Beberapa negara dapat mengalokasikan lebih banyak uang pada pendidikan menengah.
Beberapa negara ini menghabiskan lebih banyak uang pada pendidikan tinggi ketimbang
pendidikan menengah. Negara-negara ini dapat melakukan perubahan kebijakan. Saat
angka partisipasi sekolah dasar dan sekolah menengahnya masih rendah, sekolah
menengah tidak boleh dibiayai dengan mengorbankan investasi di tingkat pendidikan
dasar. Namun ketika tingkat partisipasi pendidikan dasar tinggi namun tingkat partisipasi
pendidikan menengah rendah, usulan untuk mengalokasikan 5% atau 6% dari PNB untuk
meningkatkan akses kepada pendidikan menengah jika terdapat peningkatan alokasi
keseluruhan lebih dimungkinkan.
Skema pembebasan utang juga dapat mengubah kondisi negara-negara yang paling
terbebani oleh utang dan mampu membebaskan sumberdaya tambahan bagi mereka. Ini
hanya dapat dimanfaatkan oleh pendidikan menengah jika strategi sektoral mengenali
pentingnya pendekatan seimbang unuk pembiayaan pendidikan dasar dan menengah.
Desentralisasi dapat memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan
yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan. Jika terdapat kasus yaitu suatu
negara memiliki tingkat partisipasi sekolah menengah rendah atau di kisaran menengah,
namun negara tersebut tampaknya memiliki kelebihan penawaran lulusan pendidikan
menengah, hal ini bisa saja tidak disebabkan oleh adanya ekspansi tingkat partisipasi
pendidikan menengah.
Tingkat pengangguran terbuka yang tinggi dapat dikaitkan dengan rendahnya kualitas
pendidikan menengah yang tidak terfokus pada pengetahuan dan keahlian yang paling
relevan dengan pasar kerja. Tingginya tingkat pengangguran terbuka dapat pula menjadi
dampak jangka pendek pelaksanaan program-program penyesuaian struktural (structural
adjustment program) yang harus dilaksanakan akibat tidak layaknya kebijakan
makroekonomi dan sosial yang diambil oleh suatu negara. Dalam kasus-kasus tersebut,
kebijakan seharusnya berfokus pada isu-isu yang terkait dengan ketenagakerjaan dan
reformasi pendidikan. Pasar kerja ketat mungkin saja dapat menaikkan permintaan akan
lulusan sekolah menengah jika biaya kesempatan (opportunity cost) rendah. Tekanan
politis dan sosial dapat pula mendorong peningkatan akses. Suatu negara perlu
mendasarkan kebijakan pendidikannya pada laju pertumbuhan lapangan kerja yang
mungkin terjadi di masa mendatang. Negara tersebut perlu berupaya untuk (1)
melaksanakan reformasi peningkatan relevansi dan pemanfaatan pendidikan menengah
dan (2) menjalankan strategi yang ditujukan untuk meningkatkan perolehan kembali
biaya (cost-recovery) bersamaan dengan usaha perlindungan (safeguard) yang didesain
untuk memastikan adanya partisipasi yang seimbang dari seluruh siswa didik.
Mantan Menteri lulusan S-3 Shipping Energy, Universitas Delf , Belanda ini menyatakan
hal itu dalam acara Seminar “Kemana Arah dan Kebijakan Pendidikan Nasional” di
Gedung Ontaeluwu, Sorowako, yang difasilitasi oleh PTFA (Parents, Teachers, Friends,
Association) SMP YPS (Yayasan Pendidikan Sorowako) bekerja sama dengan Toast
Master Sorowako pada Senin (1 September 2008). Acara ini dihadiri oleh Kepala
Sekolah dan guru disekitar Sorowako, para orang tua murid, dosen Akademi Teknik
Sorowako, serta para pemerhati pendidikan.
Jika memang model pendidikan berbasis sekolah harus diadakan, maka lebih baik
suasana yang dibangun tidaklah seformal sekolah-sekolah yang ada saat ini, tentunya
dengan bentuk yang benar-benar untuk menjaga kemurnian tujuannya. Sekolah-sekolah
tersebut harus didirikan dimana saja, tanpa memungut biaya sepeser pun dari peserta
didik. Yang pasti, tidak harus memiliki gedung serba megah dan fasilitas canggih yang
serba mewah. Proses belajar mengajar dapat dilakukan dimana saja: di lapangan rumput,
sawah, tepian pantai, pasar, tempat pembuangan sampah akhir, balai RW, kantor pos,
rumah sakit, atau bahkan di beranda depan rumah salah seorang peserta didik. Justru
dengan melakukan pembelajaran dengan membawa peserta didik pada realitas yang ada
di sekitarnya dan bukan hanya mendengar dari guru dan membaca saja dari buku, peserta
didik akan mendapatkan jauh lebih banyak pengetahuan dari proses komunikasi secara
verbal dan non verbal dengan realitas tersebut.
Sebagai contoh, anak-anak yang tinggal di pesisir pantai dan di lereng pegunungan
tentunya akan mendapati realitas yang sangat berbeda. Dan dengan mengetahui dan
memahami langsung realitas yang ada di sekitar mereka, maka mereka akan dapat
mengenal ciptaanNya berikut kebesaran Sang Pencipta, menggali potensi alam sekitar
tempat tinggal mereka untuk dikembangkan demi kesejahteraan mereka sendiri dan tidak
mengeksploitasinya secara massal sebagai bentuk rasa syukur terhadap karuniaNya.
Disamping itu, peserta didik akan mempelajari bagaimana memposisikan perannya
sebagai makhluk sosial, dengan interaksi verbal dan non verbal yang terjadi dengan
realitas yang dihadapinya.
Semisal saat berada di tempat pembuangan sampah akhir, mereka akan melihat kenyataan
kemiskinan yang belum pernah mereka alami atau bahkan juga mereka alami sehari-
harinya, dimana hal ini tidak akan pernah didapatkan oleh anak-anak di sekolah formal
yang selalu didongengi dengan kesuksesan dan kesempurnaan hidup. Sehingga kepekaan
sosial mereka akan terasah, dan juga merangsang kecerdasan mereka untuk menganalisa
mengapa hal-hal tersebut dapat terjadi dan memikirkan tindakan solutifnya. Selain itu,
interaksi sosial tersebut tentunya juga dapat menjadi sumber belajar peserta didik dalam
bersikap kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, dan juga menganalisanya, tidak
hanya meneladaninya saja sebagaimana diajarkan dalam pendidikan budi pekerti versi Ki
Hajar Dewantara.
Konsep humanizing human through education sebenarnya telah lama dikemukakan oleh
banyak pakar pendidikan humanis sejak berabad-abad lalu. Tidak sejalan dengan konsep
tabularasa yang pernah dikemukakan oleh John Locke dan bertentangan dengan
Schopenhauer, melainkan lebih mengarah pada aliran konvergensi yang dianut oleh Al-
Ghazali dan juga William Stern. Pandangan konvergensi tersebut mengemukakan bahwa
manusia memang sejak lahir sudah membawa potensi dan bakat tetapi potensi dan bakat
itu tidak akan berkembang dengan sendirinya secara maksimal tanpa dibantu dengan
proses pendidikan.
Intinya, pendidikan humanis dapat dipahami sebagai model pendidikan yang memuliakan
manusia atas potensi-potensi kemanusiaan yang sudah ada dalam dirinya. Pada model
pendidikan ini, manusia dipandang sebagai subyek yang otonom, sehingga pendidikan
harus berpusat pada peserta didik dan bukan pada guru. Selama tujuan pendidikan adalah
untuk mengenalkan peserta didik terhadap realitas yang ada di sekitarnya dan
menyadarkan mereka akan proses dehumanisasi yang terjadi atasnya, maka peserta didik
harusnya tidak lagi dijejali dengan hapalan teori melainkan dengan membawa mereka
pada realitas itu sendiri.
Bantuan Eksternal
Bantuan pihak luar atau eksternal dapat meningkatkan sumberdaya yang tersedia untuk
sistem pendidikan menengah di negara berkembang. Di negara-negara dengan GER2
paling rendah dan dengan prospek pembiayaan domestik terendah, pinjaman dan hibah
luar negeri dapat mengurangi biaya. Pinjaman dan hibah dapat membantu pembiayaan
konstruksi atau akuisisi bangunan, pembelian peralatan, pengembangan kurikulum,
produksi dan distribusi buku teks dan material belajar mengajar, pendidikan guru, dan
peninjauan dan manajemen sekolah dan sistem sekolah. Donor tidak terlalu tertarik
dengan pendidikan menengah dalam sepuluh tahun terakhir ini. Upaya keras perlu
dilakukan agar permintaan akan pendidikan sesudah pendidikan dasar telah menjadi
missing link dalam strategi pengembangan sumber daya manusia.
Tinjauan Biaya
Untuk mencapai angka partisipasi sekolah menengah yang lebih tinggi di negara-negara
berkembang termiskin, strategi investasi dan struktur biaya mereka harus ditinjau ulang.
Tingkat partisipasi di kebanyakan negara umumnya terkait dengan pemilihan kebijakan
dan preferensi investasi ketimbang keterbatasan sumberdaya. Besar belanja publik untuk
membiayai pendidikan menengah yang dinyatakan dalam persentase terhadap PNB dapat
berkisar antara di bawah 0,5% sampai lebih dari 3%. Pada umumnya negara-negara
dengan GER2 rendah mengalokasikan proporsi yang lebih kecil dari PNB mereka untuk
membiayai pendidikan menengah dibandingkan negara-negara yang memiliki GER2
lebih tinggi (rata-rata 0,86% dibandingkan rata-rata 1,41%) dan biaya satuan yang
dinyatakan sebagai proporsi PNB per kapita adalah lebih tinggi di negara-negara dengan
GER2 rendah. Di negara-negara dengan angka partisipasi kasar sekolah dasar (GER1)
sekitar 80%, angka untuk sekolah menengah selalu melampaui 30%. Di atas ambang ini,
GER2 sangat bervariasi.
Strategi pembangunan nasional harus berfokus pada tugas berat untuk mengidentifikasi
tingkat dan fokus investasi di tingkat pendidikan menengah mana yang paling dapat
mempengaruhi pertumbuhan. Kebijakan yang diambil akan spesifik untuk setiap negara.
Suatu model yang ditentukan oleh partisipasi (enrollment-driven) telah digunakan untuk
melihat biaya dengan menstimulasi berbagai skenario dan menjalankan berbagai simulasi
yang melihat sifat tingkat partisipasi dan biaya yang dibutuhkan dalam jangka waktu lima
tahun untuk berbagai negara dengan GER2 di bawah 40% dan antara 40% dan 70%.
Jika struktur biaya saat ini dipertahankan, maka tampaknya negara-negara Afrika sub-
Sahara perlu mengalokasikan sekitar hampir 4% dari PNB mereka untuk pendidikan
menengah supaya mereka dapat mencapai GER2 60% dan lebih dari 5% PNB untuk
mencapai GER2 sebesar 80%. Hal ini hampir tidak mungkin terjadi terutama jika
ditambahkan jumlah dana yang dibutuhkan untuk mempertahankan GER1 pada tingkat
100%. Di luar negara-negara dengan GER2 terendah, angka untuk wilayah lain
menunjukkan adanya harapan. Jika suatu negara memprioritaskan peningkatan GER2
mereka, mereka sangat mungkin dapat mencapainya.
Hasil yang sama dapat dicapai dengan mengurangi gaji rata-rata. Tentu saja, tingkat gaji
harus dinilai berdasarkan kondisi pasar kerja nasional dan biaya hidup. Gaji ini—yang
dinyatakan dalam satuan persentase PNB—sangat bervariasi antarnegara. Penurunan gaji
guru yang signifikan dimungkinkan ketika gaji guru dinilai sudah berlebihan. Namun
demikian, ketika gaji guru rendah, pengurangannya dapat menimbulkan konsekuensi
negatif atas motivasi dan kinerja guru. Satu pendekatan yang mungkin adalah
mengurangi biaya gaji rata-rata dengan menarik lebih banyak asisten guru dan dengan
mempekerjakan lebih banyak guru muda—yang dapat mendukung pekerjaan para guru
yang dibayar mahal, terlatih dengan baik dan berpengalaman. Pendekatan ini dapat
mendorong lebih banyak partisipasi murid sekolah menengah dengan biaya yang sama.
Pilihan lain termasuk melihat skala keekonomian yang dapat timbul akibat naiknya besar
sekolah rata-rata. Ketika angka ini rendah, kurangi biaya inap/asrama yang tidak perlu
dan/atau mengasosiasikannya dengan cost recovery, dan menghemat biaya non-gaji yang
tidak mengurangi pasokan material belajar.
Cost-Sharing
Uang sekolah membantu sistem sekolah mendapatkan kembali biaya memperluas akses
pendidikan menengah. Kebanyakan negara mengantisipasi sedikit kontribusi, biaya
pendidikan menengah dibebankan kepada siswa dan keluarganya bervariasi dari negara
satu ke negara lain; kebanyakan sistem sekolah hanya menarik sejumlah kecil ... dari
seluruh biaya yang dikeluarkan. Jika pendapatan cukup tinggi untuk memungkinkan
penarikan uang sekolah yang cukup besar, opsi ini perlu dipertimbangkan—bersamaan
dengan, tentu saja, perlindungan akses bagi keluarga berpendapatan rendah. Ketika
partisipasi pendidikan menengah rendah dan permintaan melebihi kapasitas sistem
sekolah publik, pendekatan berbiaya rendah agar tingkat partisipasi nasional meningkat
dapat berbentuk subsidi kepada sekolah swasta.
Sekolah dapat meminta keluarga untuk berkontribusi untuk mengurangi biaya material
belajar mengajar, meskipun tentu saja mereka harus sensitif terhadap harga yang
dikenakan. Jika mereka memiliki otonomi atas dana yang mereka hasilkan, mereka dapat
mengurangi biaya operasi dengan meminta kontribusi untuk biaya makanan dan asrama.
Mereka dapat juga memperoleh pendapatan dengan cara menyewakan fasilitas yang
mereka punya. Cost sharing dengan masyarakat lokal juga merupakan pilihan yang
mungkin dilakukan. Sumbangan keluarga dan masyarakat akan bergantung pada
kemampuan untuk membayar; mereka akan lebih tidak mungkin ketika pertumbuhan
ekonomi terbatas, kemiskinan meluas dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan
langka. Selanjutnya, tentu saja, beberapa komunitas masyarakat telah banyak terlibat
dalam pembiayaan sistem pendidikan dasar.
Meningkatkan Efisiensi
Efisiensi dapat ditingkatkan di berbagai sistem pendidikan menengah. Ketika siswa putus
sekolah, efisiensi akan terkena dampaknya karena kemampuan mereka yang tidak tuntas
sekolah terkait dengan pendidikan menengah. Selanjutnya, jumlah tahun investasi yang
diperlukan untuk menghasilkan lulusan sekolah menengah juga meningkat. Pengulangan
(tidak naik kelas) juga tidak efisien (dan mungkin tidak adil) jika pengulangan tersebut
menyebabkan tempat yang ditempati oleh mereka yang mengulang menjadi tidak bisa
ditempati oleh mereka yang menunggu untuk masuk ke sekolah. Pada saat yang sama,
tingkat pengulangan menjadi indikator efektivitas proses belajar mengajar. Tingkat
pengulangan yang kadangkala dikendalikan oleh kebijakan pendidikan dapat ditekan
dengan memastikan bahwa rasio murid-guru dan kelas-guru cukup layak, mengurangi
ketidakhadiran guru, mengadopsi kurikulum dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal,
dan meningkatkan waktu yang dimanfaatkan oleh siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas
sekolah mereka.
Upaya juga perlu dilakukan untuk mengurangi guru ’hantu’ dari daftar gaji negara,
memberikan insentif untuk meningkatkan hasil belajar dan aliran siswa melalui sistem
pendidikan, dan memperbaiki sistem penempatan guru. Ketika guru dilatih untuk
mengajar beberapa mata pelajaran, pemanfaatannya secara umum lebih tinggi jika
dibandingkan dengan guru yang terspesialisasi untuk mengajar satu mata pelajaran. Pada
kondisi tertentu sistem aplus ganda dapat diterapkan agar biaya dapat ditekan.
Meningkatkan Persamaan Hak
Pola pendidikan menengah harus berubah tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi
namun juga untuk mendorong persamaan hak. Mereplikasi institusi dan praktek-praktek
yang ada dengan tujuan untuk mengakomodasi jumlah murid yang lebih banyak
sesungguhnya tidak efektif dari segi biaya dan juga tidak adil. Di negara-negara
berkembang yang lebih miskin yang memiliki angka partisipasi sekolah menengah
rendah, siswa sering berasal dari daerah kaya dan dari rumah tangga di daerah perkotaan.
Institusi-institusi ini berakar dari institusi pra-kemerdekaan yang didesain untuk melatih
para elit pegawai pemerintahan. Institusi-institusi tersebut cenderung sangat selektif,
dengan praktek belajar mengahar dan kurikulum yang mengakomodasi kaum elit dan
cenderung menarik biaya yang cukup mahal. Jurang gender yang cenderung ke arah laki-
laki pada umumnya lebih terlihat di tingkat pendidikan menengah jika dibandingkan
dengan pendidikan dasar (di negara-negara dengan GER2 tinggi jurang gender cenderung
ke arah perempuan). Di banyak negara berkembang, banyak sekali penduduk yang tidak
memulai atau tidak menyelesaikan pendidikan menengahnya. Kebanyakan mereka yang
bertahan di sekolah berasal dari lingkungan yang baik dan berkecukupan. Oleh karena
itu, pola belanja publik cenderung mengarah pada siswa-siswa ini, sehingga cara banyak
negara dalam membiayai pendidikan menengahnya cenderung memperparah ketimbang
mengurangi ketidakseimbangan kelas masyarakat.
Dalam realitas sosial masyarakat kita pun memandang STM dipandang sebagai sekolah
‘kelas dua’ yang dianggap hanya menghasilkan kelas pekerja rendahan. Padahal stigma
semacam ini jelas kontradiktif dengan kondisi dunia kerja kita, justru sektor yang diisi
oleh tenaga terampil dari sekolah kejuruan sangat dibutuhkan sebagai SDM penggerak
pembangunan yang tetap dapat bertahan dalam kondisi krisis. Sedangkan para tenaga
kerja ‘berdasi’ yang dalam strata sosial masyarakat digolongkan sebagai pegawai kelas
‘priyayi’ justru tumbang diterpa badai krisis ekonomi. Lulusan non kejuruan yang selama
ini dielus-elus oleh masyarakat dan pemerintah ternyata sangat rapuh.
Isu kualitas dalam pendidikan menengah adalah isu yang tidak akan pernah selesai,
karena kualitas bukanlah sesuatu yang berhenti pada satu titik, melainkan berkembang
dari satu titik ke titik lain. Pendidikan yang berkualitas pada hari ini akan usang dalam
waktu 1-2 tahun mendatang. Hal ini yang menjadikan proses peningkatan kualitas
menjadi semakin mendatang. Gugatan berkepanjangan terhadap pendidikan nasional
berkisar pada kualitas para lulusan yang tidak cocok dengan kebutuhan dunia usaha.
Lembaga pendidikan tidak bisa menghasilkan lulusan siap pakai yang sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan perkembangan ekonomi nasional. Ketidaksesuaian (mismacth)
ini kemudian menjadi isu utama dalam polemik antara dunia pendidian dan dunia usaha.
Jalan keluar yang sempat mengemuka beberapa tahun lalu adalah konsep link and macth
(kaitan dan padanan) antara dunia pendidikan dan dunia usaha yang didengungkan
mantan Mendikbud Wardiman.
Ketidaksesuaian tersebut barangkali dapat tergambar data empiris berikut. Dari 593.153
lowongan kerja terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja sampai akhir 1997, terdapat 17
persen lowongan kerja yang tidak dapat terisi. Sekitar 50 persen di antaranya adalah
angkatan kerja berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan
SD dan diploma satu (D1) sekitar 10 persen. Demikian juga dari data Biro Pusat Statistik,
periode 1980-1997, angka pengangguran terbuka pada angkatan kerja berpendidikan
menengah ke atas meningkat tajam (Tabel).
Di masa lalu sekolah dijadikan lembaga pengajaran dan indoktrinasi, sedang kepentingan
masyarakat dikesampingkan. Ini terjadi akibat penguasa yang berkarakter militeristik dan
otoritarian yang mempertahankan kekuasaannya melalui penciptaan struktur masyarakat
mono loyalitas. Sekolah sebagai lembaga ilmiah tidak memiliki kebebasan menentukan
identitas dan jati dirinya. Justru sekolah dimanfaatkan untuk indoktrinasi, bahkan
program wajib belajar di tingkat dasar pun menjadi media intelektual brainwashing
secara struktural. Pendeknya, dunia pendidikan adalah mesin cetak karakter sesuai
kehendak penguasa.
Pemerintah secara sepihak telah menentukan suatu ‘blue print’ identitas yang seragam
tidak hanya bagi siswa namun juga menyangkut seluruh institusi pendidikan bahkan
seluruh masyarakat. Mereka harus menerima dan patuh tidak peduli apakah itu sesuai
dengan kesadaran budaya masyarakat lokal. Indoktrinasi itu sendiri sebenarnya justru
menimbulkan kontradiksi dalam masyarakat Akhir-akhir ini kita ketahui dampaknya
setelah muncul konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat. Dan sebenarnya hal
tersebut (penyeragaman identitas) tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan saja
namun hampir pada semua sendi peri kehidupan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan
tentu saja budaya. Masalah yang dihadapi Indonesia adalah, selama ini kita banyak
terjebak untuk melakukan langkah politis (seperti penaikan persentase dana pendidikan
pada APBN) dan teknis (buku online) daripada langkah strategis, yaitu langkah yang
terpadu, saling terkait, dan dapat saling mengangkat kualitas pendidikan sebagaimana
yang diharapkan.
Karena itu problema psikologis menyangkut eksistensi (self esteem) yang sangat penting
bagi remaja dalam membangun identitasnya menjadi hal klasik. Padahal siswa dan
remaja bukanlah tentara yang dapat dipaksa menerima satu doktrin. Remaja pelajar
adalah individu yang bebas dan memiliki ciri khas sesuai potensi yang dimilikinya.
Potensi yang harus digali, dibina, dikembangkan serta diekspresikan sesuai cara mereka
sendiri. Namun karena sistem yang otoriter justru tidak ada tempat bagi mereka untuk
mengaktualisasikan dirinya.
Mereka terbelenggu dan yang tak mampu mengikuti mainstream akhirnya, alih2
dilindungi dan diberdayakan, justru terpinggirkan. Dampaknya bisa kita lihat dari
berbagai kenakalan remaja yang terus marak dari hari ke hari. Sedangkan sistem
pendidikan saat ini pun salah dalam mensikapi kenakalan tersebut, bukannya dibina
sesuai dengan filosofi pendidikan (fisik, psikis, nalar) justru ditinggalkan. Bahkan tidak
jarang digolongkan ke dalam kriminalisme, padahal mereka itulah yang justru paling
membutuhkan pendidikan.
Selain kualitas output dalam hubungan dunia usaha dan dunia pendidikan ini, dunia
pendidikan nasional juga dituntut untuk mampu mengadaptasi pada perubahan sosial
yang terjadi. Ini terutama berkaitan dengan pendidikan dasar dan menengah. Orientasi
pendidikan Orde Baru tentu berbeda dengan orientasi pendidikan pemerintahan yang
demokratis dan terbuka. Hal ini yang belum jelas tercermin dari kementerian pendidikan,
yakni kebijakan apa yang harus dilakukan dalam upaya mengadaptasi pada perubahan-
perubahan yang terjadi serta untuk turut memajukan kesejahteraan dan kesatuan nasional.
Sementara itu, Jones (Dilemmas in Expanding Education for Faster Economic Growth:
Indonesia, Malaysia and Thailand, 1989) mengungkapkan bahwa peran angkatan kerja
kategori profesional, manajerial, dan teknis akan meningkat karena perubahan sektoral
lapangan kerja dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Karena itu, dalam
jangka pendek, persediaan tenaga kerja berpendidikan SLTA ke atas akan meningkat,
namun pada akhirnya, tenaga kerja ini akan diserap oleh jenis-jenis pekerjaan lain,
seperti pemasaran, kerajinan dan peternakan.
Dalam buku IQ and the Wealth of Nations (2002), Lynn dan Vanhanen menyimpulkan,
produk domestik bruto (PDB) dan IQ dari penduduk suatu negara mempunyai hubungan
yang amat erat. Tingkat IQ dari penduduk suatu negara, menurut mereka, dapat
menjelaskan variasi yang ada dalam PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Di
kawasan Asia Tenggara, rata-rata IQ penduduk Indonesia hanya lebih baik dari Filipina
dan ada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Satu hal lagi adalah prediksi PDB
Indonesia berdasarkan level IQ yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang ada. PDB
Indonesia hanya sekitar 25 persen dari PDB yang diprediksikan atau PDB potensial yang
dapat dicapai.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai
investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter.
Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik,
kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup
yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat
ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat
pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya.
(McMahon & Geske, 1982).
Seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur dan jasa kebutuhan akan tenaga kerja
yang berpendidikan menengah tentu akan meningkat. Dengan demikian, dalam jangka
panjang persediaan tenaga kerja berpendidikan menengah ini merupakan keunggulan
komparatif Indonesia. Melihat pada kasus Jepang, selain faktor sumberdaya alam, banyak
industri Jepang relokasi ke luar negeri karena kurangnya (juga mahal) tenaga kerja
berpendidikan menengah untuk mendukung industri manufaktur. Demikian juga Taiwan
dan Korea Selatan yang mulai mengalami hal sama dengan Jepang.
Tidak berarti keunggulan komparatif ini terletak pada upah yang rendah. Justru
masalahnya, bagaimana meningkatkan kualitas lulusan sekolah menengah ke atas
sehingga elastisitas penawarannya tinggi. Hal ini berarti perlu penekanan perhatian
terhadap kurikulum sistem pendidikan formal menyangkut, sejauh mana isi kurikulum
mampu meningkatkan keterampilan, keahlian dan daya adaptasi lulusan terhadap dunia
nyata. Dengan demikian, tidak ada salahnya jika kurikulum secara eksplisit meliputi
beberapa langkah "bimbingan karir" atau informasi realistis tentang prospek pasar tenaga
kerja, latihan manajerial dasar/ wirausaha dan praktek permagangan.
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan
nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang
berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya.
Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh
sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan
pembangunan nasional.
Hal ini menunjukkan potensi luar biasa bagi perekonomian Indonesia apabila saja kondisi
infrastruktur sosial yang ada dibenahi (budaya KKN dan sebagainya) dan kita dapat
membentuk masyarakat yang berdasarkan utilitarianisme "guna" (merit-based society)
sehingga seseorang benar-benar dinilai berdasarkan pada apa yang telah dihasilkan,
bukan sekadar berdasarkan pada relasi atau kekuasaan. Di kalangan masyarakat luas juga
berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial
seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik
dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa
menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka
panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi
materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar
pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima
fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga
tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk
perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan
berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari
pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara
total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang
akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara
sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan
relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara
itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding
investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa
dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif
lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih
tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi(Ace Suryadi,
1999).
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-
ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi
kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap
perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda.
Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan
dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin(Yin Cheong Cheng, 1996).
Apabila pengeluaran pemerintah untuk pendidikan kurang bisa diharapkan, apakah kita
harus menunggu sampai elite politik sadar bahwa pendidikan itu penting? Sebenarnya
peran serta masyarakat sendiri masih dapat diharapkan. Porsi pengeluaran untuk
pendidikan sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi dalam rumah tangga. Namun, ini
juga bergantung pada bagaimana masyarakat memandang pendidikan itu sendiri. Jika
pendidikan hanya dipandang sebagai "biaya", tentu ada keengganan untuk meningkatkan
pengeluaran pendidikan.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat
pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan
lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas
seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari
pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah
mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis
kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di
Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan
doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan
sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan
rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di
Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun
lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD
hanya 1,1 juta rupiah.
Apabila masyarakat dapat melihat pendidikan sebagai bentuk "investasi", yang nantinya
akan dapat membawa mereka ke tingkat kesejahteraan lebih baik, masa depan lebih
cerah, dan pendapatan lebih tinggi, masyarakat tentu tidak akan sayang meningkatkan
pengeluaran untuk pendidikan. Hanya saja, "investasi" dalam pendidikan mungkin hanya
akan tinggal angan-angan jika tidak ada perbaikan struktur ekonomi dan struktur sosial
yang menjamin bahwa keahlian yang diperoleh dalam pendidikan benar-benar bisa
dimanfaatkan untuk memperoleh pekerjaan ataupun pendapatan lebih baik.
Jika GER suatu negara kurang dari 40%, kadang-kadang timbul kasus bahwa kurang dari
10% dari jumlah angkatan kerjanya telah berhasil menyelesaikan pendidikan
menengahnya. Hal ini menjadi pertanyaan penting dalam penentuan strategi
pengembangan sumberdaya manusia, yang bergantung pada ketersediaan penduduk
dengan pengetahuan dan keahlian yang diperoleh dari pendidikan di tingkat yang lebih
tinggi dari pendidikan dasar. Jelas bahwa negara-negara dengan GER terendah harus
mengupayakan sesuatu untuk meningkatkan GER-nya. Suatu negara tidak akan mampu
bertumpu di lapangan usaha yang lebih tinggi dari pertanian subsistens, meningkatkan
industri pengolahan dan industri jasa yang kompetitif, atau mengembangkan strategi
perdagangan internasionalnya, jika angkatan kerjanya yang memiliki latar belakang
pendidikan menengah hanya sebesar 5-10%.
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada
tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu
siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif
untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang
berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan
perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan
memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik
dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan
budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan
membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk
bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang
yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan
dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap
keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan
diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi
integrasi budaya nasional atau regional.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika,
moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang
kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi
negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang
baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat
pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi
pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan
fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas
tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk
perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai
investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Namun terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh oleh negara-negara berkembang
untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah menengahnya sambil mempertimbangkan
keterbatasan fiskal yang dihadapi oleh negara-negara tersebut. Pilihan investasi
pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik
sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan
pendidikan tinggi 13 %.
Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan
dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar
setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to
be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu
membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan
menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk
mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain
itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya.
Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan
pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani
mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan
dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Tabel
Pengangguran dan Lowongan Kerja Belum Terisi
Tingkat Lowongan kerja
Pengangguran belum terisi
1980 1998 1997
SD ke 75,2 23.09 7,9
bawah
SLTP 14,5 19.44 30,5
SLTA 6,5 32.13 23,3
Umum
SLTA 7,8 16.86 32,9
Kejuruan
Akademi 0,5 3.47 35,4
Universitas 0,3 5.02 43,7
Sumber: Keadaan Angkatan Kerja (BPS: 1980, 1997).
Direktorat Informasi Pasar Kerja, Depnaker, 1997
Tingginya tingkat pengangguran di kalangan angkatan kerja terdidik ini dapat berdampak
serius pada berbagai dimensi kehidupan. Dari dimensi politik, Samuel P. Huntington
(1983) mengatakan, semakin tinggi tingkat pendidikan para pengangggur, semakin gawat
kadar tindakan destabilitas yang tercipta. Lulusan perguruan tinggi yang tidak terlibat
dalam kegiatan ekonomi dapat mendorong pada perubahan sosial yang cepat. Sementara
itu tamatan pendidikan menengah yang tidak bekerja dapat semakin mempergawat kadar
ketidak-damaian politik. Di Afrika Barat misalnya, banyak kerusuhan dan aksi-aksi
politik yang eksplosif didukung oleh para lulusan dunia pendidikan menengah yang tidak
bekerja.
Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada
mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Ketiga, terbatasnya
daya serap tenaga kerja sektor formal sementara angkatan kerja terdidik cenderung
memasuki sektor formal yang kurang berisiko. Hal ini menimbulkan tekanan penawaran
di mana tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan kuat
terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil, sehingga terjadi
pendayagunaan tenaga kerja terdidik yang tidak optimal. Keempat, belum efisiennya
fungsi pasar tenaga kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus
informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak
angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Hal ini tentu saja berpengaruh pada efektivitas
dan efisiensi penggunaan tenaga kerja.
Suatu negara dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah menengah dengan: (1)
memperbesar proporsi PNB yang dialokasikan untuk pendidikan secara umum dan
pendidikan menengah secara khusus; (2) mengurangi biaya satuan; (3) meningkatkan
efisiensi; (4) memanfaatkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan skema cost-
sharing; dan (5) mencari bantuan eksternal.
Terdapat perbedaan strategis antara negara-negara yang memiliki kebutuhan utama untuk
meningkatkan partisipasi keseluruhan dengan negara-negara yang terutama
membutuhkan peningkatkan efisiensi internal. Di negara-negara yang ingin
meningkatkan partisipasi keseluruhan, peningkatan akses membutuhkan peningkatan
belanja negara secara pro-rata. Sementara itu, di negara-negara yang mengutamakan
peningkatan efisiensi internal, peningkatan akses dapat dicapai dengan mengurangi
timbulnya repetisi dan sumber-sumber ketidakefisienan lainnya (seperti sistem
penempatan guru yang buruk dan beban mengajar yang sangat rendah) tanpa perlu
meningkatkan biaya.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.