Anda di halaman 1dari 34

System Pendidikan di Indonesia : Kegamangan Normatif

Oleh Rum Rosyid


Sejarah lahirnya sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya bukanlah hasil perencanaan
komprehensif melainkan langkah demi langkah melalui berbagai bentuk eksperimentasi
dan didorong oleh kebutuhan praktis dibawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan
politik di negeri Belanda maupun di Hindia-Belanda sendiri (Nasution, 1983). Selain itu,
kejadian-kejadian di luar khususnya di Asia, mendorong dipercepatnya pengembagnan
sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya setidaknya dalam teori; memberi
kesempatan kepada setiap anak desa terpencil untuk memasuki pendidikan sampai ke
perguruan tinggi. Realitas membuktikan hanya anak-anak yang mendapat pelajaran di
sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan studi sekalipun hanya terbatas
pada kelompok masyarakat tertentu saja.

Menurut Brugmans (1938) bahwa politisasi pendidikan bukan hanya suatu bagian dari
politik kolonial, akan tetapi merupakan inti politik kolonial. Jenis dan luas pendidikan
yang disediakan oleh pemerintah Belanda bagi anak-anak Indonesia banyak ditentukan
oleh tujuan-tujuan politik Belanda yang terutama dipengaruhi oleh pertimbangan-
pertimbangan ekonomis. Tak mungkin mempelajari masalah-masalah pendidikan di
Indonesia pada zaman kolonial lepas dari masalah-masalah ekonomi (1983). Taruhlah
mengenai motif pendirian sekolah pertama di Jakarta tahun 1603 yang khusus mendidik
anak Belanda dan Jawa menjadi pekerja yang kompeten untuk VOC.

Motif diseminasi teologi nasrani yang paling dominan seperti yang pernah dilakukan
oleh Franciscus Xaverius dibawah “Ordo Jesuit”-nya berhasil mengkatolikkan sebagian
besar Indonesia bagian timur melalui berbagai instrument pendidikan. Pada
perkembangannya, pendidikan kolonial menjalar dalam berbagai bentuk seperti
berdirinya Volksschool (Sekolah Desa), Europese Lagere School (ELS), Hollands
Chinese School (HCS), Hollands Inlandse School (HIS), Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS) dan Algemene Middelbare School
(AMS) yang notabene aspek kurikulumnya lebih tertata dari pada model pendidikan
sebelumnya.

Sketsa sederhana di atas merupakan gambaran awal mengenai pendidikan Indonesia


sebelum merdeka yang nilainya banyak dicederai oleh kepentingan politik kolonial.
Menjelang maupun pasca kemerdekaan, model pendidikan kita sebenarnya tidak akan
lepas dari tafsir kepentingan. Era 1920 timbullah cita-cita baru yang menghendaki
perubahan radikal dalam wilayah pendidikan dan pengajaran yang merupakan gabungan
kesadaran kultural dengan kebangkitan politik bangsa Indonesia, sehinga dua tahun
berikutnya (1922) lahirlah Taman Siswa. Pun juga sebagai bentuk jalaran visinya, maka
tepat tanggal 31 Oktober 1926 lahirlah sekolah swasta dengan nama Indonesische
Nederlandsche School (INS) di Sumatera Barat.

Pendidikan saat ini


Krisis multidimensi mengandaikan merosotnya kepercayaan terhadap sistem budaya,
sosial, politik, ekonomi serta sistem pendidikan yang lama karena sistem-sistem itu
dianggap tidak mampu lagi mencerna masalah-masalah dan mengakomodasi aspirasi dan
tuntutan kontekstual yang baru. Secara umum sistem yang demokratis (aspiratif) dan
kompetitif (mampu menjawab tuntutan kontekstual yang baru) adalah sistem yang harus
dilahirkan melalui upaya pembaharuan.

Upaya pembaharuan sistem pendidikan menghadapi tantangan kebijakan yang mendasar,


yaitu pertama, masalah yang dihadapi sistem makronya yaitu isu yang lebih bersifat
sosial-politik, berupa masalah pluralisme dan demokratisasi, desentralisasi, penguatan
civil society dan tuntutan akan hak pendidikan warga negara dan pengembangan
partisipasi masyarakat. Kedua, isu-isu yang boleh dikatakan sebagai masalah ekonomi-
demografis yaitu hutang luar negeri yang besar, ledakan angkatan kerja, kemiskinan,
pengangguran dan tantangan ’lost generation’ akibat krisis, globalisasi dan pasar bebas.
Kegagalan (dan keberhasilan) kebijakan Orde Baru dengan lebih memprioritaskan
(beberapa) masalah yang kedua (ekonomi-demografis), agaknya memberikan pelajaran
berharga bahwa kedua masalah baik ekonomi-demografis maupun sosial-politik) itu perlu
ditangani secara seimbang dalam kebijakan pendidikan ke depan.

Di samping itu pemerintah juga menghadapi masalah-masalah lama yang masih belum
terpecahkan adalah kuantitas cakupan yang relatif rendah pada jenjang pendidikan
menengah dan tinggi, sentralisme dan korupsi di jajaran birokrasi pendidikan, kualitas
literacy, relevansi kinerja pendidikan yang rendah di depan tuntutan pasar dan tuntutan
pembelajaran yang cerdas dan demokratis, serta kesenjangan pelayanan pendidikan baik
dalam perspektif kelembagaan (negeri vs swasta, sekolah vs madrasah), maupun
geografis.

Pendidikan yang selama ini dilakukan, tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia
secara "utuh" dan "paripurna", tetapi lebih diorientasikan pada nilai-nilai materialistis,
ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi
pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran,
tanpa diimbangi dengan pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual.
Lebih mementingkan penjejalan otak kiri dari pada memahami pemahaman kebutuhan
otak kanan. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik,
keluhuran budi, dan budi nurani menjadi tidak terlihat. Mereka menjadi "robot-robot"
zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik,
dan mau menang sendiri.

Pendidikan juga cenderung mengalami simplifikasi, kita lebih biasa mengartikannya


dalam konteks proses belajar-mengajar di sekolah, dari pada proses belajar seumur hidup.
Sehingga sangat kontraproduktif apa yang terjadi di masyarakat dengan apa yang
diperoleh di bangku sekolah. Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta
didik tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada
pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan "tong sampah" ilmu
pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para
guru.

Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan
regulasi yang tidak memihak rakyat. Sebagaimana output pendidikan tidak digembleng
untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada
kepentingan kekuasaan an-sich. Oleh karena itu ikhtiar reformasi pendidikan Indonesia
menghadapi tantangan kebijakan yang berdimensi luas dan mendasar, memerlukan
perubahan atau perbaikan orientasi, penataan kembali sistem dan institusi governance
serta tata kelola, bahan ajar/materi didik, model pembelajaran dan ketersediaan sarana-
perasarana maupun pendidiknya.

Eksistensi Manusia dalam Sisdiknas


Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah-masalah
eksistensi umat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya
baik dalam hubungannya dengan masa lampau, masa kini dan kemungkinan-
kemungkinan perkembangan masa depan. Eksistensi bangsa Indonesia terwujud dengan
proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana bangsa Indonesia
sebagai negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat penuh. Bangsa Indonesia telah
bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai
landasan Ideologi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Sejak dari awal Indonesia merdeka, pemerintah telah menempatkan agama sebagai
fondasi dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini dapat kita baca dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dinyatakan bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah semata-mata atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa,
dan pada alinea keempat dinyatakan bahwa Pancasila menjadi dasar negara.

Semua lembaga pendidikan pada dasarnya bermuara pada perubahan ide mendasar dan
konstruksi pemikiran bahwa bangsa ini harus keluar dari lingkar-lingkar kolonialisme.
Itulah politisasi pendidikan meskipun dalam kacamata Indonesiasentris, gerakan dan ide-
ide tersebut banyak dan patut mendapat apresiasi yang tak ternilai harganya; mafhum
bahwa bangsa ini terlalu banyak berhutang pada ide dan gerakan yang dilakukan para
tokoh, penggiat dan penganjur pendidikan semacam Ki Hajar Dewantara, Dr. Sutomo,
Sutopo Adiseputro, dan lain-lain. Bagaimana kemerdekaan pendidikan pasca negeri ini
merdeka, apakah berjalan secara linier sesuai dengan kemerdekaan de jure 17 Agustus
1945 atau meminjam istilah Ki Hajar Dewantara bahwa: “pendidikan itu melahirkan
kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan yang akan selalu mempengaruhi dengan kuat
atas bertumbuhnya egoisme dan budi keduniawian (materialisme) ”. Apakah paradigma
terakhir itu yang tertanam dalam benak pemimpin bangsa dalam meng-create kebijakan
di dunia pendidikan.

Berbicara mengenai tanggung jawab pemerintah Indonesia mengenai pendidikan


rakyatnya, banyak sekali dasar hukum yang sepertinya memang tidak pernah diindahkan
oleh pemerintah. Bahkan tidak banyak rakyat Indonesia yang tahu akan hak mereka atas
pendidikan, apalagi berusaha menuntut pemerintah untuk memenuhinya. Sebut saja
dalam Universal Declaration of Human Rights, International Convention of Economic,
Social, and Cultural Rights, dan International Convention on Children’s Rights,
kesemuanya menyepakati tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pendidikan
pada rakyatnya, sebagai langkah pemenuhan hak asasi rakyatnya.
Bahkan, beberapa tahun sebelum dikumandangkannya Universal Declaration of Human
Rights pada tahun 1948, bangsa Indonesia telah lebih dahulu menetapkan tanggung jawab
pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Meski
hingga saat ini, tanggung jawab tersebut telah banyak dilanggar dalam UU No.20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas beserta peraturan turunannya yang tidak menghiraukan hierarki
konstitusi14. Sadar atau tidak, rakyat Indonesia hari ini telah dijajah oleh pemerintahnya
sendiri. Dan mau tidak mau, perubahan harus segera dilakukan, dengan menyadarkan
sebanyak mungkin manusia Indonesia melalui pendidikan.

Sistem pendidikan yang berlangsung selama ini memiliki kecenderungan menjauhkan


manusia dari fitrahnya, yaitu untuk menjadi merdeka dan sadar akan pilihan-pilihan
hidupnya, bahkan sebaliknya malah mengasingkan mereka dari realitas yang ada
disekelilingnya. Siswa lebih dianggap sebagai “objek” pendidikan, yang karenanya harus
mau dijejali dengan semua hapalan dan informasi yang diberikan oleh gurunya, tanpa
diberikan kesempatan untuk bisa berpendapat sendiri, apalagi melakukan pemaknaan-
pemaknaan, bahwa belajar seharusnya merupakan proses yang integral dan maknawi.
Artinya, sekolah tidak seharusnya memisahkan siswa dari sejarahnya, lingkungan dimana
ia hidup.

Sisdiknas Pasal 53 ayat 17


(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan
pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-
undang tersendiri. BHP BAB I (Ayat 11 dan 12). Pemimpin organ pengelola pendidikan
adalah pejabat yang memimpin pengelolaan pendidikan dengan sebutan kepala sekolah/
madrasah atau sebutan lain pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, atau rektor
untuk universitas/institut, ketua untuk sekolah tinggi, atau direktur untuk
politeknik/akademi pada pendidikan tinggi. Pimpinan organ pengelola pendidikan adalah
pemimpin organ pengelola pendidikan dan semua pejabat di bawahnya yang diangkat
dan/atau ditetapkan oleh pemimpin organ pengelola pendidikan atau ditetapkan lain
sesuai anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan. Pasal
39 Kekayaan berupa uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang milik
badan hukum pendidikan, dilarang dialihkan kepemilikannya secara langsung atau tidak
langsung kepada siapa pun, kecuali untuk memenuhi kewajiban yang timbul sebagai
konsekuensi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6).

Desentralisasi fiscal : Pendidikan dalam Keterbatasan Dana


Sejak Januari 2001 bangsa dan negara Indonesia melalui babak baru penyelenggaraan
pemerintahan, dimana Otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan
kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hal ini menimbulkan peningkatan tanggung
jawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan barang publik dan pembangunan
ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar1, khususnya pada bidang pendidikan yaang
merupakan unsur esensial dalam pembangunan daerah dan telah menjadi salah satu
bagian utama kebutuhan penduduk. Namun, kemampuan daerah untuk mempertahankan
dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan tersebut dapat dikatakan sangat terbatas,
mengingat peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah dalam penerimaan APBD
daerah kota/kabupaten dan kesiapan sumber daya menusia (SDM) serta kemampuan
manajemen sektor pendidikan tingkat daerah masih terbatas.

Secara umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah
terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik
dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Namun kecenderungan kearah
tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda
dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi fiskal dengan
menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan restribusi tanpa diimbangi peningkatan
efektifitas pengeluaran APBD. Langkah kebijakan semacam ini dapat berpengaruh buruk
terhadap penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah serta kesejahteraan
masyarakatnya.

Isu ekonomi-demografis antara lain kewajiban untuk mengangsur hutang luar negeri yang
besar (hampir spertiga APBN untuk membayar utang), rendahnya kualitas dan partisipasi
pendidikan terutama di tingkat menengah /atas, ledakan angkatan kerja, kemiskinan,
pengangguran dan tantangan’ lost generation’ seperti drop-out akibat krisis, globalisasi
dan pasar bebas.

Di Indonesia desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari program otonomi


daerah yang dijalankan sejak tahun 2001. Pelaksanaan otonomi daerah dapat dipandang
sebagai reformasi di bidang politik, kelembagaan dan sistem ekonomi. Dalam kaitannya
dengan desentralisasi fiskal perlu digaris bawahi bahwa UU tersebut tidak mengatur
mengenai penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat (khususnya bidang
kesehatan dan pendidikan). Iklim usaha menggambarkan situasi lingkungan dimana
kegiatan bisnis berlangsung. Aspek penting dari unsur sosial yang menentukan iklim
usaha adalah “nilai” masyarakat setempat terhadap profesia pengusaha/pedagang dan
penghargaan terhadap “kerja”. Faktor tingkat pendidikan masyarakat punya pengaruh
besar terhadap “nilai” dimaksud. Aspek ekonomi mencakup akses terhadap keamanan,
infrastruktur, periijinan, informasi dan kredit. Hal penting lainnya adalah masalah
hambatan dibidang perdagangan dan investasi, yang pada akhirnya akan menggerakan
pertumbuhan ekonomi.

Globalisasi mendorong perubahan pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralisasi,


hal ini perlu dikenali hingga sejauh mana desentralisasi fiskal mengakibatkan perubahan
biaya transaksi dalam perekonomian daerah dan kemampuan masyarakat dalam
pembiayaan pendidikan. Regulasi -regulasi di bidang pendidikan adalah untuk
membentuk sistem pendidikan nasional yang ’maju’ dan berkeadilan dengan beranjak
menuju penyelenggaraan pendidikan yang lebih otonom di daerah. Berbeda dengan
jaman pemerintahan sebelumnya (Orde Baru) yang menempatkan pemerintah sebagai
perancang dan aktor pembangunan pendidikan (rowing), maka dengan dana terbatas,
tuntutan demokratisasi serta pasar bebas (globalisasi), pemerintah sekarang lebih
menekankan perannya sebagai fasilitator & regulator.

Rencana pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan tercermin dalam UU Sistem


Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Pasal 53
(1) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan bahwa
penyelenggara satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan. Privatisasi pendidikan di Indonesia mengindikasikan
semakin melemahnya peran negara dalam melaksanakan sektor pelayanan publik.
Privatisasi pendidikan di Indonesia tidak lepas dari adanya tekanan utang serta kebijakan
dalam pembayaran utang. Hutang luar negeri Indonesia mencapai 35-40 persen dari
anggaran APBN setiap tahunnya. Pada akhirnya, membuat dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Sebagai perbandingan, Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89 persen


pada tahun 1992, sedangkan Indonesia hanya menyediakan 62,8 persen. Bahkan lebih
rendah jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Sri Lanka
(UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank,” 2004).
Pada saat era reformasi bergulir, alokasi anggaran pendidikan nasional menjadi 20 persen
dari total APBN dan ini diatur UUD 1945 hasil amandemen. Namun dalam rancangan
APBN 2006 yang disahkan menjadi UU APBN 2006 pada akhir Oktober 2005,
pendidikan nasional hanya mendapatkan alokasi anggaran sebesar 10 persen atau Rp 40,1
triliun, dimana Rp 34,5 triliun untuk Depdiknas dan sisanya Rp 5,6 triliun untuk
pendidikan di Departemen Agama.

Manifestasi kebijakannya terlihat pada upaya untuk menjamin (pemerataan) pelayanan


pendidikan dasar serta pengembangan pendidikan lanjutannya dan untuk memberikan
ruang (otonomi) bagi sekolah, Daerah dan perguruan tinggi bersama masyarakatnya,
untuk berkompetisi menyelenggarakan pelayanan plus (di atas standar) dan spesifik
sesuai dengan kebutuhan masyarakat/pasar. Secara umum, rasionalitasnya adalah bahwa
pertama, di tengah dana yang terbatas (krisis), sasaran harus lebih difokuskan, terutama
untuk kelompok yang paling rentan, kedua, tuntutan demokratisasi mendorong
pemerintah memberikan hak-hak pendidikan masyarakat dan memberikan ruang
partisipasi (politik pendidikan dan dana) masyarakat, dan ketiga, pasar bebas yang
mengecilkan relevansi perencanaan terpusat mendorong pemerintah untuk memberikan
kesempatan Daerah dan sekolah untuk menanggapi ’pasarnya’ yang khas.

Dengan kebijakan tersebut terdapat prioritas program terhadap isu ekonomi-demografis


utama yang hendak dibidik adalah: penanganan trade-off antara peningkatan mutu dan
pemerataan, terjaminnya mutu (standardized) pelayanan pendidikan (nasional) kepada
masyarakat sampai ke daerah-daerah, penggalian dana/inisiatif masyarakat (untuk
menambah anggaran dan peningkatan mutu), otonomi (sekolah/PT bersama-sama
Daerah) agar lebih kreatif dalam mendekati tuntutan kebutuhan spesifik masyarakat dan
dunia usaha (relevansi, flexible).
Program-programnya antara lain penekanan pada Wajar 9 tahun, otonomi sekolah-
perguruan tinggi (menjadikan lembaga pendidikan sebagai badan hukum), peranserta
(pembiayaan dan inisiatif) oleh masyarakat melalui DP dan KS dan standardisasi dan
akredetisasi (melalui SPM, BSNP, BAN). Khususnya meningkatkan relevansi dengan
tuntutan pengembangan ekonomi adalah dengan penekanan Broad based education untuk
menjamin flesibilitas tenaga kerja dan life skill yang berdasarkan inisiatif lembaga
pendidikan untuk mengembangkan program sendiri yang relevan dengan (prospek)
kebutuhan tenaga kerja spesifik daerah.

Dengan wajar 9 tahun yang ditanggung pembiayaannya oleh pemerintah, dan bantuan
khusus yang diberikan kepada lembaga pendidikan/daerah yang tertinggal maka
diharapkan terjadi pemerataan akses pelayanan, sesuai kemampuan pemerintah sekarang
adalah pendidikan dasar, bagi semua kelompok masyarakat. Sedangkan dengan
standardisasi dan akreditasi diharapkan diperoleh, di samping kualitas pelayanan
pendidikan yang kurang lebih sama sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya, dan
memberikan jaminan peluang mobilitas horisontal ke sekolah/daerah lain (integrasi
nasional), juga adanya pembedaan peringkat sekolah-sekolah diharapkan memberikan
peluang kompetisi sekolah, siswa dan lulusan (untuk peningkatan daya saing nasional).
Keperpihakan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan terutama yang
menyangkut anggaran pembangunan, pada awal pelaksanaan otonomi daerah mengalami
penurunan. Perioritas utama sektor pendidikan diarahkan untuk terpenuhinya belanja
pegawai untuk kenaikan gaji dan rapel para guru, agar tidak terjadi pemogokan guru. Hal
ini diperlihatkan pada tabel di bawah.

Alokasi Anggaran Sektor Pendidikan Sebelum dan Sesudah Otonomi


Kabupaten Jember
(jutaan rupiah_)
1999/2000 Porsi 2001 Porsi
Pendidikan APBD Pendidikan APBD
Belanja Rutin 98,607 177,732 55,5% 161,765 375,315 43,1%
Belanja Pembangunan 3,370 41,877 8,0% 5,811 105,937 5,5%
Sumber : APBD Kebupaten Jember

Alokasi Anggaran Sektor Pendidikan sebelum dan sesudah Otonomi


Kota Surakarta
(jutaan rupiah_)
1999/2000 Porsi 2001 Porsi
Pendidikan APBD Pendidikan APBD
2.076 91.374 2,2% 1.393 76.159 1,8%
Sumber : APBD Kota Surakarta TA 1999/2000 dan TA 2001

Dukungan pendanaan APBN (utamanya DAU-Bos, DAK,-block-grant-imbal-swadaya,


dan prioritas APBD (di daerah) serta terakhir, BTL untuk menahan laju penurunan daya
beli masyarakat. Namun demikian, anggaran pendidikan sekitar 4 persen (13.8 triliun )
masih jauh dari tuntutan Konstitusi (20 %, atau 80 triliun dari) APBN (Kompas, 29-08-
2004).

Dengan design kebijakan terkait dengan dunia pendidikan di atas, muncul beberapa
kekhawatiran.

Kekhawatiran yang menonjol menyangkut pemerataan


Paket kebijakan yang menkombinasikan pemberian dana BOS dengan tidak lagi
membeda-bedakan antara sekolah/madrasah negri dan swasta untuk Wajar 9 tahun, dan
peluncuran dana DAK, block-grant, serta dana ”imbal-swadaya” guna memberikan
kepada sekolah/madrasah/daerah yang ’lemah’ adalah kebijakan yang sangat maju
dibanding sebelumnya. Namun demikian, manfaat paket kebijakan bagi mereka yang
tidak mampu bersekolah, pada umumnya kelompok miskin masih belum jelas. Padahal
jumlah mereka yanmg tidak bersekolah, jika tingkat APK, dan drop-out terutama di SD
dan SMK tidak diredam, akan meningkat (Kompas, 13-05-2005). Peningkatan itu sejalan
dengan proporsi penduduk usia 15 – 64 tahun, terutama pada kohort yang lebih muda
yang juga akan meningkat pesat. Hal yang menghawatirkan adalah jikaa kelompok yang
tidak bersekolah kurang mendapat pelatihan, maka para pencari kerja pemula ini akan
memicu peningkatan juvenile deliquency.

Paket kebijakan yang mengkombinasikan beberapa program di atas juga kurang mampu
memberdayakan lembaga pendidikan yang lemah. Hal ini karena, di luar dana BOS pada
umumnya diraih melalui pengajuan proposal. Sekolah/madrasah yang lemah, apalagi
kebanyakan pesantren (dipadati kelompok miskin, terutama berasal dari perdesaan
/pertanian) pada umumnya lemah pula informasi, proposal, dana pendamping, maupun
lobi politiknya, sehingga dana-dana di luar BOS itu cenderung tidak dimenangkan oleh
sekolah/madrasah/pesantren yang lemah tersebut. Sekolah/madrasah yang lemah
biasanya juga tidak mampu melaksanakan subsidi silang. Lebih dari itu, kebijakan
daerah, di samping pada umumnya rendah anggaran pembangunannya untuk pendidikan,
juga cenderung mengalokasikan anggaran ke daerah ”aman”, yaitu ke sekolah - sekolah
negeri (biasanya siswa berasal dari keluarga yang relatif mapan) dan menghindari
tuduhan ”partisan” (membantu sekolah madrasah swasta yang biasanya dikelola lembaga
keagamaan tertentu, dan biasanya lebih memberikan kesempatan kepada kelompok
miskin.

Padahal sejak jaman reformasi, dukungan partisipasi masyarakat terhadap


sekolah/madrasah swasta melemah. Pada jaman orde baru, partisipasi terhadap lembaga
pendidikan swasta itu tinggi, antara lain karena organisasi untuk mewadahi partisipasi
(politik) warga sangat terbatas. Pada masa asekarang ketika partisipasi publik lebih
terbuka, sekolah/madrasah swasta harus bersaing memperebutan partisipasi warga
dengan pesaing beratnya yaitu sekolah/madrasah negeri yang dilengkapi komite sekolah
yang ”disuruh” pemerintah merebut ”dana/daya” milik masyarakat.

Kesenjangan di daerah akan lebih lengkap manakala Undang-undang guru & dosen yang
disyahkan berdampak pada marginalisasi guru ’di bawah standard sertifikasi’,
kebanyakan guru swasta. Dengan kata lain, di tengah kebijakan pemerintah
’memeratakan’, kenyataan di daerah adalah ’persaingan tidak seimbang’ untuk
memperebutkan kue pemerataan dan berdampak kesenjangan. Secara umum kenyataan
di atas juga mempertanyakan model yang ideal bagi kemitraan antara negara dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kekhawatiran yang menonjol menyangkut peningkatan mutu


Kekhawatiran menonjol yang berkaitan dengan upya peningkatan mutu antara lain
menyangkut lemahnya perbaikan mutu guru dan materi didik, serta metode pembelajaran
(yang masih tradisional, khususnya untuk tujuan demokratisasi), dan lemahnya sistem
evaluasi dan orientasi efisiensi eksternal, khususnya relevansinya dengan kebutuhan
demokratisasi masyarakat dan pengembangan dunia usaha. Rencana perbaikan
kesejahteraan guru (sesuai UU Guru), sertifikasi tenaga kependidikan dan akreditasi
lembaga pendidikan adalah langkah maju. Namun belum diketahui apakah ketiga rencana
ini akan lebih membantu atau sebaliknya memojokkan sekolah/madrasah yang lemah,
terutama swasta, di samping apakah akan lebih mendesakkan tolok ukur lingkungan
sekolah yang demokratis dan pemahaman/kemampuan guru untuk mengembangkan
kesetaraan, toleransi dan terutama solidaritas melalui proses belajar. Pertanyaan ini
penting, terutama karena mewabahnya lingkungan pendidikan eksklusif, bias kelas
ekonomi dan kurang pluralistis.

Demikian pula, kendati otonomi Daerah/sekolah telah memunculkan inisiatif untuk


mengembangkan program pendidikan atau ekstra kurikuler (misalnya life skill), inisiatif
itu nampaknya lebih didorong oleh ketersediaan guru/pelatihnya atau bahkan semata-
mata keinginan sekolah /daerah untuk mendapatkan in-put tambahan, daripada didasari
oleh kajian potensi dan prospek ekonomi daerah yang matang (efisiensi eksternal). Di
pihak lain, khususnya pada sekolah-sekolah kejuruan dan pendidikan luar sekolah, on-the
job training dan standardisasi organisasi profesi serta sertifikasi pelatihannya belumlah
tertata dengan baik, sehingga kurang memberikan keyakinan tentang tingkat kualitas
lulusannya bagi calon penggunanya. Di tengah peningkatan angka pengangguran (600
ribu dalam setahun (April 2004-2005), kedua kebijakan seperti itu meningkatkan resiko
terhadap nilai balik investasinya yang mahal. Siapa yang harus bertanggungjawab bila
harapan masyarakat yang begitu tinggi terhadap nilai balik investasi (return on
investment) tidak terujud kelak.

Dengan membandingkan kendala (kekhawatiran) terhadap upaya pemerataan dengan


kendala (kekhawatiran) terhadap upaya peningkatan mutu di atas menjadi jelas bahwa
penanganan trade-off antara keduanya adalah masalah yang krusial. Kendati dalam
design pemerintah keduanya diharapkan akan berjalan seiring (merata dan meningkat
mutunya), namun secara umum terdapat prognosa bahwa mengingat kemampuan
pendanaan untuk pemerataan-peningkatan mutu dan manajement oleh pemerintah yang
masih lemah, maka realitas politik Daerah dan persaingan antar (otonomi)
sekolah/madrasah memperebutkan akses politik dan daya masyarakatnya itulah yang
akan lebih menentukan pemerataan vis a vis peningkatan mutu pendidikan kita.
Dinamika yang sekarang terlihat adalah begitu pemerintah sedikit saja melepas bagian
tubuh pendidikan ke daerah dan pasar, maka oleh (otonomi) sekolah yang lebih kuat
bagian itu direbut dan dijadikan komoditi yang syah bagi yang mampu. Kesenjangan
agaknya akan melebar, pendidikan ’bermutu’ akan lebih dinikmati kelompok mampu,
kecuali pemerintah meningkat kemampuan (terutama dana) dan komitmennya untuk
meredam hal tersebut. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan komitmen
pada saat sekarang adalah dua ’telor’ yang mendesak untuk dibuat.

Namun demikian, pertanyaannya saat ini adalah: pertama, Bila sekarang negara belum
mampu berperan sebagai equalizing factor, apakah civil society (lembaga sosial
kependidikan di masyarakat) setelah menghadapi kebijakan negara yang terkesan kurang
menekankan partnership seperti di atas, masih dapat berperan emansipatorik, atau
malahan telah ikut menjadi penjual komoditi pendidikan untuk mempertahankan
hidupnya. Kedua, apakah dalam dinamika seperti ini, sistem pendidikan kita telah
terreduksi menjadi alat legitimasi pemilah klas sosial (sorting mechanism) dan alat
reproduksi tata hubungan (kuasa) sosial-ekonomi belaka. Bila jawabnya ’ya’, maka di
tengah pasang naik peran pasar dan lemahnya peran negara untuk emansipasi kelompok
yang lemah, diperlukan peran partisipasi /solidaritas publik (dan civil society) melalui
lembaga yang kuat untuk mengawal sistem pendidikan kita.

Proyek Desentralisasi Pendidikan Depdiknas


Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen
demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif
terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa
masalah utama, antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan
pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatur tentang pendidikan di negara kita.
Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki et.al.
(1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual dibagi menjadi
dua jenis, pertama desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih
kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian
kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan
desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian
demokratisasi. Sedangkan konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan
yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas
pendidikannya.

Dua hal ini mungkin sekali untuk dilaksanakan tergantung situasi kondisinya. Walaupun
evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia dibawah kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar pada tataran
desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan bagian dari
desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi
peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar
mengajar tersebut diharapkan juga berlangsung. Untuk itulah partisipasi orangtua,
masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain
memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang di-formulasi pemerintah
baik pusat maupun daerah.
MBS : rekontruksi pendidikan nasional
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya
menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini
mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-
sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi di Indonesia. Istilah Manajemen
Berbasis Sekolah (School-based Management) diakhir tahun 1990an di Indonesia. Ide ini
menjadi sangat populer dikalangan pembuat kebijakan dan masyarakat dikarenakan
adanya desakan agen2 proyek pendidikan dari luar negeri ditambah dengan kondisi
masyarakat yang memang sudah muak dengan sistem penyelenggaraan pendidikan Orde
Baru yang terbukti tidak berhasil (padahal sama2 hasil desain dari luar).

Mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis


seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia. Dengan
demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No.
32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka
perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak. Menurut data ICW (2004) begitu
besarnya desakan agen2 proyek dari LN (World Bank, ADB, Inggris, Unesco, Unicef,
USAID, Selandia Baru, Belanda, dll) itu kepada pemerintah RI dapat dilihat dari
banyaknya tawaran loan (utang) dan grant (hibah) yang nilainya dari ratusan ribu hingga
US $ 125 juta. Proyek2 yang dilakukan dibuatlah bermacam2 dari yang namanya Basic
Education Project di Jawa Barat, Sulawesi dan NTB, Junior Secondary Education Project
di Jawa Timur dan NTT hingga Senior Secondary Education Project, Decentralized Basic
Education dan PAKEM dan SBM.
Dibiayainya proyek2 desentralisasi pendidikan melalui utang LN ini sayangnya kurang
mendapat porsi berita yang layak di media massa. Yang ada justru penyataan Dirjen
Depdiknas bahwa pemerintah sendiri akan dilakukannya ujicoba SBM berskala nasional
di 1000 sekolah di tanah air (Kompas, 2001). Dipermukaan pemerintah berusaha
memunculkan kesan bahwa MBS adalah satu2nya ‘obat mujarab’ (panacea) untuk
buruknya sistem pendidikan Indonesia. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV
(KONASPI) di Jakarta tahun 2000 bahkan dipergunakan sebagai media sosialisasi SBM
oleh pemerintah. Hasilnya hampir semua peserta konvensi setuju dan percaya SBM akan
membawa hasil peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia (Kompas, 2000). Tidak ada
suara yang bersuara sebaliknya.

Diadakannya proyek2 desentralisasi pendidikan besar2an ini sebenarnya sangat tergesa-


gesa dan patut disayangkan. Ini dikarenakan ada beberapa kelemahan atau bahkan
kesalahan desainnya. Pertama informasi tentang indikator pendidikan Indonesia yang
dimiliki oleh pemerintah sebenarnya tidak akurat dikarenakan keterbatasan kapasitas dan
tenaga pengumpulan data yang dimiliki (Boediono dan Adams, 1997). Kedua
sebagaimana yang diindikasikan oleh staf menengah Depdiknas tahun 2002, kebijakan2
Depdiknas sering mengandalkan penggunaan data analisis kuantitatif dan statistik yang
dibuat sebagai laporan ABS (asal bapak senang). Tak heran lembaga LSM dan tokoh
independent seperti ICW, Gapsi (2003) dan Baswir (2004) meragukan kesungguhan
pemerintah untuk menggunakan proyek2 tersebut sebagai usaha memperbaiki keadaan
sistem pendidikan. Banyak yang percaya tindakan menerima tawaran proyek2 ini adalah
indikasi ‘ketidakberdayaan’ pemerintah melawan tekanan asing.

Pendanaan Menurut Undang-undang BHP Pasal 40


Lahirnya UU BHP merupakan amanat dari bagian pembukaan (menimbang point C)
Sisdiknas berbunyi, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin
pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan
secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Untuk itu pemerintah perlu melakukan perbaikan pada system pendidikan dari PT sampai
tingkat Dasar guna mencapai tujuan di atas. Sehingga pendidikan tersebut memeliki
kredibilitas dan akuntabilitas dimata public. Undang-undung Badan Hukum Pendidikan
merupakan usaha pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta untuk
menghilangkan diskriminasi antara madrasah swasta dan negeri antara dibawah Diknas
dan non Diknas serta untuk mendekatkan madrasah kepada masyarakat dan memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk ikut mengelola, mengawasi dan memberikan
sumbangsih pendanaan dari satuan pendidikan.

Pada awal diberlakukannya BHMN tahun 1999 perkiraan kenaikan biaya kuliah
mencapai 300% hingga 400%. Di Universitas Indonesia(UI), uang pangkal—Admission
Fee(untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta s/d Rp.25 juta, sedangkan untuk
Program Prestasi Minat Mandiri(PPMM) Rp.25 Juta s/d Rp.75 Juta. Untuk Institut
Tekhnologi Bandung(ITB) dikenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik
mencapai Rp. 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Begitu juga
Universitas Gajah Mada (UGM), memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu
Akademik (SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-
SPMB.

Selain itu dimunculkannya UU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan yang


dilakukan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan
oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan sebagai sebagai badan hukum
menimbulkan pengelolaan ganda, yaitu oleh yayasan dan pengurus lembaga pendidikan.
Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus yayasan dan
pengurus lembaga pendidikan. Dengan munculnya UU BHP diharapkan menjadi solusi
untuk menghilangkan kepengurusan ganda tersebut.

Untuk maka satuan pendidikan itu perlu berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti
yang ditetapkan dalam sisdiknas pasal 53 ayat 14 yang berbunyi: (1) Penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta
didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum
pendidikan ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (2)
Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Badan hukum pendidikan
menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang
tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk: a. beasiswa; b. bantuan biaya
pendidikan; c. kredit mahasiswa; dan/atau d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. (4)
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab
dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (5) Dana pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan
dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan.

Pasal 41 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya


menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam
menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa,
dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal
untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum
pendidikan. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP
dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar
pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.

(4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung


paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang
menyelenggarakan pendidikan 19 menengah berdasarkan standar pelayanan minimal
untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (5) Pemerintah bersama-sama dengan
BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada
BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal
untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (6) Pemerintah bersama-sama dengan
BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk
mencapai Standar Nasional Pendidikan.

(7) Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus
menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau
pihak yang bertanggung jawab membiayainya. (8) Biaya penyelenggaraan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam
pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar
Nasional Pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya
operasional. (9) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi
berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP
paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. (10) Dana pendidikan dari
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum
pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

Pasal 42 (1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat
melakukan investasi dalam bentuk portofolio. (2) Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (6) huruf d. (3)
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danayat (2) dan investasi tambahan setiap
tahunnya tidak melampaui 10% (sepuluh persen) dari volume pendapatan dalam
anggaran tahunan badan hukum pendidikan. (4) Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan atas dasar prinsip kehati-hatian untuk membatasi risiko yang
ditanggung badan hukum pendidikan. (5) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikelola dan dibukukan secara profesional oleh pimpinan organ pengelola pendidikan,
terpisah dari pengelolaan kekayaan dan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (1) sampai dengan ayat (4). (6) Seluruh keuntungan dari investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (6). (7) Perusahaan yang dikuasai badan hukum pendidikan melalui
investasi portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk
sarana peserta didik.

Pengalaman UNAIR Dari BHMN Sampai Menerapkan BHP


Mulai tahun 2002 PTN UNAIR(Perguruan Tinggih Negeri Universitas Airlangga)
memiliki agenda perubahan status BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang sifatnya
semi otonom diselenggarakan oleh pemerintah. Salah satu proses perubahan status setiap
PTN di indonesia khususnya UNAIR menjadi kesempatan besar bagi pemerintah
melepaskan tanggung jawabnya demi mempercepat bayar hutang ke luar negeri
(komentar mahasiswa dalam aliansi studi kasus Unair). Sementara UNAIR mencari dana
untuk memenuhi kebutuhan perangkat kampus cara yang mudah dapat dilakukan adalah
menaikkan biaya pendidikan mahasiswa dan mencari hubungan pinjaman dengan
investasi asing WTO (World Trade Organisation), yang sudah dikasik kesempatan
mendapat ruangan khusus lantai 2 rektorat UNAIR untuk mengakomodir semua
kebutuhannya lebih cepat.
Perubahan status UNAIR BHMN diresmikan pada tanggal 14 september 2006, sesuai
dengan KSK yang syah di keluarkan rektorat sudah mendapatkan tanda tangan wakil
presiden republik indonesia Jusuf Kalla secara langsung karena presiden dalam keadaan
halangan berada diluar negeri, terang Ketua SAU, Prof. dr. Sam Soeharto, Sp. MK., pada
selasa (15/9). Kebijakan yang dilaksanakan pemerintah upaya meliberalisasi pendidikan,
pihak unair mensetujui tanpa ada daya tawar yang lebih populis. Hal ini akan lebih jelas
permasalahan sistem pendidikan yang diterapkan di indonesia terutama universitas
airlangga, seperti yang diungkapkan oleh pengajar jurusan ilmu sosial unair surabaya
Novri Susan, S.Sos, yang ingin coba dipakai dalam dunia pendidikan saat ini adalah
logika dan metode kapitalistik untuk tumbuh berkembang, pada kamis (8/10).

Menurut Prof. Sam Soeharto, ada tiga hal pokok yang terkandung dalam Peraturan
Pemerintah baru tersebut. Pertama, ada pemisahan aset, dimana aset yang menjadi milik
Unair diserahkannya. Kedua, ada perubahan struktural. Misalnya, jabatan Pembantu
Rektor berubah menjadi Wakil Rektor. Dan yang ketiga, menegaskan bahwa struktur
yang ada, akan berjalan sesuai dengan masa jabatannya. Implemintasi pernyataan yang di
uraikan bahwa dalam proses pengembangan pendidikan tidak sejalan dengan penegasan
hukum yang terterah dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 menyebutkan,
”pemerintah Negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia termasuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Pemisahan aset yang sifatnya semi otonom dijalankan UNAIR-BHMN berniat


melakukan perubahan, ada empat hal regulasi yang dapat dimainkan, yakni perubahan
orentasi, organisasi dan pengelolaan, pola rekrutmen, dan kultural, Tukas Prof. Sam
Soeharto. Hal ini merupakan salah satu cara yang tepat diterapkan universitas lebih
mudah mendapat keuntungan dari mahasiswa dengan menaikkan biaya pendidikan
mencapai 80% seluruh fakultas, kecuali fakultas ilmu budaya dan fakultas ilmu sosial dan
ilmu politik yang hanya 20%. Perubahan status UNAR BHMN tidak cukup kemungkinan
bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomis membiayai pendidikannya setiap
semester.

Ledakan perubahan buruk yang mengeksploitatif mahasiswa, seperti ditegaskan oleh


Novri Susan, S.Sos dalam pernyataannya; jelas sekali dengan adanya MWA (Majelis
Wali Amanat) yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam stuktur kebijakan di PT
BHMN. MWA adalah salah satu paradoks yang ditawarkan Pemerintah. Pada satu sisi
menetapkan kampus telah otonom tetapi pada sisi lain menggunakan MWA untuk tetap
mengukuhkan kontrolnya terhadap Perguruan Tinggi. Ini terbukti dengan 35% suara yang
dimiliki wakil pemerintah yang duduk dalam MWA. Karena Pemerintah pada prinsipnya
ingin tetap melakukan kontrol dan pengawasan terhadap prosedur-prosedur yang telah
mereka buat dalam PT BHMN.

Sedangkan pernyataan drs. Abdul Latief Burhan, MS, anggota Tim Implementasi
Otonomi (TIO) Unair tentang beberapa persoalan hanya berupa pengakuan demi
terlaksananya. Seperti, “Itu keunggulan PP Unair. Aset Unair bisa dikelola sendiri, untuk
kepentingan pendidikan ke Departemen Keuangan. Dan yang akan mengaudit, adalah
Dewan Audit yang dipilih oleh Majelis Wali Amanat. Ini sudah menyesuaikan dengan
UU Perbendaharaan Negara,” Rasionalitas instrumental ini semakin sempurna
eksistensinya dengan usaha diciptakannya Quality Assurance /QA (Jaminan Mutu). QA
adalah blue print masyarakat universitas yang harus dicapai melalui berbagai prosedur,
dari masalah cara meminjam megaphone atau peralatan universitas sampai prosedur
mengembalikan pinjaman tersebut. Akan tetapi di dalam QA tidak ditemukan prosedur
membiayai pendidikan semurah mungkin atau bahkan gratis! Prosedur di dalam QA
adalah prosedur mentaati kekuasaan sehingga proses BHMNisasi berjalan aman dan
terkendali.

Selanjutnya modes of production dalam lembaga kapitalis akan berusaha mencari modal
sebanyak yang ia mampu untuk kepentingan perluasan usaha dan jangkauan pasar. PT
BHMN dalam mengumpulkan modal dilakukan melalui beberapa cara; menaikkan SPP
mahasiswa setinggi-tingginya, menarik investor sebanyak mungkin, menjual hasil
produksinya, dan terakhir mencari dana pinjaman dari lembaga-lembaga ekonomis
lainnya. Langkah-langkah ini sangat serupa dengan langkah-langkah suatu perusahan
profit untuk mempertahankan eksistensi bisnisnya atau mengembangkan usahanya.
Sudah tidak diragukan lagi sumber dana yang terdekat adalah mahasiswa sehingga
kenaikkan SPP menjadi lahan paling mudah diakses karena tidak perlu melalui
kesepakatan, tender, atau resiko-resiko lainnya. Mahasiswa dianggap sebagai konsumen
yang memanfaatkan fasilitas pendidikan PT BHMN, dan bukan sebagai generasi bangsa
yang bertanggung jawab terhadap bangsa ini dan harus dibiayai pendidikannya.
Akibatnya menimbulkan jarak yang akan memunculkan macetnya dinamika intelektual.
Mahasiswa sibuk dengan biaya yang mahal dan pada gilirannya merubah dirinya menjadi
sangat pragmatis, tidak berorientasi kelimuan melainkan cepat selesai dan kerja. Bekerja
setelah lulus merupakan cita-cita yang normal akan tetapi ketika proses akademik
direduksi menjadi alat untuk mencari kerja semata maka universitas tidak akan
menghasilkan lulusan yang mempunyai kreativitas dan kemandirian. Mereka hanya akan
mengharap mendapatkan pekerjaan dari dunia industrialisasi.

Dampak BHMNisasi terhadap berbagai dimensi kemanusiaan dan sistem pendidikan


ternyata mempunyai dampak buruk yang harus diwaspadai. Sebuah sistem besar dan
tampak megah, sebenarnya terdapat banyak penyimpangan dan kekejian. Upaya
pengawalan terhadap BHMNisasi di beberapa universitas sudah dilakukan oleh berbagai
elemen gerakan mahasiswa dan civitas akademik. Dalam pandangan gerakan mahasiswa
BHMN merupakan konsep kapitalis, eksploitatif, anti kerakyatan, dan menjadi budak
industrialisme. Pandangan ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pelaksana
kebijakan, yaitu rektoriat dan pemerintah. Pihak pelaksana Unair yang saat ini tengah
memulai langkah, selain berusaha melaksanakan rumusan-rumusan yang telah diciptakan
perlu melakukan telaah kritis terhadap sistem BHMN yang akan dilaksanakan. Usaha
mengkritisi ini tentu saja tidak bertujuan mengahalang-halangi proses BHMNisasi
melainkan upaya mengidentifikasi masalah-masalah besar yang bisa muncul dan
berdampak negatif bagi banyak pihak, baik mahasiswa, universitas, dan rakyat secara
umum yang ingin mengakses pendidikan.

Pembatalan BHP : mengembalikan beban pendidikan pada Negara


Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, Undang-undang Badan Hukum
Pendidikan tidak relevan untuk diterapkan saat ini. “Kita telah batalkan UU BHP,” tegas
Mahfud ketika berada di Surabaya, Senin (5/4/010). Secara prinsip ada dua hal yang
dilanggar oleh undang-undang yaitu : Pertama adalah penyeragaman. Setelah dikaji
hanya 20 Universitas yang layak untuk diseragamkan dan hanya tujuh universitas yang
sudah siap diseragamkan. Padahal di Indonesia terdapat 6.600 perguruan tinggi. “Yang
tidak siap jangan dipaksa, seperti yayasan di pesantren, ya biarkan saja jangan dipaksa
menjadi BHP,” ungkap guru besar UII Yogyakarta ini. Prinsip kedua yang dilanggar
undang-undang ini menurut Mahfud adalah adanya pengalihan peran dari pemerintah ke
masyarakat. “Ini kan pengalihan beban, kasihan masyarakat, karenanya MK
membatalkan itu,” pungkasnya.
Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah
langkah tepat agar pelayanan pendidikan dapat diakses seluruh warga negara Indonesia.
"Dengan dibatalkannya UU BHP maka pendidikan di perguruan tinggi negeri berstatus
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang hanya dapat diakses oleh masyarakat
mampu, bisa kembali diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia," kata anggota Komisi
X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Tubagus Dedi Gumelar, di Jakarta, Jumat
(Kompas.com, 2/4/2010). Dikatakannya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berstatus
hukum BHMN yang mengelola anggaran secara otonom memberlakukan biaya
pendidikan dengan mahal sehingga hanya masyarakat mampu yang dapat mengaksesnya.
Kondisi ini, katanya, tidak sejalan dengan UUD 1945 yang mengamanahkan setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan. "Maksudnya, meskipun anak dari keluarga tidak
mampu tapi memiliki kemampuan intelektual dia juga berhak mendapat pendidikan di
seluruh perguruan tinggi negara yang ada," katanya. Namun dengan diterapkannya status
hukum BHMN kepada empat PTN yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi
Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gajahmada (UGM),
maka secara tidak langsung pemerintah telah membuat dikotomi perguruan tinggi elite
dan perguruan tinggi reguler.

Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof Sudijono Sastroatmodjo menilai,


pembatalan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengakibatkan persiapan
sejumlah perguruan tinggi negeri untuk menjadi badan hukum pendidikan pemerintah
(BHPP) terhambat. "Pihak kami telah mempersiapkan dokumen sesuai himbauan
pemerintah untuk mengubah status Unnes dari badan layanan umum (BLU) menjadi
badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) sesuai amanat UU BHP. Namun seiring
proses yang berjalan UU BHP justru dibatalkan MK, sehingga akhirnya kami harus
menghentikan persiapan tersebut," ungkapnya. Jika UU BHP masih diberlakukan hingga
saat ini Unnes menargetkan akan menjadi BHPP pada 2011 mendatang, sebab pada
Agustus 2010 perguruan tinggi negeri di Semarang ini akan merencanakan untuk
menyampaikan usulan itu pada Kementerian Pendidikan Nasional.

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung, Jawa Barat tidak dirugikan dengan
pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab universitas justru tidak dibatasi dalam memungut biaya pendidikan dari
mahasiswa. Padahal di UU BHP, perguruan tinggi negeri (PTN) hanya diwajibkan
memungut uang pendidikan dari mahasiswa maksimal 30 persen dari total kebutuhan
operasional. Selain itu, PTN tidak harus menyediakan beasiswa bagi 20 persen
mahasiswa. "Jika BHP diberlakukan, sebenarnya akan menguntungkan mahasiswa dan
memusingkan universitas. Karena pemerintah hanya menanggung biaya operasional
sebesar 50 persen. Kekurangan biaya dicari sendiri oleh PTN," ujar Rektor UPI Sunaryo
Kartadinata, Rabu (7/4/010).

Lebih lanjut ia mengungkapkan, pembatalan UU BHP membuat UPI tetap leluasa


menyelenggarakan pendidikan. Ia mencontohkan penerimaan mahasiswa lewat jalur
khusus masih diberlakukan tahun ini. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari pola subsidi
silang antara mahasiswa mampu dan tidak mampu. "Subsidi silang adalah salah satu cara
memeratakan akses pendidikan bagi masyarakat di seluruh lapisan. Selama belum ada
peraturan baru, cara ini akan tetap diberlakukan," katanya. Meski demikian, UPI tetap
akan menunggu kebijakan baru Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
pascakeputusan MK. Dalam waktu dekat para rektor PTN dan Kemendiknas akan
bertemu lagi untuk membahas dampak keputusan MK terutama mengenai masa depan
status hukum PTN.

Fraksi PDI Perjuangan(Kompas.com, Jumat 2 April 2010) juga menilai, dalam UUD
1945 mengamanahkan pemerintah bertanggung jawab untuk menyejahterakan
masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. "Dengan diberlakukannya empat PTN
BHMN maka tidak semua masyarakat dapat mengakses empat PTN tersebut dan
pemerintah terkesan melepaskan tanggung jawab dengan membebankan seluruh biaya
pendidikan kepada mahasiswa," katanya. Karena itu, Fraksi PDI Perjuangan mendesak
pemerintah untuk segera mengambil langkah pembenahan terhadap status hukum empat
perguruan tinggi negeri (PTN) menyusul pembatalan UU No.9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi. Agar persoalan status
hukum empat BHMN ini lebih jelas, katanya, Fraksi PDI Perjuangan meminta pimpinan
DPR RI segera melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi untuk memperoleh
pemahaman yang benar atas putusan pembatalan UU BHP serta implikasinya.

Tiga perguruan tingi negeri (PTN) di Malang tidak terpengaruh dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP). Mereka tetap akan konsisten membikin dan menjalankan unit
usaha yang dimiliki, dengan alasan karena sudah menyandang status Badan Layanan
Umum (BLU). Di antara tiga PTN yang mengaku tidak terpengaruh dengan keputusan
MK tersebut adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang, Universitas
Brawijaya Malang dan Universitas Negeri Malang. Ketiga PTN ini mengaku sudah
menjadi BLU. Sehingga, UU BHP dibatalkan atau tidak, dianggap tidak ada
pengaruhnya terhadap unit-unit usaha yang sudah dirintis. Hal itu diakui Rektor UIN
Maliki Malang, Prof Dr Imam Suprayogo. Menurut dia, UIN sudah berstatus BLU. ‘’Itu
berarti sudah ada kelongggaran mengembangkan unit-unit usaha untuk membantu
operasional pengelolaan pendidikan yang kami kelola agar berkualitas," kata dia, Kamis
(31/4/010).

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU BHP telah menyerahkan persoalan


pendidikan kepada mekanisme badan usaha, sebuah konsep yang justru menciptakan
ketimpangan dalam pembiayaan pendidikan. Kementrian Pendidikan memang bisa saja
berkilah bahwa dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tidak akan cukup untuk
mendanai seluruh PTN karena sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk gaji guru
dan dana operasional pendidikan berupa dana BOS. Tetapi hal itu hendaknya tidak
mementahkan keputusan MK. Keputusan MK tersebut kembali menjadi sebuah
keprihatinan kita terhadap persoalan kualitas produk UU yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Pembatalan sebuah UU yang penyusunannya telah menghabiskan biaya
begitu besar, plus kontroversi yang terjadi akibat persoalan tersebut, memperlihatkan
bahwa pemerintah dan DPR telah bekerja secara serampangan dalam menghasilkan
sebuah UU yang justru bertentangan dengan konstitusi.
Konsep pendidikan kita memang banyak bergeser kini. Satu kata saja untuk biaya
pendidikan: mahal! Mahalnya biaya pendidikan kalau itu terjadi di PTS barangkali bisa
dimengerti karena semua komponen pendanaan dikelola secara mandiri oleh PTS yang
bersangkutan. Namun ketika kemudian PTN diberikan kewenangan mengelola
kelembagaan dan operasional pendidikannya secara penuh melalui pembentukan PTN
berbentuk badan hukum, kerancuan kemudian terjadi. Pada praktiknya di lapangan,
hampir semua pendanaan operasional diserahkan kepada orangtua mahasiswa. Akibatnya,
PTN berbentuk badan hukum tidak jauh berbeda dengan PTS. Maka wajar saja kemudian
masyarakat mengeluhkan model pendanaan pendidikan versi PTN berbadan hukum yang
kini berjumlah 7 PTN termasuk salah satu diantaranya Universitas Sumatera Utara.
Bagaimanapun, di dalam konstitusi kita, adalah kewajiban negara memberikan
pendidikan yang sama dan merata kepada semua warga negara tanpa membeda-bedakan.
Hal ini tidak mungkin bisa dipenuhi dengan cara melakukan subsidi silang sekalipun,
atau mekanisme beasiswa yang jumlahnya sangat terbatas. Karena itu memang tidak ada
alasan bagi pemerintah untuk menghindari diri dari tanggung-jawab memberikan
pendanaan yang lebih besar kepada PTN.

Pengkajian Keputusan Pembatalan: BHP mencegah komersialisasi


Dilain pihak, Kementerian Pendidikan Nasional akan meninjau ulang Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri yang dibuat dengan mengacu pada UU Nomor 9 tahun
2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dibatalkan pada pada Rabu
(31/3/2010) oleh Mahkamah Konstitusi. "Dalam satu dua hari ini kita akan lihat
konsekuensi pembatalan undang-undang BHP," ujar Menteri Pendidikan Nasional
Mohammad Nuh di Jakarta, Rabu (Kompas.com, 31/3/2010) malam. Nuh menambahkan,
semua aturan yang ditetapkan, baik berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri,
yang konsiderasinya menggunakan undang-undang BHP. Dia mencontohkan, peraturan
perundangan yang dibuat dengan konsiderasi undang-undang BHP antara lain peraturan
pemerintah tentang universitas pertahanan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan
pendidikan.

Mendiknas juga mengatakan, pemerintah menghargai dan menghormati keputusan MK


yang mengabulkan permohonan sebagian masyarakat untuk membatalkan undang-
undang BHP dan beberapa pasal dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. "Kami menghargai dan menghormati keputusan lembaga
negara seperti MA, MK dan KPK sesuai dengan portofolionya. Tidak ada istilah
pemerintah menolak atau melawan keputusan lembaga negara itu," katanya.
Selain itu, katanya, Poksi X Fraksi PDI Perjuangan juga mengusulkan kepada pimpinan
Komisi X DPR RI untuk segera mengundang Menteri Pendidikan Nasional guna
memberikan penjelasan langkah yang dilakukan pemerintah setelah dibatalkannya UU
BHP.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP pada Rabu (30/3), karena


dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 dan memberikan dampak negatif lainnya.
Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof Sudijono Sastroatmodjo menilai, "UU
BHP sebenarnya justru mencegah terjadinya komersialisasi pendidikan, karena
penghimpunan dana dari masyarakat oleh PTN dibatasi. PTN hanya diperbolehkan
menghimpun dana dari masyarakat sebesar 30%, 50% pemerintah, dan sisanya PTN
boleh mencari sendiri tapi tidak boleh menarik dari masyarakat, karena jika sampai
ketahuan memungut biaya melampaui ketentuan akan dikenakan sanksi administrasi,"
terangnya. Oleh karena itu, kata dia, pembatalan UU BHP dikhawatirkan justru akan
menimbulkan upaya komersialisasi pendidikan, mengingat tidak adanya pembatasan
penghimpunan pendanaan dari PTN kepada masyarakat. "Namun, Unnes tetap taat asas
sehingga akan menaati apapun yang telah diputuskan sesuai peraturan perundang-
undangan, apalagi pembatalan UU BHP itu dilakukan oleh lembaga yang berwenang,"
kata Sudijono.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Arief Hidayat
mengatakan, bahwa anggapan UU BHP yang berlawanan dengan UUD 1945 tersebut
dimaknai berbeda oleh MK. Padahal tidak seluruh isi dari UU BHP itu berdampak buruk
terhadap penyelenggaraan pendidikan. "MK menilai bahwa UU BHP bertentangan
dengan UUD 1945, padahal yang berlawanan dengan UUD 1945 adalah Pasal 53 UU No
20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencetus penyusunan UU BHP tersebut. Sehingga
tidak seluruhnya isi UU BHP merugikan penyelenggara pendidikan," terangnya.

Dekan Fakultas Ekonomi USU, Jhon Tafbu Ritonga, menyesalkan perihal pembatalan
UU BPH tersebut. "Saya menyesalkan hal itu, dan saya jadi orang heran saja. Sebab,
yang buat UU itu kan sudah melibatkan kalangan pendidikan dalam masa bertahun-tahun
dan pembuatan UU itu untuk memenuhi UU Sisdiknas tahun 2003. Inilah bukti sulitnya
membenahi pendidikan nasional kita," ujarnya. Jhon Tafbu mengatakan, semua orang
bilang Sisdiknas kita gagal secara mutu dan jumlah sehingga perlu perubahan yang
holistik dan terukur, maka BHP dianggap jalan keluar. "Setelah ada UU baru yang
memberi tanggungjawab penuh bagi penyelenggara pendidikan, sudah dibatalkan. Mana
bisa kita buat perubahan. Tanpa perubahan maka hasil yang ada tidak bisa diubah,
apalagi menjadi lebih baik," tuturnya.

Menurut Jhon Tafbu, pembatalan itu disebabkan paradigma berpikir penuntut dan hakim
MK yang sama-sama pro status quo. "Jika kita pro perubahan maka jalan satu-satunya
sekarang ialah dengan meneruskan yang sudah jadi Badan Hukum Milik Negara.
Misalnya USU, tak perlu lagi berubah ke BHPP," katanya. Sehingga lanjutnya, kepada
Rektor USU yang baru tugasnya menjadi lebih lancar. USU sudah bisa jalan terus tanpa
harus transformasi ke BHPP sebagaimana diminta Majelis Wali Amanat dalam
pelantikan beberapa waktu lalu. "Saya yakin USU dan PT BHMN lainnya bisa dievaluasi
nanti setelah lima tahun, ini pilot projek, kalau nanti hasilnya positif maka BHMN
menajdi pola umum perguruan tinggi, bagi yang mau. Kalau terbukti tidak lebih bagus,
barulah itu bisa dibatalkan," pungkasnya.

Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Prof Dr Sri Darma menilai,


pembatalan UU Nomor 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah
Konstitusi hanya akan menimbulkan masalah baru. "Itu hanya akan menimbulkan
masalah baru bagi perguruan tinggi dan satuan pendidikan yang selama ini belum
menerapkan tata kelola keuangan dengan baik," katanya di Denpasar, Jumat. Ia mengakui
perguruan tinggi yang telah menerapkan tata kelola keuangan dengan baik, memang tidak
menghadapi masalah menghadapi pembatalan BHP itu. Dia menduga pembatalan BHP
didasari oleh banyaknya perguruan tinggi yang menyalah artikan persepsi tata kelola
keuangan, dengan memungut dana besar dari mahasiswa dan masyarakat dengan alasan
untuk meningkatkan mutu pendidikan. Padahal untuk meningkatkan mutu pendidikan,
perguruan tinggi bisa mencari sumber-sumber dana lain, bukan memungut begitu saja
dari masyarakat.

Rektor UIN Maliki Malang menjelaskan bahwa dengan adanya unit usaha itu, PTN bisa
mendapatkan penghasilan dari sumber non-pemerintah. Namun, terang dia, bila UU BHP
diberlakukan, diakui dia, justru pemerintah yang terbebani. Alasannya pemerintah wajib
menanggung 20 persen mahasiswa yang kurang mampu. Kendati demikian, kata dia,
pembatalan UU BHP ini bukan berarti UIN tidak mengurus mahasiswa miskin. Mereka
tetap diberi hak melanjutkan proses pendidikan melalui banyak cara. Yang penting,
tandas dia, selama ada semangat khidmat demi pendidikan, UIN akan berupaya untuk
mencarikan dana. ‘’Banyak pintu untuk menggali dana. Di antaranya melalui subsidi
silang atau unit-unit usaha yang kami bikin," kata Imam. Karena itu, UIN Maliki Malang
ini sudah menjajaki unit usaha pengolahan batu bara di Kalimantan. Selain itu,
pengelolaan maskapai penerbangan Seulawah Airways yang beroperasi di negara Timur
Tengah.

Begitu juga dengan Universitas Brawijaya Malang. PTN ini sudah merancang usaha
berupa pom bensin, rumah sakit, maupun hotel. Sedangkan Universitas Negeri Malang
tak mau ketinggalan dengan memproduksi air mineral Citrairum, rencana pendirian Hotel
Tumapel, dan bergerak pada usaha pom bensin. Menurut rektor Universitas Negeri
Malang, Prof Dr Soeparno memang mengaku sedikit lega dengan pembatalan itu.
Alasannya, jika BHP diberlakukan, banyak pembatasan yang merepotkan manajemen
PTN. Padahal, kata dia, sudah membuat rancangan usaha penggalian dana. Namun, lanjut
dia, pembatalan BHP itu tidak ada masalah. Sebab, PTN yang dipimpinnya sudah
berstatus BLU. Karena itu, dia kini mengaku fokus pada peningkatan mutu terlebih
dahulu. Rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Yogi Sugito mengaku kaget dengan
keputusan MK yang membatalkan UU BHP itu. Alasannya, PTN yang dikelolanya sudah
siap. ‘’Selain itu, UU BHP ini sebenarnya tidak akan merugikan siapa pun. Kami sudah
siap menuju BHP itu. Ya, tidak ada masalah soal itu sebenarnya. Kami memprediksi
hanya pelaksanaannya saja yang tertunda. Jika semua sudah siap, bisa saja diberlakukan
kapan saja,’’ pungkasnya.

Sementara itu, Rektor IKIP PGRI Semarang, Muhdi justru menyambut baik pembatalan
UU BHP oleh MK, mengingat PGRI merupakan salah satu pihak yang keberatan
terhadap adanya UU BHP. Menurut dia, UU BHP sebenarnya memiliki poin positif yang
menguntungkan para peserta didik, terutama masyarakat miskin, sebab UU BHP
membatasi besar pungutan yang boleh ditarik kepada peserta didik. Namun, kata dia, UU
BHP juga memiliki poin negatif, karena sisa pendanaan biaya operasional pendidikan itu
ditanggung oleh siapa, apakah pemerintah sudah menyiapkan dana cukup untuk menutupi
kekurangan itu.
"Selain itu, UU BHP juga dipandang merugikan kalangan perguruan tinggi swasta,
terutama PTS yang dimiliki oleh perseorangan. UU BHP mengharuskan adanya pihak
eksternal yang mendampingi," katanya. Dengan adanya pihak eksternal, kata Muhdi,
otoritas pemilik perguruan tinggi tentu berkurang, belum lagi permasalahan lain yang
ditimbulkan dengan diharuskannya perubahan status badan hukum sesuai BHP.
"Pembatasan penghimpunan dana dari masyarakat seperti diamanatkan UU BHP tentunya
memberatkan PTS, mengingat selama ini PTS mengandalkan pendanaan dari masyarakat.
Namun, setiap perubahan pasti ada risikonya," kata Muhdi.

Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Prof Dr Sri Darma menyarankan


pemerintah untuk membuat undang-undang yang mengatur tata kelola perguruan tinggi
dan satuan pendidikan yang baik sehingga pengelolaan perguruan tinggi dilakukan
transparan guna meningkatnya mutu pendidikan. "Pengelolaan lembaga pendidikan tinggi
dan satuan pendidikan diserahkan kepada masyarakat untuk menilainya," ujar Sri Darma.
Undiknas, klaim Sri Darma, adalah salah satu lembaga pendidikan tinggi di Bali yang
sudah menerapkan tata kelola dengan baik, sehingga tidak memasalahkan pembatalan
UU BHP itu. Dia menjelaskan, dalam tata kelola itu, Udiknas sudah mengatur dengan
baik keuanganya, yaitu 70 persen pemasukan keuangan dikelola oleh perguruan tinggi
dan 30 persen oleh yayasan untuk pengembangan.

Rector Universitas Negeri Medan, Syawal Gultom, kepada Waspada mengakui harus
mematuhi apa yang diputuskan MK tentang pembatalan UU BHP tersebut, namun tidak
harus menghilangkan indikator-indikator dalam menciptakan lembaga pendidikan atau
perguruan tinggi yang berkualitas. Syawal Gultom menyebutkan, rohnya BHP
sebenarnya terdapat efisiensi, akuntabilitas, transparansi, responsibilitas. Jadi mesti UU
BHP batal, lanjutnya, tapi indikator-indikator yang dipasang pada saat UU tersebut tetap
saja bisa digunakan, sebab misalnya, ada lima hal yang harus ditata sesuai dengan UU
BHP, pertama, tata kelola struktur organisasi sehingga lebih efisien; kedua, manajemen
informasi sehingga mudah diakses semua orang dan bisa menerapkan integritas; ketiga,
manajemen sistem atau database manajemen sistem; keempat, manajemen keuangan,
manajemen aset; dan kelima, manajemen SDM. "Kalau manajemen informasi, keuangan,
aset, SDM-nya bagus dan dikelola dengan tata kelola yang bagus, maka akan bagus pula
perguruan tinggi. Tetapi kita juga harus mematuhi putusan MK tersebut," ujarnya.

Azas Peningkatan Mutu Berkelanjutan


Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Sudjarwadi, menegaskan UGM bersama sejumlah
universitas negeri lainnya dan Kementerian Pendidikan Nasional siap merumuskan
berbagai penyesuaian pasca pembatalan UU No 9/2009 tentang BHP oleh MK. "Pasca
pembatalan UU BHP (oleh MK), maka UGM bersama tujuh perguruan tinggi BHMN,
Dikti, dan Kemdiknas akan mencari penyesuaian yang optimal untuk memenuhi azas
peningkatan mutu berkelanjutan," ujarnya pada Sabtu (3/4).

Sudjarwadi mengatakan Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah acuan formal yang


berlaku sehingga kalangan perguruan tinggi harus menaatinya. Sebelumnya MK dalam
sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP), Rabu (31/3), menyatakan bahwa UU ini inkonstitusional karena
bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, UU BHP juga dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

MK berpendapat, ketentuan-ketentuan yang diatur UU BHP pada umumnya merupakan


penyeragaman bentuk tata kelola sehingga mengandung banyak kontroversi. Terbukti
dengan banyaknya perkara permohonan pengujian UU BHP yang diajukan.
Penyeragaman itu terjadi karena UU BHP membuat penyelenggara pendidikan harus
berbentuk BHP. Ini berarti yayasan, perkumpulan, dan badan hukum sejenis harus
menyesuaikan diri dengan tata kelola melalui perubahan akta dalam waktu enam tahun.

Menurut MK, ketentuan penyelenggaraan pendidikan dalam satu bentuk sebagaimana


ditentukan dalam UU BHP dapat diartikan melarang sekolah-sekolah yang
diselenggarakan masyarakat di luar BHP, sehingga sama saja dengan melarang kegiatan
berserikat dan berkumpul yang dijamin UUD 1945. Uji materi UU BHP ini antara lain
diajukan sejumlah yayasan yang bergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara
Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) dan Yayasan Pembina Lembaga
Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLP-PGRI).

Dewan Pendidikan Kota Medan Dr Mitsuhito Solin mengaku menyambut baik putusan
MK tersebut karena memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa kurang mampu
untuk meraih ilmu di PT. Menurut Solin, penerapan UU BHP ini dinilainya masih belum
dipahami banyak pihak. Selain itu UU tersebut sejatinya diberlakukan bagi negara yang
sudah maju dan kaya pemerintahan maupun institusinya. Jika UU ini diberlakukan, kata
Solin akan memunculkan permasalahan, terutama untuk perguruan tinggi di daerah.
Sebab, banyak perguruan tinggi di daerah akan kesulitan mendapatkan sumber dana
dengan sistim yang berlaku dalam UU ini, yakni diatur antara lain, setiap peserta didik
menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Jadi tidak heran mahasiswa
menuntut dibatalkannya UU tersebut karena dinilai mengkomersilkan pendidikan.

”Jelas, ketentuan ini amat memberatkan peserta didik terutama yang berasal dari
kalangan kurang mampu. Ini tentu bertolak belakang dengan UUD 1945 yang
menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara,” sebut Solin. Pemerintahan
mahasiswa dari Fakultas Hukum USU Al Amin mengaku senang dengan putusan MK itu,
sebab memberi kesempatan kepada calon mahasiswa untuk bisa mendapatkan ilmu di
perguruan tinggi negeri khususnya dan tidak harus turut dibebankan membayar biaya
operasional pendidikan. ”Kami, para mahasiswa berharap agar pihak pimpinan di
universitas ini menerima keputusan MK dan tidak mencari-cari lagi adanya penambahan
biaya lain untuk proses pendidikan, sebab pemerintah masih memberikan subsidinya
kepada PTN maupun PTS,” ujar Amin.

MK dalam keputusannya menyatakan, Undang-undang No 9 Tahun 2009 mengenai BHP


penerapan pada UU tersebut tidak lagi berlaku. Sebab antara lain menyebutkan, dalam
undang-undang ini menjadikan warga negara dibebani tanggung jawab besar untuk
membiayai pendidikan dengan membebankan setiap peserta didik menanggung sepertiga
dari biaya operasional pendidikan. Jelas, ketentuan ini amat memberatkan peserta didik
terutama yang berasal dari kalangan kurang mampu. Ini bertolak belakang dengan UUD
1945 yang menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara.

Rektor UGM mengatakan bahwa UGM yang dipimpinnya selalu membawa nilai-nilai
yang dianut. Nilai-nilai UGM itu adalah Pancasila dan Keilmuan. "Dari sejak didirikan
dan masa-masa selanjutnya, UGM selalu melakukan penyesuaian tatakelola dengan
peraturan yang berlaku, agar nilai-nilai UGM dapat diaktualisasikan seoptimal mungkin
baiknya dalam berbagai keterbatasan yang ada," ujar Prof Sudjarwadi. Selain itu, ia
menambahkan, UGM juga selalu berorientasi pada heterogenitas perguruan tinggi
Indonesia yang semuanya dimaksudkan agar dapat bersinergi untuk kemajuan bangsa
Indonesia.

Pasca Pembatalan BHP


Setelah MK dalam salah satu amar putusannya nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/
2009 menyatakan bahwa UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP bertentangan dengan
UUD NRI 1945, dan karenanya UU a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tetapi, perjuangan mematikan jiwa liberalisasi pendidikan di Indonesia belum selesai.
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengisi kekosongan hukumnya. Terdapat 7
(tujuh) PTN yang sebelum berstatus BHP adalah sebagai BHMN. Salah satu contoh PTN
yang berada di persimpangan status adalah UGM dengan PP Nomor 153 Tahun 2000
tentang Penetapan UGM sebagai BHMN. Penolakan kuat atas penggantian status UGM
dari PTN menjadi BHMN dikarenakan dampaknya di kemudian hari akan melunturkan,
bahkan meniadakan roh UGM sebagai Kampus Kerakyatan.

Kontroversi UU BHP telah berlangsung lama. Mahasiswa dan pemangku kepentingan


pendidikan yang tidak setuju terhadap UU BHP juga telah melakukan penolakannya
sejak sebelum diundangkan. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh
merancang Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru pasca-pembatalan UU BHP oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010. "Prinsipnya, putusan MK itu mengikat,
karena itu kami wajib menghormati, tapi akan tetap berkomitmen untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, apakah dengan UU BHP atau yang lain," katanya di Surabaya,
Sabtu.

Dengan segala persepsinya, banyak kekhawatiran yang muncul di kalangan internal


pendidikan maupun kalayak umum, pemahaman yang menyeluruh terhadap Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) juga belum seluruhnya terjadi.
Kekhawatiran terhadap mahalnya komersialisasi pendidikan, peran yayasan sebagai
penyelenggara pendidikan, tanggung jawab pemerintah serta isu krusial lainnya masih
selalu diperdebatkan. Terkait dengan PP BHMN, terdapat 5 ketentuan Mengingat yang
dicantumkan, yaitu pasal 5 ayat (2) dan pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, KUH
Perdata (Staatsblad 1847 : 23), UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (digantikan dengan UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional), PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 123, PP Nomor 61
Tahun 1999 tentang Penetapan PTN sebagai Badan Hukum. Dengan batalnya pasal 53
ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sekaligus
mematikan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, lalu ditambah
dengan lahirnya PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan. Maka jelaslah bahwa PP terkait penetapan PTN sebagai BHMN, misalnya
UGM dengan PP 153/ 2000, otomatis tidak berlaku lagi dan yang berlaku saat ini adalah
PP 17/ 2010.

Hal itu pula yang dijadikan dasar gugatan dan menjadi amar keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang akhirnya membatalkan seluruh UU BHP yang telah diundangkan,
tetapi belum sempat diberlakukan secara seksama. Pemerintah memang memiliki tugas
melaksanakan UU, termasuk UU Sisdiknas Tahun 2003 dan UU BHP Tahun 2009.
Terkait dengan PP 17/ 2010, seperti dilansir dari Antaranews.com, bahwa Mendiknas
sendiri menyatakan PP tersebut merupakan PP terkait UU BHP yang ‘hidup’. Padahal,
UU BHP sendiri sudah mati tertanggal 31 Maret 2010 lalu. Walaupun konsideran PP a
quo adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bukan UU
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Jangan sampai PP baru yang
akan dibentuk Mendiknas adalah PP yang masih terselip jiwa liberalisasi pendidikan
didalamnya. Walaupun disampaikan secara jelas oleh Wakil Mendiknas dalam acara
Jendela Konstitusi, bahwa dalam PP yang baru nanti akan ada klausa tidak akan ada
komersialisasi pendidikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh mahasiswa adalah
menekan Pemerintah untuk mempercepat pembentukan PP baru yang mengatur tentang
kekosongan status hukum PTN pasca pembatalan UU BHP oleh MK. Tetapi tentunya, PP
yang baru harus bersih dari liberalisasi pendidikan.

"Kalau pun ada pihak yang melakukan judicial review terhadap UU itu, maka kami akan
menghargai keputusan yang ditetapkan lembaga negara seperti MK, MA, dan sejenisnya.
Jadi, masalahnya bukan kalah atau menang, kawan atau lawan," katanya. Menurut dia,
pemerintah akan selalu melaksanakan UU tanpa memperhatikan siapapun yang
membuatnya, karena itu pihaknya akan tetap mempunyai komitmen untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, meski tanpa UU BHP. "Kami sudah melapor kepada Presiden dan
Wapres tentang sikap terkait pembatalan UU BHP oleh MK. Insya-Allah, Senin
(12/4/010) akan ada rapat kabinet terbatas untuk menyikapi hal itu dan kami akan
mengusulkan PP yang baru," katanya. Mantan Menkominfo itu mengatakan UU
Sisdiknas Tahun 1998 telah melahirkan PP 60/1999 dan PP 61/1999. PP 60/1999 itulah
yang menjadi "cantolan" (sumber hukum) PTN dalam mengatur dirinya, sedangkan PP
61/1999 yang melahirkan PT BHMN.

"UU Sisdiknas akhirnya diubah menjadi UU 20/2003, kemudian UU Sisdiknas 20/2003


itu melahirkan PP 17/2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. PP 17/2010
itu sendiri menganulir PP 60/1999 dan PP 61/1999, tapi PP 17/2010 tidak menjadi
`cantolan` (sumber hukum) dari UU BHP, sehingga PP 17/2010 adalah PP terkait UU
BHP yang `hidup`," katanya. Namun, katanya, Kemdiknas tidak akan menggunakan PP
17/2010 sebagai `cantolan` yang masih hidup, melainkan pihaknya akan menempuh
langkah yang paling aman dengan merancang PP baru yang tetap mengarah kepada
komitmen kepada kualitas pendidikan. "Bahkan, kami akan mengambil hikmah dari
pembatalan MK itu dengan melakukan penataan ulang untuk sistem pendidikan nasional.
Kalau selama ini sistem yang ada lebih menonjol pada otonomi, maka PP yang baru akan
melengkapi dengan pilar lain," katanya.

Ketakutan masyarakat muncul karena draf awal UU BHP telah memunculkan ketentuan
tentang adanya modal asing yang bisa masuk dalam bisnis pendidikan meski sebenarnya
sudah tidak muncul lagi dalam UU yang diundangkan. Citra masyarakat yang telah
melekat erat bahwa biaya pendidikan semakin tinggi terutama di PT BHMN karena boleh
membuat skema khusus pada ujian seleksi masuk calon mahasiswa dengan keharusan
membayar biaya tinggi, telah dijadikan bahan penolakan. Meskipun skema khusus ini
hanya sekitar 10 persen dari jumlah mahasiswa baru, tetapi karena pemahaman yang
belum menyeluruh sepenuhnya dan peran media yang kuat, isu komersialisasi pendidikan
menjadi momok yang masih tetap ditakuti. Padahal, biaya pendidikan di pendidikan anak
usia dini (PAUD) semacam play group, TK terpadu dan sebagainya yang kadang bisa
lebih besar dibanding biaya pendidikan di perguruan tinggi kadang malah kurang menjadi
perhatian. Biaya pendidikan di PTN pun juga ikut naik.

Mantan rektor ITS Surabaya itu menyebutkan PP yang baru nantinya memiliki empat
pilar yakni otonomi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. "Itu terkait dengan akan
adanya pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)," katanya. Misalnya,
aturan tentang kursi di sebuah perguruan tinggi untuk calon mahasiswa yang miskin
sebanyak minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam UU BHP akan tetap
dipertahankan dalam PP yang baru. "Tapi, persyaratan minimal 20 persen itu akan
dilengkapi dengan sistem pelaporan secara online yang akuntabel, sehingga persyaratan
20 persen itu akan memiliki jaminan dalam pelaksanaannya," katanya. PT BHMN juga
dituntut harus berkualitas dunia dan menyandang peran penting sebagai agent of change
(agen perubahan) bagi pembangunan nasional UU Sisdiknas Pasal 6 Ayat 2 yang
menyatakan bahwa "setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan" telah dimaknai oleh MK hanya ikut bertanggung jawab.

Pasal 41 Ayat 9 UU BHP sebenarnya hanya mensyaratkan bahwa seluruh kontribusi


peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya
operasional. Selama ini, tampaknya penyelenggaraan pendidikan di banyak perguruan
swasta sebagian besar masih disokong peserta didik. Pembatasan kontribusi biaya bagi
peserta didik yang hanya sepertiga dan definisi biaya operasional tampaknya bagian yang
belum mendapatkan kata sepakat bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan
sehingga masih menjadi tarik ulur. Tanpa pengaturan kontribusi peserta didik, pemerintah
atau swasta bisa jadi harus sepenuhnya menanggung biaya secara keseluruhan, atau justru
menggantungkan sepenuhnya kepada kontribusi peserta didik.

BHP juga diwajibkan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik WNI yang
tidak mampu membiayai pendidikannya dalam bentuk beasiswa, bantuan biaya
pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Dengan
adanya amar keputusan MK tentang Pembatalan UU BHP, berarti Pasal 12 Ayat (1) huruf
c UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal, Pasal 46 Ayat 1
UU BHP sebenarnya telah mewajibkan BHP menjaring dan menerima WNI yang
memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20
persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Dengan demikian, dalam
menetapkan kebijakan pemberian beasiswa, pemerintah hanya boleh mendasarkan pada
prestasi peserta didik, tetapi tidak boleh membedakan latar belakang ekonomi orangtua
peserta didik. Akibatnya, bisa jadi tidak ada jaminan peserta didik yang kurang mampu
(miskin) dapat menerima beasiswa. Barangkali, anggaran yang harus disediakan untuk
memberi beasiswa bagi 20 persen peserta didiknya juga sebenarnya merupakan salah satu
bagian terberat dari para penyelenggara pendidikan untuk memenuhinya.

Menurut amar keputusan MK, Pasal 53 Ayat (1) UU Sisdiknas adalah konstitusional
sepanjang frasa "badan hukum pendidikan" dimaknai sebagai sebutan fungsi
penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Dengan
demikian, UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP menjadi tidak berlaku sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut versi Kementerian Pendidikan Nasional,
penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi oleh masyarakat melalui
yayasan berdasarkan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang semula akan
disesuaikan tata kelolanya sebagai BHP Masyarakat (BHPM) berdasarkan UU BHP,
menjadi tidak jelas bentuk badan hukum yang harus digunakan untuk menyelenggarakan
pendidikannya. Ketidakjelasan bentuk badan hukum bagi penyelenggaraan pendidikan
oleh masyarakat ini disebabkan yayasan tidak boleh secara langsung menyelenggarakan
pendidikan, melainkan harus dilakukan dengan membentuk badan usaha.

Padahal, penyelenggara pendidikan melalui badan usaha bertujuan mencari laba,


bertentangan dengan prinsip nirlaba dalam pendidikan. Hingga saat ini diperkirakan
ribuan yayasan penyelenggara pendidikan belum menyesuaikan pada UU Yayasan
sehingga harus bubar dan dilikuidasi kekayaannya. Proses pembelajaran dan ijazah yang
diterbitkan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum menjadi ilegal.
Semula penyelesaian masalah ini akan dilakukan dengan mengakui yayasan tersebut
sebagai BHP Penyelenggara berdasarkan UU BHP tanpa mengubah bentuk badan hukum
yayasan atau tetap berbentuk yayasan.

Pemerintah harus segera menyelesaikan masalah yayasan dan tujuh PT BHMN serta
pendidikan kedinasan agar tidak terdapat kekosongan hukum tentang pengaturan tata
kelola perguruan tinggi. Bagaimanapun, ada atau tidak ada UU BHP, pemerintah dan
seluruh pemangku kepentingan pendidikan harus tetap berkomitmen meningkatkan
kualitas pendidikan nasional.

Selain itu, katanya, pihaknya akan mengkaji "missing link" yang menyebabkan
pendidikan tinggi saat ini menjadi mahal dan sulit terjangkau masyarakat, apakah faktor
efisiensi, mis-manajemen, akuntabilitas, atau apa penyebabnya. "Kami akan merumuskan
komponen biaya pendidikan tinggi, apakah yang menjadi komponen pemerintah dan apa
yang menjadi komponen masyarakat, sehingga akan diketahui rumusan yang membuat
pendidikan tinggi menjadi terjangkau, sebab calon mahasiswa masyarakat
berkemampuan sedang relatif banyak," katanya.

Ditanya tentang tujuh perguruan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN), ia mengatakan PT BHMN tetap harus mengacu pada PP yang baru, namun hal
itu tidak akan dipaksakan. "PT BHMN akan tetap berjalan, tapi ada masa transisi untuk
memenuhi PP yang baru. Misalnya, UI sekarang `kan memiliki karyawan yang PNS dan
karyawan yang merupakan pegawai BHMN, tentu perlu waktu untuk berubah ke arah PP
yang baru," katanya.

Hikmah bagi PTS : kembalinya hak


Rektor Universitas Islam Indonesia Edy Suandi Hamid di Jakarta, Kamis, mendukung
pembatalan UU BHP karena UU itu menciptakan pasar bebas dalam dunia pendidikan.
“Walaupun ada beasiswa, itu hanya untuk anak miskin yang pintar. Lantas bagaimana
dengan anak yang miskin dan tidak pintar?” cetus Edy. UU BHP, imbuh Edy, juga akan
membuat penyeragaman pendidikan, terutama penyeragaman status perguruan tinggi.
Seharusnya, tidak boleh ada penyeragaman status perguruan tinggi karena masing-masing
perguruan tinggi memiliki ciri khas. Menurut Edy, yang harus jadi perhatian adalah
bagaimana pendidikan bisa menjangkau semua orang, termasuk masyarakat miskin. UU
BHP justru menciptakan kesulitan bagi anak miskin yang ingin melanjutkan pendidikan
tinggi.

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jawa Tengah Prof Brodjo
Sudjono yang juga mantan Rektor Universitas Surakarta, di Semarang, Jumat (2/4),
menilai, pembatalan UU BHP sangat tepat karena UU itu bertentangan dengan UUD
1945 terkait kebebasan berkumpul dan berserikat yang dimiliki warga negara. UU BHP
mensyaratkan penyeragaman bentuk badan hukum. Ia mengemukakan, bentuk badan
hukum (yayasan) yang menaungi perguruan tinggi swasta (PTS) selama ini sangat
beragam, namun melalui UU BHP itu, berbagai bentuk yayasan ingin diseragamkan
menjadi BHP masyarakat. Ia mengatakan, yayasan yang menaungi PTS telah banyak
berjasa dan memberikan kontribusi bagi masyarakat melalui berbagai program
pendidikan mulai dari tingkat TK hingga PT. “Kami khawatir adanya penyeragaman
bentuk badan hukum yang menaungi PTS itu akan membuat proses demokratisasi
menjadi terkebiri karena lebih mudah untuk diatur dan dikontrol oleh pemerintah,”
katanya. Ia mengatakan, UU BHP juga memungkinkan komersialisasi pendidikan,
terutama oleh kalangan PTN.

Konsekuensi pembatalan UU BHP jelas amat besar dan bakalan tidak mudah. Ke-7 PTN
yang sudah berbadan hukum tersebut harus menyesuaikan diri manakala berbagai aturan
dan mekanisme sudah dilakukan sejak lama. Pemerintah pun harus menyesuaikan seluruh
peraturan yang telah disusun yang berlandaskan kepada UU BHP tersebut. Tetapi harus
diakui bahwa dengan adanya pembatalan tersebut, maka masyarakat akan lebih leluasa
menempuh pendidikan. Pendanaan akan lebih banyak diberikan oleh pemerintah
sehingga masyarakat akan menikmati pengurangan biaya pendidikan. Selain sebagian
besar masyarakat menyambut gembira dengan pembatalan UU BHP ini, para pengelola
PTS yang selama ini juga ikut getol melakukan Yudicial Review, tentu juga
menyambutnya dengan gembira.

Melalui pembatalan tersebut, diharapkan PTN hanya akan menerima kelas reguler
bahkan menekankan pada program pascasarjana serta Doktoral, sehingga PTS mampu
memperoleh kembali haknya yang selama ini terkesan direbut PTN. Dengan adanya UU
BHP, PTN berbadan hukum tidak akan lagi leluasa mencari pasar pangsa yang sebesar-
besarnya dengan membuka berbagai model penerimaan dan jalur memasuki PTN. Pangsa
yang begitu besar itu, kini dikembalikan kepada PTS, yang keberadaannya sudah sejak
lama memberikan kontribusi kepada negeri ini. Namun, sangatlah tidak adil bila kalangan
yang pro UU BHP lalu memvonis bahwa PTS akan seenaknya mencari untung tanpa
memperhatikan kualitas lulusannya. Di era Pola Tunggal Pengelolaan PT seperti
sekarang ini, hal demikian tidak mungkin bisa terjadi. Setidaknya model Evaluasi Belajar
dan Studi Berdasar Evaluasi Diri (EBSBED) yang langsung dipantau oleh Dikti serta
akreditasi oleh BAN PT, tidak memungkinkan lagi PT bermain-main seperti berbagai
kasus masa lampau.

Sebagai bukti kongkret, PTN yang dahulu membuka program ekstensi pun kemudian
dihentikan, karena tidak mungkin bisa terakreditasi BAN PT, serta sulit melaporkannya
dengan model EBSBED. Meski program ekstensi ditutup, namun selanjutnya berganti
baju dengan Program Mandiri, Reguler II, dsb, yang diharapkan akan benar-benar
dihilangkan setelah keputusan pembatalan UU BHP oleh MK. Bagi PTS, meski
penghapusan UU BHP oleh MK merupakan kabar yang menggembirakan, namun para
pengelolanya tidak boleh terlena oleh bayangan akan segera diperolehnya kenikmatan,
melalui perolehan mahasiswa baru yang meningkat drastis. Selain kurang pada
tempatnya, karena mengelola PTS itu nawaitunya adalah pengabdian, ibadah, serta
pelaksanaan amanah yang sangat berat konsekwensinya, terutama di akhirat kelak, masih
ada berbagai faktor perlu diperhitungkan.

Faktor mengelola PTS sesuai dengan UU serta ketentuan lain yang berlaku seperti
akreditasi BAN BT serta EBSBED, tentu memerlukan pemikiran, perencanaan, serta
aplikasi yang prima, sehingga tujuan baik jangka pendek hingga jangka panjang akan
tercapai. Demikian pula makin ketatnya persaingan antar-PT, tentu harus merupakan
daya pacu untuk mencapai kualitas prima lulusannya, sehingga diperhitungkan para calon
penggunanya, serta masyarakat luas. Melalui cara itulah maka branding (citra positif)
PTS-nya akan melekat. Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat yang masih sangat sulit,
tentu akan berpengaruh terhadap kemampuannya untuk memasukkan anaknya ke PT.
Data empirik yang menunjukkan masih belum signifikannya peningkatan kemampuan
orang tua untuk menguliahkan anak-anaknya perlu diperihitungkan.

Demikian pula dengan pengalaman kekeraskepalaan pemerintah yang belum tentu secara
serta merta menuruti perintah MK, meski seharusnya pemerintah melakukannya, dengan
berbagai alasan pembenar. Pengalaman tentang keputusan Mahkamah Agung (MA)
tentang peniadaan Ujian Nasional (UN), yang terkesan diabaikan pemerintah, yang tahun
ini tetap menyelenggarakannya, meski akhirnya berbagai masalah seperti tahun-tahun
sebelumnya terus terjadi. Karena itu, kita tentu berharap untuk keputusan MK terkait
pembatalan UU BHP kali ini, pemerintah melaksanakannya.

Selain memenuhi keputusan MK, sejatinya bila dilaksanakan hal ini sebenarnya adalah
pelaksanaan program pendidikan yang pro rakyat, yang setiap saat hampir selalu
diucapkan oleh Presiden. Bagi pengelola PTS, meski perlu disyukuri, namun tidak boleh
hal ini berubah menjadi eforia berburu calon mahasiswa, namun mengabaikan
kemampuannya dalam mengelola. Perjuangan, ketekunan, ketelatenan serta upaya
maksimal yang selama ini telah mereka lakukan harus tetap terjaga. Dengan demikian,
kelak lulusannya akan mampu memberikan sumangsihnya secara maksimal kepada
masyarakat, bangsa dan negara, sekaligus mampu mengharumkan nama almamaternya.

Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.
Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-
prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7
Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak
Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan
Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia
Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi
Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.
Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia
Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan Indonesia


Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi
Oleh : Rum Rosyid
Dosen FKIP Universitas Tanjungpura
Direktur Global Equivalency for Education

Anda mungkin juga menyukai