan asing: ya ampun, Insya Allah, Astaghfirullah, dan lain-lain.

 
FATIS
Hampir semua ahli bahasa belum pernah memperhatikan realitas pemakaian kata-kata kek, deh,
dong, toh, sih, nah, ding, dan lhoyang berkembang dalam bahasa keseharian. Buktinya, kata-kata itu
belum pernah dimasukkan dalam kategori kata. Bisakah kata-kata tersebut digolongkan ke dalam
kategori kata tertentu? Kalau bisa, apakah dapat dijelaskan makna dan fungsi dari kata-kata di atas?
Apakah dalam naskah terjemahan, kata-kata tersebut dapat dituliskan?

Pertama, perlu dijelaskan dahulu bahwa dalam sejarahnya, kategorisasi atau pengelompokan kata
selalu menghasilkan kelas kata yang berbeda-beda. Boleh dikatakan ahli bahasa yang satu
mengelompokkan kata secara berbeda dengan ahli bahasa yang lainnya. Dalam linguistik tercatat
tidak kurang dari dua puluh ahli bahasa telah berusaha membuat pengelompokkan kata. Namun,
hasil pengelompokan ahli yang satu selalu berbeda dengan ahli lainnya. Pengelompokan yang
dilakukan pada masa tertentu juga berbeda dengan masa lainnya. Kenyataan ini menegaskan bahwa
pada hakikatnya bahasa berubah dan berkembang dinamis sesuai masa dan tahap perkembangannya.
Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa para ahli bahasa belum pernah memperhatikan pemakaian
kata-kata tertentu. Perkembangan pemakaian kata senantiasa diperhatikan, dicermati, dan diteliti dari
masa ke masa. Mungkin sekali kata-kata seperti kek, deh, dong, toh, sih, nah, ding, dan lho belum
dicermati atau diteliti pada masa perkembangan tata bahasa pedagogis, tata bahasa Melayu, bahkan
pada masa tata bahasa standar Indonesia-Malaysia sekalipun. Ketika itu, para ahli bahasa cenderung
masih mempelajari dan meneliti bahasa secara tradisional. Dasar rancangan penelitian mereka pun
masih tradisional. Sementara kata-kata di atas cenderung muncul dalam konteks pragmatis yang baru
mencuat belakangan ini. kata-kata tersebut dapat dikelompokkan dalam kategori fatis. Konsep fatis
itu sendiri sebenarnya juga masih relatif baru karena baru muncul pada tahun 1920-an, yakni setelah
Malinowski menyampaikan konsep phatic communion.

Kata-kata fatis lazimnya digunakan dalam ragam bahasa lisan yang berciri nonstandar. Tuturan
nonstandard kebanyakan terdapat dalam tuturan kedaerahan yang muncul dalam dialek-dialek
regional. Oleh karenanya, kata fatis banyak ditemukan di dalam dialek regional dan tuturan
kedaerahan. Adapun fungsi utama kata-kata fatis adalah untuk memulai, mengukuhkan, dan
memperlancar interaksi. Oleh karena itu, kata-kata fatis itu dianggap komunikatif.

Kata fatis kek berfungsi sebagai pemerinci informasi dan penegas perintah dalam komunikasi, seperti
pada kalimat “Yang pergi gue kek, apa elu kek, tidak ada bedanya” dan “Cepetan kek teleponnya,
ngomongi apa aja sih!”

Kata fatis deh berfungsi sebagai pemberi tanda persetujuan dan penanda bujukan, seperti pada
tuturan “Oke deh kalau kamu memang mau ikut ke Jakarta besok pagi! “ dan “Minum deh obatnya
biar lekas sembuh”.

Kata dong berfungsi sebagai penegas maksud tuturan dan penghalus perintah, contohnya pada
tuturan “Jelas sekali dong kalau memang begitu!” dan “Bagi-bagi dong duitnya!”

Kata fatis toh berfungsi sebagai penguat maksud tuturan, seperti pada “Saya toh tidak terlibat dalam
korupsi uang proyek itu”. Kadangkala kata fatis toh bisa disamakan dengan tetapi atau namun,
seperti pada kalimat “Biarpun berkali-kali terjatuh toh petinju itu bangkit dan menrjang lagi”.
Kata fatis sih dapat menegaskan maksud tuturan, seperti pada kalimat “Siapa sih nama cewek yang
ketawa-ketawa terus di halaman itu?” Kadangkala, kata fatis sih juga bisa menggantikan
katamemang, misalnya pada kalimat “Cantik sih cantik, tetapi angkuhnya itu lho yang tidak
ketulungan “.

Kata fatis  nah dapat berfungsi sebagai pengalih fokus pembicaraan dalam komunikasi, misalnya
“Nah, sekarang kita lihat dulu gambar yang kedua ini!”

Kata fatis ding bisa berfungsi sebagai tanda penyangkalan maksud tuturan, contohnya pada kalimat
“Tidak ding, semua itu dilakukan atas perintah penjahat itu”. Kata fatis ding kadangkala digunakan
untuk mengoreksi tuturan sebelumnya, misalnya “Tidak ding, yang mengambil uang itu bukan adik
tetapi saya”.

Kata fatis lho bisa berfungsi sebagai penanda kekaguman misalnya “Lho, kamu kok sudah gedhe
amat!”

Ungkapan fatis sebenarnya banyak ditemukan dalam bahasa keseharian. Dan dalam surat
menyurat, kita sering menemukan ungkapan dengan hormat, salam takzim, hormat kami, wassalam,
dan lain-lain. Untuk mengakhiri percakapan kita sering menggunakan ungkapan selamat jalan,
sampai jumpa, selamat malam, selamat tidur, dan lain-lain. Untuk mengawali percakapan, kita
sering mengguanakan ungkapan selamat pagi, selamat siang, selamat jumpa, hallo, apa kabar, dan
lain-lain. Semua ungkapan yang berciri fatis itu lazim muncul dalam konteks interaksi atau
komunikasi. Kadangkala, ungkapan fatis maknanya tidak cukup jelas, namun fungsinya amat jelas.
Ungkapan fatis berciri komunikatif bukan berciri emotif. Cirri komunikatif itulah yang menjadi
pembeda ungkapan fatis dengan ungkapan interjektif yang lazimnya berciri emotif.

Selanjutnya, dalam divisi subtitling pada media elektronik, apakah kata-kata fatis


seperti sih dan kok pantas dicantumkan dalam terjemahan teks bawah (subtitle)? Dalam
penerjemahan ada prinsip yang harus dipenuhi yakni kedekatan hasil terjemahan dengan maksud asli
teksnya. Berkaitan dengan hal itu, tentu menjadi tidak benar apabila bentuk aslinya sebuah
percakapan, lalu bentuk terjemahannya bukan lagi percakapan. Jika hal itu terjadi, berarti telah
terjadi pengingkaran terhadap prinsip penerjenmahan tersebut.

Oleh karena itu, kata-kata dalam kategori fatis yaitu sih, kok, toh, lho, dan lain-lain, harus
tetap dituliskan dalam terjemahan teks bawah. Kata fatis semacam itu justru bermanfaat untuk
mengawali, memelihara, dan melancarkan komunikasi. Jadi, kata-kata fatis semacam itu tidak boleh
diabaikan begitu saja dalam penerjemahan.

Anda mungkin juga menyukai