Menurut Brugmans (1938) bahwa politisasi pendidikan bukan hanya suatu bagian dari
politik kolonial, akan tetapi merupakan inti politik kolonial. Jenis dan luas pendidikan
yang disediakan oleh pemerintah Belanda bagi anak-anak Indonesia banyak ditentukan
oleh tujuan-tujuan politik Belanda yang terutama dipengaruhi oleh pertimbangan-
pertimbangan ekonomis. Tak mungkin mempelajari masalah-masalah pendidikan di
Indonesia pada zaman kolonial lepas dari masalah-masalah ekonomi (1983). Taruhlah
mengenai motif pendirian sekolah pertama di Jakarta tahun 1603 yang khusus mendidik
anak Belanda dan Jawa menjadi pekerja yang kompeten untuk VOC.
Motif diseminasi teologi nasrani yang paling dominan seperti yang pernah dilakukan
oleh Franciscus Xaverius dibawah “Ordo Jesuit”-nya berhasil mengkatolikkan sebagian
besar Indonesia bagian timur melalui berbagai instrument pendidikan. Pada
perkembangannya, pendidikan kolonial menjalar dalam berbagai bentuk seperti
berdirinya Volksschool (Sekolah Desa), Europese Lagere School (ELS), Hollands
Chinese School (HCS), Hollands Inlandse School (HIS), Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS) dan Algemene Middelbare School
(AMS) yang notabene aspek kurikulumnya lebih tertata dari pada model pendidikan
sebelumnya.
Di samping itu pemerintah juga menghadapi masalah-masalah lama yang masih belum
terpecahkan adalah kuantitas cakupan yang relatif rendah pada jenjang pendidikan
menengah dan tinggi, sentralisme dan korupsi di jajaran birokrasi pendidikan, kualitas
literacy, relevansi kinerja pendidikan yang rendah di depan tuntutan pasar dan tuntutan
pembelajaran yang cerdas dan demokratis, serta kesenjangan pelayanan pendidikan baik
dalam perspektif kelembagaan (negeri vs swasta, sekolah vs madrasah), maupun
geografis.
Pendidikan yang selama ini dilakukan, tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia
secara "utuh" dan "paripurna", tetapi lebih diorientasikan pada nilai-nilai materialistis,
ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi
pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran,
tanpa diimbangi dengan pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual.
Lebih mementingkan penjejalan otak kiri dari pada memahami pemahaman kebutuhan
otak kanan. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik,
keluhuran budi, dan budi nurani menjadi tidak terlihat. Mereka menjadi "robot-robot"
zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik,
dan mau menang sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan
regulasi yang tidak memihak rakyat. Sebagaimana output pendidikan tidak digembleng
untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada
kepentingan kekuasaan an-sich. Oleh karena itu ikhtiar reformasi pendidikan Indonesia
menghadapi tantangan kebijakan yang berdimensi luas dan mendasar, memerlukan
perubahan atau perbaikan orientasi, penataan kembali sistem dan institusi governance
serta tata kelola, bahan ajar/materi didik, model pembelajaran dan ketersediaan sarana-
perasarana maupun pendidiknya.
Semua lembaga pendidikan pada dasarnya bermuara pada perubahan ide mendasar dan
konstruksi pemikiran bahwa bangsa ini harus keluar dari lingkar-lingkar kolonialisme.
Itulah politisasi pendidikan meskipun dalam kacamata Indonesiasentris, gerakan dan ide-
ide tersebut banyak dan patut mendapat apresiasi yang tak ternilai harganya; mafhum
bahwa bangsa ini terlalu banyak berhutang pada ide dan gerakan yang dilakukan para
tokoh, penggiat dan penganjur pendidikan semacam Ki Hajar Dewantara, Dr. Sutomo,
Sutopo Adiseputro, dan lain-lain. Bagaimana kemerdekaan pendidikan pasca negeri ini
merdeka, apakah berjalan secara linier sesuai dengan kemerdekaan de jure 17 Agustus
1945 atau meminjam istilah Ki Hajar Dewantara bahwa: “pendidikan itu melahirkan
kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan yang akan selalu mempengaruhi dengan kuat
atas bertumbuhnya egoisme dan budi keduniawian (materialisme) ”. Apakah paradigma
terakhir itu yang tertanam dalam benak pemimpin bangsa dalam meng-create kebijakan
di dunia pendidikan.
Isu ekonomi-demografis antara lain kewajiban untuk mengangsur hutang luar negeri yang
besar (hampir spertiga APBN untuk membayar utang), rendahnya kualitas dan partisipasi
pendidikan terutama di tingkat menengah /atas, ledakan angkatan kerja, kemiskinan,
pengangguran dan tantangan’ lost generation’ seperti drop-out akibat krisis, globalisasi
dan pasar bebas.
Dengan wajar 9 tahun yang ditanggung pembiayaannya oleh pemerintah, dan bantuan
khusus yang diberikan kepada lembaga pendidikan/daerah yang tertinggal maka
diharapkan terjadi pemerataan akses pelayanan, sesuai kemampuan pemerintah sekarang
adalah pendidikan dasar, bagi semua kelompok masyarakat. Sedangkan dengan
standardisasi dan akreditasi diharapkan diperoleh, di samping kualitas pelayanan
pendidikan yang kurang lebih sama sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya, dan
memberikan jaminan peluang mobilitas horisontal ke sekolah/daerah lain (integrasi
nasional), juga adanya pembedaan peringkat sekolah-sekolah diharapkan memberikan
peluang kompetisi sekolah, siswa dan lulusan (untuk peningkatan daya saing nasional).
Keperpihakan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan terutama yang
menyangkut anggaran pembangunan, pada awal pelaksanaan otonomi daerah mengalami
penurunan. Perioritas utama sektor pendidikan diarahkan untuk terpenuhinya belanja
pegawai untuk kenaikan gaji dan rapel para guru, agar tidak terjadi pemogokan guru. Hal
ini diperlihatkan pada tabel di bawah.
Dengan design kebijakan terkait dengan dunia pendidikan di atas, muncul beberapa
kekhawatiran.
Paket kebijakan yang mengkombinasikan beberapa program di atas juga kurang mampu
memberdayakan lembaga pendidikan yang lemah. Hal ini karena, di luar dana BOS pada
umumnya diraih melalui pengajuan proposal. Sekolah/madrasah yang lemah, apalagi
kebanyakan pesantren (dipadati kelompok miskin, terutama berasal dari perdesaan
/pertanian) pada umumnya lemah pula informasi, proposal, dana pendamping, maupun
lobi politiknya, sehingga dana-dana di luar BOS itu cenderung tidak dimenangkan oleh
sekolah/madrasah/pesantren yang lemah tersebut. Sekolah/madrasah yang lemah
biasanya juga tidak mampu melaksanakan subsidi silang. Lebih dari itu, kebijakan
daerah, di samping pada umumnya rendah anggaran pembangunannya untuk pendidikan,
juga cenderung mengalokasikan anggaran ke daerah ”aman”, yaitu ke sekolah - sekolah
negeri (biasanya siswa berasal dari keluarga yang relatif mapan) dan menghindari
tuduhan ”partisan” (membantu sekolah madrasah swasta yang biasanya dikelola lembaga
keagamaan tertentu, dan biasanya lebih memberikan kesempatan kepada kelompok
miskin.
Kesenjangan di daerah akan lebih lengkap manakala Undang-undang guru & dosen yang
disyahkan berdampak pada marginalisasi guru ’di bawah standard sertifikasi’,
kebanyakan guru swasta. Dengan kata lain, di tengah kebijakan pemerintah
’memeratakan’, kenyataan di daerah adalah ’persaingan tidak seimbang’ untuk
memperebutkan kue pemerataan dan berdampak kesenjangan. Secara umum kenyataan
di atas juga mempertanyakan model yang ideal bagi kemitraan antara negara dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Namun demikian, pertanyaannya saat ini adalah: pertama, Bila sekarang negara belum
mampu berperan sebagai equalizing factor, apakah civil society (lembaga sosial
kependidikan di masyarakat) setelah menghadapi kebijakan negara yang terkesan kurang
menekankan partnership seperti di atas, masih dapat berperan emansipatorik, atau
malahan telah ikut menjadi penjual komoditi pendidikan untuk mempertahankan
hidupnya. Kedua, apakah dalam dinamika seperti ini, sistem pendidikan kita telah
terreduksi menjadi alat legitimasi pemilah klas sosial (sorting mechanism) dan alat
reproduksi tata hubungan (kuasa) sosial-ekonomi belaka. Bila jawabnya ’ya’, maka di
tengah pasang naik peran pasar dan lemahnya peran negara untuk emansipasi kelompok
yang lemah, diperlukan peran partisipasi /solidaritas publik (dan civil society) melalui
lembaga yang kuat untuk mengawal sistem pendidikan kita.
Dua hal ini mungkin sekali untuk dilaksanakan tergantung situasi kondisinya. Walaupun
evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia dibawah kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar pada tataran
desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan bagian dari
desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi
peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar
mengajar tersebut diharapkan juga berlangsung. Untuk itulah partisipasi orangtua,
masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain
memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang di-formulasi pemerintah
baik pusat maupun daerah.
MBS : rekontruksi pendidikan nasional
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya
menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini
mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-
sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi di Indonesia. Istilah Manajemen
Berbasis Sekolah (School-based Management) diakhir tahun 1990an di Indonesia. Ide ini
menjadi sangat populer dikalangan pembuat kebijakan dan masyarakat dikarenakan
adanya desakan agen2 proyek pendidikan dari luar negeri ditambah dengan kondisi
masyarakat yang memang sudah muak dengan sistem penyelenggaraan pendidikan Orde
Baru yang terbukti tidak berhasil (padahal sama2 hasil desain dari luar).
Untuk itu pemerintah perlu melakukan perbaikan pada system pendidikan dari PT sampai
tingkat Dasar guna mencapai tujuan di atas. Sehingga pendidikan tersebut memeliki
kredibilitas dan akuntabilitas dimata public. Undang-undung Badan Hukum Pendidikan
merupakan usaha pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta untuk
menghilangkan diskriminasi antara madrasah swasta dan negeri antara dibawah Diknas
dan non Diknas serta untuk mendekatkan madrasah kepada masyarakat dan memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk ikut mengelola, mengawasi dan memberikan
sumbangsih pendanaan dari satuan pendidikan.
Pada awal diberlakukannya BHMN tahun 1999 perkiraan kenaikan biaya kuliah
mencapai 300% hingga 400%. Di Universitas Indonesia(UI), uang pangkal—Admission
Fee(untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta s/d Rp.25 juta, sedangkan untuk
Program Prestasi Minat Mandiri(PPMM) Rp.25 Juta s/d Rp.75 Juta. Untuk Institut
Tekhnologi Bandung(ITB) dikenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik
mencapai Rp. 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Begitu juga
Universitas Gajah Mada (UGM), memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu
Akademik (SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-
SPMB.
Untuk maka satuan pendidikan itu perlu berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti
yang ditetapkan dalam sisdiknas pasal 53 ayat 14 yang berbunyi: (1) Penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta
didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum
pendidikan ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (2)
Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Badan hukum pendidikan
menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang
tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk: a. beasiswa; b. bantuan biaya
pendidikan; c. kredit mahasiswa; dan/atau d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. (4)
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab
dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (5) Dana pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan
dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan.
(7) Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus
menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau
pihak yang bertanggung jawab membiayainya. (8) Biaya penyelenggaraan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam
pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar
Nasional Pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya
operasional. (9) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi
berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP
paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. (10) Dana pendidikan dari
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum
pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 42 (1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat
melakukan investasi dalam bentuk portofolio. (2) Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (6) huruf d. (3)
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danayat (2) dan investasi tambahan setiap
tahunnya tidak melampaui 10% (sepuluh persen) dari volume pendapatan dalam
anggaran tahunan badan hukum pendidikan. (4) Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan atas dasar prinsip kehati-hatian untuk membatasi risiko yang
ditanggung badan hukum pendidikan. (5) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikelola dan dibukukan secara profesional oleh pimpinan organ pengelola pendidikan,
terpisah dari pengelolaan kekayaan dan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (1) sampai dengan ayat (4). (6) Seluruh keuntungan dari investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (6). (7) Perusahaan yang dikuasai badan hukum pendidikan melalui
investasi portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk
sarana peserta didik.
Menurut Prof. Sam Soeharto, ada tiga hal pokok yang terkandung dalam Peraturan
Pemerintah baru tersebut. Pertama, ada pemisahan aset, dimana aset yang menjadi milik
Unair diserahkannya. Kedua, ada perubahan struktural. Misalnya, jabatan Pembantu
Rektor berubah menjadi Wakil Rektor. Dan yang ketiga, menegaskan bahwa struktur
yang ada, akan berjalan sesuai dengan masa jabatannya. Implemintasi pernyataan yang di
uraikan bahwa dalam proses pengembangan pendidikan tidak sejalan dengan penegasan
hukum yang terterah dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 menyebutkan,
”pemerintah Negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia termasuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Sedangkan pernyataan drs. Abdul Latief Burhan, MS, anggota Tim Implementasi
Otonomi (TIO) Unair tentang beberapa persoalan hanya berupa pengakuan demi
terlaksananya. Seperti, “Itu keunggulan PP Unair. Aset Unair bisa dikelola sendiri, untuk
kepentingan pendidikan ke Departemen Keuangan. Dan yang akan mengaudit, adalah
Dewan Audit yang dipilih oleh Majelis Wali Amanat. Ini sudah menyesuaikan dengan
UU Perbendaharaan Negara,” Rasionalitas instrumental ini semakin sempurna
eksistensinya dengan usaha diciptakannya Quality Assurance /QA (Jaminan Mutu). QA
adalah blue print masyarakat universitas yang harus dicapai melalui berbagai prosedur,
dari masalah cara meminjam megaphone atau peralatan universitas sampai prosedur
mengembalikan pinjaman tersebut. Akan tetapi di dalam QA tidak ditemukan prosedur
membiayai pendidikan semurah mungkin atau bahkan gratis! Prosedur di dalam QA
adalah prosedur mentaati kekuasaan sehingga proses BHMNisasi berjalan aman dan
terkendali.
Selanjutnya modes of production dalam lembaga kapitalis akan berusaha mencari modal
sebanyak yang ia mampu untuk kepentingan perluasan usaha dan jangkauan pasar. PT
BHMN dalam mengumpulkan modal dilakukan melalui beberapa cara; menaikkan SPP
mahasiswa setinggi-tingginya, menarik investor sebanyak mungkin, menjual hasil
produksinya, dan terakhir mencari dana pinjaman dari lembaga-lembaga ekonomis
lainnya. Langkah-langkah ini sangat serupa dengan langkah-langkah suatu perusahan
profit untuk mempertahankan eksistensi bisnisnya atau mengembangkan usahanya.
Sudah tidak diragukan lagi sumber dana yang terdekat adalah mahasiswa sehingga
kenaikkan SPP menjadi lahan paling mudah diakses karena tidak perlu melalui
kesepakatan, tender, atau resiko-resiko lainnya. Mahasiswa dianggap sebagai konsumen
yang memanfaatkan fasilitas pendidikan PT BHMN, dan bukan sebagai generasi bangsa
yang bertanggung jawab terhadap bangsa ini dan harus dibiayai pendidikannya.
Akibatnya menimbulkan jarak yang akan memunculkan macetnya dinamika intelektual.
Mahasiswa sibuk dengan biaya yang mahal dan pada gilirannya merubah dirinya menjadi
sangat pragmatis, tidak berorientasi kelimuan melainkan cepat selesai dan kerja. Bekerja
setelah lulus merupakan cita-cita yang normal akan tetapi ketika proses akademik
direduksi menjadi alat untuk mencari kerja semata maka universitas tidak akan
menghasilkan lulusan yang mempunyai kreativitas dan kemandirian. Mereka hanya akan
mengharap mendapatkan pekerjaan dari dunia industrialisasi.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung, Jawa Barat tidak dirugikan dengan
pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab universitas justru tidak dibatasi dalam memungut biaya pendidikan dari
mahasiswa. Padahal di UU BHP, perguruan tinggi negeri (PTN) hanya diwajibkan
memungut uang pendidikan dari mahasiswa maksimal 30 persen dari total kebutuhan
operasional. Selain itu, PTN tidak harus menyediakan beasiswa bagi 20 persen
mahasiswa. "Jika BHP diberlakukan, sebenarnya akan menguntungkan mahasiswa dan
memusingkan universitas. Karena pemerintah hanya menanggung biaya operasional
sebesar 50 persen. Kekurangan biaya dicari sendiri oleh PTN," ujar Rektor UPI Sunaryo
Kartadinata, Rabu (7/4/010).
Fraksi PDI Perjuangan(Kompas.com, Jumat 2 April 2010) juga menilai, dalam UUD
1945 mengamanahkan pemerintah bertanggung jawab untuk menyejahterakan
masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. "Dengan diberlakukannya empat PTN
BHMN maka tidak semua masyarakat dapat mengakses empat PTN tersebut dan
pemerintah terkesan melepaskan tanggung jawab dengan membebankan seluruh biaya
pendidikan kepada mahasiswa," katanya. Karena itu, Fraksi PDI Perjuangan mendesak
pemerintah untuk segera mengambil langkah pembenahan terhadap status hukum empat
perguruan tinggi negeri (PTN) menyusul pembatalan UU No.9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi. Agar persoalan status
hukum empat BHMN ini lebih jelas, katanya, Fraksi PDI Perjuangan meminta pimpinan
DPR RI segera melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi untuk memperoleh
pemahaman yang benar atas putusan pembatalan UU BHP serta implikasinya.
Tiga perguruan tingi negeri (PTN) di Malang tidak terpengaruh dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP). Mereka tetap akan konsisten membikin dan menjalankan unit
usaha yang dimiliki, dengan alasan karena sudah menyandang status Badan Layanan
Umum (BLU). Di antara tiga PTN yang mengaku tidak terpengaruh dengan keputusan
MK tersebut adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang, Universitas
Brawijaya Malang dan Universitas Negeri Malang. Ketiga PTN ini mengaku sudah
menjadi BLU. Sehingga, UU BHP dibatalkan atau tidak, dianggap tidak ada
pengaruhnya terhadap unit-unit usaha yang sudah dirintis. Hal itu diakui Rektor UIN
Maliki Malang, Prof Dr Imam Suprayogo. Menurut dia, UIN sudah berstatus BLU. ‘’Itu
berarti sudah ada kelongggaran mengembangkan unit-unit usaha untuk membantu
operasional pengelolaan pendidikan yang kami kelola agar berkualitas," kata dia, Kamis
(31/4/010).
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Arief Hidayat
mengatakan, bahwa anggapan UU BHP yang berlawanan dengan UUD 1945 tersebut
dimaknai berbeda oleh MK. Padahal tidak seluruh isi dari UU BHP itu berdampak buruk
terhadap penyelenggaraan pendidikan. "MK menilai bahwa UU BHP bertentangan
dengan UUD 1945, padahal yang berlawanan dengan UUD 1945 adalah Pasal 53 UU No
20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencetus penyusunan UU BHP tersebut. Sehingga
tidak seluruhnya isi UU BHP merugikan penyelenggara pendidikan," terangnya.
Dekan Fakultas Ekonomi USU, Jhon Tafbu Ritonga, menyesalkan perihal pembatalan
UU BPH tersebut. "Saya menyesalkan hal itu, dan saya jadi orang heran saja. Sebab,
yang buat UU itu kan sudah melibatkan kalangan pendidikan dalam masa bertahun-tahun
dan pembuatan UU itu untuk memenuhi UU Sisdiknas tahun 2003. Inilah bukti sulitnya
membenahi pendidikan nasional kita," ujarnya. Jhon Tafbu mengatakan, semua orang
bilang Sisdiknas kita gagal secara mutu dan jumlah sehingga perlu perubahan yang
holistik dan terukur, maka BHP dianggap jalan keluar. "Setelah ada UU baru yang
memberi tanggungjawab penuh bagi penyelenggara pendidikan, sudah dibatalkan. Mana
bisa kita buat perubahan. Tanpa perubahan maka hasil yang ada tidak bisa diubah,
apalagi menjadi lebih baik," tuturnya.
Menurut Jhon Tafbu, pembatalan itu disebabkan paradigma berpikir penuntut dan hakim
MK yang sama-sama pro status quo. "Jika kita pro perubahan maka jalan satu-satunya
sekarang ialah dengan meneruskan yang sudah jadi Badan Hukum Milik Negara.
Misalnya USU, tak perlu lagi berubah ke BHPP," katanya. Sehingga lanjutnya, kepada
Rektor USU yang baru tugasnya menjadi lebih lancar. USU sudah bisa jalan terus tanpa
harus transformasi ke BHPP sebagaimana diminta Majelis Wali Amanat dalam
pelantikan beberapa waktu lalu. "Saya yakin USU dan PT BHMN lainnya bisa dievaluasi
nanti setelah lima tahun, ini pilot projek, kalau nanti hasilnya positif maka BHMN
menajdi pola umum perguruan tinggi, bagi yang mau. Kalau terbukti tidak lebih bagus,
barulah itu bisa dibatalkan," pungkasnya.
Rektor UIN Maliki Malang menjelaskan bahwa dengan adanya unit usaha itu, PTN bisa
mendapatkan penghasilan dari sumber non-pemerintah. Namun, terang dia, bila UU BHP
diberlakukan, diakui dia, justru pemerintah yang terbebani. Alasannya pemerintah wajib
menanggung 20 persen mahasiswa yang kurang mampu. Kendati demikian, kata dia,
pembatalan UU BHP ini bukan berarti UIN tidak mengurus mahasiswa miskin. Mereka
tetap diberi hak melanjutkan proses pendidikan melalui banyak cara. Yang penting,
tandas dia, selama ada semangat khidmat demi pendidikan, UIN akan berupaya untuk
mencarikan dana. ‘’Banyak pintu untuk menggali dana. Di antaranya melalui subsidi
silang atau unit-unit usaha yang kami bikin," kata Imam. Karena itu, UIN Maliki Malang
ini sudah menjajaki unit usaha pengolahan batu bara di Kalimantan. Selain itu,
pengelolaan maskapai penerbangan Seulawah Airways yang beroperasi di negara Timur
Tengah.
Begitu juga dengan Universitas Brawijaya Malang. PTN ini sudah merancang usaha
berupa pom bensin, rumah sakit, maupun hotel. Sedangkan Universitas Negeri Malang
tak mau ketinggalan dengan memproduksi air mineral Citrairum, rencana pendirian Hotel
Tumapel, dan bergerak pada usaha pom bensin. Menurut rektor Universitas Negeri
Malang, Prof Dr Soeparno memang mengaku sedikit lega dengan pembatalan itu.
Alasannya, jika BHP diberlakukan, banyak pembatasan yang merepotkan manajemen
PTN. Padahal, kata dia, sudah membuat rancangan usaha penggalian dana. Namun, lanjut
dia, pembatalan BHP itu tidak ada masalah. Sebab, PTN yang dipimpinnya sudah
berstatus BLU. Karena itu, dia kini mengaku fokus pada peningkatan mutu terlebih
dahulu. Rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Yogi Sugito mengaku kaget dengan
keputusan MK yang membatalkan UU BHP itu. Alasannya, PTN yang dikelolanya sudah
siap. ‘’Selain itu, UU BHP ini sebenarnya tidak akan merugikan siapa pun. Kami sudah
siap menuju BHP itu. Ya, tidak ada masalah soal itu sebenarnya. Kami memprediksi
hanya pelaksanaannya saja yang tertunda. Jika semua sudah siap, bisa saja diberlakukan
kapan saja,’’ pungkasnya.
Sementara itu, Rektor IKIP PGRI Semarang, Muhdi justru menyambut baik pembatalan
UU BHP oleh MK, mengingat PGRI merupakan salah satu pihak yang keberatan
terhadap adanya UU BHP. Menurut dia, UU BHP sebenarnya memiliki poin positif yang
menguntungkan para peserta didik, terutama masyarakat miskin, sebab UU BHP
membatasi besar pungutan yang boleh ditarik kepada peserta didik. Namun, kata dia, UU
BHP juga memiliki poin negatif, karena sisa pendanaan biaya operasional pendidikan itu
ditanggung oleh siapa, apakah pemerintah sudah menyiapkan dana cukup untuk menutupi
kekurangan itu.
"Selain itu, UU BHP juga dipandang merugikan kalangan perguruan tinggi swasta,
terutama PTS yang dimiliki oleh perseorangan. UU BHP mengharuskan adanya pihak
eksternal yang mendampingi," katanya. Dengan adanya pihak eksternal, kata Muhdi,
otoritas pemilik perguruan tinggi tentu berkurang, belum lagi permasalahan lain yang
ditimbulkan dengan diharuskannya perubahan status badan hukum sesuai BHP.
"Pembatasan penghimpunan dana dari masyarakat seperti diamanatkan UU BHP tentunya
memberatkan PTS, mengingat selama ini PTS mengandalkan pendanaan dari masyarakat.
Namun, setiap perubahan pasti ada risikonya," kata Muhdi.
Rector Universitas Negeri Medan, Syawal Gultom, kepada Waspada mengakui harus
mematuhi apa yang diputuskan MK tentang pembatalan UU BHP tersebut, namun tidak
harus menghilangkan indikator-indikator dalam menciptakan lembaga pendidikan atau
perguruan tinggi yang berkualitas. Syawal Gultom menyebutkan, rohnya BHP
sebenarnya terdapat efisiensi, akuntabilitas, transparansi, responsibilitas. Jadi mesti UU
BHP batal, lanjutnya, tapi indikator-indikator yang dipasang pada saat UU tersebut tetap
saja bisa digunakan, sebab misalnya, ada lima hal yang harus ditata sesuai dengan UU
BHP, pertama, tata kelola struktur organisasi sehingga lebih efisien; kedua, manajemen
informasi sehingga mudah diakses semua orang dan bisa menerapkan integritas; ketiga,
manajemen sistem atau database manajemen sistem; keempat, manajemen keuangan,
manajemen aset; dan kelima, manajemen SDM. "Kalau manajemen informasi, keuangan,
aset, SDM-nya bagus dan dikelola dengan tata kelola yang bagus, maka akan bagus pula
perguruan tinggi. Tetapi kita juga harus mematuhi putusan MK tersebut," ujarnya.
Dewan Pendidikan Kota Medan Dr Mitsuhito Solin mengaku menyambut baik putusan
MK tersebut karena memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa kurang mampu
untuk meraih ilmu di PT. Menurut Solin, penerapan UU BHP ini dinilainya masih belum
dipahami banyak pihak. Selain itu UU tersebut sejatinya diberlakukan bagi negara yang
sudah maju dan kaya pemerintahan maupun institusinya. Jika UU ini diberlakukan, kata
Solin akan memunculkan permasalahan, terutama untuk perguruan tinggi di daerah.
Sebab, banyak perguruan tinggi di daerah akan kesulitan mendapatkan sumber dana
dengan sistim yang berlaku dalam UU ini, yakni diatur antara lain, setiap peserta didik
menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Jadi tidak heran mahasiswa
menuntut dibatalkannya UU tersebut karena dinilai mengkomersilkan pendidikan.
”Jelas, ketentuan ini amat memberatkan peserta didik terutama yang berasal dari
kalangan kurang mampu. Ini tentu bertolak belakang dengan UUD 1945 yang
menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara,” sebut Solin. Pemerintahan
mahasiswa dari Fakultas Hukum USU Al Amin mengaku senang dengan putusan MK itu,
sebab memberi kesempatan kepada calon mahasiswa untuk bisa mendapatkan ilmu di
perguruan tinggi negeri khususnya dan tidak harus turut dibebankan membayar biaya
operasional pendidikan. ”Kami, para mahasiswa berharap agar pihak pimpinan di
universitas ini menerima keputusan MK dan tidak mencari-cari lagi adanya penambahan
biaya lain untuk proses pendidikan, sebab pemerintah masih memberikan subsidinya
kepada PTN maupun PTS,” ujar Amin.
Rektor UGM mengatakan bahwa UGM yang dipimpinnya selalu membawa nilai-nilai
yang dianut. Nilai-nilai UGM itu adalah Pancasila dan Keilmuan. "Dari sejak didirikan
dan masa-masa selanjutnya, UGM selalu melakukan penyesuaian tatakelola dengan
peraturan yang berlaku, agar nilai-nilai UGM dapat diaktualisasikan seoptimal mungkin
baiknya dalam berbagai keterbatasan yang ada," ujar Prof Sudjarwadi. Selain itu, ia
menambahkan, UGM juga selalu berorientasi pada heterogenitas perguruan tinggi
Indonesia yang semuanya dimaksudkan agar dapat bersinergi untuk kemajuan bangsa
Indonesia.
Hal itu pula yang dijadikan dasar gugatan dan menjadi amar keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang akhirnya membatalkan seluruh UU BHP yang telah diundangkan,
tetapi belum sempat diberlakukan secara seksama. Pemerintah memang memiliki tugas
melaksanakan UU, termasuk UU Sisdiknas Tahun 2003 dan UU BHP Tahun 2009.
Terkait dengan PP 17/ 2010, seperti dilansir dari Antaranews.com, bahwa Mendiknas
sendiri menyatakan PP tersebut merupakan PP terkait UU BHP yang ‘hidup’. Padahal,
UU BHP sendiri sudah mati tertanggal 31 Maret 2010 lalu. Walaupun konsideran PP a
quo adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bukan UU
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Jangan sampai PP baru yang
akan dibentuk Mendiknas adalah PP yang masih terselip jiwa liberalisasi pendidikan
didalamnya. Walaupun disampaikan secara jelas oleh Wakil Mendiknas dalam acara
Jendela Konstitusi, bahwa dalam PP yang baru nanti akan ada klausa tidak akan ada
komersialisasi pendidikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh mahasiswa adalah
menekan Pemerintah untuk mempercepat pembentukan PP baru yang mengatur tentang
kekosongan status hukum PTN pasca pembatalan UU BHP oleh MK. Tetapi tentunya, PP
yang baru harus bersih dari liberalisasi pendidikan.
"Kalau pun ada pihak yang melakukan judicial review terhadap UU itu, maka kami akan
menghargai keputusan yang ditetapkan lembaga negara seperti MK, MA, dan sejenisnya.
Jadi, masalahnya bukan kalah atau menang, kawan atau lawan," katanya. Menurut dia,
pemerintah akan selalu melaksanakan UU tanpa memperhatikan siapapun yang
membuatnya, karena itu pihaknya akan tetap mempunyai komitmen untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, meski tanpa UU BHP. "Kami sudah melapor kepada Presiden dan
Wapres tentang sikap terkait pembatalan UU BHP oleh MK. Insya-Allah, Senin
(12/4/010) akan ada rapat kabinet terbatas untuk menyikapi hal itu dan kami akan
mengusulkan PP yang baru," katanya. Mantan Menkominfo itu mengatakan UU
Sisdiknas Tahun 1998 telah melahirkan PP 60/1999 dan PP 61/1999. PP 60/1999 itulah
yang menjadi "cantolan" (sumber hukum) PTN dalam mengatur dirinya, sedangkan PP
61/1999 yang melahirkan PT BHMN.
Ketakutan masyarakat muncul karena draf awal UU BHP telah memunculkan ketentuan
tentang adanya modal asing yang bisa masuk dalam bisnis pendidikan meski sebenarnya
sudah tidak muncul lagi dalam UU yang diundangkan. Citra masyarakat yang telah
melekat erat bahwa biaya pendidikan semakin tinggi terutama di PT BHMN karena boleh
membuat skema khusus pada ujian seleksi masuk calon mahasiswa dengan keharusan
membayar biaya tinggi, telah dijadikan bahan penolakan. Meskipun skema khusus ini
hanya sekitar 10 persen dari jumlah mahasiswa baru, tetapi karena pemahaman yang
belum menyeluruh sepenuhnya dan peran media yang kuat, isu komersialisasi pendidikan
menjadi momok yang masih tetap ditakuti. Padahal, biaya pendidikan di pendidikan anak
usia dini (PAUD) semacam play group, TK terpadu dan sebagainya yang kadang bisa
lebih besar dibanding biaya pendidikan di perguruan tinggi kadang malah kurang menjadi
perhatian. Biaya pendidikan di PTN pun juga ikut naik.
Mantan rektor ITS Surabaya itu menyebutkan PP yang baru nantinya memiliki empat
pilar yakni otonomi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. "Itu terkait dengan akan
adanya pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)," katanya. Misalnya,
aturan tentang kursi di sebuah perguruan tinggi untuk calon mahasiswa yang miskin
sebanyak minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam UU BHP akan tetap
dipertahankan dalam PP yang baru. "Tapi, persyaratan minimal 20 persen itu akan
dilengkapi dengan sistem pelaporan secara online yang akuntabel, sehingga persyaratan
20 persen itu akan memiliki jaminan dalam pelaksanaannya," katanya. PT BHMN juga
dituntut harus berkualitas dunia dan menyandang peran penting sebagai agent of change
(agen perubahan) bagi pembangunan nasional UU Sisdiknas Pasal 6 Ayat 2 yang
menyatakan bahwa "setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan" telah dimaknai oleh MK hanya ikut bertanggung jawab.
BHP juga diwajibkan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik WNI yang
tidak mampu membiayai pendidikannya dalam bentuk beasiswa, bantuan biaya
pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Dengan
adanya amar keputusan MK tentang Pembatalan UU BHP, berarti Pasal 12 Ayat (1) huruf
c UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal, Pasal 46 Ayat 1
UU BHP sebenarnya telah mewajibkan BHP menjaring dan menerima WNI yang
memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20
persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Dengan demikian, dalam
menetapkan kebijakan pemberian beasiswa, pemerintah hanya boleh mendasarkan pada
prestasi peserta didik, tetapi tidak boleh membedakan latar belakang ekonomi orangtua
peserta didik. Akibatnya, bisa jadi tidak ada jaminan peserta didik yang kurang mampu
(miskin) dapat menerima beasiswa. Barangkali, anggaran yang harus disediakan untuk
memberi beasiswa bagi 20 persen peserta didiknya juga sebenarnya merupakan salah satu
bagian terberat dari para penyelenggara pendidikan untuk memenuhinya.
Menurut amar keputusan MK, Pasal 53 Ayat (1) UU Sisdiknas adalah konstitusional
sepanjang frasa "badan hukum pendidikan" dimaknai sebagai sebutan fungsi
penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Dengan
demikian, UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP menjadi tidak berlaku sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut versi Kementerian Pendidikan Nasional,
penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi oleh masyarakat melalui
yayasan berdasarkan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang semula akan
disesuaikan tata kelolanya sebagai BHP Masyarakat (BHPM) berdasarkan UU BHP,
menjadi tidak jelas bentuk badan hukum yang harus digunakan untuk menyelenggarakan
pendidikannya. Ketidakjelasan bentuk badan hukum bagi penyelenggaraan pendidikan
oleh masyarakat ini disebabkan yayasan tidak boleh secara langsung menyelenggarakan
pendidikan, melainkan harus dilakukan dengan membentuk badan usaha.
Pemerintah harus segera menyelesaikan masalah yayasan dan tujuh PT BHMN serta
pendidikan kedinasan agar tidak terdapat kekosongan hukum tentang pengaturan tata
kelola perguruan tinggi. Bagaimanapun, ada atau tidak ada UU BHP, pemerintah dan
seluruh pemangku kepentingan pendidikan harus tetap berkomitmen meningkatkan
kualitas pendidikan nasional.
Selain itu, katanya, pihaknya akan mengkaji "missing link" yang menyebabkan
pendidikan tinggi saat ini menjadi mahal dan sulit terjangkau masyarakat, apakah faktor
efisiensi, mis-manajemen, akuntabilitas, atau apa penyebabnya. "Kami akan merumuskan
komponen biaya pendidikan tinggi, apakah yang menjadi komponen pemerintah dan apa
yang menjadi komponen masyarakat, sehingga akan diketahui rumusan yang membuat
pendidikan tinggi menjadi terjangkau, sebab calon mahasiswa masyarakat
berkemampuan sedang relatif banyak," katanya.
Ditanya tentang tujuh perguruan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN), ia mengatakan PT BHMN tetap harus mengacu pada PP yang baru, namun hal
itu tidak akan dipaksakan. "PT BHMN akan tetap berjalan, tapi ada masa transisi untuk
memenuhi PP yang baru. Misalnya, UI sekarang `kan memiliki karyawan yang PNS dan
karyawan yang merupakan pegawai BHMN, tentu perlu waktu untuk berubah ke arah PP
yang baru," katanya.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jawa Tengah Prof Brodjo
Sudjono yang juga mantan Rektor Universitas Surakarta, di Semarang, Jumat (2/4),
menilai, pembatalan UU BHP sangat tepat karena UU itu bertentangan dengan UUD
1945 terkait kebebasan berkumpul dan berserikat yang dimiliki warga negara. UU BHP
mensyaratkan penyeragaman bentuk badan hukum. Ia mengemukakan, bentuk badan
hukum (yayasan) yang menaungi perguruan tinggi swasta (PTS) selama ini sangat
beragam, namun melalui UU BHP itu, berbagai bentuk yayasan ingin diseragamkan
menjadi BHP masyarakat. Ia mengatakan, yayasan yang menaungi PTS telah banyak
berjasa dan memberikan kontribusi bagi masyarakat melalui berbagai program
pendidikan mulai dari tingkat TK hingga PT. “Kami khawatir adanya penyeragaman
bentuk badan hukum yang menaungi PTS itu akan membuat proses demokratisasi
menjadi terkebiri karena lebih mudah untuk diatur dan dikontrol oleh pemerintah,”
katanya. Ia mengatakan, UU BHP juga memungkinkan komersialisasi pendidikan,
terutama oleh kalangan PTN.
Konsekuensi pembatalan UU BHP jelas amat besar dan bakalan tidak mudah. Ke-7 PTN
yang sudah berbadan hukum tersebut harus menyesuaikan diri manakala berbagai aturan
dan mekanisme sudah dilakukan sejak lama. Pemerintah pun harus menyesuaikan seluruh
peraturan yang telah disusun yang berlandaskan kepada UU BHP tersebut. Tetapi harus
diakui bahwa dengan adanya pembatalan tersebut, maka masyarakat akan lebih leluasa
menempuh pendidikan. Pendanaan akan lebih banyak diberikan oleh pemerintah
sehingga masyarakat akan menikmati pengurangan biaya pendidikan. Selain sebagian
besar masyarakat menyambut gembira dengan pembatalan UU BHP ini, para pengelola
PTS yang selama ini juga ikut getol melakukan Yudicial Review, tentu juga
menyambutnya dengan gembira.
Melalui pembatalan tersebut, diharapkan PTN hanya akan menerima kelas reguler
bahkan menekankan pada program pascasarjana serta Doktoral, sehingga PTS mampu
memperoleh kembali haknya yang selama ini terkesan direbut PTN. Dengan adanya UU
BHP, PTN berbadan hukum tidak akan lagi leluasa mencari pasar pangsa yang sebesar-
besarnya dengan membuka berbagai model penerimaan dan jalur memasuki PTN. Pangsa
yang begitu besar itu, kini dikembalikan kepada PTS, yang keberadaannya sudah sejak
lama memberikan kontribusi kepada negeri ini. Namun, sangatlah tidak adil bila kalangan
yang pro UU BHP lalu memvonis bahwa PTS akan seenaknya mencari untung tanpa
memperhatikan kualitas lulusannya. Di era Pola Tunggal Pengelolaan PT seperti
sekarang ini, hal demikian tidak mungkin bisa terjadi. Setidaknya model Evaluasi Belajar
dan Studi Berdasar Evaluasi Diri (EBSBED) yang langsung dipantau oleh Dikti serta
akreditasi oleh BAN PT, tidak memungkinkan lagi PT bermain-main seperti berbagai
kasus masa lampau.
Sebagai bukti kongkret, PTN yang dahulu membuka program ekstensi pun kemudian
dihentikan, karena tidak mungkin bisa terakreditasi BAN PT, serta sulit melaporkannya
dengan model EBSBED. Meski program ekstensi ditutup, namun selanjutnya berganti
baju dengan Program Mandiri, Reguler II, dsb, yang diharapkan akan benar-benar
dihilangkan setelah keputusan pembatalan UU BHP oleh MK. Bagi PTS, meski
penghapusan UU BHP oleh MK merupakan kabar yang menggembirakan, namun para
pengelolanya tidak boleh terlena oleh bayangan akan segera diperolehnya kenikmatan,
melalui perolehan mahasiswa baru yang meningkat drastis. Selain kurang pada
tempatnya, karena mengelola PTS itu nawaitunya adalah pengabdian, ibadah, serta
pelaksanaan amanah yang sangat berat konsekwensinya, terutama di akhirat kelak, masih
ada berbagai faktor perlu diperhitungkan.
Faktor mengelola PTS sesuai dengan UU serta ketentuan lain yang berlaku seperti
akreditasi BAN BT serta EBSBED, tentu memerlukan pemikiran, perencanaan, serta
aplikasi yang prima, sehingga tujuan baik jangka pendek hingga jangka panjang akan
tercapai. Demikian pula makin ketatnya persaingan antar-PT, tentu harus merupakan
daya pacu untuk mencapai kualitas prima lulusannya, sehingga diperhitungkan para calon
penggunanya, serta masyarakat luas. Melalui cara itulah maka branding (citra positif)
PTS-nya akan melekat. Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat yang masih sangat sulit,
tentu akan berpengaruh terhadap kemampuannya untuk memasukkan anaknya ke PT.
Data empirik yang menunjukkan masih belum signifikannya peningkatan kemampuan
orang tua untuk menguliahkan anak-anaknya perlu diperihitungkan.
Demikian pula dengan pengalaman kekeraskepalaan pemerintah yang belum tentu secara
serta merta menuruti perintah MK, meski seharusnya pemerintah melakukannya, dengan
berbagai alasan pembenar. Pengalaman tentang keputusan Mahkamah Agung (MA)
tentang peniadaan Ujian Nasional (UN), yang terkesan diabaikan pemerintah, yang tahun
ini tetap menyelenggarakannya, meski akhirnya berbagai masalah seperti tahun-tahun
sebelumnya terus terjadi. Karena itu, kita tentu berharap untuk keputusan MK terkait
pembatalan UU BHP kali ini, pemerintah melaksanakannya.
Selain memenuhi keputusan MK, sejatinya bila dilaksanakan hal ini sebenarnya adalah
pelaksanaan program pendidikan yang pro rakyat, yang setiap saat hampir selalu
diucapkan oleh Presiden. Bagi pengelola PTS, meski perlu disyukuri, namun tidak boleh
hal ini berubah menjadi eforia berburu calon mahasiswa, namun mengabaikan
kemampuannya dalam mengelola. Perjuangan, ketekunan, ketelatenan serta upaya
maksimal yang selama ini telah mereka lakukan harus tetap terjaga. Dengan demikian,
kelak lulusannya akan mampu memberikan sumangsihnya secara maksimal kepada
masyarakat, bangsa dan negara, sekaligus mampu mengharumkan nama almamaternya.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.
Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.