Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Salah satu faktor utama yang membuat Cina mampu tumbuh sedemikian rupa menyaingi
negara-negara maju lainnya adalah pemahaman mereka yang mendalam akan
kebijaksanaan yang dikembangkan oleh bangsa Barat. Di Tiongkok daratan, 86% rakyat
Tiongkok setuju dan menyambut dengan gembira kebijaksanaan pemerintahnya. Ini
adalah faktor yang utama dan paling menentukan situasi sekarang dan juga bagi hari
depan Tiongkok Meskipun demokrasi belum bisa dilaksanakan seperti yang diinginkan
oleh beberapa pihak. Sebab2nya akan dibahas belakangan dalam tulisan lain.
Hanya dalam waktu kurang dari satu generasi Tiongkok telah berubah dari sebuah
masyarakat yang kurang makan hingga banyak yang mati kelaparan (hal mana
sebenarnya terjadi secara periodik sepanjang sejarah Tiongkok yang 5000 tahun
lamanya), sampai makanan berlimpah2 seperti hari ini. Hanya dalam hanya dua generasi
saja Tiongkok pun sudah berubah martabatnya dari kwalitas "Anjing dan Orang Cina
dilarang masuk" ke taman dirumahnya sendiri, sekarang menjadi tuan rumah yang
terhormat buat pesta Olimpiade internasional yang paling mewah sepanjang sejarah.
Kishore Mahbubani berujar bahwa rahasia kebijaksanaan yang membuat peradaban Barat
mencapai puncak kejayaannya di abad ke-20 adalah pragmatisme. Lebih dari seabad yang
lalu, Jepang telah memahami kebijaksanaan ini dan mengimplementasikannya dalam
restorasi Meiji. Tiga dekade yang lalu, seorang pragmatis tulen bernama Deng Xiaoping
telah mengubah perjalanan sejarah bangsa Cina dengan menerapkan pragmatisme di
setiap bidang kehidupan Cina.
Dalam Masa 30 tahun Cina dapat merubah dirinya menjadi Cina yang lain. Dibawah
pimpinan Deng Xiaoping Cina berubah menjadi kekuatan baru. Dengan slogan yang
tepat: Gaige, kaifang (Reformasi dan Membuka Diri). Slogan ini benar-benar telah
membuat Cina masuk dalam arus globalisasi dengan cepat. Dengan slogan ini Cina
membuka dirinya terhadap kapitalis, terutama dalam bidang Ekonomi.Karena dalam
perekonomian Cina menganut paham Neoliberalisme. Sehingga ideologi komunis hanya
berupa slogan masa lalu saja.
Perkembangan Cina ini memberikan suatu yang mencengangkan, karena dua ideologi
yang berbeda dapat disatukan oleh karena sebuah kepentingan. Dan ketika Komunisme
dan Kapitalisme dapat bejalan beriringan di Cina memberikan sebuah makna sendiri bagi
mentalisme bangsa cina, yaitu paragmatisme. Pragmatisme disini berarti bahwa Cina
dapat melakukan apa saja untuk membangun negaranya menjadi negara besar.
Akhirnya, 40 tahun kemudian, Yin dan Yang yang telah semakin tua, bertemu pada senja
hari di tempat terakhir mereka bertemu. Mereka saling berpandangan, tak sepatah kata
pun yang terucapkan. Sinar mata mereka penuh kasih yang menghanyutkan sukma,
senyum mereka begitu halus dan tulus. Mereka saling memeluk. Resonansi getaran jiwa
mereka pada angin yang membelai, pada daun-daun yang berbisik, pada seluruh relung
ruang di jagad raya ini: "Saudaraku, kau selalu dalam aku, dan aku dalam engkau ."
Sejak saat itu tak ada lagi diskusi, karena dalam pelukan itu mereka mengerti tanpa
mengetahui dan mendapatkan tanpa mencari .
Diatas merupakan sebuah legenda munculnya Yin Yang di negeri Cina. Yin Yang
merupakan perlambangan dari Tao dengan bulatan yang dibagi menjadi dua garis
lengkung warna hitam dan putih , Yin (sisi warna hitam) membawa arti konotasi
kejahatan, lemah, negatif, wanita. Sedangkan Yang (sisi warna putih) membawa arti
konotasi kebaikan, kuat, positif, lelaki. Dalam dunia ini tidak ada kebenaran mutlak,
dalam kebenaran ada kesalahan begitu juga sebaliknya dalam kejahatan ada kebaikan
yang dikandung.
Prinsip Yin Yang (negatif positif) dapat diterapkan karena semua hal memang memiliki
sifat dualism . Dingin dan panas, siang dan malam, musim dingin dan musim panas, utara
dan selatan, api dan air, perempuan dan laki-laki, genap dan ganjil, feminin dan maskulin,
hitam dan putih, bumi dan langit, bumi dan matahari, bundar dan persegi. Prinsip ini
rupanya bukan monopoli masyarakat Cina saja karena masyarakat Bali kita menggunakan
kain poleng (bermotif kotak-kotak hitam putih) untuk mengharmoniskan tenaga
negatif/positif alam semesta .
Yang penting diingat adalah prinsip Yin Yang menekankan bahwa tidak ada Yin atau
Yang yang mutlak. Segala sesuatu Yin akan memiliki sedikit Yang dan sebaliknya, sesuai
dengan gambar T'ai Chi dimana bagian hitam terdapat titik putih dan bagian putih titik
hitam. Gambar T'ai Chi ini mengilustrasikan prinsip Yin Yang secara sempurna .
Yin mutlak bila sampai terjadi sama bahayanya dengan Yang mutlak. Contohnya,
seorang laki-laki seyogyanya dilahirkan dengan lebih banyak sifat Yang (maskulin) dari
pada Yin. Namun bila ia tidak memiliki sedikitpun sifat Yin ia tidak memiliki daya
imbang dan ini akan sangat merugikannya .
Sebaliknya, Yin dan Yang tidak boleh pula mencapai titik imbang (equilibrium) karena
sesuatu yang terlalu seimbang tidak mendatangkan perubahan atau kemajuan.
Equilibrium = stagnant = tidak ada kegairahan = kematian . Walaupun prinsip Yin Yang
sangat ampuh dalam menganalisa " cosmic energy " (Chi), namun ia tidak cukup untuk
menyelami seluruh sifat energy. Sehingga dibutuhkan prinsip 5-Unsur yang melihatnya
lebih mendalam dengan membaginya menjadi 5 jenis atau sifat energi secara berurutan,
dimulai dengan unsur kayu, kemudian api, tanah, besi (atau metal) dan gabungan dari
prinsip Yin Yang dan 5-Unsur inilah dipelajari sebagai sifat energi dalam astrologi
Tiongkok.
Yin Yang merupakan sebuah gambaran kongkrit dari perputaran dunia. Yin Yang
merupakan sebuah prinsip kehidupan yang dinamis. Seperti yang dikatakan oleh kitab
perubahan Yin Yang memiliki dua arti pertama sebagai sebuah ketentraman dan
kesederhanaan dalam menjali kehidupan nyata dan kedua adalah sebagai sebuah
perputaran kehidupan, artinya dalam kehidupannya manusia tidak mungkin akan selalu
setagnan laju perputaran kehidupan secara teguh di yakini oleh faham Yin Yang. Hari
kita mengalami kesusahan esok hari kita akan mengalami sebuah kebahagiaan, semakin
tingkat kesusahan yang kita alami maka semakin tinggi pula kebahagian yang kita raih.
Yin Yang dengan 5 elemen yang meliputinya, yaitu: kayu, tanah, logam, api dan air
adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip
ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang
dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki - laki, simbol
untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan
sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu .
Kedua, ajaran Taoisme tentang Yin-Yang juga dapat memberi kearifan. Yang biasanya
digambarkan sebagai agresif, maskulin, kompetitif, dan rasional. Sementara Yin
dilukiskan konservatif, intuitif, kooperatif, feminin, dan responsif. Yin-Yang harus
berjalan secara sejajar dan seimbang, sehingga keharmonisan antara makrokosmos dan
mikrokosmos terwujud. Kenyataan kita lebih suka berpikir rasional, linear, mekanistik,
dan materialistik perlu diseimbangkan dengan pengetahuan yang intuitif, non-linear, dan
koordinatif, sebagai perwujudan Yin (kearifan ekologis). Keyakinan terhadap Yin Yang
meski harus terus dipertahankan sebab tuntutan terhadap keberadaan manusia akhir-akhir
ini sering merasa terancam dengan perilaku yang dilakukannya sendiri. Semangat Yin
Yang adalah back to nature sebab manusia adalah bagian dai penyeimbang alam itu
sendiri.
Manusia merupakan sebuah mikrokosmos dalam hubungannya dengan makrokosmos
atau alam semesta. Sebagai bagian pelengkap yang penting, manusia seharusnya tunduk
pada hukum-hukum kosmos yang sama. Keseluruhan susunan alam semesta terbentuk
dari keseimbangan yang sempurna antara kekuatan Yang dan Yin .
Kejenuhan orang terhadap berbagai macam terapan kimiawi dan bebagai macam
rekayasa genetika membuat prinsip Yin Yang yang terus berinteraksi dengan alam
semakin mengukuhkan dirinya sebagai hal yang patut didalami, dikembangkan dan
implementasikan oleh manusia.
Ditinjau dari sudut filsafat, baik Marx maupun Pragmatisme kedua2nya merupakan
bagian dari filsafat Enlightenment/Aufklaerung. Kedua2nya merupakan solusi dari
Dualisme nya filsuf Immanuel Kant yang terkenal, persisnya seputar hakekat dunia luat
sebagai "Das Ding An Sich" (the-thing-in-itself) yang tidak mungkin terjangkau oleh
manusia. Filsafat MDH (Marx) memilih solusi bahwa dunia luar itu ditetapkan oleh
materi yang berkembang menurut hokum-hukumnya sendiri diluar kemauan kita
(misalnya hokum-hukum alam, hokum-hukum masyarakat, dlsbnya). Hal mana
sebenarnya tidak lain adalah sebuah kepercayaan belaka, sekalipun tarafnya sudah jauh
lebih tinggi dari tahayul dan agama.
Aliran Positivisme Logis (Logical Positivism, yang menjadi landasan IPTEK sampai hari
ini) dengan sadar menolak solusi apapun buat Dualismenya Kant ini. Tetapi dengan
sukarela membatasi diri hanya kepada persepsi pancaindera sebagai satu2nya kebenaran
objektif yang bisa diketahui oleh manusia dengan pasti. Hasilnya kita lihat sendiri adalah
perkembangan IPTEK yang pesat sejak tahun 1700-an. Kelemahannya, dengan
membatasi diri hanya kepada persepsi pancaindera, maka Positivisme Logis tidak mampu
menjawab pertanyaan yang hakiki, apakah Tuhan itu eksis, dan apakah ada hidup setelah
mati, yaitu pertanyaan2 yang justru merupakan pertanyaan yang sentral bagi hampir
setiap manusia.
Setelah terjadi pembantaian di Lapangan Tian’anmen pada 4 Juni 1989, orang
menyangka bahwa tamatlah gerakan reformasi di Cina. Hal ini barangkali juga disetujui
oleh pemimpin-pemimpin pada waktu itu. Tetapi dugaan dan kekhawatiran tersebut
ternyata salah. Ketika melihat ada bahaya ke arah menutup diri, pada tahun 1992, Deng
Xiaoping mengadakan gebrakan terakhir tetapi menentukan. Dalam apa yang kemudian
terkenal dengan “perjalanan ke selatan” itu, Deng Xiaoping memerintahkan Cina
meneruskan gaige, kaifang. Lawan-lawan politik Deng Xiaoping tidak berkutik, dan Cina
pun melanjutkan langkahnya masuk dalam arus globalisasi.
Masih banyak orang masih suka memakai sebutan “Cina Komunis”. Sebutan ini tentu
diucapkan oleh orang yang datang ke Cina 30 tahun yang lalu. Komunisme kini memang
Cuma tinggal slogan, tidak ada orang yang mempercayainya lagi, termasuk pemimpin-
pemimpin Partai Komunis Cina. Ideologi yang berlaku sekarang adalah ideologi yang
juga menguasai inggris, Amerika Serikat, dan belahan dunia manapun saat ini, yaitu
ideologi neoliberalisme. Siapapun dihalalkan untuk berdagang, untuk mengeruk
keuntungan. Mereka secara murni mengikuti petuah Deng Xiaoping; zhi fu shi guangrong
(menjadi kaya itu mulia).
Sebagai negara komunis Cina pernah mati-matian melawan kapitalisme. Ini tidaklah
mengherankan. Ideologi komunisme memang menentang kapitalisme dan para kapitalis
yang dianggap menindas kelas proletar. Pada awal berdirinya republik, sekitar tahun
1951, diadakan gerakan yang diarahkan benar-benar untuk membasmi para kapitalis. Ini
disusul dengan disitanya aset milik para-istilah mereka dulu-“komprador borjuis”.
Perusahaan-perusahaan besar dijadikan perusahaan milik Negara. Perusahaan milik orang
apalagi, semuanya disita oleh pemerintah. Pada pertengahan tahun 1950-an, ketika
dinyatakan bahwa “transformasi sosial” telah tercapai, kelas kapitalis benar-benar telah
dikikis. Kalau pada tahun 1953 masih terdapat 8,4 juta tukang, pedagang dan pengusaha
di kota-kota Cina, pada 1956 jumlah itu merosot menjadi 160.000 orang saja di seluruh
Cina. Semakin dalam ideologi komunisme ditancapkan, semakin kuat pula kebencian
terhadap orang-orang yang dianggap kelas kapitalis, bahkan jejak-jejak kapitalis yang
sekecil apa pun. Masa “Revolusi Kebudayaan” merupakan puncaknya.
Sesudah angin reformasi berhembus pada awal tahun 1980-an. Perlahan-lahan semangat
anti-kapitalisme itu hilang. Mekanisme pasar mengambil alih peran Negara dalam
menetukan harga barang maupun jasa. Pada saat ini hampir tidak lagi kelihatan jejak
semangat anti-kapitalisme di Cina. Uang telah menggantikan :insentif moral” yang dulu
sedemikian menguasi rakyat Cina. Dengan kata lain, membuka toko, berdagang
kelontong, membuka salon kecantikan, buka restoran, tidak diharamkan. Yang paling
menarik dari perkembangan ini adalah merebaknya pengusaha-pengusaha swasta.
Kelompok masyarakat yang di masa Mao dahulu dicurigai dan didiskriminasi, dengan
cepat menyesuaikan diri. Selama jangka waktu (1989-1992) mengalami penurunan, tetapi
sejak tahun 1992 itu jumlah pengusaha swasta – baik yang termasuk getihu maupun
siying qiyezhu – bertambah berlipat-lipat. Dua kategori itu didasarkan atas apakah jumlah
buruh melebihi delapan orang: kategori kedua yang sebenarnya resmi diakui sebagai
“pengusaha swasta” memperkerjakan lebih dari delapan buruh.
Sekedar ilustrasi, antara 1993-1999, jumlah getihu meningkat 1,8 kali, dan asetnya naik 4
kali lipat, sementyara output value naik dengan 5,1 kali. Adapun siying qizeyhu
mengalami percepatan lebih tinggi. Jumlah mereka meningkat 6,2 kali, asety mereka naik
15 kali, output value mereka bertambah 18,2 kali. Pada umumnya mereka terdapat di
pesisir Timur (getihu 45 persen dan siying qiyezhu 64 persen). Getihu sebagian besar
(84%) terjun di dalam sektor industri tersier dan kebanyakan (64%) ada di wilayah
pedesaan. Sementara itu Cuma sedikit lebih dari separuh (53%) dari siying qiyezhu
tersedot ke sektor industri tersier, sebagian lain terjun dalam indutri sekunder (45%).
Tetapi mereka mayoritas (63%) ada di kota, besar ataupun kecil, di pesisir timur. Seluruh
pengusaha swasta di Cina saat ini berjumlah sekitar 20 juta.
Pada dasarnya pengusaha swasta murni belum mengatur roda ekonomi. Negara masih
memainkan peran penting, kalau tidak boleh dikatakan dominan. Dalam UUD (1982)
yang telah diamamndemen pada 1999 sekalipun tetap dikatakan sebagai “komponen
penting” dari perekonomian Cina. Dalam pidatonya pada kesempatan peringatan hari
kemerdekaan RRC ke-50, 1 Oktober 1999, Jiang Zemin menegaskan bahwa “aset publik
akan mendominasi aset masyarakat; sektor yang dimiliki oleh negara mengendalikan
jalur kehidupan ekonomi nasional dan memainkan peranan memimpin dalam
pembangunan ekonomi”.
Dikalangan pemimpin Cina nampak masih ada kendala ideologis yang sulit untuk
ditembus. Kelompok yang sering dijuluki “kelompok kiri” zuopai berpendapat bahwa
Cina adalah negara sosialis yang berdasarkan kepemilikan negara. Maka public
ownership ini tidak boleh dilanggar. Dengan membiarkan pengusaha swasta menjalankan
roda ekonomi di cina, maka tamatlah riwyat sosialisme di Cina. Kelompok kiri sebagai
sebuah kelompok memang makin sedikit dalam kuantitas, tetapi kelompok kiri sebagai
sebuah aliran pemikiran belum hilang sama sekali di Cina. Mereka tetap waspada dan
curiga terhadap sepak terjang para kapitalis.
Kelompok kiri tentu saja mewaspadai gerak-gerik para pengusaha swasta yang berusaha
“masuk lewat pintu belakang”. Yaitu orang-orang yang mau mempengaruhi pembuatan
kebijakan dengan cara masuk kedalam Partai Komunis Cina. Mereka telah mencium
taktik ini, dan mereka menentang kebijakan untuk menerima masuk pengusaha swasta ke
dalam Partai. Mereka mengingatkan Jiang Zemin dengan mengutip kata-kata Jiang
sendiri 14 tahun yang silam, ketika ia mengatakan bahwa pengusaha swasta tidak boleh
masuk menjadi anggota partai. Di dokumen lain, Jiang lebih eksplisit lagi mengatakan:
“Partai kita adalah ujung tombak kelas pekerja. Hubungan antara pengusaha swasta dan
kelas pekerja adalah hubungan antara yang menindas dan yang tertindas. Maka, tidak
diijinkan untuk merekrut pengusaha swasta ke dalam partai”.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa masih dibutuhkan waktu panjang bagi
pengusaha swasta Cina untuk benar-benar menjadi “pemain” yang utama dalam
gelanggang ekonomi di Cina. Meskipun dalam teori “Tiga Perwakilan” kedudukan
kelompok pengusaha swasta diakui secara terbuka, Cina ternayata masih mengandalkan
perusahaan milik negara untuk menggerakan ekonominya. Economic boom yang terjadi
di Cina saat ini harus diterangkan dengan memperhatikan variabel-variabel yang bukan
pengusaha swasta lokal. Kalau begitu benar seperti yang dikatakan Deng Xiaoping. Yang
dianut oleh Cina sekarang adalah “sosialisme dengan ciri khas Cina” (you zhongguo tese
de shehuizhuyi). Dengan ini diam-diam Cina telah memeperkenalkan model ekonomi
yang baru, yang unik, sesuai dengan kondisi Cina.
Setelah itu terbentuklah triumvirat antara Hua Guo Feng, Ye Jian Ying dan Deng Xiau
Ping. Disinilah akar mula permasalahnnya, kedua rekannya tersebut pernah menjadi
korban dari Revolusi Kebudayaan yang telah mengangkat namanya ke atas pentas
perpolitikan. Sebagai pemegang puncuk pimpinan PKC dan pemerintahan RRC, Hua
Guo Feng hanya dapat menyandarkan diri pada bayang-bayang kejayaan usang Mao Ze
Dong dengan menyatakan: “Kebijakan apapun yang pernah di anut oleh Mao akan tetap
saya junjung tinggi; dan instruksi apapun yang pernah di amanatkan oleh Mao akan tetap
saya indahkan”.
Dalam hal ini, Pragmatisme memilih solusi bahwa kebenaran objektif itu tidak ada,
melainkan ditetapkan oleh perihal, apakah suatu teori itu membuahkan hasil yang
menguntungkan. Jika hasilnya menguntungkan kita, maka teori itu "benar". Jika hasilnya
merugikan, teori itu salah. Problimnya disini, perkataan "kita" itu sendiri tidak objektif.
Berbeda dengan persepsi pancaindera yang sama bagi setiap manusia, apa yang
menguntungkan buat satu pihak kadang-kadang atau seringkali justru merugikan buat
orang lain.
Pada bulan november 1978 diadakan rapat-rapat dalam rangka mempersiapkan sidang III
dari komite sentral ke 11. dalam rapat tersebut tampak benar adanya dua kelompok yaitu
(1). Kelompok yang terdiri dari ahli waris revolusi kebudayaan dibawah pimpinan Hua
Gua Feng dan (2). Kelompok yang terdiri dari korban revolusi kebudayaan dibawah
pimpinan Deng Xiau Ping.
Hasil rapat memutuskan Deng Xiau Ping menduduki kembali jabatannya dalam PKC
sebagai wakil ketua komite Sentral, merangkap anggota dewan harian biropolitik serta
wakil ketua komisi militer. Sedangkan dalam pemerintahan RRC ia memperoleh kembali
jabatannya sebagai wakil pertama perdana menteri merangkap kepala staf umum tentara
pembebasan rakyat. Hal tersebut mnyebabkan posisi Huo Guo Feng menjadi goyah.
Semakin jelaslah bahwa Deng XiaoPing memenangkan adu kekuatan dalam sidang pleno
komite sentral tersebut. Sidang pleno komite sentral dianggap menjadi titik balik
perkembangan dari era dogmatisme dengan gerakan-gerakan massalnya yang beralih
menuju ke pragmatisme dan sekaligus merupakan awal dari era kepemimpinan Deng
XiaoPing. Dalam suasana pragmatisme dan modernisasi itu hubungan dengan dunia
internasional mulai dikembangkan lagi, terutama dengan Amerika Serikat.
Pragmatisme Cina
Pragmatisme yang berbasis kondisi setempat yang di maksud adalah seperti Cina dan
India. Kedua negara ini sama2 maju tapi dengan cara yang berbeda. Cina maju dengan
aktor utama pemerintah. Pemerintahlah yang membuat kebijakan membuka zona
ekonomi khusus dan membuat kebijakan yang menarik investor asing. Sehingga akhirnya
industri di Cina sangat berkembang pesat dan membuat kemajuan ekonomi yg
menakjubkan. Tentu saja semua pencapaian ini tidak bisa mensejahterakan 1 milyar lebih
orang sekaligus. India berkembang terutama karena industri IT dan tempat yang subur
bagi outsourcing perusahaan barat. Berbeda dengan Cina justru pemerintahan India
kurang berperan dalam kemajuan ekonominya. Yang berperan adalah kaum swasta.
Para penguasa China paham betul hukum ekonomi kapitalisme pasar, yakni bagaimana
mengakumulasi kapital dan mengeruk keuntungan bahkan untuk satu dollar investasi
sekalipun. Karena itu, mereka lebih mengutamakan reformasi kelembagaan
pemerintahan-efisiensi birokrasi, peningkatan mutu pelayanan publik, efektivitas
regulasi, akuntabilitas dan transparansi, penegakan hukum dan perkuatan peradilan, yang
lebih dibutuhkan guna memfasilitasi investasi asing ketimbang demokratisasi.
Pemerintah China yakin, para investor asing lebih memilih jaminan stabilitas politik dan
keamanan serta kepastian hukum dalam berinvestasi ketimbang memilih tipe
pemerintahan: otoriter atau demokrasi.
Dari dua contoh ini terlihat, bahwa kemajuan ekonomi kedua negara ini lebih
berdasarkan kondisi setempat. Di Cina peran pemerintah dalam kemajuan ekonomi
menonjol adalah cocok dengan sistem komunisme. Pemimpin dipilih oleh suatu dewan.
Kemudian pemerintah inilah yang secara pragmatis menentukan arah kebijakan ekonomi
yang sesuai. Tentu saja peran pemerintah yang besar ini tidak bisa ditiru negara
demokrasi seperti India. Namun toh pemimpin India walaupun berganti2, tetap bisa
membuat kebijakan yang cocok dengan negaranya dan membuat kemajuan.
Cina pada masa Mao Zedong tumbuh menjadi sebuah negara yang ambisius dalam
membangun negara yang besar berdasarkan ajaran komunis. Dalam merealisasikan
keinginannya Mao melakukan berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk
menandingi ekonomi negara-negara eropa dibidang industri dengan kemampuan bangsa
sendiri. Beberapa kebijakan tersebut adalah Lompatan Jauh kedepan dan Revolusi
Kebudayaan. Kehidupan masyarakat Cina pada periode ini sangat dipengaruhi oleh
paham komunis yang kental. Dalam bidang politik pemerintah bersikap otoriter, dengan
kebijakan mono-partainya yaitu dengan dibentuknya PKC sebagai partai tunggal. Sedang
dalam bidang ekonomi Mao mengeluarkan kebijakan ekonomi terencana dan terpusat
pada negara dengan menggunakan ekonomi sosialis.
Pada aspek sosial, budaya, agama dan pendidikan, pemerintah menjadi pengatur dan
melakukan kontrol yang ketat. Sehingga masyarakat mendapat tekanan dari komunisme
terutama dalam bidang agama dan budaya. Sedangkan dalam bidang pendidikan komunis
melarang unsur-unsur agama Khatolik dan Protestan ikut dalam mengembangkan
pendidikan. Semua pola pendidikan barat digantikan dengan pola pendidikan Uni Soviet.
Sepeninggal Mao, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan negara dengan mulai
bersikap terbuka terhadap negara-negara barat. Mereka mengakui kegagalan sistem
ekonomi sosialis yang tidak mampu menyejahterakan rakyat Cina. Deng Xio Ping adalah
orang yang memulai terbukanya cina dengan paham kapitalis ketika ia menjabat sebagai
perdana menteri di tahun 1973, terutama pada bidang Ekonomi. Walaupun begitu dalam
bidang lain pemerintah masih mempertahankan paham Komunis sebagai nilai-nilai dasar.
Dalam era globalisasi ini, pragmatisme adalah panduan terbaik yang dapat digunakan
mengarungi perjalanan menghadapi tantangan abad ke-21. Pragmatisme bukanlah sesuatu
yang keliru dan harus dijauhi. Sebaliknya, pragmatisme mampu menciptakan optimisme
dan membuang hambatan-hambatan yang biasa terselubung dalam doktrin-doktrin
ideologi yang kaku. Sikap pragmatisme selalu lebih baik daripada sikap yang didasari
kepercayaan ideologi yang kaku.
Orang-orang Cina memandang negara mereka sebagai negara besar karena warisan
sejarah, budaya, daerah yang luas dan populasi yang banyak. Cina memiliki aspirasi
untuk menjadi kekuatan besar, namun ia menyadari bahwa saat ini tidak memiliki
kekuatan nasional yang komprehensif untuk merealisasikannya. Banyak orang Cina yang
percaya bahwa kelemahan relatif Cina membuatnya mudah menjadi “bulan-bulanan” AS
dan secara potensial juga oleh negara-negara kuat lainnya. Oleh karena itu, sebuah Cina
yang kuat akan mempunyai posisi yang lebih baik dalam berhadapan dengan AS,
khususnya dalam masalah Taiwan.
China tak mau didikte kepentingan Barat, kukuh meretas jalan sendiri dalam
melaksanakan proyek modernisasi ekonomi-politik. Bagi China, sungguh tidak mudah
berayun di antara ekonomi dan demokrasi karena negara ini dihuni 1,3 miliar penduduk.
Gejolak politik berskala kecil pun akan berdampak besar terhadap stabilitas keamanan
domestik, yang dapat mengguncang sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Meski demikian, China perlahan mulai mengakomodasi sebagian elemen demokrasi
modern. Reformasi ekonomi China disertai penataan kelembagaan pemerintahan untuk
mendukung good governance, rule of law, pemberantasan korupsi, dan pasar terbuka. Ini
adalah strategi gradual yang bertujuan memperkuat peran negara dalam membangun
perekonomian dan menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat mutlak untuk menarik
investasi asing (foreign direct investment) dan memacu pertumbuhan berkelanjutan.
Tatkala AS secara tegas menolak melakukan negosiasi dengan Iran, Cina justru memilih
jalan diplomasi dan menolak mentah-mentah sanksi terhadap Iran. Masih segar diingatan
kita tatkala hampir semua negara mengutuk pemerintahan Junta Militer Myanmar yang
memberangus Demokrasi, Cina malah menjadi mitra dagang terbesar bagi Myanmar.
Bagi Cina, diplomasi adalah diplomasi dan perdagangan adalah perdagangan.
Pimpinan komunis Cina menyampaikan ancaman. Dua tema peka yang membuat
penguasa di Beijing menunjukkan kejengkelan terhadap Washington, yakni menyangkut
masalah Taiwan dan Tibet. Cina menuntut agar Presiden Obama
membatalkan pertemuannya dengan Dalai Lama. Bila tidak, pemerintah di Beijing
mengancam untuk mengambil konsekuensi dalam hubungan bilateral.
Ketegangan akhir-akhir ini antara Washington dan Beijing dengan mudah terlihat dalam
membentuk tatanan dunia yang baru. Diperingatkan, Cina merupakan negara adi daya
yang agresif. Ketakutan mengenai hal itu berlebihan. Ketegangannya lebih
mencerminkan permainan kekuatan, yang mana kedua belah pihak hanya akan meraih
kemenangan, bila menjalin kerjasama dengan damai.
Ancaman keras dan sikap pragmatis yang dingin antara kedua belah pihak, telah muncul
sejak era Nixon - Mao, pada tahun 70-an. Setelah badai ketegangan berlalu, dalam waktu
singkat hubungan antara kedua negara ini kembali normal. Amerika Serikat merupakan
pasaran besar Cina. Dan Amerika Serikat merupakan kreditor besar Bank Cina. Dengan
ringkas dapat dikatakan, kegiatan ekonomi kedua negara sejak lama saling terkait.
Baik Cina maupun Amerika Serikat tidak akan terjebak kedalam perselisihan yang
serius. Tapi sejak krisis ekonomi dunia, muncul beberapa perubahan. Cina
yang mengalami "boom ekonomi" luput dari krisis. Ini membangkitkan fantasi
kekuasaan. Pemerintah di Beijing mempertahankan pragmatisme. Elit politik Cina
semakin sering menuntut untuk mengambil tindakan terhadap Amerika Serikat. Cina
tidak perlu lagi untuk mengalah, bila negara-negara Barat menjegal kepentingannya.
Bila pimpinan di Bejing benar-benar menerapkan ancamannya untuk
memboikot perusahaan Amerika Serikat, maka misalnya pada akhirnya setengah dari
armada penerbangan Cina tidak akan beroperasi, karena suku cadangnya berasal
dari perusahaan Boeing. Jadi tidaklah mengherankan, bila di tengah ancaman yang
disampaikan pimpinan Cina, hubungan lainnya tetap berjalan. Untuk pertama kalinya,
kapal induk Amerika Serikat Nimitz memperoleh ijin berlabuh di Hongkong. Ini
menunjukkan isyarat bahwa hubungan antara kedua negara masih dalam kerangka
permainan kekuatan.
Cina memahami bahwa urusan dalam negeri suatu negara bukanlah urusannya. Cina pun
paham perekonomian jauh lebih penting tinimbang politik. Hal inilah yang luput dilihat
Gorbachev tatkala ia lebih memilih Glastnost (reformasi politik) tinimbang perestorika
(reformasi Ekonomi). Cina juga telah mencoba keluar dari permasalahan cultural
constraints yang dihadapinya untuk terlibat aktif dalam budaya global. Sekarang, Kota-
kota di Cina terlihat seperti kota-kota di Barat. Warga Cina berpakaian layaknya
mencoba meniru mannerism orang Amerika. Merk-merk Barat yang dapat diakses jauh
lebih banyak berterbaran di Cina menandakan usaha Cina untuk mentransformasi dirinya
menjadi bagian dari dari warga negara Dunia dimata orang-orang Amerka dan Eropa.
Pragmatisme Cina yang selalu melihat kedalam tinimbang keluar membuat kebangkitan
Cina selalu dilihat sebagai kebangkitan yang damai (the peaceful rice of China). Cina
selalu fokus membangun peradaban Cina daripada membangun peradaban dunia. Tak
heran, Cina tidak pernah terbebani untuk menjadi polisi dunia yang bereaksi terhadap
segala permasalahan yang muncul. Terlepas dari ideologi komunis yang dianut negara
ini, pada dasarnya Cina telah menjadi bangsa pragmatis sejati yang mampu meraih
capaian-capaian yang belum mampu ditandingi oleh bangsa Asia manapun.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.